Asri terbelalak, nenek itu tersenyum aneh ke arahnya.
“Ma-maksud Nenek apa? Tolong biarkan saya keluar dari sini,” mohon Asri. Asri mulai ketakutan dengan sikap aneh yang ditunjukkan nenek itu. Takut jika nenek tersebut adalah orang jahat, dan Asri telah salah menolongnya. Baru saja nenek itu hendak membuka suara. Tiba-tiba seseorang membuka pintu mobil. “Oma! Oma tidak apa-apa? Tadi Pak Ujang menghubungiku dan memberitahu kalau Oma jatuh ke jurang,” ujar seorang lelaki muda. “Ello, syukurlah kamu ke sini, Nak. Oma tidak apa-apa. Beruntung ada dia yang menolong Oma. Perkenalkan, ini Ello, Nak, cucuku!” Asri mengangguk pelan seraya tersenyum kecil ke arah lelaki yang bernama Ello. Nenek itu pun kembali berbicara kepada Asri. “Jangan takut, Nak. Saya bukan orang jahat. Kamu pasti berpikir aneh-aneh. Tidak apa-apa, saya mengerti. Saya tidak bermaksud menakut-nakutimu. Hanya saja, saya tidak akan membiarkan kamu pergi sebelum kamu mendapatkan sesuatu dari saya,” ujar nenek itu. “Maaf, Nek. Maksudnya apa?” tanya Asri. Nenek itu membuka tasnya. Lalu mengeluarkan selembar kertas dan memberikannya kepada Asri berikut sebuah pulpen. “Kamu tulis nominal uang yang kamu inginkan. Kamu bisa cairkan uangnya di bank,” jawab si nenek. Asri terpaku pada kertas itu, padahal ia tidak meminta apa pun dari nenek itu. Asri menolongnya karena rasa kemanusiaan. “Ayok terima, Nak. Kamu bebas menulis nominalnya berapa pun yang kamu inginkan,” ujar nenek itu. “Jangan, Nek. Saya tidak bisa menerimanya, saya ikhlas menolong Nenek,” tolak Asri. Nenek itu menggelengkan kepalanya, lantas menuliskan nominal uang pada cek itu, kemudian ia menandatanganinya, menyerahkannya secara paksa kepada Asri. “Saya tidak menerima penolakan. Kamu telah berjasa menyelamatkan nyawa saya!” Ello berdecak, ia pun menimpali, “Sudahlah, Oma. Dianya juga tidak mau, jangan dipaksa.” Oma Nira, nama perempuan tua tersebut, menatap tajam cucunya itu, sebelum akhirnya kembali menatap Asri lembut. “Nak, siapa nama kamu?” tanya Oma Nira. “Saya Asri, Nek!” jawab Asri sambil menatap cek di genggaman tangannya. “Saya Oma Nira, panggil saja Oma. Em … wajah kamu merah, seperti habis nangis. Kamu sedang ada masalah? Ini tengah malam, kenapa kamu keluar sendirian? Apakah kamu tidak takut ada orang jahat?” tanya oma. Asri menundukkan kepalanya, kembali masalah tentang Dirga dan keluarganya muncul di ingatan. Asri terdiam dengan menahan luka hati yang menganga. “Kenapa diam, Nak? Bicara sama Oma, mungkin Oma bisa membantu,” ujar oma. Sementara Ello hanya diam memperhatikan dengan bosan. Asri masih terdiam tanpa ada niat untuk menjelaskan perihal masalahnya. Namun, tangan oma Nira terulur dan mengangkat dagu Asri supaya bisa melihat matanya. “Aku … aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” dusta Asri. “Hidupku sudah lebih lama dari pada kamu. Oma tidak bisa dibohongi. Jelas kamu sedang mengalami masalah. Dari mata kamu saja, Oma bisa melihatnya. Coba kamu jelaskan kepada Oma. Tenang, Oma bukan tipe orang yang suka menyebarkan aib. Oma akan menjadi pendengar yang baik,” imbuh oma. Asri sudah tidak tahan lagi, air matanya kembali meluncur. Ia menangis sesenggukan di hadapan oma. “Aku tak pernah meminta dihormati, Oma. Aku cuma ingin dianggap manusia,” gumam Asri, suaranya nyaris tak terdengar. “Tapi di mata keluarga suamiku, aku hanya pembawa sial. Kegagalan suamiku jadi dosaku. Dan ternyata, mereka tak sabar menggantikanku dengan wanita lain. Padahal saat ini aku tengah