Share

2. Kekuatan misteri = takdir

Bertempat di kediaman milik Jingga dan keluarganya dalam suatu perumahan kota metropolitan, tampak seorang wanita berusia hampir mencapai setengah abad sedang berada di depan kompor gas. Dia sedang memanggang selembar roti gandum di atas frying pan setelah diolesi mentega. Bersama sosis ayam yang masih dalam keadaan segar, dia akan memanggangnya secara terpisah.

Tidak jauh dari wanita itu, ada seorang lelaki muda yang berada di meja makan. Mulutnya sedang mengunyah roti bakar yang telah dioles selai cokelat sebagai pembuka selera makan pada pagi hari. Dia yang mengenakan seragam SMA sebentar lagi akan berangkat, maka terlebih dahulu pula dia mengisi tenaga. Siswa SMA yang tidak mengenakan nametag di seragamnya duduk sambil mengangkat kaki di atas dudukan kursi.

Wanita itu berbalik badan dengan membawa roti sosis beserta roti panggang lain yang sudah dimasak sebelumnya. Makanan itu dihidangkan di atas meja makan yang telah dialasi piring. “Chan! Kakakmu belum keluar?” tanyanya yang memulai pagi hari dengan wajah heran.

Siswa yang dipanggil itu menggelengkan kepala. Dia bernama Chandra yang merupakan siswa baru di SMA Bakti Kusuma. “Dari tadi dia belum keluar, Bu, dari kamar mandi. Gak tau tuh ngapain aja,” jawabnya yang langsung menggigit seperempat bagian roti cokelat ke dalam mulut. Menjelaskan keberadaan sang kakak―Jingga.

Wanita yang dipanggil ibu oleh dua insan itu mendesah lelah. Sembari mempertanyakan apa saja yang dilakukan si objek pembicaraan jauh di sana. “Kalau mau roti lagi, ambil aja yang paling atas. Atau kalau mau dibawa bekal juga,” ucapnya sebelum membiarkan kakinya melangkah mengikuti irama. Dia pergi meninggalkan Chandra sendirian.

Kakinya sudah menempuh belasan anak tangga, tetapi sampai sekarang belum terdengar gaungnya. Setelah mencapai lantai atas, dia mendekati sebuah ruangan yang tidak jauh dari tangga. Rumah dua lantai ini menjadi saksi bisu akan aktivitas pada pagi ini. Pintu ruangannya masih tertutup rapat. Kemudian pintu diketuk sebanyak tiga kali. “Jingga?” serunya.

Insan yang dipanggil namanya tidak menjawab. Keadaan di dalam ruangan sangat hening ketika diteliti lebih jauh lagi. Tidak ada jawaban pula, ibu memutuskan untuk meraih gagang pintu yang ternyata tidak dikunci.

Seperti yang diduga, Jingga tidak ada di atas ranjang tidurnya. Sementara itu, suara guyuran air terdengar dari ruangan lain di dalam kamar. Sudah pasti sang puan yang dicari berada di dalam sana. Tetapi yang menarik perhatian ibu adalah kondisi ranjang tidur yang berantakan dan seperti tidak dirapikan berhari-hari.

Melihat keadaan yang tak ubah seperti kapal pecah, ibu berniat ingin membereskan tempat tidurnya dengan rapi seperti sedia kala. Tapi saat baru saja mengangkat selimut tebal, satu buku catatan kecil terlempar ke atas ranjang bersama pulpen. Dia menghentikan aktivitasnya untuk mencari tahu benda apa yang berhasil menarik atensi.

Membawa rasa penasaran, dia mengulurkan tangan ke depan untuk meraih catatan kecil milik sang puan yang sampai saat ini belum tahu kejadian sebenarnya. Ketika membaca tulisan sang puan, dia mengerutkan kening. Tulisan itu berisi nama-nama orang yang tampak asing di ingatannya kecuali nama Jingga. Ada juga sebuah tanda tanya yang justru menimbulkan tanda tanya besar.

“Bu?” Bersamaan dengan bunyi pintu yang ditutup, suara Jingga dari arah sebaliknya terdengar. Saat ibu menoleh, gadis itu keluar dengan baju lengan panjang dan mengalungkan handuk kecil di leher. Rambutnya juga basah dan sebentar lagi akan dikeringkan.

“Ini siapa?” tanya ibu yang langsung mengawali pembicaraan di antara dirinya dan Jingga. Dia mengangkat catatan bermaksud menunjukkannya ke sang puan.

“Itu nama mereka yang akan bertemu denganku,” jawab Jingga yang tampak tidak tertarik untuk membahasnya. Tanpa membawa rasa bersalah, dia bergerak ke nakas untuk menyalakan pengering rambut.

