Share

Bab 4 Rencana

last update Last Updated: 2025-07-14 09:23:49

Asri mendekat ke arah pintu kamar tamu. Dengan gerakan hati-hati, ia menempelkan sebelah telinganya pada celah pintu yang sedikit terbuka.

“Bagaimana, Dirga? Kami sudah bela-belain bangun tengah malam untuk mendiskusikan rencana ini, karena kami ingin memberikan solusi terbaik buat kamu. Ibu sudah bicara dengan kedua orang tua Vina, dan mereka setuju jika Vina menikah dengan kamu,” ujar bu Tami.

Nyes!

Hati Asri mencelos, kaget dengan apa yang ia dengar barusan sangat menyayat hati. Asri mengepalkan kedua tangannya. Namun, ia redam emosi itu, karena ingin mendengar jawaban dari Dirga seperti apa. Apakah Dirga akan menyetujui rencana itu?

“Tapi … Asri sedang mengandung anakku, Bu. Bagaimana dengan dia?” tanya Dirga.

“Alah … masalah Asri itu gampang. Kamu ceraikan saja dia, beres, kan? Lagian, apa sih yang kamu pertahankan dari wanita itu? Kaya enggak, miskin iya. Pertahanin anak? Vina juga bisa memberikan kamu anak. Nih Mbak kasih tahu, ya, sama kamu. Kamu itu beruntung, Dir, bisa dicintai oleh wanita cantik dan sukses seperti Vina, masih gadis, lagi. Selain dia cinta sama kamu, kamu bisa lihat sendiri, dia juga sangat perhatian sama si kembar. Lantas, apa lagi yang harus kamu pertimbangkan?” timpal Debi.

“Benar kata Mbakmu, Dir. Kamu dan Vina kan dulu pernah pacaran. Jadi kalian pasti sudah mengetahui tentang diri kalian satu sama lain. Tunggu apa lagi? Mas ingin yang terbaik buat kamu. Mas sayang sama kamu. Jangan karena si pembawa sial itu, kamu berat untuk memutuskan,” sahut Ferdi.

Dirga terdiam dengan posisi membelakangi pintu. Sejenak ruangan itu hening, hanya menyisakan suara denting jam yang memenuhi atmosfer. Asri ingin menangis dan berteriak sekarang mungkin. Namun, ia berusaha kuat.

“Ya sudah, aku mau!” jawab Dirga akhirnya.

Asri terbelalak, air matanya meleleh tanpa bisa ditahan lagi. Namun, ia segera menyekanya. Tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para manusia tidak punya hati itu. Dengan kasar, Asri membanting pintu kamar tamu, membuat semua terkejut dan serempak menoleh ke arah Asri.

Asri bertepuk tangan dengan senyum terluka.

“Bagus, kalian. Hebat sekali dengan rencana kalian. Kalian pikir, si pembawa sial ini tidak akan tahu tentang ini? Kalian salah besar! Aku memang miskin, tapi setidaknya aku bukan pelakor seperti Vina. Lucu sekali dunia ini, di saat orang-orang menginginkan kelahiran anggota keluarga baru. Tapi kalian malah menyusupkan pelakor dalam rumah tanggaku. Mas Dirga, aku tahu kamu dan Vina pernah pacaran, aku dengar itu. Aku sudah dengar semuanya. Lebih mirisnya lagi, kamu bersedia menikahi Vina. Hebat kamu, Mas!” ujar Asri.

Dirga terdiam mematung menatap kedatangan Asri. Sementara Vina, ia tampak acuh dengan keadaan yang terjadi.

“Nak, dengarkan dulu. Kami tidak bermaksud-”

“Cukup, Bu. Berhenti berpura-pura manis kepadaku di depan Mas Dirga, kalau kenyataannya di belakangnya, Ibu selalu bersikap kasar padaku. Sebagai ibu, Ibu harusnya menjadi tempat ternyaman bagi anak-anaknya. Tapi yang terjadi apa? Ibu malah menjadi duri dalam daging di dalam rumah tangga anakmu sendiri. Hanya karena aku miskin, pikiran kalian menjadi dangkal seperti ini!” potong Asri.

“Cukup! Aku bilang cukup!” bentak Dirga.

