Share

(02) I Am Not A Pedophil!

Alaistar menahan kekesalannya sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Ia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin dirinya disebut sebagai seorang pedofil? Jelas-jelas usia Alaistar dan si hoodie hiu tampak tidak terpaut jauh.

"Sepanjang 18 tahun gue hidup di dunia, baru kali ini ada yang menyebut gue sebagai pedofil," kata Alaistar seraya mengacak rambutnya dengan frustasi.

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya salah paham saja,” hibur David. Cowok itu sibuk mencari hashtag yang disebutkan oleh dua lelaki asing tadi di media sosial dan terkejut saat hasil pencariannya muncul.

Ada satu akun utama berisi foto-foto Alaistar dan David yang sedang berbicara pada orang-orang yang melewati trotoar 'legendaris' itu. Banyak juga komentar-komentar yang menyuruh mereka untuk segera bertaubat. Selain itu, ada juga foto seorang anak kecil berhoodie hiu yang berada dalam gendongan sang ayah dengan wajah yang di blur. Jangan-jangan ini adalah gadis berhoodie hiu yang dimaksud oleh anak-anak SMA itu? David merasa tidak sanggup untuk melihatnya lebih jauh dan memilih menutup aplikasi tersebut. Mulai besok, ia harus pakai masker ke mana pun ia pergi.

Alaistar menghela napas berat. “Kita harus ubah posisi pencarian,” ujar cowok itu dengan serius. Jemarinya membuka aplikasi maps di ponselnya.

“Dilihat dari seragam dua laki-laki kurang ajar itu, kita bisa tahu kalau mereka sekolah di SMA Putra Bangsa. Sekolah itu hanya berjarak 500 meter dari lokasi pencarian awal kita. Enggak jauh dari sana, ada SMA Pelita Bangsa dengan jarak 1 km. Menurut gue, hanya dua sekolah ini yang paling mungkin untuk menjadi sekolahnya si gadis hiu. Gadis hiu itu enggak mungkin sekolah di SMA Harapan Bunda yang berjarak 5 km dari trotoar itu. Bisa-bisa kaki dia bengkak kalau pulang sekolah lewat sana,” jelas Alaistar.

David ikut mengamati maps di ponsel Alaistar dan menatap sahabatnya itu dengan sangsi.

“Lo sudah mendengar sendiri omongan murid SMA Putra Bangsa itu, kan? Enggak mungkin kita meneruskan pencarian di sana. Lagi pula, kalau mereka sampai berpikir kita adalah pedofil, berarti si gadis hiu itu memang enggak ada di sana. Mereka saja salah dalam menebak orang yang gue maksud, iya kan?”

David mengangguk paham. "Gue baru mendengar ada yang namanya SMA Pelita Bangsa," gumam David.

"Setahu gue itu adalah sekolah elit, hanya orang-orang yang sangat kaya saja yang bisa sekolah di sana."

“Oke. Bagaimana kalau besok kita langsung ke SMA Pelita Bangsa saja? Untuk mempersingkat waktu.”

“Boleh,” jawab Alaistar setuju.

 ******

Alaistar dan David termenung melihat papan nama sekolah yang terpampang di depan gerbang dengan tulisan yang cukup besar.

"SMA Pelita Bangsa, sekolah khusus laki-laki," ujar David. Suara cowok itu agak teredam karena masker hitam yang ia kenakan. David menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menoleh ke arah sahabatnya dengan tatapan bingung, ia mengulangi ucapannya lagi. "Sekolah khusus cowok. Apa lo benar-benar yakin kalau yang lo tabrak itu cewek bukan cowok?"

Melihat itu, Alaistar termangu. Ia ikut menggaruk kepalanya, bingung. "Gue yakin yang gue tabrak itu cewek, bukan cowok. Gue pun yakin sekolah ini adalah sekolahnya karena dia ikut berbaur sama anak-anak sekolah yang pakai seragam ini juga. Lihat seragam ini tuh men-trigger sesuatu dalam ingatan gue. Gue yakin ini benar."

