LOGINAsri mendekat ke arah pintu kamar tamu. Dengan gerakan hati-hati, ia menempelkan sebelah telinganya pada celah pintu yang sedikit terbuka.
“Bagaimana, Dirga? Kami sudah bela-belain bangun tengah malam untuk mendiskusikan rencana ini, karena kami ingin memberikan solusi terbaik buat kamu. Ibu sudah bicara dengan kedua orang tua Vina, dan mereka setuju jika Vina menikah dengan kamu,” ujar bu Tami. Nyes! Hati Asri mencelos, kaget dengan apa yang ia dengar barusan sangat menyayat hati. Asri mengepalkan kedua tangannya. Namun, ia redam emosi itu, karena ingin mendengar jawaban dari Dirga seperti apa. Apakah Dirga akan menyetujui rencana itu? “Tapi … Asri sedang mengandung anakku, Bu. Bagaimana dengan dia?” tanya Dirga. “Alah … masalah Asri itu gampang. Kamu ceraikan saja dia, beres, kan? Lagian, apa sih yang kamu pertahankan dari wanita itu? Kaya enggak, miskin iya. Pertahanin anak? Vina juga bisa memberikan kamu anak. Nih Mbak kasih tahu, ya, sama kamu. Kamu itu beruntung, Dir, bisa dicintai oleh wanita cantik dan sukses seperti Vina, masih gadis, lagi. Selain dia cinta sama kamu, kamu bisa lihat sendiri, dia juga sangat perhatian sama si kembar. Lantas, apa lagi yang harus kamu pertimbangkan?” timpal Debi. “Benar kata Mbakmu, Dir. Kamu dan Vina kan dulu pernah pacaran. Jadi kalian pasti sudah mengetahui tentang diri kalian satu sama lain. Tunggu apa lagi? Mas ingin yang terbaik buat kamu. Mas sayang sama kamu. Jangan karena si pembawa sial itu, kamu berat untuk memutuskan,” sahut Ferdi. Dirga terdiam dengan posisi membelakangi pintu. Sejenak ruangan itu hening, hanya menyisakan suara denting jam yang memenuhi atmosfer. Asri ingin menangis dan berteriak sekarang mungkin. Namun, ia berusaha kuat. “Ya sudah, aku mau!” jawab Dirga akhirnya. Asri terbelalak, air matanya meleleh tanpa bisa ditahan lagi. Namun, ia segera menyekanya. Tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para manusia tidak punya hati itu. Dengan kasar, Asri membanting pintu kamar tamu, membuat semua terkejut dan serempak menoleh ke arah Asri. Asri bertepuk tangan dengan senyum terluka. “Bagus, kalian. Hebat sekali dengan rencana kalian. Kalian pikir, si pembawa sial ini tidak akan tahu tentang ini? Kalian salah besar! Aku memang miskin, tapi setidaknya aku bukan pelakor seperti Vina. Lucu sekali dunia ini, di saat orang-orang menginginkan kelahiran anggota keluarga baru. Tapi kalian malah menyusupkan pelakor dalam rumah tanggaku. Mas Dirga, aku tahu kamu dan Vina pernah pacaran, aku dengar itu. Aku sudah dengar semuanya. Lebih mirisnya lagi, kamu bersedia menikahi Vina. Hebat kamu, Mas!” ujar Asri. Dirga terdiam mematung menatap kedatangan Asri. Sementara Vina, ia tampak acuh dengan keadaan yang terjadi. “Nak, dengarkan dulu. Kami tidak bermaksud-” “Cukup, Bu. Berhenti berpura-pura manis kepadaku di depan Mas Dirga, kalau kenyataannya di belakangnya, Ibu selalu bersikap kasar padaku. Sebagai ibu, Ibu harusnya menjadi tempat ternyaman bagi anak-anaknya. Tapi yang terjadi apa? Ibu malah menjadi duri dalam daging di dalam rumah tangga anakmu sendiri. Hanya karena aku miskin, pikiran kalian menjadi dangkal seperti ini!” potong Asri. “Cukup! Aku bilang cukup!” bentak Dirga. Dirga beranjak