Dirga beranjak lalu mendekat ke arah Asri. Tanpa diduga, Dirga tiba-tiba mencengkram dagu Asri. Tatapan kebencian begitu kentara yang terlihat dari wajah Dirga. Membuat Asri terkejut bukan main.

“Beraninya kamu menyalahkan Ibuku. Dengar, Asri … jangan pernah sekali-sekali kamu kurang ajar sama Ibuku. Apa pun yang Ibuku katakan, itu adalah bentuk kasih sayangnya padaku. Sedangkan kamu … kamu hanya pembawa sial di hidupku!” sentak Dirga.

Asri menepis kasar tangan Dirga. Sakit di hatinya berubah menjadi amarah.

“Tega kamu, Mas. Kamu sendiri yang memilihku, tapi kamu juga menghinaku! Silahkan teruskan rencana kalian! Berbahagialah, semoga karma tidak datang pada kalian!”

Asri keluar dari kamar itu, lalu kembali membanting pintu hingga membuat semua orang terkejut.

Asri keluar dari rumah, tak peduli walau pun waktu masih menunjukkan waktu tengah malam.

“Jahat!” gumam Asri, sejenak ia membalikkan badan ke arah rumah bu Tami. Menatapnya dengan bibir bergetar menahan sedih dan marah.

Asri menghembuskan napas panjang, diayunkannya kedua kaki menjauh dari pelataran rumah. Walau pun keadaan di luar sangat sepi, akan tetapi itu akan jauh lebih baik, daripada harus berada di rumah itu bersama orang-orang toxic.

Air mata yang sedari tadi Asri tahan, kini telah keluar dengan derasnya. Segala kesakitan yang ia rasakan, ia tumpahkan di keheningan malam.

Langkah Asri terasa melayang, ditemani hembusan angin malam yang menerpa wajahnya.

Tak terasa Asri telah jauh melangkah. Tidak ada tujuan untuk ia singgahi.

“Tolong!”

Asri mengangkat wajahnya, menoleh ke segala arah saat terdengar samar-samar suara seseorang meminta tolong. Namun, Asri tidak melihat siapa pun di tempat itu. Di sisi kiri kanan tempat Asri berdiri hanya deretan pohon besar yang berdiri tegak serta daun tertiup angin.

“Mungkin aku salah dengar,” gumam Asri.

Asri melanjutkan langkahnya walau pun tidak ada tujuan. Rasa sakit itu kembali ia ingat. Membuatnya kembali mengeluarkan suara isak tangis. Hingga ia berada di depan sebuah mobil yang terparkir di jalan berbelok.

Asri melihat seorang pria paruh baya tengah menarik seseorang di bibir jurang tak jauh dari jalan itu. Pria itu tampak kepayahan, membuat Asri penasaran dan segera mendekatinya.

“Ya ampun, ada apa ini, Pak?” tanya Asri.

Pria itu menoleh, lantas kembali fokus menarik seseorang di bibir jurang itu.

“Tolong, majikan saya.”

Asri terbelalak, terlihat seorang nenek-nenek sedang berjuang mempertahankan dirinya supaya tidak jatuh.

“Sini, biar saya bantu!” seru Asri.

Asri membantu menarik tangan si nenek. Cukup lama ia dan pria paruh baya itu berjuang dengan keringat bercucuran dan mengerahkan seluruh tenaga. Hingga akhirnya mereka berhasil menyelamatkan si nenek. Kini si nenek duduk bersandar di luar mobil.

“Terima kasih, Nak. Kalau kamu tidak datang membantu, mungkin saya sudah jatuh dan meninggal di bawah sana,” ucap si nenek.

“Sama-sama, Nek. Em … kenapa Nenek bisa jatuh seperti itu?” tanya Asri.

Si nenek menjelaskan, “Tadi mobil saya mengalami pecah ban. Sopir saya menggantinya di sini, dan saya keluar dari mobil. Saya duduk menunggu di pembatas jalan, tapi lama kelamaan kepala saya merasa pusing. Tubuh saya oleng dan nyaris terjatuh ke dalam sana. Untung ada Pak Ujang dan kamu, Nak, yang berhasil menolong saya.”

