Share

Bab 3 Tidak Peduli

last update Last Updated: 2025-07-14 09:22:18

“Rendangnya sudah habis, maaf, ya!” ucap Debi.

Serempak semua mata tertuju pada Asri. Namun, tidak satu pun dari mereka yang bersuara. Mereka lalu sibuk memulai makan tanpa ada yang menawari. Bahkan Dirga sama sekali tidak berkomentar.

“Ma, aku mau nasinya yang banyak,” ujar Rani.

Asri menghela napas panjang, rasa sesak di dada begitu terasa.

“Aku ke belakang dulu!” pamit Asri.

Asri melenggang pergi ke belakang, hatinya semakin sakit. Ini bukan soal rendang. Namun, setidaknya Dirga bersuara walau pun itu hanya basa-basi. 

Setelah Asri sampai dapur, terdengar pula dari ruang makan, Dirga dan Vina tengah mengobrol sambil makan, dengan diselingi tawa. Sangat kontras dengan janji yang diucapkan Dirga, untuk menjaga jarak dengan Vina.

“Kenapa pernikahanku harus penuh dengan luka? Mas Dirga yang baik berubah setelah dia dipecat dari pekerjaannya, dan semuanya menganggapku wanita pembawa sial yang bisanya numpang hidup. Kenapa harus aku yang disalahkan? Apakah karena aku miskin, dan mereka kaya?” batin Asri.

Asri duduk di teras belakang sambil memandang langit yang bertabur bintang. Suara hewan malam menjadi teman seiring isak tangis yang keluar dari bibirnya.

“Tante!”

Asri menoleh ke belakang saat seseorang memanggilnya.

“Rani!”

Dengan cepat Asri menyeka air matanya. Ia tidak ingin anak itu melihatnya menangis.

Rani mendekat lalu duduk di sebelah Asri. Sebelah tangannya membawa piring berisi nasi satu piring penuh serta satu iris daging rendang.

“Iya, Sayang. Ada apa? Kenapa kamu ke sini? Kamu kan sedang makan,” sahut Asri.

“Tante Asri nangis?” tanya Rani, dengan cepat Asri menggelengkan kepala.

“Aku mau makan bareng sama Tante. Aku sudah bawa nasi banyak sekali. Ayok kita makan berdua, Tante!” seru Rani.

Asri menatap piring tersebut. Lantas ia menggelengkan kepalanya.

“Kamu makan saja sendiri. Tante tidak lapar, Sayang!” tolak Asri.

“Tapi aku mau makan sama Tante. Tapi ya sudah, kalau Tante nggak mau makan, aku buang saja makanannya.” Rani berdiri, lalu berjalan menuju tong sampah. Namun, Asri segera mencegahnya.

“Jangan! Jangan, Sayang. Membuang makanan itu tidak baik. Ya sudah, kita makan bareng,” cegah Asri.

Rani tersenyum, lantas memberikan piring itu kepada Asri. Asri mulai menyuapi Rani lalu menyuapi dirinya sendiri. Asri merasa terharu, di tengah-tengah keluarga yang tidak menyukainya. Namun, Rani malah sebaliknya. Anak itu memang berbeda, ia sangat manis dan lembut. Ia sangat menyayangi Asri.

“Terima kasih, Sayang. Rendangnya sangat enak. Tante sangat suka,” ucap Asri, ia menyeka air matanya. Ia tak kuasa menahan sedih campur haru.

“Sama-sama, Tante. Aku senang Tante menyukainya,” sahut Rani.

Dari arah dapur, terdengar suara langkah kaki mendekat.

“Rani!”

Rani menoleh cepat, lantas segera menepuk-nepuk tangan Asri.

“Tante, cepat sembunyikan piringnya. Mama ke sini!” bisik Rani.

Sesuai arahan, Asri menyembunyikan piring bekas itu ke dalam kardus yang ada di dekatnya. Asri pun mengusap bibirnya, menghilangkan jejak makanan yang menempel.

“Kok kamu malah diam di luar. Sudah kasih makan kucingnya?” tanya Debi.

“Sudah, Ma. Tapi kucingnya malah pergi setelah makan. Aku kejar sampai sini, tapi sudah nggak ada,” jawab Rani.

