“Rendangnya sudah habis, maaf, ya!” ucap Debi.
Serempak semua mata tertuju pada Asri. Namun, tidak satu pun dari mereka yang bersuara. Mereka lalu sibuk memulai makan tanpa ada yang menawari. Bahkan Dirga sama sekali tidak berkomentar. “Ma, aku mau nasinya yang banyak,” ujar Rani. Asri menghela napas panjang, rasa sesak di dada begitu terasa. “Aku ke belakang dulu!” pamit Asri. Asri melenggang pergi ke belakang, hatinya semakin sakit. Ini bukan soal rendang. Namun, setidaknya Dirga bersuara walau pun itu hanya basa-basi. Setelah Asri sampai dapur, terdengar pula dari ruang makan, Dirga dan Vina tengah mengobrol sambil makan, dengan diselingi tawa. Sangat kontras dengan janji yang diucapkan Dirga, untuk menjaga jarak dengan Vina. “Kenapa pernikahanku harus penuh dengan luka? Mas Dirga yang baik berubah setelah dia dipecat dari pekerjaannya, dan semuanya menganggapku wanita pembawa sial yang bisanya numpang hidup. Kenapa harus aku yang disalahkan? Apakah karena aku miskin, dan mereka kaya?” batin Asri. Asri duduk di teras belakang sambil memandang langit yang bertabur bintang. Suara hewan malam menjadi teman seiring isak tangis yang keluar dari bibirnya. “Tante!” Asri menoleh ke belakang saat seseorang memanggilnya. “Rani!” Dengan cepat Asri menyeka air matanya. Ia tidak ingin anak itu melihatnya menangis. Rani mendekat lalu duduk di sebelah Asri. Sebelah tangannya membawa piring berisi nasi satu piring penuh serta satu iris daging rendang. “Iya, Sayang. Ada apa? Kenapa kamu ke sini? Kamu kan sedang makan,” sahut Asri. “Tante Asri nangis?” tanya Rani, dengan cepat Asri menggelengkan kepala. “Aku mau makan bareng sama Tante. Aku sudah bawa nasi banyak sekali. Ayok kita makan berdua, Tante!” seru Rani. Asri menatap piring tersebut. Lantas ia menggelengkan kepalanya. “Kamu makan saja sendiri. Tante tidak lapar, Sayang!” tolak Asri. “Tapi aku mau makan sama Tante. Tapi ya sudah, kalau Tante nggak mau makan, aku buang saja makanannya.” Rani berdiri, lalu berjalan menuju tong sampah. Namun, Asri segera mencegahnya. “Jangan! Jangan, Sayang. Membuang makanan itu tidak baik. Ya sudah, kita makan bareng,” cegah Asri. Rani tersenyum, lantas memberikan piring itu kepada Asri. Asri mulai menyuapi Rani lalu menyuapi dirinya sendiri. Asri merasa terharu, di tengah-tengah keluarga yang tidak menyukainya. Namun, Rani malah sebaliknya. Anak itu memang berbeda, ia sangat manis dan lembut. Ia sangat menyayangi Asri. “Terima kasih, Sayang. Rendangnya sangat enak. Tante sangat suka,” ucap Asri, ia menyeka air matanya. Ia tak kuasa menahan sedih campur haru. “Sama-sama, Tante. Aku senang Tante menyukainya,” sahut Rani. Dari arah dapur, terdengar suara langkah kaki mendekat. “Rani!” Rani menoleh cepat, lantas segera menepuk-nepuk tangan Asri. “Tante, cepat sembunyikan piringnya. Mama ke sini!” bisik Rani. Sesuai arahan, Asri menyembunyikan piring bekas itu ke dalam kardus yang ada di dekatnya. Asri pun mengusap bibirnya, menghilangkan jejak makanan yang menempel. “Kok kamu malah diam di luar. Sudah kasih makan kucingnya?” tanya Debi. “Sudah, Ma. Tapi kucingnya malah pergi setelah makan. Aku kejar sampai sini, tapi sudah nggak ada,” jawab Rani. Debi melirik sekilas ke arah Asri. Namun, Asri tidak sedikit pun menoleh ke arahnya. “Oh ya sudah, kamu cepat masuk! Di sini dingin, nanti masuk angin!” titah Debi. “Iya, Ma!” Debi pun kembali ke dalam, sementara Rani ia mengusap dadanya sambil menghembuskan napas lega. “Tante, maafin aku, ya! Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan Tante. Aku bilang sama Mama, kalau rendang punyaku alot. Jadi aku mau kasih ke kucing saja,” ucap Rani. Asri tersenyum kecil seraya mengusap rambut panjang Rani. “Tidak apa-apa, Sayang. Tante sama sekali tidak tersinggung. Justru Tante sangat berterima kasih sama kamu, Sayang, karena dedek bayi yang ada di dalam perut Tante bisa merasakan makan enak,” sahut Asri, sambil mengelus perutnya yang masih kecil. Rani pun memeluk Asri, lantas mengurainya. “Aku masuk dulu ke dalam ya, Tan. Takut mama curiga,” ujar Rani. “Iya, Sayang!” Rani pun kembali masuk ke dalam. Sementara Asri masih betah berlama-lama duduk di luar. Cukup lama Asri berada di luar. Namun, sama sekali Dirga tidak menampakkan batang hidungnya. Setidaknya Dirga merasa khawatir karena Asri tidak kunjung kembali. Namun, lelaki itu seakan tidak peduli lagi kepada Asri. Asri beranjak dari duduknya. Ia masuk ke dalam berniat untuk segera beristirahat. Namun, perasaannya kembali tidak nyaman saat ternyata Vina masih ada di rumah itu. Kini Vina berada di ruang keluarga bersama Rina. “Tante Vina, coba yang jadi Tante aku itu Tante Vina, bukan Tante Asri. Aku pasti senang sekali, bisa sama Tante setiap hari dan dibelikan boneka yang banyak sama Tante,” ujar Rina. Asri memejamkan matanya sejenak, lantas menimpali ucapan Rina. “Memangnya kenapa sama Tante Asri? Tante kan tidak pernah marahin kamu!” Rina dan Vina menoleh ke arah Asri. Tatapan tak suka dari salah satu keponakan Dirga, begitu menghunus ke arah Asri. “Tante Asri miskin, Tante Asri juga pembawa sial!” celetuk Rina. Asri terbelalak mendengar ucapan anak yang masih duduk di bangku SD itu. “Rina tidak boleh begitu sama Tante Asri. Dia kelihatannya baik, kok. Jangan pernah lagi, ya, ngomong kayak gitu!” seru Vina. Rina menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Tapi kata mama dan papa, Tante Asri miskin dan pembawa sial. Aku nggak salah, dong!” sahut Rina. Asri sampai geleng-geleng kepala mendengar ucapan anak kecil itu. Bisa-bisanya kedua orang tuanya mengajarkan anak itu berbicara tidak sopan. “Em … Vina, kenapa kamu belum pulang? Ini sudah malam, loh!” ujar Asri. Dari arah lain, Debi berjalan mendekat seraya menimpali, “Apa hak kamu mengusir tamu kami? Vina akan menginap di sini. Dia perempuan, jadi kami tidak akan membiarkannya pulang malam-malam begini.” Asri merasa sikap keluarga Dirga terhadap Vina terlalu berlebihan. Mereka lebih perhatian kepada orang lain ketimbang Asri yang tengah mengandung anaknya Dirga. Tidak mau mendengar lagi ucapan yang lebih menyakitkan dari Debi, Asri segera masuk ke dalam kamarnya. Di dalam sana, Dirga telah tertidur pulas dengan dengkuran halus yang mengiringi setiap napasnya yang keluar masuk. Asri pun merebahkan tubuhnya di sebelah Dirga dan terlelap begitu cepat. Hingga tengah malam tiba, Asri terbangun merasa ingin buang air kecil. Namun, saat bangun ia tidak mendapati Dirga di sampingnya. “Loh, mas Dirga ke mana?” gumam Asri. Sudah tidak tahan, bergegas Asri masuk ke dalam kamar mandi. Namun, sayangnya kran air di kamar mandinya mati. Terpaksa Asri harus menggunakannya kamar mandi di dekat dapur. Selesai buang air kecil, Asri berjalan hendak kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti saat samar-samar telinganya tak sengaja mendengar sebuah suara dari dalam kamar tamu, yang membuat tubuhnya bergetar hebat.