Share

Bab 1

Suhu panas dari tungku yang menyala membuat peluh bercucuran dan merembes pada setiap lapisan pakaian. Denting martil yang beradu dengan logam terdengar bising hingga mampu meredam suara dari luar. Meski begitu, suasana di bengkel kerja tersebut membuat Greta merasa nyaman dan riang gembira.

“Sebaiknya kamu istirahat saja, biar ayah yang lanjutkan.”

Gadis berambut pirang pendek sebahu itu terus menempa, tidak memedulikan ucapan khawatir ayahnya. Sebagai seorang perempuan, dia tidak peduli kalau harus mengerjakan pekerjaan kaum laki-laki. Toh dia sudah besar, usianya sudah enam belas tahun dan malah dalam hati kecilnya ada keinginan untuk ikut melaut bersama kawan laki-lakinya.

“Hentikan. Ayah yakin ibu lebih membutuhkanmu di dapur.” Einar seketika menahan ayunan tangan Greta agar berhenti menempa logam panas dengan martilnya. “Sudah cukup untuk hari ini. Pulanglah.”

Greta mengembuskan napas kecewa, padahal sedikit lagi dia akan menyelesaikan pesanan pedang dari salah satu penduduk desa. Namun, demi menghormati sosok ayah yang dia sayangi, Greta akan menurut.

Einar adalah penempa yang sangat hebat di desa, banyak penduduk yang mengandalkan kemampuan laki-laki itu untuk membuatkan mereka senjata. Bakat yang dimiliki Einar itu pun rasanya menurun pada diri Greta meski dia perempuan.

Segera setelah gadis itu keluar dari bengkel kerja keluarganya, Greta dihadang oleh pemuda berambut cokelat yang hampir kemerahan dan memilki wajah jenaka, Ragne namanya. Dia terlihat cengengesan penuh jahil.

“Ada apa?” kata Greta tak berselera.

“Aduh, mukamu kusut sekali.” Ragne menyahut. “Thora baru saja berduel dengan anak baru. Kurasa pertandingannya masih belum selesai.”

“Benarkah?” Sorot mata Greta berubah menjadi ceria.

“Ya, tunggu apa lagi? Ayo ke sana.”

Mereka berlari hingga sampai di kerumunan orang yang berdiri melingkar. Di tengah lingkaran itu, terdapat dua orang yang saling berhadapan. Si tubuh kekar berambut cokelat gelap bernama Thora, sementara yang satunya lagi bertubuh kerempeng tetapi memiliki gerakan gesit.

Berkali-kali si tubuh kerempeng dapat menghalau serangan Thora yang memakai pedang dengan gagah perkasa. Tindakan mengelak seperti itu membuat Thora semakin menerjang dengan penuh hasrat bertarung. Stamina Thora tampak tiada habisnya, dia terus maju dan mengayunkan pedang panjangnya dengan enteng dan lihai. Greta meringis ngeri, dia tahu seberapa berat bobot pedang itu, sebab dia dan sang ayah yang membuat senjata tersebut.

“Thora benar-benar tak kenal mati,” bisik Greta tanpa sadar.

“Semua orang memuji kehebatannya. Dia sama sombongnya karena selalu mengagungkan namanya yang mirip Dewa Thor. Memuakkan,” gerutu Ragne.

“Bukankah bagus kalau dia menyukai namanya sendiri?”

“Ya, tapi dia sangat sombong. Lihatlah para perempuan di ujung sana, mereka selalu meneriakkan nama Thora dan mengelu-elukannya.”

“Kau iri. Apa kau ingin dipuji seperti itu juga?” cibir Greta.

“Cukup kau yang memuji, aku akan sangat senang. Apalagi kalau kau mau menjadi istriku.”

Greta spontan meninju pinggang Ragne hingga laki-laki itu meringis sambil tersenyum jahil. “Aku serius,” ujar Ragne.

“Aku juga serius mau meninjumu lagi.” Bogem Greta hampir saja akan melayang di perut Ragne kalau tidak dihentikan oleh suara sorak penuh riuh yang tiba-tiba terdengar.

Duel di sana ternyata sudah selesai, Thora yang menjadi pemenangnya. Sementara si kerempeng mengalami luka-luka dan segera diangkut untuk diberi pengobatan.

Bagi penduduk Desa Stralen, pertandingan seperti itu sudah bukan hal aneh. Apalagi jika ingin menjadi prajurit yang akan pergi berlayar dan berperang, duel sangat cocok untuk membuktikan kekuatan dan kepantasan.

