Share

Bab 5 Malaikat Penolong

last update Last Updated: 2025-07-14 09:26:18

Asri terbelalak, nenek itu tersenyum aneh ke arahnya.

“Ma-maksud Nenek apa? Tolong biarkan saya keluar dari sini,” mohon Asri.

Asri mulai ketakutan dengan sikap aneh yang ditunjukkan nenek itu. Takut jika nenek tersebut adalah orang jahat, dan Asri telah salah menolongnya.

Baru saja nenek itu hendak membuka suara. Tiba-tiba seseorang membuka pintu mobil.

“Oma! Oma tidak apa-apa? Tadi Pak Ujang menghubungiku dan memberitahu kalau Oma jatuh ke jurang,” ujar seorang lelaki muda.

“Ello, syukurlah kamu ke sini, Nak. Oma tidak apa-apa. Beruntung ada dia yang menolong Oma. Perkenalkan, ini Ello, Nak, cucuku!”

Asri mengangguk pelan seraya tersenyum kecil ke arah lelaki yang bernama Ello. Nenek itu pun kembali berbicara kepada Asri.

“Jangan takut, Nak. Saya bukan orang jahat. Kamu pasti berpikir aneh-aneh. Tidak apa-apa, saya mengerti. Saya tidak bermaksud menakut-nakutimu. Hanya saja, saya tidak akan membiarkan kamu pergi sebelum kamu mendapatkan sesuatu dari saya,” ujar nenek itu.

“Maaf, Nek. Maksudnya apa?” tanya Asri.

Nenek itu membuka tasnya. Lalu mengeluarkan selembar kertas dan memberikannya kepada Asri berikut sebuah pulpen.

“Kamu tulis nominal uang yang kamu inginkan. Kamu bisa cairkan uangnya di bank,” jawab si nenek.

Asri terpaku pada kertas itu, padahal ia tidak meminta apa pun dari nenek itu. Asri menolongnya karena rasa kemanusiaan.

“Ayok terima, Nak. Kamu bebas menulis nominalnya berapa pun yang kamu inginkan,” ujar nenek itu.

“Jangan, Nek. Saya tidak bisa menerimanya, saya ikhlas menolong Nenek,” tolak Asri.

Nenek itu menggelengkan kepalanya, lantas menuliskan nominal uang pada cek itu, kemudian ia menandatanganinya, menyerahkannya secara paksa kepada Asri.

“Saya tidak menerima penolakan. Kamu telah berjasa menyelamatkan nyawa saya!”

Ello berdecak, ia pun menimpali, “Sudahlah, Oma. Dianya juga tidak mau, jangan dipaksa.”

Oma Nira, nama perempuan tua tersebut, menatap tajam cucunya itu, sebelum akhirnya kembali menatap Asri lembut.

“Nak, siapa nama kamu?” tanya Oma Nira.

“Saya Asri, Nek!” jawab Asri sambil menatap cek di genggaman tangannya.

“Saya Oma Nira, panggil saja Oma. Em … wajah kamu merah, seperti habis nangis. Kamu sedang ada masalah? Ini tengah malam, kenapa kamu keluar sendirian? Apakah kamu tidak takut ada orang jahat?” tanya oma.

Asri menundukkan kepalanya, kembali masalah tentang Dirga dan keluarganya muncul di ingatan.

Asri terdiam dengan menahan luka hati yang menganga.

“Kenapa diam, Nak? Bicara sama Oma, mungkin Oma bisa membantu,” ujar oma. Sementara Ello hanya diam memperhatikan dengan bosan.

Asri masih terdiam tanpa ada niat untuk menjelaskan perihal masalahnya. Namun, tangan oma Nira terulur dan mengangkat dagu Asri supaya bisa melihat matanya.

“Aku … aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” dusta Asri.

“Hidupku sudah lebih lama dari pada kamu. Oma tidak bisa dibohongi. Jelas kamu sedang mengalami masalah. Dari mata kamu saja, Oma bisa melihatnya. Coba kamu jelaskan kepada Oma. Tenang, Oma bukan tipe orang yang suka menyebarkan aib. Oma akan menjadi pendengar yang baik,” imbuh oma.

Asri sudah tidak tahan lagi, air matanya kembali meluncur. Ia menangis sesenggukan di hadapan oma.

“Aku tak pernah meminta dihormati, Oma. Aku cuma ingin dianggap manusia,” gumam Asri, suaranya nyaris tak terdengar.

