Share

Yang darimu

Pukul lima sore aku baru sampai taman belakang, “dia kemana ... Leo sudah pulang, kenapa kamu tidak menungguku Sayang? Ah, capek aku lari-lari, ternyata ....”

Keesokan harinya aku membuat surat izin untuk tidak mengikuti pelajaran beberapa hari, aku sedang tidak enak badan. Meja selalu mengiang di pikiranku. “Kamu yakin Siva, ini sebentar lagi kita ujian, kalau kamu banyak bolos, nanti kamu ketinggalan.”

“Kribo, aku hanya minta kamu kasihkan saja suratku, tidak sedang butuh khotbah, aku sudah lelah dapat khotbah dari ibuku … jadi jangan kau timpal dengan omonganmu yang seolah paling paling benar itu!”

“Ok baiklah Nona Siva yang super galak. Tapi bantuin aku sekarang ke kamar mandi dulu, yuk!” ajaknya sambal meringis. 

“Tolol kau.”

Aku berkemas sehelai baju dan celana saja. Melihat ke belakang sekarang, aku merasa (hanya sedikit sakit) malu dengan cara kekuatanku yang baru kutemukan atas berkembang sejak saat itu. Aku sekarang adalah orang yang biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa dalam hidupku.

Pada suatu sore yang tak terlupakan, aku ingin menangis saat mengingatnya, lalu segera kupercepat langkah menuju halte bus.

Kupandangi orang-orang di sekeliling, dia masih kalah secara fisik denganku, aku adalah gadis kecil yang montok, dan selalu nakal seusiaku, yang tinggal di asrama dekat sekolahan, memiliki keluarga yang semi-terpisah di sebuah perumahan berjarak tiga sampai empat jam untuk menempuhnya. Cuaca bulan Desember yang dingin dan berawan seperti biasa, rumah hawa dingin dan lembab. Pikiranku nakal yang membayangkan Leo berada di sebelahku, dan memelukku.

“Neng ongkosnya mana … hee ngelamun aja.”

“Iya bang, nih!”

***

Memandang rumah dari halam. Salah satu kenangan abadi sebagai seorang anak adalah selalu bersikap dingin, itu yang sekarang secara halus disebut keluarga kacau. Itu juga merupakan salah satu bentuk karakter. Aku begitu dingin seperti di musim dingin sehingga bertemu ibu untuk mendapatkan kehangatan itu mustahil.

Satu-satunya cara untuk tetap hangat, aku membayangkan sosok ayah dan ibu saat masih bersatu. Rumah itu sekarang sudah lama hilang kenangan itu, dan juga terbebas dengan tidak baik, tidak adanya sikap ibu menyudahi perbuatannya, tidak ada sikap keibuan seperti saat dulu. Kulangkahkan kaki sambal sesekali aku menenggak liurku sendiri, kupandang kaca ganda dan dari jejak yang dapat digambarkan dari jarak jauh sebagai perasaanku. Aku terpukul, saat mataku menyaksikan dua sosok manusia sedang bergumul dalam birahi.

Saat-saat ketika aku akan mencoba terbuka pada ibu, tampak lebih dingin lagi dan jauh dari keinginanku untuk mengatakan keluh kesahku. Lubuk hati terdalam ragu untuk mengetuk pintu, karena terasa ini tindak binatang yang kulihat. Aku sudah lama menderita, ditambah lagi luka saat ibu disiksa dalam permainan seksnya. “aku salah rumah rupanya …,” aku bergumam sambal kuelap dengan tanganku tetes air mata yang tak ingin mengalir begitu saja.

“Halo … Leo, aku mau cerita, kamu ada di kost? Ok lima jam lagi aku sampai kost-mu,” aku telepon Leo, aku punya rahasia untuk dibagikan padanya.

***

Aku masih menganggap ibu sebagai ibuku, karena memang dia secara biologis mengadopsi pada usia sejak di kandungan. Sebelum adanya perceraian, ibu tidak pernah meninggalkan rumah atau pergi selain ke mal untuk berbelanja kebutuhan. Aku sangat menyayangi ibu dan ayah dan tidak akan pernah membenci untuk sesaat bahwa mereka gagal memberiku kepercayaan akan itu. Masa kecil yang paling penuh kasih dari mereka telah lenyap.

