Dena mengantar pesanan sarung bantal sebanyak dua lusin ke temannya. Dengan menggunakan motor matic andalan yang sudah ia gunakan selama 4 tahun, motor hadiah dari Papanya saat ia berulang tahun.
Motor itu juga pernah menjadi sasaran kecurigaan mertua dan saudara kandung suaminya. Di bilang jika Dena meminta dibelikan oleh Tara. Suaminya akhirnya buka suara karena saat itu mereka masih pacaran, dan barulah keluarga Tara diam saat orang tua Dena yang akhirnya menjawab pertanyaan itu juga.
Laju motor itu hanya berkecepatan 40km/jam, Dena melirik ke lampu merah yang menyala, ia menekan rem di tangannya, melihat ke kanan dan kiri, lampu sen kanan juga sudah ia nyalakan. Temannya warga komplek yang cukup jauh dari rumah mertua Dena, butuh waktu setengah jam untuk menuju ke sana.
Lampu berubah hijau, Dena kembali menancapkan Gas, berjalan di jalanan yang lurus hingga ia tiba di depan gerbang komplek mewah itu, dan melihat sekelebat mobil suaminya yang baru keluar dari gerbang komplek.
"Itu Mas Tara bukan, ya?" ucapnya dalam hati. Mendadak ia menghentikan laju motornya lalu menoleh, memerhatikan plat nomor yang pasti sudah tak tampak.
Ia kembali melaju, melapor kepada satpam terlebih dahulu. Kini, ia sudah tiba di depan rumah mewah dengan gaya dan pilihan warna mirip di Santorini, putih dan biru.
"Assalamualaikum, Tya!" panggil Dena.
"Waalaikumsalam...! Masuk Den, sini!" Panggil wanita itu. Dena berjalan sembari membawa dua kantong plastik merah besar. Pembantu Tya berlari dan membantu membawakan.
"Makasih Mbak," ucap Dena ke pembantu Tya.
"Sama-sama, Bu, mari masuk," ucapnya. Tya melepaskan alas kaki, lalu masuk, tetapi ia izin ke Tya untuk ke kamar mandi, hendak cuci tangan dan kaki.
Mereka sudah duduk di sofa ruang tamu, Tya segera membuka kasil jahitan Dena. Keduanya teman saat SMA, dan berpisah karena kuliah di jurusan berbeda. Dena mengambil akademi sekretaris dan Tya dokter.
"Kamu cuti sampai kapan, Tya?" tanya Dena yang menikmati teh hangat suguhan Tya.
"Besok. Mama udah lebih enakan, dan aku ajak tinggal bareng ke sini," ujar Tya yang tersenyum puas karena menyukai hasil jahitan Dena.
"Mama mau ikut kamu di sini? Nggak risih?" Dena meletakkan cangkir ke alas di atas meja.
"Nggak, emang kenapa?" Tya lalu mendengkus. "Mertua kamu lagi? Den, udah bilang kan, kalian pisah, nggak baik satu rumah sama mertua," ujar Tya.
"Aku bisa apa sih, Tya, Mas Tara maunya satu rumah sama orang tuanya. Kamu udah tau juga, kan, alasannya." Dena tersenyum.
"Iya. Paham. Masih mau berbakti ke orang tua terutama Ibu, tapi Dena, dia juga harus hargain perasaan kamu, dong. Jangan mau menang sendiri." Tya sedikit menunjukkan kekesalannya. Dena diam. Ia menatap ke arah sarung bantal yang sudah terpasang, ia tersenyum karena hasil jahitannya bagus.
"Kamu kenapa nggak milih kerja? Sebelum sama Mas Tara, kamu sekretaris direksi, kan? Di perusahaan besar juga?" Tya lalu menyuguhkan kue lapis yang baru diantar pembantunya ke atas meja. Mempersilakan Dena mencicipi yang di jawab anggukan.
"Mas Tara minta aku di rumah, katanya, istri nggak wajib kerja. Dan, yaudah, aku lanjutin hobiku ini," jawab Dena santai.
"Maksudnya? Minta kamu jadi istri sholeha? Yakin dia minta begitu ke kamu?" Tya menatap penuh ragu.
"Intinya gitu, emang kenapa? Eh, ini aku cicipin ya," jemari tangan Dena mencomot kue. Tya mengangguk.
"Den, kalau Mas Tara minta kamu jadi istri sholeha, apa kamu merasa Mas Tara udah benar? Maksudku, dia lebih mendengarkan omongan Ibunya dari pada kamu, kan? Belum lagi kakak-kakak ipar kamu yang perempuan, mereka suka ikut campur urusan rumah tangga kamu dan Mas Tara, kan?" Tya menatap lekat. Dena tersenyum masam.