“Tapi di mata keluarga suamiku, aku hanya pembawa sial. Kegagalan suamiku jadi dosaku. Dan ternyata, mereka tak sabar menggantikanku dengan wanita lain. Padahal saat ini aku tengah mengandung. Sakit hatiku semakin memuncak, aku nekat pergi dari rumah,” jelas Asri.

Oma Nira mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. Mendengar cerita pilu Asri, Oma merasa sedih. Oma pun lantas memeluk Asri.

“Nak … kamu yang sabar, ya. Ternyata kisah hidup kamu jauh lebih berat. Oma ikut prihatin dengan yang kamu alami,” ucap oma.

“Sudah mengarang cerita sedihnya? Ayo kita pulang Oma, lebih cepat lebih baik,” ucap Ello sembari bersiap meninggalkan keduanya menuju mobilnya.

“Jangan dengarkan cucuku itu, dia memang begitu sejak lahir.” Tangan Oma Nira mengusap lembut pundak Asri.

“Ini sudah dini hari, sekarang kamu mau ke mana sendirian seperti ini?” tanya oma.

Asri pun bingung, harus ke mana lagi ia melangkahkan kakinya. Ia tidak memiliki tempat tujuan. Kembali ke rumah bu Tami, besar kemungkinan mereka akan menertawakannya dan semakin menginjak-injak harga dirinya.

“Aku tidak tahu, Oma. Aku tidak memiliki tempat tinggal,” jawab Asri.

Oma Nira merapikan rambut Asri yang terlihat berantakan.

“Begini saja, bagaimana kalau kamu tempati saja rumah Oma. Kebetulan tidak jauh dari sini, Oma memiliki rumah yang tadinya Oma bangun untuk investasi. Dari pada dibiarkan kosong, lebih baik kamu tempati. Oma akan urus-urus surat-surat rumah itu menjadi atas nama kamu. Tinggallah dengan nyaman di sana,” ujar oma Nira.

Mendengar itu, Asri maupun Ello seketika terperangah. 

Asri tak menyangka, tindakan yang ia anggap sebagai bantuan biasa membawanya ke situasi seperti ini!

“Jangan tertipu oleh cerita sedihnya, Oma! Bagaimana kalau tujuan dia memang mengeruk harta Oma?!” tanya Ello dengan wajah gusar. 

“Tidak, Oma. Jangan seperti itu, itu bukan hakku. Tidak apa-apa, mungkin aku akan mencari kontrakan murah.”

Melihat reaksi Ello yang marah, Asri buru-buru menolak pemberian Oma Nira. Toh, memang dia tidak mengharapkan imbalan apa-apa atas batuannya.

Mendengar penolakan Asri, Oma memegang tangan Asri dengan lembut.

“Kamu memang berbeda. Kedatanganmu seperti malaikat penyelamat buat Oma. Jangan tolak pemberianku lagi—rumah dan uang itu hakmu. Jadikan itu modal untuk bangkit, dan tunjukkan pada orang-orang itu kalau kamu bukan pembawa sial, tapi wanita hebat yang layak dihormati.”

Cukup lama Asri berpikir, lantas ia pun kembali bersuara, “Terima kasih, Oma. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Iya, aku akan mempergunakan uang ini dengan baik. Aku akan memulai usaha. Akan aku buktikan bahwa anggapan keluarga suamiku salah.”

“Prinsipnya cuma bertahan sampai tujuannya tercapai. Kalau Oma mau bantu, minimal pilih orang yang nggak terlihat murahan saat dihujani harta,” ucap Ello seraya mendecak jengkel.

“Ello, ini sudah keputusan Oma. Suka atau tidak, ini terserah Oma. Lebih baik kamu diam!”

Malam itu, oma Nira segera membawa Asri ke rumah yang dimaksud. Asri tampak takjub dengan ukuran dan desain rumah itu yang sangat besar dan mewah.

“Oma, ini bagus sekali. Terima kasih, Oma,” ucap Asri.

“Sama-sama, Nak. Ini kuncinya, oh iya, ini nomor Oma. Jika ada sesuatu yang kurang, boleh hubungi Oma. Kalau begitu, Oma mau melanjutkan perjalanan pulang. Semoga kamu nyaman tinggal di sini. Ingat kata-kata Oma tadi, tampar kesombongan mereka dengan kesuksesanmu."

Wanita tua itu pun pergi bersama sopirnya. Sementara Asri, ia pun memutuskan untuk masuk. Namun, tanpa diduga Ello menarik tangannya.

“Jangan senang dulu, sebelum menempati rumah ini, baiknya kamu pertimbangkan lagi. Kamu tidak ada hak atas semua ini,” bisik Ello, lalu ia pergi dari hadapan Asri.