“Kamu bermimpi seperti itu lagi?”

Jingga mengangguk. Pengering rambut yang kini mengeluarkan uap panas seakan-akan mengucapkan salam perkenalan kepada rambut yang butuh perawatan. Dia mengeringkan rambut bagian kiri terlebih dahulu. Dia membalas, “Hampir tiap hari.”

Ibu bergerak dari tempatnya menuju Jingga yang duduk di depan kaca. Wanita itu membantunya mengibas-ngibas helaian rambut yang belum kering. “Kan sudah kubilang kalau mimpi itu lagi, kamu sebaiknya abaikan saja.”

“Terus, salahkah kalau melihat mereka dalam mimpi? Karena menurutku kalau semakin diabaikan, mimpi itu akan datang lagi dan menggangguku tanpa henti. Aku akan terus melihat hal yang sama sampai aku muak dengan itu,” ujar Jingga yang memiliki pendapat berbeda dengan ibu. Dia memiliki alasan yang membuatnya tidak bisa mengikuti kemauan wanita itu.

“Tapi bagaimana kalau ibu yang muak? Kamu seperti terobsesi dengan mimpi itu dan mungkin orang lain akan menganggapmu tidak normal. Ibu hanya ingin kamu bisa hidup seperti orang lain. Gak bisakah?”

Jingga memutar kepala setelah mendengar tuturan ibunya. “Bu! Gimana bisa ibu menganggapku gak normal seolah aku lahir dari dunia lain. Padahal kalau aku memiliki kemampuan ini atau tidak, gak bakal ada perubahan. Aku tahu bagaimana aku mengurusi hidupku sendiri,” ujarnya dengan nada tidak percaya.

“Tapi kamu gak keganggu?”

Jingga terdiam. Dia sadar kalau ibunya butuh penjelasan lebih jauh. Sudah diingatkan berkali-kali tentang hal yang sama, dia sudah lelah. Dia ingin meluruskan apa yang membuat ibunya salah paham. Oleh karena itu, dia memberi sebuah pelukan hangat kepada wanita yang sangat disayangi dalam hidupnya. “Aku juga terganggu, Bu, tapi aku tahu cara menanganinya. Pasti ada alasan kenapa hanya aku yang bisa membaca masa depan. Pasti ada hal yang harus kuselesaikan di dunia ini makanya aku jadi gini. Ini sudah takdirku, ini juga anugrah dari Tuhan. Aku hanya bisa menerimanya dengan lapang dada.”

“Kamu yakin?”

“Aku yakin. Percaya aja denganku.”

“Baiklah. Aku bisa tenang setelah ini,” jawab ibu yang kini bisa merasa lebih tenang setelah diyakinkan sang putri tertua dalam silsilah keluarganya. Dia sadar gadis itu sudah dewasa dan tahu bagaimana menjalani hidup di dunia luar.

*

Halte bus pada 35 menit sebelum pukul tujuh pagi biasanya selalu ramai dipadati penumpang yang ingin naik bus kota. Ada karyawan kantor yang masuk pagi, ada murid-murid sekolah, ada juga guru dan tenaga pengajar lain yang selalu datang pagi. Termasuk juga Jingga dan Chandra yang baru saja berada di kawasan pemberhentian.

Bus Transjakarta selalu diramaikan penumpang setiap hari. Bus itu selalu beroperasi tanpa henti mengelilingi Jakarta yang sudah seperti kota maju di masa depan. Akhir pekan juga tidak dapat dielakkan. Selain bus, ada juga warga kota yang menggunakan kendaraan pribadi. Bagi keluarga yang lebih suka menghemat uang, mereka memilih menggunakan kendaraan umum dengan alasan praktis.

Kakak adik itu kemudian berhenti setelah menjejakkan kaki di halte, bergabung bersama warga lain. Jingga menengok ke sisi kiri dan kanan untuk mencari bangku, tapi tidak ada lagi yang tersisa. “Pulang nanti lo bisa sendiri ‘kan?” tanyanya yang mengajak Chandra bicara setelah obrolan dari perumahan tadi.

“Bisa kok. Sebenarnya lo juga gak perlu anterin gue sampai sini,” balas Chandra. Pada saat yang sama, bus berwarna biru laut baru saja terlihat di dekat pemberhentian.

“Daripada gue diomelin ‘kan,” ujar Jingga yang juga bisa melihat sebuah objek yang sama. Tidak butuh waktu lama, bus berhenti. Dia melanjutkan pertanyaan, “Duit lo?”

“Udah ada kok.”