“Maksud kamu?” tanya Asri.“Dari cara bicaramu, aku menangkap sesuatu yang aneh. Katakan, apakah semalam yang tidur denganku adalah kamu?” tanya Ello balik.Asri menggelengkan kepala. Kenapa Ello bisa bertanya seperti itu? Apakah Ello sedang berpura-pura? Ataukah dia sedang menutupi perbuatannya semalam bersama Tari?“Semalam aku keluar dari kamar. Aku mendengar suara seseorang menangis. Aku mencari tahu, karena sudah 2 malam aku mendengarnya. Tapi … saat aku mau kembali ke kamarmu, kamu sudah menguncinya dari dalam. Aku tidak bisa masuk, aku sudah mengetuknya. Tapi kamu tidak juga membukanya. Jadi aku memutuskan untuk tidur di kamarku saja,” jawab Asri.Ello terbelalak, ia terdiam untuk beberapa saat. Ekspresinya menunjukkan ketegangan. Ada apa? Kenapa sikap Ello tiba-tiba berubah?Ello beranjak dari atas tubuh Asri. Keterdiaman menghampiri. Melambung di alam lamunan. Ello bergeming untuk beberapa saat.“Mas, kamu kenapa?” tanya Asri.Ello mengusap wajahnya kasar. Lantas berdiri lalu
Asri keluar dari kamar, rasa penasaran kian membuncah dalam dirinya. Apa yang terjadi sebenarnya? Terus melangkah mencari sumber suara. Memeriksa di setiap ruangan. Namun, ia tidak menemukan apa pun di sana. Seperti semalam, suara tangisan itu kembali hilang. Menyisakan keheningan yang hakiki. Hanya denting jam yang selalu setia menemani di setiap hembusan napas. “Ah, sudahlah!” Asri membalikkan badan, kembali ke kamar Ello. Sebelah tangan meraih handle pintu. Beberapa kali ia putar. Namun, pintu tak kunjung terbuka. “Perasaan tadi tidak aku kunci,” gumam Asri. “Mas, buka pintunya!” Asri mengetuk pintu. Namun, tak ada sahutan sama sekali dari dalam. “Mas!” ulang Asri, masih tetap sama, Ello tak kunjung membukakan pintu. Kenapa? Kok bisa? Pertanyaan itu berkecamuk di dalam kepala. Apakah yang mengunci pintu itu adalah Ello? Asri memutuskan tidur di kamarnya bersama Rain. Tertidur pulas hingga keesokan paginya. Pagi-pagi buta, Asri telah bangun hendak membangunkan El
Asri bangkit dari posisi tidurnya. Semakin mempertajam pendengaran. Ya, ia memang mendengarnya.Suara yang begitu memilukan dari arah luar. Tangisan seseorang yang membuat Asri merasa penasaran.Setelah memastikan Ello tertidur pulas. Asri turun dari ranjang. Membuka pintu lalu keluar dari kamar.“Siapa yang menangis malam-malam begini?” gumam Asri.Mengedarkan pendengaran, mencari sumber suara. Namun, suara tangisan itu hilang kemudian timbul, dan hal itu terus berulang.Asri berjalan mencari sumber suara tersebut. Hingga ia berada di luar. Namun, suara itu telah hilang begitu saja. Siapa atau apa? Asri tidak tahu. Namun, suara itu semula sangat jelas terdengar.Asri mengedikkan bahunya, lantas kembali ke dalam kamar dan melanjutkan tidur hingga keesokan harinya.Asri terbangun dengan tubuh yang cukup segar. Saat membuka mata, hal yang pertama kali ia lihat adalah senyuman manis yang tersungging dari wajah tampan lelaki yang telah sah menjadi suaminya.“Tampan,” gumam Asri.“Ya, teri