Debi melirik sekilas ke arah Asri. Namun, Asri tidak sedikit pun menoleh ke arahnya.

“Oh ya sudah, kamu cepat masuk! Di sini dingin, nanti masuk angin!” titah Debi.

“Iya, Ma!”

Debi pun kembali ke dalam, sementara Rani ia mengusap dadanya sambil menghembuskan napas lega.

“Tante, maafin aku, ya! Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan Tante. Aku bilang sama Mama, kalau rendang punyaku alot. Jadi aku mau kasih ke kucing saja,” ucap Rani.

Asri tersenyum kecil seraya mengusap rambut panjang Rani.

“Tidak apa-apa, Sayang. Tante sama sekali tidak tersinggung. Justru Tante sangat berterima kasih sama kamu, Sayang, karena dedek bayi yang ada di dalam perut Tante bisa merasakan makan enak,” sahut Asri, sambil mengelus perutnya yang masih kecil.

Rani pun memeluk Asri, lantas mengurainya.

“Aku masuk dulu ke dalam ya, Tan. Takut mama curiga,” ujar Rani.

“Iya, Sayang!”

Rani pun kembali masuk ke dalam. Sementara Asri masih betah berlama-lama duduk di luar. Cukup lama Asri berada di luar. Namun, sama sekali Dirga tidak menampakkan batang hidungnya. Setidaknya Dirga merasa khawatir karena Asri tidak kunjung kembali. Namun, lelaki itu seakan tidak peduli lagi kepada Asri.

Asri beranjak dari duduknya. Ia masuk ke dalam berniat untuk segera beristirahat. Namun, perasaannya kembali tidak nyaman saat ternyata Vina masih ada di rumah itu. Kini Vina berada di ruang keluarga bersama Rina.

“Tante Vina, coba yang jadi Tante aku itu Tante Vina, bukan Tante Asri. Aku pasti senang sekali, bisa sama Tante setiap hari dan dibelikan boneka yang banyak sama Tante,” ujar Rina.

Asri memejamkan matanya sejenak, lantas menimpali ucapan Rina. “Memangnya kenapa sama Tante Asri? Tante kan tidak pernah marahin kamu!”

Rina dan Vina menoleh ke arah Asri. Tatapan tak suka dari salah satu keponakan Dirga, begitu menghunus ke arah Asri.

“Tante Asri miskin, Tante Asri juga pembawa sial!” celetuk Rina.

Asri terbelalak mendengar ucapan anak yang masih duduk di bangku SD itu.

“Rina tidak boleh begitu sama Tante Asri. Dia kelihatannya baik, kok. Jangan pernah lagi, ya, ngomong kayak gitu!” seru Vina.

Rina menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Tapi kata mama dan papa, Tante Asri miskin dan pembawa sial. Aku nggak salah, dong!” sahut Rina.

Asri sampai geleng-geleng kepala mendengar ucapan anak kecil itu. Bisa-bisanya kedua orang tuanya mengajarkan anak itu berbicara tidak sopan.

“Em … Vina, kenapa kamu belum pulang? Ini sudah malam, loh!” ujar Asri.

Dari arah lain, Debi berjalan mendekat seraya menimpali, “Apa hak kamu mengusir tamu kami? Vina akan menginap di sini. Dia perempuan, jadi kami tidak akan membiarkannya pulang malam-malam begini.”

Asri merasa sikap keluarga Dirga terhadap Vina terlalu berlebihan. Mereka lebih perhatian kepada orang lain ketimbang Asri yang tengah mengandung anaknya Dirga.

Tidak mau mendengar lagi ucapan yang lebih menyakitkan dari Debi, Asri segera masuk ke dalam kamarnya. Di dalam sana, Dirga telah tertidur pulas dengan dengkuran halus yang mengiringi setiap napasnya yang keluar masuk.

Asri pun merebahkan tubuhnya di sebelah Dirga dan terlelap begitu cepat. Hingga tengah malam tiba, Asri terbangun merasa ingin buang air kecil. Namun, saat bangun ia tidak mendapati Dirga di sampingnya.