"Udah kebiasaannya kali," jawab Dena santai.
"Ya nggak bisa jadi kebiasaan, Dena, ini kan rumah tangga kalian. Beda lho, menantu perempuan satu rumah sama mertua dengan menantu laki-laki yang satu rumah dengan mertua. Dua hal itu beda."
Dena mengangguk, ia sudah paham. Jika menantu laki-laki, tak masalah tak bangun siang, atau terlihat santai, karena memang bukan tugas laki-laki beberes hal di rumah, apalagi jika ada pembantu. Beda dengan menantu perempuan, mau ada pembantu kek, jika bangun terlambat atau belakangan setelah mertua bangun, bisa nyanyi ke mana-mana omelannya.
"Mas Tara cuma mau berbakti ke orang tua. Aku manut aja dulu, selama Mas Tara nggak bikin aku sakit hati karena perkara lain, aku coba maklumin, Tya. Lagian, ini udah pilihanku nikah sama dia, Mas Tara baik, dia yang bisa obatin sakit hatiku karena Nando, kamu tahu kan, cerita Nando dan aku dulu. Dari jaman SMA kita pacaran, ternyata dia umpetin selingkuhannya di mana-mana, di saat aku tulus banget sama dia."
"Kamunya bodoh, sorry aku bilang gini. Aku sama temen-temen lain kan udah ingetin kamu, ngapai jadian sama Nando yang udah kelihatan buaya. Bagus kamu bisa jaga diri, nggak sampai ditidurin sama dia kayak cewek-ceweknya dia yang lain."
Dena tersenyum, "iya, inget kejadian itu bikin aku sakit hati banget. Nando hampir aja perkosa aku kalau kalian nggak datang tepat waktu kan, aku dibikin mabok. Ah... sial banget rasanya. Aku sampai kuliah di antar jemput Papa dan adekku. Saking takutnya aku kenapa-kenapa, dan akhirnya kenal Mas Tara, secara nggak sengaja karena antar adekku test masuk kampus," ujar Dena kembali mengingat masa-masa itu.
"Tapi waktu itu kamu nggak langsung pacaran sama Mas Tara, kan?" Tya memastikan.
"Enggak. Semenjak kuliah, kita pisah kan, Tya. Nah, Mas Tara deketin aku ada lah hampir setahun, atau lebih kayaknya, deh. Dia tunjukin banget usahanya, sampai akhirnya Papa dan Mama kasih izin aku pacaran sama Mas Tara, lagi pula dia udah mapan kan waktu itu. Pacaran tiga tahun sampai setahun lalu nikah. Dia jaga aku banget sampai aku mau diajak nikah dia, karena aku pikir, yaudah lah ya, udah tiga tahun pacaran masa mau stuck di tempat. Mas Tara juga mau punya keluarga kecil, mau punya anak sama aku. Jadi... ya," senyum Dena terbit, Tya tahu bagaimana Dena begitu mencintai suaminya.
"Kalah gitu, kamu harus lebih sabar lagi, selama masih tinggal di sana. Kesabaran kamu insyaa allah membuahkan hasil, cerita ke aku kalau ada apa-apa, ya, jangan pendam sendiri." Tya tersenyum. Dena mengangguk.
Dari dalam muncul wanita yang berjalan dengan kruk. Dena beranjak, menghampiri. "Tante, apa kabar? Gimana kondisinya?" Sapa Dena yang lalu memeluk wanita itu.
"Baik, udah enakkan, kok, kamu kok kurusan sih, Den, makan yang banyak ya." Ujar wanita itu yang dibantu Dena berjalan perlahan hingga duduk di sofa bersamanya.
"Dena makan, kok, cuma suka fokus kerjain jahitan, jadi suka telat." Kekehnya. Tya tersenyum sembari menggeleng pelan. Ia tahu jika Dena sedikit berbohong, tetapi ya sudah, mau di apakan lagi. Sudah pilihan temannya itu menikahi Tara.
***
Di kantor.
Tara sibuk membuat laporan untuk diserahkan kepada timnya lagi. Suara pintu diketuk membuatnya menoleh. Pria jangkung itu berjalan masuk.
"Tar, ada undangan seminar di Bogor, seluruh Indonesia, membahas tentang ekspor bibit tanaman. Sekretaris bagian lo udah kasih undangannya?" tanya Bimo. Teman yang juga akan dikirim mendampingi Tara.
"Udah, barusan gue terima. Lo sama gue kan yang jalan?"
"Iya. Ngomong-ngomong, lo nggak lupa kan, hari ini ulang tahun bini lo? Bini gue barusan ingetin, Dena habis antar pesanan sarung bantal ke rumah." Bima merupakan suami Tya, mereka memang sudah saling mengenal.