Ello berlari masuk ke dalam kamar, merebut obat yang hendak diminum Asri dan melemparnya ke lantai.“Mas!” Asri terkejut, lalu menyimpan gelas berisi air ke atas nakas.“Apa yang kau lakukan?” tanya Ello.Asri bergeming, menatap satu butir obat yang jatuh di lantai. Kaku, Asri tak mampu menjawab. Wajah Ello terlihat marah.Ello meraih kemasan dari obat itu dari atas nakas. Menggenggamnya kuat, lalu menatap wajah Asri yang sembab.“Obat tidur, maksud kamu apa? Kamu menangis? Apa yang membuatmu seperti ini?” tanya Ello.Asri duduk di ujung ranjang, menghembuskan napas panjang. Menunduk dengan perasaan yang tak karuan.“Jawab!” seru Ello.Perlahan Asri mengangkat wajahnya, dengan bibir bergetar, ia menjelaskan apa yang ia lakukan.“Aku melakukannya karena tidak ingin mengganggu malam pertama kalian,” ujar Asri.Ello mengernyitkan dahinya.“Maksud kamu?”“Jika kamu ingin melakukannya bersama Tari, lakukanlah. Aku tidak akan mengganggu malam kalian. Jadi aku putuskan untuk meminum obat tid
Ello baru saja keluar dari kamar mandi. Berdiri di depan cermin, menatap pantulan diri dengan beberapa kali ia menyibak rambutnya ke belakang.Sengaja ia menyemprotkan parfum. Tak seperti biasanya ia melakukan hal itu. Namun, demi menyambut kedatangan Asri, ia ingin terlihat perfect dan ingin membuat Asri merasa nyaman di dekatnya.Entahlah, mungkin ini yang dinamakan kasmaran pada istri sendiri. Ello cukup tergelitik dengan tingkahnya yang mungkin berlebihan menurut sebagian orang. Namun, ia tetap melakukannya.“Sekarang harus lebih lama lagi. Rain butuh seorang adik biar ada temannya. Ya Tuhan, ternyata seperti ini rasanya menjadi seorang suami dan ayah.” Ello duduk di pinggiran ranjang. Tersenyum sendiri sambil bergumam.Ello tersenyum kegirangan, sepasang tangan tiba-tiba melingkar di perutnya.“Kenapa? Kau tak sabar ingin melakukannya?” tanya Ello.“Kamu tahu saja, iya aku juga ingin merasakannya. Sekarang tubuhku adalah milikmu!”Senyuman Ello memudar dengan drastis. Wajah dingi
Setelah mentari tenggelam, berganti dengan kegelapan yang menyelimuti. Semua tamu undangan telah membubarkan diri dari acara yang berubah hambar itu.“Em … Mas, kamu duluan saja ke ruang makannya. Aku mau menidurkan Rain dulu,” ujar Asri.“Baiklah, jangan lama, ya. Aku sudah sangat lapar.” Ello pun keluar dari kamar, berjalan menuju ruang makan.Setelah memastikan Rain tertidur pulas, ia pun bergegas menyusul Ello menuju ruang makan. Di sana, keluarga besar telah duduk menunggunya.Berdiam dengan lamunan masing-masing. Tak ada satu pun dari mereka yang memulai menyentuh makanan.Asri berdiri bergeming menatap tempat duduk di sebelah Ello.“Pindah!” cetus Ello.Tari yang telah duduk di sebelah Ello, mengernyitkan dahinya.“Maksud kamu?” tanya Tari.“Kau tidak paham bahasa Indonesia?” Pertanyaan Ello sungguh menusuk perasaan. Tenang. Namun, menyakiti.“Kau tidak lihat, istriku mau makan. Itu tempat Asri, sebaiknya kau pindah!” lanjut Ello.Suasana begitu tak nyaman di ruangan itu.“Tapi