“Loh, mas Dirga ke mana?” gumam Asri.

Sudah tidak tahan, bergegas Asri masuk ke dalam kamar mandi. Namun, sayangnya kran air di kamar mandinya mati. Terpaksa Asri harus menggunakannya kamar mandi di dekat dapur.

Selesai buang air kecil, Asri berjalan hendak kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti saat samar-samar telinganya tak sengaja mendengar sebuah suara dari dalam kamar tamu, yang membuat tubuhnya bergetar hebat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau asri. g berguna banget kau dikasih otak. bertahan berarti harus siap menerima hinaan.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 172 Di Luar Nalar

    Asri dan Ello terperangah, sangat penasaran dengan wajah orang yang dipanggil om oleh Rain.“Rain serius?” tanya Asri.“Iya, Papa tanya apa barusan? Rain tidak dengar,” ujar Rain.Asri dan Ello menghembuskan napas kasar.“Om itu pernah nunjukin mukanya tidak sama Rain? Wajahnya seperti siapa? Apakah … Papa dan Mama juga mengenalnya?” tanya Ello.Rain menggelengkan kepalanya.“Tidak, Pa. Om itu tidak mau membuka penutup wajahnya. Katanya dia seorang ninja,” jawab Rain.Ello dan Asri semakin khawatir dibuatnya. Asri mengedarkan pandangan, mencari seseorang di rumah itu.“Sus! Sus Reni!” teriak Asri.Dari arah belakang, baby sitter Rain berlari menemui Asri.“Ya ampun, Bu Asri sudah pulang? Syukurlah Bu Asri sudah sembuh. Saya sangat khawatir dengan keadaan Ibu,” sapa baby sitter, tampak antusias atas pulangnya Asri dari rumah sakit.“Ya, saya sudah pulang. Jawab saya, Sus Reni, apakah kamu selalu menjaga Rain? Menemani Rain bermain, tidur? Apakah kamu mengurus Rain dengan benar?” tanya

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 171 Polos

    “Jadi bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Ello. Pagi itu Ello tengah berada di dalam ruangan dokter.“Pak Ello bisa melihatnya sendiri. Ini hasilnya!” Seorang dokter menyerahkan hasil lab tentang air putih kepada Ello.Ello mengulurkan tangan, menerimanya, membukanya lalu mulai membacanya.Begitu fokus saat membaca hasil itu. Ello mengernyitkan dahi, wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan. Kepalanya beberapa kali menggeleng pelan.“Kok bisa, Dok?” tanya Ello, masih terus memandangi kertas itu.“Iya, Pak Ello. Memang tidak ada kandungan berbahaya apa pun di dalam air itu. Kami telah memeriksanya secara teliti. Memang hasilnya air itu aman,” jawab dokter.Ello mengangkat wajahnya, ia termenung untuk beberapa saat.“Tapi istri saya keguguran setelah meminum air itu, Dok. Kok bisa air itu aman-aman saja?” Ello masih tak habis pikir.“Kami tidak mungkin main-main dalam melakukan pekerjaan ini, Pak. Ini memang hasilnya, sangat akurat! Mungkin penyebab istri Anda keguguran, akibat dari faktor lai

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 170 Trauma

    “Asri! Apa-apaan, kamu?!” sentak Ello.Untuk yang pertama kali sejak menikah, Ello membentak Asri begitu kasar. Asri terbelalak melihat sikap Ello.Bu Ara terkejut dengan apa yang dilakukan Asri padanya. Niat baiknya malah berujung sebuah tamparan yang cukup keras di wajahnya yang ia terima.“Bu Ara tidak apa-apa?” tanya Ello. Ia membantu wanita tua itu bangun.“Nak Asri kenapa tampar saya?” tanya bu Ara, masih memegangi sudut bibirnya yang terasa sakit.Asri hanya diam, sambil terus menatap bu Ara.“Asri, kenapa kamu menampar Bu Ara? Padahal Bu Ara baik, loh! Malam-malam seperti ini, Bu Ara bela-belain datang ke sini, hanya untuk melihat keadaan kamu. Seperti itu balasannya yang kamu lakukan?” tanya Ello.Asri menggelengkan kepalanya.“Tidak, dia Tari! Dia adalah Tari!” tunjuk Asri ke arah bu Ara.Ello mengernyitkan dahinya, saling melempar pandang dengan bu Ara.“Tari? Siapa Tari?” tanya bu Ara.“Ah, em … maafkan sikap istriku, Bu Ara. Bu Ara sebaiknya duduk dulu, biar saya tenangin