“Lain kali aku akan mengalahkanmu,” kata Ragne sengit saat Thora menghampiri mereka.

“Tidak usah menanti lain kali, sekarang pun aku bersedia kalau kau mau duel.”

Ragne tertawa keras, meledek.  Dia baru saja akan membalas, tetapi Greta lebih dahulu menimpal.

“Sudahlah, kalian baru saja pulang melaut sebaiknya istirahat saja. Bukankah Tuan Bjorn akan mengadakan pesta malam ini?” lerai Greta.

“Wah iya, aku baru ingat. Kau datang, ‘kan?” tanya Ragne melirik Greta. “Sudah lama aku tidak makan daging bakar yang ditambah rempah, apalagi mead-nya. Mantap sekali!” Pikiran Ragne mulai mengembara untuk membayangkan kemeriahan pesta nanti malam. Mead yang dimaksud adalah minuman fermentasi dari sari apel dan madu, terkadang berbahan dasar buah beri. Jika diolah dengan tepat, rasanya akan sangat enak. Para prajurit selalu menyukainya.

“Kurasa malam ini tidak,” lirih Greta.

“Aku mengerti, pasti ayahmu tidak memperbolehkannya ya? Greta, kalau aku jadi kau mungkin aku juga akan menurut, tapi mungkin sesekali akan melanggarnya.” Seketika bagian belakang kepala Ragne dipukul oleh Thora.

“Sesat!” teriak Thora.

“Hey, kau juga pernah melanggar sesuatu, ‘kan?” Ragne memprotes tak terima.

“Tapi aku tahu apa yang terbaik untukku. Diamlah,” balas Thora.

Ragne dan Thora melanjutkan perdebatan mereka, tetapi kali ini Greta tidak akan melerai. Kedua kawannya itu memang sering bertingkah demikian.

 “Tunggulah suatu hari nanti, aku yang akan mengadakan pestanya. Kupastikan kalian akan datang.” Greta menyahut dengan yakin hingga membuat Ragne dan Thora meliriknya sambil tersenyum.

Selama ini Greta memang tidak pernah diizinkan Einar untuk pergi melaut seperti anak laki-laki, atau berlatih pedang apalagi menghadiri pesta kemenangan. Namun, suatu hari dia bertekad akan membuktikan suatu pencapaian, dia ingin menjadi kuat dari gadis mana pun yang ada di desa.

***

Malam hari tiba. Di kala temannya pergi berpesta, Greta hanya bisa berdiam di rumah, duduk memandang perapian dan menjaganya agar tetap menyala sambil mendengarkan tetua yang menceritakan kisah pada anak-anak. 

“Di suatu hari, Dewa Thor pernah berhadapan melawan Jormungundr sang ular penjaga Midgard. Dia bertarung dengan gagah perkasa menggunakan palunya yang bernama Mjolnir. Pertarungan mereka membuat bumi berguncang hebat, gempa terjadi, dan air laut beriak ganas hingga menimbulkan gelombang yang dahsyat. Namun sayangnya tidak ada yang menang di antara mereka, dan Thor berjanji bahwa suatu saat dia akan mengalahkan Jormungundr, terutama saat Ragnarok tiba.”

Anak-anak yang mendengar kisah itu terlihat berbinar penuh rasa penasaran. Sang kakek terus bercerita tentang kehebatan para dewa atau ketangguhan prajurit yang berada di medan pertempuran.

Greta sudah banyak mendengar kisah-kisah itu. Mulai dari sembilan dunia yang dihubungkan oleh pohon Yggdrasil, atau tentang makhluk-makhluk ajaib yang mendiami dunia-dunia itu. Dia percaya bahwa makhluk-makhluk yang dikisahkan tersebut benar adanya. Namun, sepajang hidupnya dia tidak pernah sekali pun bertemu dengan salah satu dari mereka.

“Cerita malam ini sudah cukup, kalian harus tidur.” Sang kakek lantas berbaring untuk beristrahat, hingga beberapa detik kemudian terdengar dengkuran kasar yang membuat anak-anak mengeluh.

Anak-anak itu memprotes tidak terima dan hendak mengguncang tubuh kakek agar terbangun, tetapi Greta kini turun tangan dan mengantar mereka untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Aku masih belum mengantuk, apa kakak tidak bisa bangunkan kakek untuk melanjutkan sedikit saja ceritanya?” bujuk salah seorang anak saat mereka berjalan keluar rumah.

Greta menggeleng. “Kakek butuh istirahat. Kalian juga sebaiknya tidur.”