"Tapi ini sekolah khusus cowok, lo enggak akan menemukan murid perempuan di sini. Kalau guru perempuan, mungkin ada." ujar David lagi.

Alaistar mendengus. Ia menarik ransel sahabatnya itu dan membawanya ke pos satpam. "Permisi, Pak. Mau tanya, apa di sini ada murid perempuan yang tingginya sebahu saya? Wajahnya tirus dan kulitnya putih." Tanyanya.

Satpam tersebut menatapnya dengan ekspresi kebingungan. "Murid perempuan? Di sini sekolah khusus laki-laki, Dek. Enggak ada perempuan yang sekolah di sini."

David melirik Alaistar sekilas, ia bisa melihat raut wajah kecewa yang terpancar di sana. David menghela napas pelan. “Oh oke kalau begitu. Terima kasih ya, Pak,” kata David. Cowok itu menepuk bahu Alaistar, mencoba menghibur Alaistar yang kecewa. Ia merangkul bahu sahabatnya itu dan menggiringnya pulang.

"Apa lo enggak punya petunjuk lain selain hoodie hiu?" Tanya David. Alaistar menggeleng pelan.

"Bagaimana kalau wajah? Apakah ada ciri khusus dari si gadis hiu yang belum gue ketahui?"

Alaistar menggangguk sambil tersenyum tipis. "Cantik," jawabnya.

David menghela napas jengkel. "Tapi, apa lo yakin kalau dia bukan cowok? Di sana itu sekolah khusus cowok, lho."

Alaistar melirik sinis. Ia menghempaskan tangan David yang sejak tadi merangkulnya. "Harus berapa kali sih lo menanyakan pertanyaan yang sama terus? Gue yakin kok kalau dia ini 100% cewek."

"Seberapa yakin? Jaman sekarang banyak kok cowok berwajah cantik. Siapa tahu lo keliru, dan gue enggak apa-apa sih kalau lo memang gay. Gue cuma mau bilang saja kalau kita itu enggak mungkin menemukan murid perempuan di sana."

"Enggak, gue yakin kalau dia itu benar-benar cewek. Lagi pula, ada satu hal yang harus lo ketahui, gue itu straight."

"Habisnya selama ini lo sama sekali enggak menunjukkan ketertarikan ke semua perempuan cantik yang gue sodorkan ke lo. Perempuan yang suka dan menyatakan perasaannya ke lo pun, lo enggak peduli. Lalu sekarang? Lo naksir sama ‘perempuan’ berhoodie hiu yang lo yakini bersekolah di sekolah khusus laki-laki? Apa menurut lo semua ini masuk akal untuk beranggapan kalau lo itu straight?” jelas David panjang lebar.

Alasitar mendengus. “Jadi, lo enggak percaya kalau gue itu straight?”

David menggeleng. “Gue akan percaya lo straight kalau gue lihat dengan mata kepala gue sendiri bahwa yang lo taksir itu benar-benar perempuan.”

“Kalau begitu, bantu gue sampai gue berhasil menemukan si hoodie hiu,” pinta Alaistar.

David mengendikkan bahunya pelan. “Sebenarnya lo enggak perlu susah-susah mencari dia seperti ini kalau saja di pertemuan pertama kalian, lo enggak salah tingkah dan membiarkan si hoodie hiu pergi begitu saja dari hadapan lo. Dasar, sekalinya naksir seseorang sampai salah tingkah begitu. Apa lo tahu kalau lo itu norak?” ledek David.

Alaistar menghentikan langkahnya dan menatap David dengan jengkel. “Sejak tadi lo enggak ada henti-hentinya membuat gue kesal, ya?”

David terkekeh pelan. “Bagaimana soal suaranya? Suara cewek atau suara cowok?"

"Gue.. enggak mendengar suaranya. Dia cuma tersenyum aja."

David menepuk dahinya, kesal. "Kalau seragamnya? Dia pakai rok atau celana?"

Alaistar menggeleng lesu. "Gue cuma fokus ke hoodienya."