Punggung Chandra kemudian menghilang dari pandangan setelah naik ke bus. Jingga tidak bisa lagi melihat adiknya yang tidak tahu duduk di bangku bagian mana. Tidak lama setelah itu, pintu bus tertutup dan menjauh dari pemberhentian. Meninggalkan Jingga yang kini sendirian.

Niatnya setelah mengantar Chandra adalah segera pulang. Oleh karena itu, dia berjalan kaki menyusuri bahu jalan sebelum tiba di gerbang perumahan yang tidak jauh dari halte. Di hadapan, dia melihat beberapa pejalan kaki dan seseorang yang mengendarai sepeda ke arahnya. Setelah sempat berpapasan, dia dan pemilik sepeda saling membelakangi.

Terdengar suara rem mobil yang bergeser dengan bahu jalan, beserta suara benda terjatuh dengan keras. Jingga mendadak berhenti di tempat, lalu menoleh ke arah belakang. Di persimpangan, orang yang mengendarai sepeda tadi mengalami kecelakaan karena ditabrak mobil yang melintas dari arah simpang. Ban sepedanya hampir masuk ke bawah mobil, namun pemiliknya tergeletak di jalan raya. Akibat kecelakaan itu, semua kendaraan menepi di bahu jalan.

Beberapa warga yang kebetulan melintas di sana mulai mengerubungi pengguna sepeda tersebut. Seperti kawanan semut yang ketumpahan gula. Beberapa di antaranya ada yang berseru kaget dan mengucapkan rasa iba.

“Hai, Cantik!”

Bersamaan dengan suara berat dari seorang lelaki, kecelakaan yang terjadi tadi menghilang dalam satu kedipan mata. Seolah kecelakaan itu tidak pernah ada. Itu adalah bagian dari masa depan yang dilihat Jingga beberapa saat kemudian.

Jingga kembali memutar kepalanya ke arah semula. Seseorang yang mengendarai sepeda tahu-tahu saja sudah berada di depan mata untuk menyapanya. Perawakannya mirip seperti pemuda yang kecelakaan tadi. Gadis itu tidak menjawab.

“Abis anterin adik lo ya?” ujar pemuda itu lagi yang kemudian menaikkan sudut bibir dan menatap sang puan dengan sorot mata cerah. Jingga menganggukkan kepala tanpa bersuara. Dia melanjutkan, “Lo pasti mau pulang ‘kan? Mau dianterin?”

Jingga menggelengkan kepala, menolak tawarannya. “Makasih atas tawarannya, tapi gue bisa pulang sendiri.”

Pemuda itu kemudian menaikkan kaki sepeda. “Kalau gitu, gue cabut dulu ya. Lo juga hati-hati. Entar lo digodain lagi sama mas-mas freak di sana,” ucapnya yang mengingatkan Jingga akan beberapa hal sebelum pamit.

Jingga tidak menjawab lagi. Dia sudah memutar badan dan melanjutkan langkahnya untuk pulang ke rumah.

“Ngomong-ngomong …,”

Jingga berhenti. Dia kembali menoleh ke pemuda itu yang rupanya belum beranjak dari tempat. Pemuda itu berkata, “Nama lo Jingga ‘kan? Gue gak sengaja dengar obrolan lo sama Pak Satpam perumahan itu.”

“Iya, gue Jingga.”

Pemuda itu tersenyum lebar. “Nama lo cantik ya, seperti orangnya. Kenalin juga. Nama gue Justin,” ucapnya dengan semangat lalu pergi. Sepeda yang dia kayuh semakin jauh dari sang puan.

Please, jangan pergi ke sana.” Dari benak hati, Jingga yang sudah tahu apa yang akan terjadi berteriak sekuat hati. Tetapi yang bisa dia lakukan adalah diam di tempat. Sadar kalau dia tidak akan bisa mengubah apa pun, dia berbalik badan dan menjauh dari halte.

Seperti kenyataan, Justin ditabrak oleh pengendara mobil yang datang dari arah persimpangan. Tubuhnya terpental dari sepeda. Darahnya keluar dari kepala saat punggungnya baru saja menyentuh aspal jalan. Dia masih bisa melihat langit yang hari ini ditemani awan tebal sebelum matanya terpejam.

Di sisi lain, Jingga yang semakin menjauh tiba-tiba menitikkan air mata. Dia tahu kecelakaan itu akan terjadi, tetapi dia tidak bisa mencegahnya bahkan meminta Justin untuk kembali. Dia sadar pemuda itu tidak bisa terpisah dari takdir yang sudah diputuskan. Pemuda itu tetap meninggal dunia setelah mengetahui namanya. Bisa melihat masa depan baginya bukan berarti bisa mengubah masa depan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status