mengandung. Sakit hatiku semakin memuncak, aku nekat pergi dari rumah,” jelas Asri. Oma Nira mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. Mendengar cerita pilu Asri, Oma merasa sedih. Oma pun lantas memeluk Asri. “Nak … kamu yang sabar, ya. Ternyata kisah hidup kamu jauh lebih berat. Oma ikut prihatin dengan yang kamu alami,” ucap oma. “Sudah mengarang cerita sedihnya? Ayo kita pulang Oma, lebih cepat lebih baik,” ucap Ello sembari bersiap meninggalkan keduanya menuju mobilnya. “Jangan dengarkan cucuku itu, dia memang begitu sejak lahir.” Tangan Oma Nira mengusap lembut pundak Asri. “Ini sudah dini hari, sekarang kamu mau ke mana sendirian seperti ini?” tanya oma. Asri pun bingung, harus ke mana lagi ia melangkahkan kakinya. Ia tidak memiliki tempat tujuan. Kembali ke rumah bu Tami, besar kemungkinan mereka akan menertawakannya dan semakin menginjak-injak harga dirinya. “Aku tidak tahu, Oma. Aku tidak memiliki tempat tinggal,” jawab Asri. Oma Nira merapikan rambut Asri yang terlihat berantakan. “Begini saja, bagaimana kalau kamu tempati saja rumah Oma. Kebetulan tidak jauh dari sini, Oma memiliki rumah yang tadinya Oma bangun untuk investasi. Dari pada dibiarkan kosong, lebih baik kamu tempati. Oma akan urus-urus surat-surat rumah itu menjadi atas nama kamu. Tinggallah dengan nyaman di sana,” ujar oma Nira. Mendengar itu, Asri maupun Ello seketika terperangah. Asri tak menyangka, tindakan yang ia anggap sebagai bantuan biasa membawanya ke situasi seperti ini! “Jangan tertipu oleh cerita sedihnya, Oma! Bagaimana kalau tujuan dia memang mengeruk harta Oma?!” tanya Ello dengan wajah gusar. “Tidak, Oma. Jangan seperti itu, itu bukan hakku. Tidak apa-apa, mungkin aku akan mencari kontrakan murah.” Melihat reaksi Ello yang marah, Asri buru-buru menolak pemberian Oma Nira. Toh, memang dia tidak mengharapkan imbalan apa-apa atas batuannya. Mendengar penolakan Asri, Oma memegang tangan Asri dengan lembut. “Kamu memang berbeda. Kedatanganmu seperti malaikat penyelamat buat Oma. Jangan tolak pemberianku lagi—rumah dan uang itu hakmu. Jadikan itu modal untuk bangkit, dan tunjukkan pada orang-orang itu kalau kamu bukan pembawa sial, tapi wanita hebat yang layak dihormati.” Cukup lama Asri berpikir, lantas ia pun kembali bersuara, “Terima kasih, Oma. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Iya, aku akan mempergunakan uang ini dengan baik. Aku akan memulai usaha. Akan aku buktikan bahwa anggapan keluarga suamiku salah.” “Prinsipnya cuma bertahan sampai tujuannya tercapai. Kalau Oma mau bantu, minimal pilih orang yang nggak terlihat murahan saat dihujani harta,” ucap Ello seraya mendecak jengkel. “Ello, ini sudah keputusan Oma. Suka atau tidak, ini terserah Oma. Lebih baik kamu diam!” Malam itu, oma Nira segera membawa Asri ke rumah yang dimaksud. Asri tampak takjub dengan ukuran dan desain rumah itu yang sangat besar dan mewah. “Oma, ini bagus sekali. Terima kasih, Oma,” ucap Asri. “Sama-sama, Nak. Ini kuncinya, oh iya, ini nomor Oma. Jika ada sesuatu yang kurang, boleh hubungi Oma. Kalau begitu, Oma mau melanjutkan perjalanan pulang. Semoga kamu nyaman tinggal di sini. Ingat kata-kata Oma tadi, tampar kesombongan mereka dengan kesuksesanmu." Wanita tua itu pun pergi bersama sopirnya. Sementara Asri, ia pun memutuskan untuk masuk. Namun, tanpa diduga Ello menarik tangannya. “Jangan senang dulu, sebelum menempati rumah ini, baiknya kamu pertimbangkan lagi. Kamu tidak ada hak atas semua ini,” bisik Ello, lalu ia