“Lain kali Nenek hati-hati, ya. Tapi syukurlah Nenek selamat. Ya sudah kalau begitu saya permisi, Nek!” pamit Asri.

Asri mulai melangkahkan kakinya hendak pergi meninggalkan si nenek. Namun, dengan cepat si nenek menarik tangan Asri lalu membawa masuk Asri ke dalam mobil.

“Kamu tidak bisa pergi begitu saja dari saya, Nak!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 201 Momen Haru

    “Rain!” teriak Asri dan Ello.Di dalam gubuk tersebut, Rain tengah duduk di samping tubuh terbaring seorang lelaki dewasa.Lalat-lalat tampak berkerumun di ruangan itu. Ya, Asri bisa melihatnya dengan jelas. Lalat-lalat hijau itu tengah mengerubungi tubuh lelaki itu.Menahan mual, Asri dan Ello masuk ke dalam gubuk itu untuk menghampiri Rain.“Rain, kamu sedang apa di sini? Siapa dia?” tanya Ello.Asri memeluk Rain, menciumi wajahnya dengan tangisan haru.Di tempat itu pula, terdapat banyak kantong kresek berisi makanan dan obat. Ada beberapa di antaranya makanan itu telah dikerumuni belatung. Membuat Asri teringat akan obrolannya dengan pemilik warung tadi. Apakah mungkin anak yang dimaksud adalah Rain?Rain menoleh ke arah lelaki itu.“Itu Papa!” jawab Rain.Asri mengernyitkan dahinya, lantas Ello memastikan siapa lelaki yang dipanggil papa oleh Rain tersebut.Tubuh Ello seketika lemas, melihat wajah yang cukup ia kenali.“Sayang, dia Dirga!” ucap Ello.Asri terkejut, lantas ia pun

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 200 Bau Bangkai

    “Jangan sedih, kita pasti bisa menemukannya. Gunakan nalurimu, karena kamu Ibunya,” imbuh Ello.Setelah dokter mengizinkan pulang, Ello memulai pencarian Rain. Walaupun Asri telah melarangnya, dan menyuruhnya untuk istirahat. Namun, Ello bersikeras ingin mencari anak itu hingga berhasil ditemukan.“Rain, di mana kamu, Nak? Mama kangen sama kamu,” gumam Asri.Keluarganya pun berpencar mencari keberadaan Rain. Mereka berkelompok menjadi beberapa bagian, dan akan saling menghubungi jika ada kemungkinan Rain ditemukan.“Semua ini gara-gara Reno. Aku tidak akan pernah memaafkannya,” ujar Asri.“Sabar, Sayang. Kita pasti bisa menemukannya,” sahut Ello.Ello mengusap bahu Asri, mereka terus berjalan menyusuri jalanan yang cukup sepi. Sengaja mereka tidak membawa kendaraan, mereka ingin menyisir tempat tersebut tanpa terlewati sedikit pun.“Sudah jauh kita berjalan, tapi anak kita belum ketemu, Mas. Aku khawatir, selama ini dia makan apa, tidur di mana, dan … apakah dia ketakutan dan kedingin

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 199 Keajaiban

    Gerakan tangan Asri berhenti dengan tiba-tiba . Terdiam dengan tatapan tak percaya. Terasa mimpi. Namun, ini nyata.Matanya menatap tubuh Ello, lalu beralih menatap petugas pemandi jenazah yang tengah sibuk membersihkan jenazah Ello.“Pak, berhenti!” pinta Asri.Petugas pemandi jenazah itu berhenti, menatap heran ke arah Asri.“Kenapa, Bu?” tanyanya.“Suamiku masih hidup, detak jantungnya masih terasa. Tolong hentikan, bawa kembali ke ruangan tadi,” jawab Asri.Kedua petugas rumah sakit itu saling melempar pandang.“Saya yakin, Pak. Coba sentuh dada suami saya. Saya … merasakan jantungnya masih berdetak. Demi Tuhan, saya tidak bohong,” lanjut Asri.Salah satu petugas yang memandikan Ello pun menuruti permintaan Asri. Menyentuh tubuh Ello di bagian dada.Matanya terbelalak tak percaya. Lantas melirik ke arah temannya, mengangguk kecil sebagai isyarat bahwa perkataan Asri memang benar adanya.“Benar kan, Pak?” tanya Asri.“Ya, sepertinya suami Ibu mengalami mati suri. Sebaiknya kita baw