lalu mendekat ke arah Asri. Tanpa diduga, Dirga tiba-tiba mencengkram dagu Asri. Tatapan kebencian begitu kentara yang terlihat dari wajah Dirga. Membuat Asri terkejut bukan main. “Beraninya kamu menyalahkan Ibuku. Dengar, Asri … jangan pernah sekali-sekali kamu kurang ajar sama Ibuku. Apa pun yang Ibuku katakan, itu adalah bentuk kasih sayangnya padaku. Sedangkan kamu … kamu hanya pembawa sial di hidupku!” sentak Dirga. Asri menepis kasar tangan Dirga. Sakit di hatinya berubah menjadi amarah. “Tega kamu, Mas. Kamu sendiri yang memilihku, tapi kamu juga menghinaku! Silahkan teruskan rencana kalian! Berbahagialah, semoga karma tidak datang pada kalian!” Asri keluar dari kamar itu, lalu kembali membanting pintu hingga membuat semua orang terkejut. Asri keluar dari rumah, tak peduli walau pun waktu masih menunjukkan waktu tengah malam. “Jahat!” gumam Asri, sejenak ia membalikkan badan ke arah rumah bu Tami. Menatapnya dengan bibir bergetar menahan sedih dan marah. Asri menghembuskan napas panjang, diayunkannya kedua kaki menjauh dari pelataran rumah. Walau pun keadaan di luar sangat sepi, akan tetapi itu akan jauh lebih baik, daripada harus berada di rumah itu bersama orang-orang toxic. Air mata yang sedari tadi Asri tahan, kini telah keluar dengan derasnya. Segala kesakitan yang ia rasakan, ia tumpahkan di keheningan malam. Langkah Asri terasa melayang, ditemani hembusan angin malam yang menerpa wajahnya. Tak terasa Asri telah jauh melangkah. Tidak ada tujuan untuk ia singgahi. “Tolong!” Asri mengangkat wajahnya, menoleh ke segala arah saat terdengar samar-samar suara seseorang meminta tolong. Namun, Asri tidak melihat siapa pun di tempat itu. Di sisi kiri kanan tempat Asri berdiri hanya deretan pohon besar yang berdiri tegak serta daun tertiup angin. “Mungkin aku salah dengar,” gumam Asri. Asri melanjutkan langkahnya walau pun tidak ada tujuan. Rasa sakit itu kembali ia ingat. Membuatnya kembali mengeluarkan suara isak tangis. Hingga ia berada di depan sebuah mobil yang terparkir di jalan berbelok. Asri melihat seorang pria paruh baya tengah menarik seseorang di bibir jurang tak jauh dari jalan itu. Pria itu tampak kepayahan, membuat Asri penasaran dan segera mendekatinya. “Ya ampun, ada apa ini, Pak?” tanya Asri. Pria itu menoleh, lantas kembali fokus menarik seseorang di bibir jurang itu. “Tolong, majikan saya.” Asri terbelalak, terlihat seorang nenek-nenek sedang berjuang mempertahankan dirinya supaya tidak jatuh. “Sini, biar saya bantu!” seru Asri. Asri membantu menarik tangan si nenek. Cukup lama ia dan pria paruh baya itu berjuang dengan keringat bercucuran dan mengerahkan seluruh tenaga. Hingga akhirnya mereka berhasil menyelamatkan si nenek. Kini si nenek duduk bersandar di luar mobil. “Terima kasih, Nak. Kalau kamu tidak datang membantu, mungkin saya sudah jatuh dan meninggal di bawah sana,” ucap si nenek. “Sama-sama, Nek. Em … kenapa Nenek bisa jatuh seperti itu?” tanya Asri. Si nenek menjelaskan, “Tadi mobil saya mengalami pecah ban. Sopir saya menggantinya di sini, dan saya keluar dari mobil. Saya duduk menunggu di pembatas jalan, tapi lama kelamaan kepala saya merasa pusing. Tubuh saya oleng dan nyaris terjatuh ke dalam sana. Untung ada Pak Ujang dan kamu, Nak, yang berhasil menolong saya.” “Lain kali Nenek hati-hati, ya. Tapi syukurlah Nenek selamat. Ya sudah kalau begitu saya permisi, Nek!” pamit Asri. Asri mulai melangkahkan kakinya hendak pergi meninggalkan si nenek. Namun, dengan cepat si nenek menarik tangan Asri lalu membawa masuk Asri ke dalam mobil. “Kamu tidak bisa pergi begitu saja dari saya, Nak!”Asri dan Ello terperangah, sangat penasaran dengan wajah orang yang dipanggil om oleh Rain.