pergi dari hadapan Asri. Asri merasa tidak enak terhadap Ello. Namun, karena lelah, ia pun masuk ke dalam untuk istirahat. Keesokan harinya, Asri telah berada di bank, untuk mencairkan cek. Setelah uang didapat, hal pertama yang ia lakukan menjadikan uang-uang itu sebagai tabungan. Asri kembali ke rumah bu Tami untuk mengambil semua bajunya. Sesampainya di rumah bu Tami, hal pertama yang menyambut kedatangan Asri adalah sebuah kejutan yang membuat Asri merasa muak. “Pembawa sial, dari mana saja, kamu?” tanya bu Tami, ia melempar pakaian kotor ke wajah Asri, spontan buku tabungan yang ada di genggaman Asri terlempar ke lantai. Asri sangat panik saat bu Tami melihat buku tabungan itu. “Buku tabungan? Punya siapa itu?” Bu Tami mengambilnya. “Kembalikan, itu punyaku!” ujar Asri. Bu Tami melirik sekilas, senyuman sepele tersungging dari bibir tuanya. “Berapa sih isinya, sampai mukanya kayak syok gitu? Paling juga sedikit!” cetus bu Tami, tangannya mulai membuka buku tabungan itu.“M-mas Ello,” gumam Asri.Asri tidak menyadari kedatangan Ello. Tiba-tiba saja lelaki itu telah berada di belakangnya. Ia terlalu fokus menatap ponselnya, hingga suara pintu terbuka pun, ia tidak mendengar.“Senang menjadi orang kaya baru?” tanya Ello.Asri tidak menjawab, melihat sikap Ello yang tidak bersahabat dari awal, membuatnya merasa tidak nyaman.Ello pun duduk di seberang Asri. Bersikap santai dan dingin dengan sebelah kaki bertumpu pada kaki satunya lagi.“Kenapa diam?” tanya Ello.“A-aku … aku ….”“Sudah aku duga, kau hanya menjual kesedihan kamu saja. Demi mendapatkan harta oma, kamu rela menjatuhkan harga dirimu. Padahal kamu masih punya suami. Tidak sepantasnya kamu mengemis harta dari orang lain,” cetus Ello.Perasaan Asri begitu sakit mendengar perkataan dari lelaki itu. Namun, jika ia tidak menerima uang dan rumah pemberian oma Nira, mungkin saat ini Asri masih tinggal di ujung telunjuk keluarga Dirga.Asri menghela napas panjang, berusaha tegar dengan semua ucapan y
“Baiklah!” seru si nenek menyetujui.Bibir lelaki itu melengkung membentuk sebuah senyuman. Ia yakin, usahanya menghasut orang-orang lewat si nenek, akan berhasil dan membawa mereka kembali untuk menjadi pelanggannya.“Nah … gitu dong, Nek. Sebentar, ya,” ucap Dirga.Dirga merogoh saku celananya, mengambil dompet dan meraup isinya. Tidak masalah uang hasil berjualan tadi, ia akan kasih kepada si nenek, asalkan orang-orang kembali berbelanja di toko miliknya, pikir Dirga.“Ini, Nek. Uang buat Nenek, nanti bajunya nyusul. Setelah Nenek berhasil menghasut mereka, Nenek bisa ikut saya ke toko saya. Saya akan berikan baju-baju baru dan bagus buat Nenek,” lanjut Dirga.Si nenek tersenyum kecil, menatap sejumlah uang berwarna merah, sebanyak 2 lembar.“Ini ambil, Nek. Jangan sungkan, ini buat Nenek semuanya,” ujar Dirga.Bukannya meraih uang itu, si nenek malah meraih tangan Dirga.“Baiklah, Nak. Kalau begitu ikut Nenek juga ke kantor polisi. Kita bicarakan ini di sana saja. Bagaimana?” tany
"Sinar Asri Fashion? Aku baru tahu kalau ada toko baju bernama Sinar Asri Fashion. Sejak kapan ada toko pakaian itu?” gumam Dirga.Dirga membaca caption yang tertera di postingan itu. Ternyata toko itu belum lama buka dan baru-baru ini viral. Namun, Dirga baru tahu akan hal itu. Tampak di postingan tersebut, banyak orang-orang berbondong-bondong memasuki toko tersebut.Dari mulai anak-anak hingga dewasa, tampak dalam postingan itu mereka membludak mendatangi toko tersebut.“Jl. Gagak nomor 15? Ini kan tidak begitu jauh dari sini. Apa mungkin pemicu toko baju ibu sepi, gara-gara ada toko ini?” gumam Dirga, pikirannya menduga-duga akan hal itu.Dirga menghela napas panjang, lantas menyimpan kembali ponselnya di saku celana.“Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau terus menerus dibiarkan seperti ini, bisa bangkrut toko pakaian ibuku. Tidak, aku harus mengambil tindakan sebelum semua itu terjadi!” Dirga berdiri lalu keluar dari kamarnya.Dengan langkah lebarnya, Dirga berjalan cepat melewati ibu