Sebenarnya, bagaimanapun, aku tidak dapat berpura-pura bahwa memiliki keluarga yang sama dengan musuh diriku sendiri dan sebagian itu menghantui pikiranku sendiri. Ketika terjebak dalam kesalahan yang tidak tahu akar permasalahannya bagaimana, orang tua pada kenyataannya adalah selimut disaat kita kedinginan, secara signifikan aku tidak mendapatkan kehangatan dari selimut itu.

Namun, tidak semerta-merta untuk menghadirkan pengalaman buruk yang menyebalkan. Kombinasi dari ego mereka yang membuatku kacau, sikap mereka membuatku merasa bahwa aku terasing, maka aku butuh orang lain seusiaku, yaitu Leo, aku butuh Leo. Bukan karena dia pacarku.

“Sayang ... kok menangis kamu datang-datang?!”

“Haa ...,” aku sadar menangisku terlalu menikmati hingga aku teriakan sampai kencang.

“Sutt ... jangan berisik! Nanti ibu kost marah.”

“Iya maaf.”

“Kamu ada apa sayang tiba-tiba izin dari sekolah dan pergi tanpa memberitahuku ... aku menunggumu di belakang sekolah hingga sore dan kamu sekarang ke sini dengan keadaan nangis-nangis gini.”

“Nanti aku ceritain, aku mau masuk.”

“Ayo!”

Dalam kekalutan, aku tidak melihat bahwa aku sedang memperbodoh diri, aku merasa apa yang kulakukan dengan pergi ke rumah ibu hal yang lumrah. Aku tidak pernah menyesal ke Jakarta hany hal yang gak penting, ibu dan melukaiku, tatap aku anggap wajar. Tetapi aku mendadak membesarkan persoalan saat aku mengadu pada pacarku, membuat sakit hati berusaha lega, dan juga masalah dibesar-besarkan.

Leo tidak pernah menunjukkan keberatan terhadap perilaku tak terduga di usia yang seharusnya penuh kebahagiaan, tetapi pasti ada saat-saat ketika dia merasa ilfeel, meskipun entah kapan, “aku adalah anak yang kurang dibelai dan kurang dihangatkan oleh mereka?”

Leo menggeleng. Seperti sudah tahu bahwa aku memiliki lebih dari kenangan yang paling buruk dari hari ke hari ketika masalah keluarga mengembang di kehidupanku. Pemahamanku yang lebih dalam tentang apa yang terjadi telah datang selama berbulan-bulan dari ibu.

“Kamu jangan pernah merasa sendiri! Aku di sini untukmu Siva ... aku sayang kamu dan aku nggak mau ada air mata yang kedua di lain hari, ya!”

Selama beberapa jam dalam hidupku, Leo disampingku, pria yang selalu dipanggil dengan nama depannya, Leo, memang baik dan merawatku hingga memanjakanku. Kamar dengan ukuran 3m² cukup mengantarkanku dalam penghiburan. Pada faktanya aku suka bersama Leo, tentu saja, yang dengan cepat hal buruk dilupakan saat sedang bersamanya.“Aku dosa tidak kalau membenci Ibu sendiri?”

“Akan ada masanya kamu akan tidak membenci lagi, Ibu tetap-lah Ibu.”

"Makasih Leo,” aku memandang wajahnya. Tatapan tajam itu kurasakan penuh kehangatan, bagaimana tidak … aku sejak tadi didepak olehnya. Tapi aku tidak merasakan kegerahan sama sekali, kulihat Leo lelap dalam tidur dan tetap memelukku. “Aku beruntung memilikimu, aku senang saat tidak ada yang peduli denganku, tapi kamu hadir. Apa aku licik? Lantaran banyak perempuan yang menyukaimu, malah kamu maunya sama aku?”

Ketika Leo sudah tidur, aku tetap berbicara tentang apapun, selalu menyebutnya sebagai my hero daripada pacar.

Kemudian aku mengenali kondisinya sampai beberapa detik. Bahkan ketika dia tidur dengan mulut terbuka, dia tampaknya memiliki mulut yang mini dan hanya setelah itu, saat kusentuh bibirnya dengan jari, hanya bisa tersenyum bahagia.

-o0o-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status