“Rain serius?” tanya Asri.“Iya, Papa tanya apa barusan? Rain tidak dengar,” ujar Rain.Asri dan Ello menghembuskan napas kasar.“Om itu pernah nunjukin mukanya tidak sama Rain? Wajahnya seperti siapa? Apakah … Papa dan Mama juga mengenalnya?” tanya Ello.Rain menggelengkan kepalanya.“Tidak, Pa. Om itu tidak mau membuka penutup wajahnya. Katanya dia seorang ninja,” jawab Rain.Ello dan Asri semakin khawatir dibuatnya. Asri mengedarkan pandangan, mencari seseorang di rumah itu.“Sus! Sus Reni!” teriak Asri.Dari arah belakang, baby sitter Rain berlari menemui Asri.“Ya ampun, Bu Asri sudah pulang? Syukurlah Bu Asri sudah sembuh. Saya sangat khawatir dengan keadaan Ibu,” sapa baby sitter, tampak antusias atas pulangnya Asri dari rumah sakit.“Ya, saya sudah pulang. Jawab saya, Sus Reni, apakah kamu selalu menjaga Rain? Menemani Rain bermain, tidur? Apakah kamu mengurus Rain dengan benar?” tanya
“Jadi bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Ello. Pagi itu Ello tengah berada di dalam ruangan dokter.“Pak Ello bisa melihatnya sendiri. Ini hasilnya!” Seorang dokter menyerahkan hasil lab tentang air putih kepada Ello.Ello mengulurkan tangan, menerimanya, membukanya lalu mulai membacanya.Begitu fokus saat membaca hasil itu. Ello mengernyitkan dahi, wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan. Kepalanya beberapa kali menggeleng pelan.“Kok bisa, Dok?” tanya Ello, masih terus memandangi kertas itu.“Iya, Pak Ello. Memang tidak ada kandungan berbahaya apa pun di dalam air itu. Kami telah memeriksanya secara teliti. Memang hasilnya air itu aman,” jawab dokter.Ello mengangkat wajahnya, ia termenung untuk beberapa saat.“Tapi istri saya keguguran setelah meminum air itu, Dok. Kok bisa air itu aman-aman saja?” Ello masih tak habis pikir.“Kami tidak mungkin main-main dalam melakukan pekerjaan ini, Pak. Ini memang hasilnya, sangat akurat! Mungkin penyebab istri Anda keguguran, akibat dari faktor lai
“Asri! Apa-apaan, kamu?!” sentak Ello.Untuk yang pertama kali sejak menikah, Ello membentak Asri begitu kasar. Asri terbelalak melihat sikap Ello.Bu Ara terkejut dengan apa yang dilakukan Asri padanya. Niat baiknya malah berujung sebuah tamparan yang cukup keras di wajahnya yang ia terima.“Bu Ara tidak apa-apa?” tanya Ello. Ia membantu wanita tua itu bangun.“Nak Asri kenapa tampar saya?” tanya bu Ara, masih memegangi sudut bibirnya yang terasa sakit.Asri hanya diam, sambil terus menatap bu Ara.“Asri, kenapa kamu menampar Bu Ara? Padahal Bu Ara baik, loh! Malam-malam seperti ini, Bu Ara bela-belain datang ke sini, hanya untuk melihat keadaan kamu. Seperti itu balasannya yang kamu lakukan?” tanya Ello.Asri menggelengkan kepalanya.“Tidak, dia Tari! Dia adalah Tari!” tunjuk Asri ke arah bu Ara.Ello mengernyitkan dahinya, saling melempar pandang dengan bu Ara.“Tari? Siapa Tari?” tanya bu Ara.“Ah, em … maafkan sikap istriku, Bu Ara. Bu Ara sebaiknya duduk dulu, biar saya tenangin