David melirik sahabatnya itu dengan penuh kedengkian. Ia tidak percaya kalau jatuh cinta bisa membuat Alaistar menjadi bodoh seperti ini. "Haduh, kalau seperti ini ceritanya, bagaimana kita bisa sama-sama yakin kalau orang yang lo tabrak itu cewek."

Alaistar semakin lesu.

******

Alaistar dan David memutuskan untuk mampir ke minimarket dan membeli makanan ringan. Lebih tepatnya untuk David, cowok itu benar-benar kelaparan. Alaistar yang terlalu lemas dan kecewa, tidak berniat untuk masuk ke dalam minimarket dan lebih memilih menunggu di trotoar jalan sembari menyesapi sebotol es kopi yang ia bawa.

Mood Alaistar semakin buruk ketika tubuhnya ditabrak keras dari belakang oleh seorang pejalan kaki, membuat kopinya tumpah ke mana-mana. Alaistar sudah menyiapkan segala macam sumpah serapahnya untuk ia keluarkan. Namun, Alaistar justru terkejut bukan main ketika melihat sosok yang ia tabrak. Bola mata berwarna coklat serta rambut berwarna brunette yang sangat familier bagi Alaistar.

"Hiu..." gumamnya.

"Eh sorry, gue enggak sengaja," suara bass si penabrak itu memenuhi pendengarannya. Jantung Alaistar seolah ingin melompat keluar ketika mendengar suara tersebut.

‘Kenapa suara si hoodie hiu nge-bass banget?’ batinnya.

Alaistar menggosok kedua matanya, khawatir jika sosok di hadapannya ini hanya ilusi yang muncul karena efek kelelahan setelah sibuk mencari orang tersebut.

Akan tetapi, mau berapa kali pun Alaistar menggosok matanya, sosok itu tak kunjung hilang dari pandangan. Sosok di hadapannya ini adalah nyata. Se-nyata suara berat yang keluar dari bibirnya.

Seketika obrolannya dengan David tadi merangsek masuk dalam benaknya.

Hiu itu... cowok?

Alaistar masih tertegun,  bahkan sampai si penabrak tadi pergi meninggalkannya dan David datang menghampirinya, ia masih terdiam kaku di tempat.

"Apa lo baik-baik saja?" Tanya David penasaran.

"Hiu..."

David menatapnya bingung, mencoba menerka-nerka maksud ucapan Alaistar.

"Hiu? Si cewek hoodie hiu? LO LIHAT DIA? DI MANA?!" tanyanya heboh.

Jari Alaistar menunjuk ke arah seberang jalan. Tanpa basa-basi, David langsung menarik kerah belakang baju Alaistar dan berlari ke arah yang ditunjuk. Meskipun merasa lehernya tercekik karena tarikan David yang begitu kuat, Alaistar hanya bisa menatap kosong ke arah depan dan mengikuti gerak langkah David. Alaistar terlalu shocked dengan kenyataan yang baru di hadapkan padanya.

"Yang mana?! Yang mana?!" Seru David di sela-sela napasnya yang terengah.

"Seragam SMA Pelita Bangsa, nametag-nya tertulis nama Ryan," ujar Alaistar lesu. Pandangan mata Alaistar masih terlihat kosong. Sekarang, ia nampak seperti orang linglung.

David menghentikan laju larinya perlahan, hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah halte bus. "Itu… nama perempuan atau laki-laki?" Tanyanya pelan. Alaistar hanya diam.

David berdeham pelan. “Hmm, teman sekelas gue sewaktu SD juga ada yang namanya Ryan dan dia perempuan,” David mencoba menghibur Alaistar.

Alaistar menghela napas berat. “Rambutnya pendek. Dia punya jakun, suaranya nge-bass” ujar Alaistar lesu.

David dan Alaistar sama-sama terdiam. David sangat bingung memikirkan bagaimana ia harus bersikap. Sahabatnya itu terlihat sangat shocked dan kecewa.

David menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mau... gue kejar dan gue tanyakan nomor ponselnya?" Tanya David.

To Be Continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status