Asri merasa tidak enak terhadap Ello. Namun, karena lelah, ia pun masuk ke dalam untuk istirahat.

Keesokan harinya, Asri telah berada di bank, untuk mencairkan cek.

Setelah uang didapat, hal pertama yang ia lakukan menjadikan uang-uang itu sebagai tabungan.

Asri kembali ke rumah bu Tami untuk mengambil semua bajunya.

Sesampainya di rumah bu Tami, hal pertama yang menyambut kedatangan Asri adalah sebuah kejutan yang membuat Asri merasa muak.

“Pembawa sial, dari mana saja, kamu?” tanya bu Tami, ia melempar pakaian kotor ke wajah Asri, spontan buku tabungan yang ada di genggaman Asri terlempar ke lantai.

Asri sangat panik saat bu Tami melihat buku tabungan itu.

“Buku tabungan? Punya siapa itu?” Bu Tami mengambilnya.

“Kembalikan, itu punyaku!” ujar Asri.

Bu Tami melirik sekilas, senyuman sepele tersungging dari bibir tuanya.

“Berapa sih isinya, sampai mukanya kayak syok gitu? Paling juga sedikit!” cetus bu Tami, tangannya mulai membuka buku tabungan itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 201 Momen Haru

    “Rain!” teriak Asri dan Ello.Di dalam gubuk tersebut, Rain tengah duduk di samping tubuh terbaring seorang lelaki dewasa.Lalat-lalat tampak berkerumun di ruangan itu. Ya, Asri bisa melihatnya dengan jelas. Lalat-lalat hijau itu tengah mengerubungi tubuh lelaki itu.Menahan mual, Asri dan Ello masuk ke dalam gubuk itu untuk menghampiri Rain.“Rain, kamu sedang apa di sini? Siapa dia?” tanya Ello.Asri memeluk Rain, menciumi wajahnya dengan tangisan haru.Di tempat itu pula, terdapat banyak kantong kresek berisi makanan dan obat. Ada beberapa di antaranya makanan itu telah dikerumuni belatung. Membuat Asri teringat akan obrolannya dengan pemilik warung tadi. Apakah mungkin anak yang dimaksud adalah Rain?Rain menoleh ke arah lelaki itu.“Itu Papa!” jawab Rain.Asri mengernyitkan dahinya, lantas Ello memastikan siapa lelaki yang dipanggil papa oleh Rain tersebut.Tubuh Ello seketika lemas, melihat wajah yang cukup ia kenali.“Sayang, dia Dirga!” ucap Ello.Asri terkejut, lantas ia pun

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 200 Bau Bangkai

    “Jangan sedih, kita pasti bisa menemukannya. Gunakan nalurimu, karena kamu Ibunya,” imbuh Ello.Setelah dokter mengizinkan pulang, Ello memulai pencarian Rain. Walaupun Asri telah melarangnya, dan menyuruhnya untuk istirahat. Namun, Ello bersikeras ingin mencari anak itu hingga berhasil ditemukan.“Rain, di mana kamu, Nak? Mama kangen sama kamu,” gumam Asri.Keluarganya pun berpencar mencari keberadaan Rain. Mereka berkelompok menjadi beberapa bagian, dan akan saling menghubungi jika ada kemungkinan Rain ditemukan.“Semua ini gara-gara Reno. Aku tidak akan pernah memaafkannya,” ujar Asri.“Sabar, Sayang. Kita pasti bisa menemukannya,” sahut Ello.Ello mengusap bahu Asri, mereka terus berjalan menyusuri jalanan yang cukup sepi. Sengaja mereka tidak membawa kendaraan, mereka ingin menyisir tempat tersebut tanpa terlewati sedikit pun.“Sudah jauh kita berjalan, tapi anak kita belum ketemu, Mas. Aku khawatir, selama ini dia makan apa, tidur di mana, dan … apakah dia ketakutan dan kedingin