Sesampainya di sebuah kantin, bergegas Ello memesan makanan. Ia tak ingin membuang-buang waktu lebih lama dengan meninggalkan Asri seorang diri. Apalagi yang ia tahu, kondisi Asri saat ini tidak memungkinkan untuk ditinggal sendiri.“Halo, Mam. Asri keguguran, aku sangat kehilangan calon bayiku!”Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, Ello menyempatkan diri memberi kabar kepada Erina. Bagaimana pun, keluarganya harus tahu soal itu.“Apa?! Ya Tuhan, kok bisa, Ello? Kenapa Asri bisa sampai keguguran? Lalu … bagaimana keadaan Asri sekarang? Mami sekarang lagi di luar kota, kerabat Mami sedang ada acara. Mami dan papi belum bisa mengunjungi kalian,” sahut Erina di seberang telepon.“Aku juga tidak mengerti, Mam. Semua tampak aneh. Asri mengaku mendapatkan surat misterius dari seseorang, setelah membacanya, ia mengalami pendarahan hebat. Asri mengaku, sebelum menemukan surat itu, dia sempat meminum air putih di dalam kamar,” terang Ello.“Surat? Dari siapa? Dan … air putih itu, apaka
Ello terkesiap mendengar nama tak asing yang diucapkan Asri. Tidak menyangka, jika Tari yang melakukan ini. Mungkin wanita itu ingin balas dendam atas apa yang menimpanya. Namun, Ello mengernyitkan dahinya, ada satu hal yang mengganjal di dalam benaknya.“Em … Sayang, kamu yakin?” tanya Ello.Asri mengangguk mantap, tidak ada keraguan di dalam dirinya.“Tapi Tari kan masih dalam masa hukuman. Tidak mungkin secepat itu dia keluar, dan … tahu dari mana dia, kalau kita tinggal di kota ini,” imbuh Ello.Asri menggelengkan kepala, membantah ucapan Ello.“Tidak, Mas. Aku sangat yakin itu Tari. Masa hukuman bisa dikurangi, atau bisa jadi dengan tebusan, Tari bisa bebas. Tidak menutup kemungkinan, ada keluarga atau siapa pun yang kenal dengan Tari, dia menebusnya. Entah tahu dari siapa, jika Tari mau, dia pasti akan menemukan keberadaan kita. Mas, aku … aku takut dia mencelakaiku atau Rain. Jika aku mati, dia akan merebutmu lagi dariku. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh di pelukan Tari lagi,
“Asri, sayang, kenapa kamu ada di sini? Kenapa tubuhmu sampai basah seperti ini?”Ello berlari mendekati Asri, tampak Asri menggigil dengan wajah berwarna pucat.“Mas, dia ada di sini! Dia ada di sini! Dia yang membuatku keguguran. Dia … dia, dia juga ingin membunuhku! Tidak, kalau aku mati, dia akan merebutmu dariku. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi,” ujar Asri, matanya beberapa kali membeliak.Raut wajah ketakutan, terpancar nyata di wajah Asri. Beberapa kali wanita itu mengedarkan pandangan, seperti mencari seseorang di dalam toilet itu.“Sayang, apa maksud kamu? Sebaiknya kita keluar dari sini, ganti baju, kamu kedinginan. Kamu harus banyak istirahat,” pungkas Ello.Awalnya Asri menolak untuk keluar. Ia terus meracau tak jelas. Ello pun membopong tubuh Asri, memindahkannya ke dalam kamar.“Jangan seperti tadi lagi, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Sekarang kamu harus makan, jangan banyak pikiran,” ujar Ello, setelah selesai mengganti pakaian Asri.Ello mulai mengaduk m