Anak-anak itu pulang dengan perasaan kecewa, tetapi mereka tidak sabar untuk menanti hari esok dan berjanji akan berkunjung ke rumah sang kakek untuk mendengar lanjutan ceritanya.

Usai mengantar anak-anak itu pulang, Greta bergegas kembali ke rumah. Namun, dia melirik ke arah kediaman Tuan Bjorn yang sedang mengadakan pesta. Dia membayangkan betapa seru dan meriahnya bila bisa hadir di tempat itu.

Saat Greta hendak berbalik, dia melihat seorang laki-laki berlari dari arah kediaman Tuan Bjorn. Semakin dekat, Greta bisa melihat bahwa laki-laki itu adalah Ragne yang berlari terburu-buru.

“Ada apa?”

Ragne terengah-engah ketika sampai di hadapan Greta. “Penyerangan! Desa kita di serang! Cepat beri tahu warga lain.”

Butuh beberapa detik bagi Greta untuk menerima informasi mengejutkan itu. “Siapa? Siapa yang menyerang kita?”

“Entahlah, mereka bertelinga runcing dan memiliki mata yang terang. Sebaiknya kita bergerak cepat untuk memperingatkan yang lain.”

Greta hampir tidak percaya saat Ragne mendeskripsikan sosok penyerang desa. Bukankah itu mirip elf seperti dalam cerita? Namun, kobaran api yang menyala terang dari peternakan Tuan Bjorn menyadarkannya untuk bergerak cepat.

Greta bergegas kembali ke rumah dan menyampaikan informasi itu pada ayahnya. Einar lantas mengambil senjata andalannya dan menyerukan pengungsian.

Di sisi lain, Selma—ibunya Greta—menggenggam tangan anaknya dan menyerahkan sebuah kotak kayu kecil mirip tempat cincin. “Sebaiknya kuberikan benda ini padamu sekarang.”

Greta menatap Selma heran. Di saat genting seperti ini ibunya malah memberikan sebuah kotak alih-alih menyuruh mengambil senjata? Sungguh seperti lelucon. Meski begitu dia meraih kota itu dan segera memasukkannya ke saku gaun.

“Akan kubuka setelah kondisinya aman. Sebaiknya kita pergi sekarang.”

Greta mengambil belati miliknya dan sebuah perisai untuk melindungi diri. Mereka keluar rumah untuk pergi ke ruang bawah tanah tempat mengungsi yang berada di dekat bukit, tetapi alangkah malangnya saat mendapati suasana di luar yang sudah kacau.

Lontaran api terlihat di mana-mana. Sosok yang diduga elf itu memenuhi desa dan bertarung melawan para warga.

Para laki-laki mengayunkan pedang dan kapak ke hadapan makhluk-makhluk itu. Sementara para elf membalas dengan kekuatan aneh, ada yang menggerakkan tanah, melontarkan api, bahkan mengempaskan mereka dengan sesuatu yang tak kasat mata.

Einar berkali-kali menebaskan pedangnya pada salah satu elf  yang menghalangi jalan. Selma berjalan di depan melindungi kakek dan Gunther—adik laki-laki Greta yang masih berusia tujuh tahun. Sementara Greta berjaga di belakang, mengarahkan perisai dari tembakan panah.

“Lari dan jangan berhenti!” Einar berseru. Dia kini melawan tiga sosok elf dan menyuruh keluarganya untuk tetap bergerak.

Mereka hampir sampai di tempat pengungsian, tetapi Gunther tiba-tiba terjatuh. Sebuah panah menembus dada anak laki-laki itu. Greta terkesiap dan memandang wajah ibunya yang sama kaget dan panik. Namun, sorot sendu tersebut berubah mengeras penuh kemarahan.

Dua sosok elf mengepung, Selma menerjang mereka dengan belati. Wanita itu tampak perkasa, tak kenal takut, dan terus maju. Greta juga tidak tinggal diam, meski tubuhnya gemetar, dia ikut melawan makhluk itu.

Di belakang mereka, ada sebuah sumur yang terhubung ke laut. Saat dua sosok makhluk terang itu tumbang, Selma mendorong Greta hingga jatuh ke sumur.

“Pergi! Pergi selamatkan dirimu. Buka kotak itu untuk mencari tahu kebenarannya. Tapi ingatlah bahwa kami selalu menyayangimu.”

Kalimat terakhir ibunya itu teredam oleh ceburan air yang dingin. Greta berusaha berenang ke atas untuk meraup udara, tetapi seketika dia melihat ada kilatan cahaya yang menyilaukan sampai akhirnya terdengar bunyi ledakan yang memekakkan telinga.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status