"Ah iya! Gue lupa, Bim!" Tara menyugar rambut lalu menjambaknya.
"Parah. Balik sana, sisa kerjaan lo gue yang urus. Udah jam tiga sore juga. Absen duluan aja, nggak papa. Mampir beli kue," ujar Bima lagi. Tara mengangguk. Ia merapikan cepat pekerjaannnya, lalu menyerahkan flasdisk ke Bima.
"Cek lagi ya, Bim, buat dilaporin ke atasan lagi." Pinta Tara yang langsung beranjak, memasukan ponsel, ke dalam tas. Lalu mematikan laptop.
"Beres. Besok nggak usah jemput gue cuma buat temenin lo sarapan soto bogor sebelum kerja. Emang Dena nggak bikin sarapan?" sindir Bima.
"Bikin. Selalu. Cuma gue suka malas sarapan di rumah."
"Kacau, lo. Bini lo udah bangun pagi, siapin sarapan, nggak lo makan. Geblek," ucap Bima yang ikut beranjak dan berjalan ke ruangannya. Tara hanya tertawa sembari melakukan absen dengan ibu jarinya ke alat khusus. Ia berjalan cepat, segera ke parkiran mobil dengan tujuan toko kue favorit Dena. Senyum mengembang di wajahnya, ia yakin kejutannya membuahkan hasil.
Bersambung,
"Selamat ulang tahun Dena is--" belum sempat Tara selesai bicara. Ia mendapati Dena sedang di marahi oleh kakak perempuannya yang datang berkunjung. Dena duduk tertunduk di lantai, sementara kakak perempuan dan ibunya terus berbicara."Mikir sedikit nggak bisa, Den? Masa iya cuma karena masalah cara masak beda, kamu lawan Ibu? Kamu tinggal di sini, kan? Harus ikutin cara di sini. Bisa bawa diri, bukan ngatur!" Nada bicara Sofia meninggi. Tara menatap dari ambang pintu.Masih dibahas juga, ucap Tara dalam hati. Ia meletakkan kotak berisi kue yang lilinnya dimatikan dahulu oleh Tara, takut meleleh dan mengotori kue."Assalamualaikum," ucap Tara lalu meraih tangan ibu dan kakaknya, lalu beralih ke Dena yang beranjak, meraih tangan suaminya dan ia
"Aku manut Mas Tara." Satu kalimat yang terlontar dari bibir Dena membuat Tara tersenyum namun juga nyeri di hati. Ia tahu perilakunya tak jarang bisa melukai hati Dena, tetapi wanita itu sepertinya memilih melupakan dan tersenyum kembali.Tara dan Dena bergumul, mereka berharap akan segera mendapat momongan setelah setahun lamanya mereka menikah tetapi belum dikaruniai momongan. Keduanya jelas sehat, hanya tinggal menunggu sang khalik memberikan titipan ke rahim Dena.Suara ibu berbicara di telepon dengan Sofia terdengar sayup-sayup saat Dena berjalan ke dapur untuk mengambilkan minum suaminya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Lampu dapur dinyalakan Dena, membuat ibu terjengat di tempatnya. "Kamu mau bikin Ibu jantungan!" Makinya. Dena segera
Tara masih di luar kota selama 3 hari 2 malam, hal itu membuat Dena bisa fokus menjahit pesanan pelanggan, bahkan, ada yang meminta dibuatkan selimut untuk kado ulang tahun anak. Dena lembur, ia sengaja supaya bisa mengejar pengerjaan pesanan lainnya.Seharian itu, Tara hanya mengirim pesan 3 kali, sebagai kepala bagian, ia jelas sibuk. Dena tak masalah, karena ia melihat foto status whatssapp suaminya beberapa kali saat sedang berbicara di forum itu. Dena tersenyum, suaminya hebat, pekerja keras walau kadang tak mau mendengarkan keluh kesahnya tentang perlakuan ibu di rumah."Kamu masih jahit?" tegur ibu yang masuk ke ruang kerja Dena."Iya, Bu," jawab Dena sembari tersenyum."Makin mahal do
"Halo... apa kabar, aku Kanti," sapanya ramah. Dena membalas jabatan tangan itu sembari menyebut namanya juga."Kanti ini mantan pacarnya suamimu yang paling deket dan baik sama kita semua di sini, Dena, jadi wajar lho, ya, kalau Ibu anggap dia anak di sini, walau nggak bisa jadi menantu. Sedih banget Ibu kalau ingat itu," tetiba wajah ibu menyiratkan kesenduan. Dena mengangguk, mencoba memahami situasi yang ada."Namanya jodoh, rezeki, maut, dan apapun itu ditangan Allah, bisa aja pacaran lama, tapi nikahnya sama orang lain. Anggap aja jagain jodoh orang." Kali ini bapak bersuara. Ia ikut duduk di sofa ruang tamu. Dena pamit mundur untuk membuat minuman di dapur. Namun, pembicaraan ibu begitu terdengar jelas di telinga Dena."Semenjak kamu putus dari T