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 199 Keajaiban

    Gerakan tangan Asri berhenti dengan tiba-tiba . Terdiam dengan tatapan tak percaya. Terasa mimpi. Namun, ini nyata.Matanya menatap tubuh Ello, lalu beralih menatap petugas pemandi jenazah yang tengah sibuk membersihkan jenazah Ello.“Pak, berhenti!” pinta Asri.Petugas pemandi jenazah itu berhenti, menatap heran ke arah Asri.“Kenapa, Bu?” tanyanya.“Suamiku masih hidup, detak jantungnya masih terasa. Tolong hentikan, bawa kembali ke ruangan tadi,” jawab Asri.Kedua petugas rumah sakit itu saling melempar pandang.“Saya yakin, Pak. Coba sentuh dada suami saya. Saya … merasakan jantungnya masih berdetak. Demi Tuhan, saya tidak bohong,” lanjut Asri.Salah satu petugas yang memandikan Ello pun menuruti permintaan Asri. Menyentuh tubuh Ello di bagian dada.Matanya terbelalak tak percaya. Lantas melirik ke arah temannya, mengangguk kecil sebagai isyarat bahwa perkataan Asri memang benar adanya.“Benar kan, Pak?” tanya Asri.“Ya, sepertinya suami Ibu mengalami mati suri. Sebaiknya kita baw

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 198 Wajah Itu

    “Mas!” gumam Asri.Semua yang ada di ruangan itu menoleh. Asri menatap satu persatu keluarga Ello yang tengah menatapnya dengan derai air mata.“Apa yang terjadi?” tanya Asri dengan bibir gemetar.Tubuhnya mematung, degup jantung yang tiba-tiba bertalu hebat. Kemudian lemas saat Erina berbicara dengan suara yang cukup lantang.“Ke mana saja, kamu? Puas kamu melihat anakku terbujur kaku seperti ini?!” sentak Erina.Deg!Jantung Asri serasa berhenti berdetak detik itu juga. Begitu juga dengan Gala, wajahnya memucat saat mendengar kenyataan, bahwa kakaknya telah tiada.“Mas Ello meninggal?” tanya Asri.“Memangnya apa lagi? Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu meninggalkan anakku? Lihat dia, dia pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua. Ini semua gara-gara kamu!” Erina menunjuk-nunjuk ke wajah Asri.“Mami, Mami, tenang dulu, Mam. Jangan emosi, kita berikan kesempatan dulu buat Mbak Asri untuk melihat jenazah Mas Ello untuk yang terakhir. Mami duduk dulu!” Nabila membawa Erina ke sofa.Asri

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 197 Kembali

    “Sialan! Pembunuh! Kamu telah membunuh janinku dan kamu telah meracuniku sampai aku dikira gila!” hardik Asri.“Asri, Asri, tenangin diri kamu dulu!” pungkas Gala.Asri tak habis pikir dengan penjelasan bu Ara. Wanita yang ia kira baik, ternyata dialah yang membuatnya hancur dan terpisah dari suami dan anaknya.“Maafkan saya, Nak Asri. Saya juga seorang Ibu, saya takut terjadi hal yang buruk sama Claudia. Sekarang dia berada jauh dari saya, dia bersama orang-orang suruhan mas Reno. Dia pun sama tersiksanya, dia terpaksa menjalankan rencana busuk mas Reno, menjaga rumah untuk kamu dan mas Reno. Jika kamu tanya apakah saya menyesal telah melakukan hal ini? Ya, jujur saya sangat menyesal. Seandainya kamu mau menghukumku, tidak apa, saya pantas mendapatkannya, asal anakku yang jauh di sana aman. Bara juga, dia terpaksa melakukan hal ini, karena dia takut sama mas Reno,” ucap bu Ara.Asri membuang muka ke arah lain. Senyuman miring terukir di wajahnya yang tersirat kebencian.“Bara … Bara

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 196 Terpaksa

    “Tidak ada siapa-siapa di sini,” ujar Adit.Mereka berdua masuk ke dalam ruangan itu. Hanya ada kursi dan juga sebuah ranjang kecil, dengan tali beberapa meter yang tergeletak di lantai.“Apa maksud bu Ara, menyuruh kita ke sini, kalau tidak ada apa-apa di sini?” tanya Adit.“Entahlah, aku juga tidak paham,” jawab Gala.Gala menghembuskan napas kasar. Seperti sia-sia saja mereka mengendap-endap masuk ke dalam ruang bawah tanah itu. Tidak ada apa pun, dan … mereka merasa tertipu dengan permintaan bu Ara.“Sebaiknya kita kembali ke atas, kita tanyakan sama bu Ara,” ajak Gala.Adit mengangguk, mereka berdua pun berjalan keluar dari ruangan itu.“Ampun!”Langkah Gala dan Adit terhenti. Samar-samar sebuah suara muncul di dalam ruangan itu.“Kamu … dengar sesuatu, Dit?” tanya Gala.Adit mengangguk.“Ya, aku mendengarnya, seperti suara seorang lelaki,” jawab Adit.Mereka berdua mengedarkan pandangan. Tak ada siapa pun. Namun, mereka yakin mendengar suara seseorang di dalam sana.“Dari mana a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status