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 169 Ikhlas

    Sesampainya di sebuah kantin, bergegas Ello memesan makanan. Ia tak ingin membuang-buang waktu lebih lama dengan meninggalkan Asri seorang diri. Apalagi yang ia tahu, kondisi Asri saat ini tidak memungkinkan untuk ditinggal sendiri.“Halo, Mam. Asri keguguran, aku sangat kehilangan calon bayiku!”Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, Ello menyempatkan diri memberi kabar kepada Erina. Bagaimana pun, keluarganya harus tahu soal itu.“Apa?! Ya Tuhan, kok bisa, Ello? Kenapa Asri bisa sampai keguguran? Lalu … bagaimana keadaan Asri sekarang? Mami sekarang lagi di luar kota, kerabat Mami sedang ada acara. Mami dan papi belum bisa mengunjungi kalian,” sahut Erina di seberang telepon.“Aku juga tidak mengerti, Mam. Semua tampak aneh. Asri mengaku mendapatkan surat misterius dari seseorang, setelah membacanya, ia mengalami pendarahan hebat. Asri mengaku, sebelum menemukan surat itu, dia sempat meminum air putih di dalam kamar,” terang Ello.“Surat? Dari siapa? Dan … air putih itu, apaka

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 168 Memberi Kabar

    Ello terkesiap mendengar nama tak asing yang diucapkan Asri. Tidak menyangka, jika Tari yang melakukan ini. Mungkin wanita itu ingin balas dendam atas apa yang menimpanya. Namun, Ello mengernyitkan dahinya, ada satu hal yang mengganjal di dalam benaknya.“Em … Sayang, kamu yakin?” tanya Ello.Asri mengangguk mantap, tidak ada keraguan di dalam dirinya.“Tapi Tari kan masih dalam masa hukuman. Tidak mungkin secepat itu dia keluar, dan … tahu dari mana dia, kalau kita tinggal di kota ini,” imbuh Ello.Asri menggelengkan kepala, membantah ucapan Ello.“Tidak, Mas. Aku sangat yakin itu Tari. Masa hukuman bisa dikurangi, atau bisa jadi dengan tebusan, Tari bisa bebas. Tidak menutup kemungkinan, ada keluarga atau siapa pun yang kenal dengan Tari, dia menebusnya. Entah tahu dari siapa, jika Tari mau, dia pasti akan menemukan keberadaan kita. Mas, aku … aku takut dia mencelakaiku atau Rain. Jika aku mati, dia akan merebutmu lagi dariku. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh di pelukan Tari lagi,

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 167 Dia

    “Asri, sayang, kenapa kamu ada di sini? Kenapa tubuhmu sampai basah seperti ini?”Ello berlari mendekati Asri, tampak Asri menggigil dengan wajah berwarna pucat.“Mas, dia ada di sini! Dia ada di sini! Dia yang membuatku keguguran. Dia … dia, dia juga ingin membunuhku! Tidak, kalau aku mati, dia akan merebutmu dariku. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi,” ujar Asri, matanya beberapa kali membeliak.Raut wajah ketakutan, terpancar nyata di wajah Asri. Beberapa kali wanita itu mengedarkan pandangan, seperti mencari seseorang di dalam toilet itu.“Sayang, apa maksud kamu? Sebaiknya kita keluar dari sini, ganti baju, kamu kedinginan. Kamu harus banyak istirahat,” pungkas Ello.Awalnya Asri menolak untuk keluar. Ia terus meracau tak jelas. Ello pun membopong tubuh Asri, memindahkannya ke dalam kamar.“Jangan seperti tadi lagi, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Sekarang kamu harus makan, jangan banyak pikiran,” ujar Ello, setelah selesai mengganti pakaian Asri.Ello mulai mengaduk m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status