Share

Alaistar's Way To Ari
Alaistar's Way To Ari
Author: the lost doremi

(01) The Girl with The Shark Hoodie

Alaistar takut hiu.

Memang wajar saat seorang anak kecil berkata bahwa dirinya takut pada ikan bergigi tajam dan runcing seperti ikan hiu. Menyeramkan, buas, dan ganas, alasannya.

Berawal dari kegemaran sang kakak menonton film dokumenter tentang hewan buas, Alaistar kecil sukses dibuat menjerit ketakutan saat ditampilkan adegan hiu yang sedang menyantap mangsanya. Warna merah darah memenuhi layar televisi dan Alaistar tidak pernah berani tidur sendirian lagi sejak saat itu.

Alaistar kecil tidak pernah menyangka kalau rasa takutnya itu akan terus menghantuinya hingga remaja, bahkan saat usianya 18 tahun.

Namun, semuanya berubah ketika Alaistar justru tidak sengaja menabrak hiu di perjalanan pulangnya dari sekolah.

Bukan, bukan hiu sungguhan.

Saat itu, Alaistar tidak memperhatikan jalan dan malah sibuk bermain game di ponsel. Alaistar tengah sibuk menangkis serangan musuh ketika tubuhnya berbenturan dengan seorang pejalan kaki lain dari arah berlawanan---yang juga tidak memperhatikan jalan dan tengah sibuk dengan ponselnya. Benturan itu sangat keras sampai-sampai membuat Alaistar dan si gadis terjungkal ke belakang. Ponsel Alaistar terpental jauh. Disusul suara gemerincing keychain yang terputus dari ransel sang gadis dan berhamburan ke tanah.

Alaistar ingin memaki karena rasa sakit di dahinya yang teramat sangat. Jangan lupakan rasa nyeri di bokongnya yang harus berbenturan dengan aspal keras. Namun, umpatan Alaistar tertahan di bibir ketika melihat hoodie hiu yang dikenakan si penabrak.

'Apa-apaan orang ini?' Batinnya.

Alaistar heran, model hoodie tersebut sangat kekanak-kanakan. Bahkan lebih cocok digunakan oleh bayi, padahal gadis di hadapannya tampak memiliki usia yang tidak terpaut jauh darinya. Sudah cukup terbilang dewasa, bukan?

Di bagian belakang hoodie yang dikenakan gadis itu, tertempel sirip punggung hiu. Jangan lupakan gigi-gigi runcing yang mengelilingi ujung sisi kupluk yang menutupi kepalanya, sehingga membuat seolah-olah sang gadis berada di dalam mulut si hiu. Di samping hoodie yang kekanak-kanakan tersebut, Alaistar harus mengakui bahwa gadis di hadapannya ini imut. Sangat imut dan gadis itu sangat cocok mengenakannya.

"Apa lo baik-baik saja?" Tanyanya. Ia menjadi merasa bersalah karena sang gadis terus menunduk dan tak henti memegang dahinya yang memerah. Alaistar mengakui benturan antara kedua dahi mereka sungguh keras dan terasa sangat sakit. Bahkan kepalanya mulai terasa pening.

Ketika kedua mata mereka bertemu, gadis itu mengangguk pelan seraya tersenyum tipis, seolah berusaha menunjukkan pada Alaistar bahwa dirinya baik-baik saja.

Akan tetapi, sepertinya tatapan itu justru memberikan dampak lain. Gadis itu sangat imut. Kulitnya putih bersih dengan bola mata cokelat cerah. Alaistar bisa menebak bahwa gadis itu memiliki sedikit darah campuran Eropa dari garis wajahnya. Tetapi yang jelas bukan keturunan campuran langsung karena tidak terlihat begitu dominan. Alaistar bisa melihat helaian rambut brunette milik gadis itu yang mencuat dari balik kupluk hoodie.