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 198 Wajah Itu

    “Mas!” gumam Asri.Semua yang ada di ruangan itu menoleh. Asri menatap satu persatu keluarga Ello yang tengah menatapnya dengan derai air mata.“Apa yang terjadi?” tanya Asri dengan bibir gemetar.Tubuhnya mematung, degup jantung yang tiba-tiba bertalu hebat. Kemudian lemas saat Erina berbicara dengan suara yang cukup lantang.“Ke mana saja, kamu? Puas kamu melihat anakku terbujur kaku seperti ini?!” sentak Erina.Deg!Jantung Asri serasa berhenti berdetak detik itu juga. Begitu juga dengan Gala, wajahnya memucat saat mendengar kenyataan, bahwa kakaknya telah tiada.“Mas Ello meninggal?” tanya Asri.“Memangnya apa lagi? Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu meninggalkan anakku? Lihat dia, dia pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua. Ini semua gara-gara kamu!” Erina menunjuk-nunjuk ke wajah Asri.“Mami, Mami, tenang dulu, Mam. Jangan emosi, kita berikan kesempatan dulu buat Mbak Asri untuk melihat jenazah Mas Ello untuk yang terakhir. Mami duduk dulu!” Nabila membawa Erina ke sofa.Asri

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 197 Kembali

    “Sialan! Pembunuh! Kamu telah membunuh janinku dan kamu telah meracuniku sampai aku dikira gila!” hardik Asri.“Asri, Asri, tenangin diri kamu dulu!” pungkas Gala.Asri tak habis pikir dengan penjelasan bu Ara. Wanita yang ia kira baik, ternyata dialah yang membuatnya hancur dan terpisah dari suami dan anaknya.“Maafkan saya, Nak Asri. Saya juga seorang Ibu, saya takut terjadi hal yang buruk sama Claudia. Sekarang dia berada jauh dari saya, dia bersama orang-orang suruhan mas Reno. Dia pun sama tersiksanya, dia terpaksa menjalankan rencana busuk mas Reno, menjaga rumah untuk kamu dan mas Reno. Jika kamu tanya apakah saya menyesal telah melakukan hal ini? Ya, jujur saya sangat menyesal. Seandainya kamu mau menghukumku, tidak apa, saya pantas mendapatkannya, asal anakku yang jauh di sana aman. Bara juga, dia terpaksa melakukan hal ini, karena dia takut sama mas Reno,” ucap bu Ara.Asri membuang muka ke arah lain. Senyuman miring terukir di wajahnya yang tersirat kebencian.“Bara … Bara

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 196 Terpaksa

    “Tidak ada siapa-siapa di sini,” ujar Adit.Mereka berdua masuk ke dalam ruangan itu. Hanya ada kursi dan juga sebuah ranjang kecil, dengan tali beberapa meter yang tergeletak di lantai.“Apa maksud bu Ara, menyuruh kita ke sini, kalau tidak ada apa-apa di sini?” tanya Adit.“Entahlah, aku juga tidak paham,” jawab Gala.Gala menghembuskan napas kasar. Seperti sia-sia saja mereka mengendap-endap masuk ke dalam ruang bawah tanah itu. Tidak ada apa pun, dan … mereka merasa tertipu dengan permintaan bu Ara.“Sebaiknya kita kembali ke atas, kita tanyakan sama bu Ara,” ajak Gala.Adit mengangguk, mereka berdua pun berjalan keluar dari ruangan itu.“Ampun!”Langkah Gala dan Adit terhenti. Samar-samar sebuah suara muncul di dalam ruangan itu.“Kamu … dengar sesuatu, Dit?” tanya Gala.Adit mengangguk.“Ya, aku mendengarnya, seperti suara seorang lelaki,” jawab Adit.Mereka berdua mengedarkan pandangan. Tak ada siapa pun. Namun, mereka yakin mendengar suara seseorang di dalam sana.“Dari mana a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status