Anak itu, Rina. Dia menjerit histeris ketika melihat Asri berdiri di hadapannya dengan penampilan yang tampak kacau, terkesan menakutkan.“Mama, Papa, ada hantu! Tolong … aku takut!” teriak Rina.Anak itu terduduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Tubuhnya bergetar. Namun, Asri tidak peduli.Asri bergeming, menatap anak itu tanpa mengeluarkan suara. Bahkan ia tak beralih sedikit pun dari posisinya berdiri. Ibarat patung, Asri kini menatap lurus ke dalam rumah. Menunggu semua orang keluar.Suara derap langkah kaki terdengar beriringan. Begitu cepat, terdengar seperti langkah berlari.Saat itu juga, muncul manusia-manusia yang telah menyiksa Asri. Mereka menghampiri Rina, mereka pun tampak Syok melihat penampakan Asri yang begitu menyeramkan berdiri di hadapan mereka.“Asri,” gumam Dirga.Wanita yang semalam ia kejar dengan susah payah, dan lolos dari tangannya, kini berdiri di hadapannya. Mematung dengan segala dendam yang terpancar dari wajahnya.Mereka saling melempar pandang sa
Wajah Asri kian memerah. Malu ternyata Ello tidak seperti yang ia pikirkan. Seketika ia merasa tergelitik karena perasaannya sendiri. Sungguh konyol.“Gu-gugat cerai?” tanya Asri, mendadak ia tergugup.“Ya, apa lagi yang kamu harapkan dari lelaki itu? Seperti yang pernah kamu ceritakan dulu pada oma. Kamu dianggap pembawa sial, kamu dianggap menumpang hidup. Sekarang, mereka datang ke rumahmu, dan merebut apa yang kamu miliki. Apa yang kamu inginkan dari lelaki seperti itu?” Ello tak habis pikir.Asri terdiam sejenak, apakah pendapat Ello adalah solusi terbaik?“Aku … aku ….” Asri menghembuskan napas kasar.“Aku tidak memaksa, lagipula, aku tidak ada urusan sama rumah tangga kalian. Aku tidak ada hak. Aku hanya memberikan solusi, itu pun kalau kamu mau nanggepin secara baik. Selebihnya, kamu bisa mempertimbangkan sendiri,” lanjut Ello.Asri memejamkan matanya sejenak. Menghela napas panjang, ia menegakkan posisi duduknya. Menatap Ello dengan senyuman khasnya, manis.“Ya, kamu benar. S
Asri membisikkan sesuatu di telinga Ello. Membuat lelaki itu terbelalak.“Kau yakin akan melakukannya? Em … maksudku … apa itu tidak akan membahayakan kamu?” tanya Ello.Dua sudut bibir tertarik, bukan membentuk senyuman biasa. Namun, lebih tepatnya terlihat seperti seringai.“Ya, aku yakin!” jawab Asri mantap.Hujan telah reda, Ello mengambil Rain dari tangan Asri. Berdiri menggendong, lalu membantu Asri untuk bangkit.“Aku sudah memesan taksi online. Biar mobilku besok ditangani oleh bengkel langgananku. Kasihan kamu dan Rain jika berlama-lama berada di tempat ini, kalian membutuhkan tempat yang nyaman.”Ello mulai menuntun tangan Asri.“Pelan-pelan saja jalannya, pasti kamu masih merasa sakit. Kalau tidak kuat, bilang saja,” ujar Ello.“Aku kuat, tidak usah khawatir,” sahut Asri.Hewan malam kini terdengar kembali setelah lamanya tempat itu diguyur hujan. Tampak menakutkan. Namun, tak ada yang lebih menakutkan dibandingkan kehilangan orang yang disayang. Bukankah begitu?Cukup lama
“Ya, ya … kepalanya sudah terlihat. Semangat, Asri!”Bagai bidan profesional, Ello tidak pantang menyerah untuk terus menyemangati wanita itu.Seumur hidupnya, baru kali ini Ello melakukan hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bahkan ini seperti mimpi.Membantu seorang wanita melahirkan, bukan perkara yang mudah. Terlebih Ello belum pernah menikah, apalagi menemani dan membantu persalinan.“A … ku, sudah tidak kuat, Mas!” Asri mulai menyerah.“Tidak-tidak, kamu tidak boleh menyerah. Anakmu butuh kamu. Jangan, jangan tinggalkan kami. Tolong, bertahanlah!”Entah kenapa, melihat keadaan Asri, Ello begitu sedih. Sesakit itukah perjuangan seorang wanita, demi melahirkan seorang anak ke dunia?“Bertahanlah … anakmu sudah terlihat, ayok dorong lagi. Jangan membuat anakmu kecewa, karena kamu menyerah sebelum kamu melihat anakmu di dunia ini. Tolong!” mohon Ello.Hujan deras dan suara petir sudah tidak Ello hiraukan lagi. Tempat itu begitu menakutkan. Namun, lebih menakutkan lagi jika
“Sial, sepertinya mobilku pecah ban!” desis Ello.Sementara Dirga dan keenam anak buahnya telah berada dekat di belakang.“Bagaimana ini? Lihat mereka sudah dekat!” ujar Asri.“Cepat turun, kita tidak punya banyak waktu. Kita lari dari sini!” ajak Ello.Asri mengernyitkan dahinya.“Terus mobil kamu?” tanya Asri.Ello mendelikkan matanya ke atas. Bisa-bisanya di saat keadaan genting seperti ini, Asri masih memikirkan mobil Ello.“Kamu mau mendorongnya? Silahkan!” desis Ello, ia pun mencabut kunci mobilnya, lalu keluar dengan kesal.Asri mengerucutkan bibirnya beberapa centi. Lantas ia pun ikut keluar.“Tunggu aku!” pinta Asri, saat Ello telah berada jauh di depannya.Asri berlari menyusul, beberapa kali ia menoleh ke belakang, Dirga dan orang-orangnya pun berlari mengejar.“Cepat, jangan sampai mereka menangkapmu!” seru Ello.Kini mereka berlari ke arah gang-gang sempit, deretan rumah kumuh mereka lewati.“Asri! Kamu tidak bisa lari dariku! Anak itu milikku, kamu tidak berhak membawany
Mobil menjauh meninggalkan sekumpulan manusia jahat. Namun, Asri belum bisa bernapas lega. Bagaimana dengan Rani? Apakah Dirga tidak main-main dengan ucapannya?“Kenapa? Kamu masih mau kembali ke rumah itu?” tanya Ello, menyadari kecemasan Asri.Asri menggelengkan kepalanya. Perasaannya gusar, pikirannya melayang mengingat wajah polos anak itu.“Tidak, mereka semua jahat. Kecuali satu anak, dia Rani. Dia keponakan Dirga. Anak itu yang selama ini baik padaku. Tadi juga dia yang menolongku saat ayahnya nyaris melecehkanku waktu disekap di gudang. Tanpa dia, mungkin sekarang ini aku masih berada di ruangan pengap itu, melawan lelaki jahat seperti Ferdi, ayahnya!” jawab Asri.“Kau khawatir dengannya? Apakah ayahnya akan membiarkan anaknya disakiti oleh Dirga?” tanya Ello.Asri menghembuskan napas kasar, mengedikan bahunya.“Entahlah, yang aku tahu Ferdi sangat menyayangi anaknya. Aku harap Rani aman di sana,” jawab Asri.Asri mengusap perutnya yang masih merasakan sakit.“Perutmu sakit?”