'Sangat cantik,' ucap Alaistar dalam hati. Alaistar tidak pernah menyangka jika wajahnya bisa se-panas ini hanya karena bertatapan dengan seorang gadis. Di nilai dari rasa panas yang ia rasakan, Alaistar yakin wajahnya pasti sudah se-merah kepiting rebus.

Alaistar mencoba mengalihkan pandangan ke arah lain, mencoba mengontrol jantungnya yang sekarang berdegup sangat kencang. Berulang kali, tangannya mengibaskan kerah seragamnya, berharap bisa memadamkan rasa panas di wajah yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.

Bahkan, Alaistar memfokuskan pandangannya ke arah semak-semak di pinggir trotoar dan berusaha meyakinkan dirinya bahwa pemandangan itu jauh lebih menarik dibandingkan si gadis hiu. Namun tentu saja hasilnya nihil.

Sejak dulu, Alaistar tidak pernah percaya kalau cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Ia beranggapan bahwa perasaan itu bukanlah cinta, melainkan hanya sebatas ketertarikan sesaat di awal pertemuan.

Bagi Alaistar, cinta ada karena suatu proses dan butuh waktu lama agar cinta itu untuk tumbuh. Bukan secara tiba-tiba. Ia bahkan menganggap remeh dan mencela ketika David--sahabatnya sejak SMP-- bercerita padanya tentang cinta pada pandangan pertama yang ia alami.

Namun kini, insiden itu mengubah segalanya. Sejak saat itu, Alaistar berpikir bahwa hiu tidaklah lagi menyeramkan dan cinta pada pandangan pertama itu nyata adanya.

Gadis itu tidak akan pernah menyangka seberapa besar dampak senyumannya pada kehidupan Alaistar.

*****

"Keychain putus begitu, bukannya dibuang malah dipandangin melulu. Memangnya lo sedang  memandangi cewek cantik? Serius banget," ledek David sembari sesekali melirik ke sahabatnya yang sedang melamun di atas ranjang. Sebuah kain kompres menempel pada dahi Alaistar yang kini benjol.

David terkejut bukan main saat berkunjung ke rumah Alaistar sepulangnya dari les privat. Cowok itu menyambutnya dengan benjol sebesar bola golf di dahinya. David langsung tertawa terbahak-bahak dan tak henti mengejek sahabatnya itu. Terlebih lagi saat David diberi tahu mengenai kisah di balik dahi benjol itu.

Alaistar menghela napas berat. "Gue benar-benar menyesal. Kenapa bisa-bisanya gue enggak terpikirkan untuk meminta nomor ponsel atau salah satu akun media sosial miliknya, sih? Ah, bahkan gue enggak menanyakan siapa namanya."

"Siapa? Oh, cewek yang enggak sengaja lo tabrak tadi?" Tanya David.

Alaistar mengangguk lesu. Iya, Alaistar terlalu terkesima sampai-sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Alaistar masih terdiam kaku di tempatnya sampai gadis itu berjalan pergi dan berbaur dengan siswa-siswa yang baru pulang sekolah. Ia hanya bisa meratapi keychain berbentuk kartun hiu yang lupa dipungut oleh sang gadis. Gadis itu ternyata memiliki beraneka ragam jenis hewan laut dalam bentuk keychain yang tergantung di ranselnya.

"Apa lo sempat melirik ke nametag seragam miliknya?"

Alaistar menggeleng lesu. "Gue bahkan enggak bisa melihat seragam apa yang ia kenakan.  Baju bagian atasnya tertutup rapat sama hoodie hiunya."

David menghela napas sambil menyeringai ke arah sahabatnya itu. "Oh ternyata begini kelakuan orang yang dulu mengejek gue karena gue mengalami yang namanya cinta pada pandangan pertama?"

Alaistar melempar kepala sahabatnya itu dengan botol kosong yang ia raih dari nakas.