Tara menatap langit-langit kamar, semenjak kejadian tadi, ia terus dilanda rasa khawatir, juga muncul perasaan lain saat ia bertemu tatap lagi dengan Kanti. Lima tahun mereka hilang kontak, Tara sengaja melakukan itu karena saat itu memang mau menghapus Kanti dari hati dan hidupnya, pun, ia sedang mendekati Dena.Dena yang kala itu masih mahasiswi tingkat akhir menarik perhatiannya saat tak sengaja mereka bertemu di acara pernikahan teman sejawat Tara. Sedangkan Dena menemani Papanya datang ke acara tersebut.Dena yang manis, senyuman ramah, ayu, dan berpenampilan sederhana tapi tak kuno, membuat Tara yang kala itu seperti mendapat jalan keluar dari rasa gundah di hatinya semenjak putus dengan Kanti.Ia menghela napas, beranjak perlahan untuk memadamkan
Dena duduk di kursi penumpang tengah, di barisan ketiga sudah penuh dengan bahan untuk jahitannya dan juga bahan brokat untuk kebaya. Mereka tak langsung pulang, tetapi pergi makan siang di restoran seafood langganan orang tua Dena. Papanya yang pensiunan PNS itu, tau tempat makanan enak. Sedangkan mamanya yang pensiunan dari bank swasta, tau tempat makan kelas menengah ke atas yang sering disambangi waktu Dena dan kakaknya belum berumah tangga masing-masing."Pa, ke sini? Tau aja Papa, anaknya udah lama nggak makan ikan bakar sama kepiting," goda Dena yang begitu bersemangat."Emang kamu nggak pernah di ajak makan keluar sama Tara? Makan seafood aja, bahagia banget." Papa balas menggoda."Suka lah, Pa, tapi bukan di sini. Mas Tara dan keluarganya punya langganan sendiri," sanggah Dena yang sejujurnya itu kebohongan. Tara jarang mengajaknya makan di luar, karena jika itu terjadi, maka omela
Tara asik makan siang dengan sesama rekan kerjanya di kantin kantor itu sambil bercengkrama dengan gelak tawa menggema."Besok siapa aja yang berangkat ke Malang juga?" tanyanya sembari meminum es teh manis miliknya."Kita berlima, Pak, tiket Bapak masih sama saya, nanti sayaCheck in-kan sekalian, jadi Bapak tinggal datang ke bandara aja." Sahut anak buah Tara. Pria itu mengangguk."Mobil dari dinas sana udah di siapin juga?" Kembali Tara bertanya."Sudah, Pak, mereka nanti jemput ke bandara dan kita langsung ke hotel. Jam sepuluh baru kita ke kantor dinas di sana. Bapak mau minta laporan apa saja? Biar saya hubungi orang di sana untuk siapkan," lanjut anak buah Tara yang seorang pria berusia dua puluh lima tahun."Oke." Lalu Tara beranjak, menuju kasir, membayarkan makanan pesanannya juga teman-temannya. Tara memang suka
Dena tak bisa tidur, hatinya merasa tak nyaman karena sikap ibu mertuanya yang jelas tak suka kepadanya. Bapak bahkan sampai meminta Dena membahas dengan Tara, namun, sepertinya Tara justru marah kepadanya. Dena menoleh ke arah kiri, Tara tidur memunggunginya. Semalam keduanya bertengkar, oh bukan, lebih tepatnya Tara yang memberi tahu Dena supaya tidak membuat ibunya kesal dan marah. Meminta Dena terus bersabar tanpa Tara memberikan kesempatan Dena bicara untuk sekedar membela dirinya.Waktu subuh tiba, Dena membangunkan suaminya yang segera membuka mata, lalu beranjak untuk mandi, bersiap sholat subuh lalu berangkat ke bandara dengan taksi. Dena menyiapkan sarapan berupa mie instan dengan telor rebus dan teh manis hangat. Masih pukul lima. Pesawat akan berangkat pukul sembilan pagi. Jarak dari rumah ke bandara cukup jauh, jadi Tara harus berangkat beberapa jam lebih cepat.Tara sudah tampak rapi, ia berjalan keluar kamar, menyeret tas koper yang ia dirikan di dekat m