“Mas, apa yang kamu lakukan?” tanya Dirga, ia tak habis pikir dengan sikap Ferdi yang baru saja datang dan berubah kasar.Semua orang di rumah itu serempak berdiri, pusat perhatian mereka tertuju pada amarah anak sulung keluarga itu.“Diam kamu, Dirga! Tidak usah kamu membelanya. Wanita ini memang sangat pantas aku tampar. Bahkan lebih dari ini pun, dia pantas menerimanya!” tunjuk Ferdi ke arah wajah Debi.Debi memegangi pipinya, ia begitu terkejut dengan perlakuan kasar suaminya yang secara tiba-tiba.Semua orang tidak paham dengan permasalahan yang terjadi. Dirga lantas bertanya, “Memangnya apa yang dilakukan Mbak Debi?”“Iya, Ferdi, kenapa kamu menampar istri kamu? Apa yang dia lakukan? Di sini ada kedua anakmu, mereka melihat sikap kamu yang kasar. Apa kamu tidak kasihan sama mereka?” timpal bu Tami.Ferdi mengusap kasar wajahnya, lalu menoleh ke arah kedua anak kembarnya yang berdiri ketakutan di belakang tubuh Dirga.“Rina, Rani, sebaiknya kalian masuk ke dalam kamar!” titah Fer
“Mikir nggak, apa yang sudah kamu lakukan? Dengar, aku bisa dipecat gara-gara ini!” ujar Dirga, tampak kilat kemarahan di matanya.Debi membekap mulutnya sendiri, mata yang membulat, tatapan penuh keterkejutan.“Ma-maksud kamu, Mas?” tanya Debi, nada bicaranya berubah gugup.Ferdi mengusap kasar wajahnya, sorot matanya menyiratkan kemurkaan yang membara.“Dia adalah bosku, orang yang menggajiku selama aku kerja di perusahaannya. Dan sekarang kamu … kamu membuat masalah seperti ini!” desis Ferdi.Debi tertunduk, wajahnya memucat seiring ucapan Ferdi yang terlontar.“Kamu harus minta maaf sama bosku, bila perlu kamu sujud di kakinya,” ujar Ferdi.“A-aku … aku!” Debi menghela napas panjang.“Iya, aku akan minta maaf sama bos kamu. Aku tidak tahu kalau wanita itu adalah bos kamu, Mas. Aku pikir kalian ada hubungan spesial di belakangku,” sahut Debi.Wanita yang diketahui adalah atasan Ferdi pun keluar dari toilet. Ia berjalan melewati Ferdi dan hendak pergi menaiki taksi.“Bu, saya minta
“Terima kasih, Mbak!” ucap Asri, saat ia baru saja memesan makanan untuk dibawa pulang.Asri keluar dari sebuah restoran, lalu memasuki taksi online untuk mengantarnya ke toko milikinya.Sesampainya di toko, suasana terlihat lebih ramai dari sebelumnya. Di sana telah banyak pelanggan berdatangan untuk membeli baju-baju yang ada di sana.“Alhamdulillah ….”Senyuman Asri kian merekah saat rezeki itu berdatangan dengan sendirinya. Mereka sangat menyukai kualitas dan harga pakaian di toko miliknya.Asri segera masuk, ia kemudian menyimpan makanan itu ke dalam ruangan miliknya, lantas membantu dua karyawan baru yang ia rekrut beberapa hari ini, untuk melayani pembeli.“Silahkan, Mbak dilihat-lihat dulu. Ini ada banyak sekali model pakaian terbaru dengan kualitas bagus.” Asri menyapa salah satu pelanggan.“Em … model bajunya terlihat bagus-bagus, dengan bahan yang sepertinya sangat nyaman untuk dipakai. Ternyata benar kata teman-teman saya. Selain harga yang bersahabat, di sini banyak sekal