David semakin tersenyum lebar setelah berhasil menangkis lemparan botol dari Alaistar. Ini adalah kali pertama baginya melihat Alaistar bersikap layaknya kekasih yang menjalani Long Distance Relationship alias LDR. Lemah, lesu, lunglai, galau, dan mellow. Jangankan LDR, Alaistar bahkan belum pernah pacaran atau pun menyukai seorang gadis. Menurut David, melihat Alaistar bisa bersikap seperti ini karena seorang gadis merupakan suatu kemajuan.

"Gue pikir selama ini lo gay karena belum pernah suka sama cewek. Lo bahkan menolak semua cewek yang mengajak lo berkenalan. Gue enggak pernah menyangka kalau saat-saat seperti ini akan tiba juga, gue sampai terharu,” ujar David. Tangannya bergerak seolah-olah menghapus derai air mata yang mengalir.

Alaistar tidak mengindahkan ucapan sahabatnya. "Kayaknya gue harus balik lagi ke tempat gue tabrakan tadi deh. Gue perlu ketemu sama dia," kata Alaistar penuh tekad.

"Serius? Dengan dahi benjol sebesar itu lo mau mencari dia? Apa lo enggak merasa malu?"

Alaistar hanya mengendikkan bahu acuh tak acuh.

******

"Sudah hampir dua jam, apa lo yakin kalau dia belum lewat juga?" Keluh David. Kakinya terasa kaku karena terlalu lama berjongkok di balik semak-semak yang ada di samping trotoar jalan. Trotoar tersebut merupakan lokasi Alaistar dan si gadis hiu bertabrakan beberapa waktu lalu.

Sudah dua minggu David menemani sahabatnya itu mencari si gadis hiu. Setiap pulang sekolah, mereka langsung buru-buru menuju lokasi tersebut, takut sewaktu-waktu gadis itu muncul dan mereka sama sekali tidak mau melewatkan momen itu.

Alaistar berdecak. “Kayaknya kita harus ganti rencana, Vid. Kalau hanya menunggu seperti ini, kemungkinan kita untuk menemukan si gadis hiu sangat kecil,” ujar cowok itu. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan.

David menatap Alaistar dengan penasaran. “Lalu apa rencana lo?”

“Ikut gue,” ajak Alaistar dengan penuh keyakinan. Sepasang sahabat itu keluar dari balik semak-semak. Mereka bahkan tidak peduli pada helaian daun yang tersangkut di rambut mereka, lalu dengan percaya diri Alaistar menghampiri tiga orang siswa laki-laki yang sedang melewati trotoar tersebut. “Permisi, maaf mengganggu. Apa kalian pernah lihat seorang gadis memakai hoodie hiu yang lewat di sekitar trotoar ini? Kulitnya putih bersih, wajahnya tirus.”

Ketiga lelaki itu tampak berpikir sejenak dan melirik satu sama lain. “Maaf, kami enggak pernah lihat,” jawab mereka. Alaistar tersenyum tipis lalu mengucapkan terima kasih. Sepanjang hari itu, Alaistar tak henti menanyakan kepada setiap orang yang lewat di sana tentang gadis hiunya. Hal tersebut dilakukan Alaistar selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dengan ditemani oleh sahabat setianya, David.

“Apa lo tahu? Sekarang, gue bahkan sudah sangat hafal dengan ciri-ciri fisik si gadis hiu karena selalu mendeskripsikannya ke setiap orang yang lewat trotoar ini. Gue enggak akan heran kalau gadis itu muncul di dalam mimpi gue,” ujar David.

Alaistar memukul belakang kepala David dengan botol minum. “Enak saja. Dia itu milik gue. Untuk apa dia muncul di mimpi lo?!” omel Alaistar.

“Ya ampun, belum jadi apa-apa saja sudah bersikap posesif begitu. Apalagi kalau sudah jadi pacar,” komentar David seraya mengelus bekas pukulan Alaistar. Alaistar tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu. Alaistar menghampiri dua orang lelaki berseragam yang hendak lewat.

“Hai, permisi. Sorry, gue mau tanya. Apa kalian pernah melihat gadis berhoodie hiu yang lewat di sekitar trotoar ini?” Alaistar melontarkan pertanyaan yang sama. Kedua lelaki itu tampak lebih muda dari Alaistar dan David, sepertinya masih kelas 10. Terlihat dari baju seragam mereka yang masih cerah serta paras kedua lelaki itu yang terbilang mungil.

“Enggak pernah lihat. Memangnya ada apa, Kak? Kenapa mencari gadis hiu itu terus menerus?”

Alaistar tersenyum kikuk. “Oh, gue ada perlu.” Dalam hati, Alaistar bertanya-tanya kenapa orang ini bisa tahu kalau ia terus-menerus mencari si gadis hiu?

Lelaki asing itu menatap Alaistar dengan tatapan menyelidik. “Kakak bukan orang jahat, kan? Kakak enggak akan melakukan hal jahat apapun pada gadis berhoodie hiu itu, kan?”

Alaistar menjadi bingung karena perkataan tersebut. Ia melirik David bermaksud meminta bantuan. Namun, David justru balik menatapnya dengan ekspresi kebingungan yang sama. “Kami sama sekali enggak berniat jahat. Kami mencari gadis berhoodie hiu itu dengan maksud yang baik,” jawab Alaistar

“Dari mana kami bisa yakin kalau Kakak punya niat baik? Kak, sebenarnya Kakak sudah menanyakan pertanyaan itu ke kami lebih dari 10 kali. Setiap kami lewat jalan ini untuk pulang, pasti ada kalian berdua dan akan menanyakan pertanyaan yang sama. Teman-teman kami di sekolah pun sudah sangat hafal dengan kalian. Sebagian dari mereka bahkan memutuskan untuk berjalan memutar agar tidak bertemu Kakak. Sudahlah, menjadi seorang pedofil itu tidak baik. Lupakan saja anak kecil berhoodie hiu itu." Alaistar dan David semakin bingung.

Namun, lelaki asing itu melanjutkan penjelasannya. "Kak, sekarang kami bahkan punya akun media sosial untuk melindungi anak kecil itu. Kakak bisa ketik #savethegirltwiththesharkhoodie di media sosial, di sana Kakak bisa lihat ada berapa banyak orang yang melindungi gadis itu dan berdoa supaya Kakak enggak bertemu dengannya. Kalau Kakak sampai berbuat macam-macam, kami tidak segan-segan untuk melaporkannya ke polisi,” jelas lelaki itu panjang lebar diiringi dengan anggukan antusias temannya.

Alaistar dan David tidak bisa berkata apa-apa. Mereka sangat heran dengan pernyataan lelaki itu. “Apa? Pedofil? Anak kecil?” tanya Alaistar tak habis pikir.

“Iya, kami tahu bahwa orang yang Kakak cari itu adalah anak kecil yang masih di bawah umur kan? Teman kami pernah melihat seseorang berhoodie hiu yang lewat jalan ini. Itu adalah murid kelas 3 SD, Kak! Dia bahkan masih di antar-jemput orang tuanya ke sekolah!”

Refleks, Alaistar ingin menyerang cowok sok tahu itu dengan membabi buta, namun David dengan sigap langsung menahan tubuh Alaistar. “Al, sabar Al. Jangan mengamuk di sini. Sudahlah lebih baik kita pergi aja.” David berusaha sekuat tenaga untuk memboyong sahabatnya itu kembali ke rumah.

Alaistar dan David bisa mendengar samar-samar suara kedua lelaki itu yang berbicara dengan kompak. “Cepat sadar ya, Kak!”

'Hari ini sungguh hari yang gila!', ucap Alaistar dalam hati.

Tanpa Alaistar dan David sadari, ada sesosok pria yang mengamati mereka dari kejauhan dengan sorot mata tajam.

To Be Continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status