Berada di sebuah padang rumput yang luas seperti lapangan sepak bola, tampak tujuh pemuda dan pemudi berkumpul di tempat yang sama dan posisi punggung mereka saling bersentuhan. Saling membelakangi dan pandangannya mengedar ke segala arah. Di depan mata, padang rumput tersebut berbatasan dengan ribuan pohon bercabang banyak yang bisa dilihat dari arah mana saja.
Suasana di sini amat mencekam. Mereka mengawasi keadaan dengan tatapan waspada dan berjaga-jaga. Hal yang bisa didengar untuk sekarang adalah suara langkah kaki disertai suara pijakan ranting kayu tergeletak di tanah. Suara itu berasal dari mana saja. Hampir segala sisi di padang rumput ini bisa ditangkap dengan jelas oleh indra pendengaran.
Hal yang bisa dilakukan mereka adalah memasang mode waspada. Jika tidak, nyawa mereka yang mungkin menjadi ancaman. Mereka tidak akan bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup jika tidak berhati-hati. Suara itu juga semakin memekakkan telinga.
Tetapi tidak berlaku bagi seorang gadis berkulit putih tersebut yang posisinya membelakangi matahari di ufuk barat. Walaupun dia sedang mengawasi wilayah sekitar, bola matanya sejak tadi tidak berpindah ke seorang gadis dengan rambut panjang dan berlekuk seperti gelombang air laut. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada gadis di sebelahnya.
Tidak ingin membawa lagi rasa penasaran tersebut, gadis berkulit putih itu mengajukan pertanyaan dengan serius. “Kebetulan ketemu di sini nih, lebih baik lo jujur. Gak perlu mengelak lagi!” ucapnya bernada tegas. Dia melanjutkan, “Lo tau gue dari mana?”
Gadis berambut gelombang itu tersenyum miring. Dia mengembuskan napas pendek, bermaksud mengejek gadis di sebelahnya yang bertanya. “Kenapa? Lo penasaran sama gue?” jawabnya setengah mencibir dan terkesan tidak mau terlibat dalam pembicaraan. Raut mukanya juga tampak setengah hati ketika pembahasan ini yang keluar dari mulut sang puan.
“Karena lo yang tau segalanya tentang gue,” balas gadis berkulit putih yang berkata dengan raut wajah ingin tahu. Berbeda dengan gadis berambut gelombang itu yang justru memberinya ejekan. Dia tidak peduli, asalkan pertanyaan di kepala ini bisa terjawab segalanya.
“Sok tau lo,” ucap gadis berambut gelombang itu dengan ketus. Dia tidak peduli lagi dengan respons sang puan. Kesannya sudah buruk di depan mata. Dia ingin segera mengakhiri drama singkat yang terjadi tanpa direncana, bahkan dia diseret ke tempat ini juga tidak direncana. Dia mencibir, “Emang lo kenal gue? Sok merasa paling kenal lo padahal baru papasan doang.”
“Mulai kasar lo, ya.”
“Lo berdua saling kenal?” Seorang lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan dibiarkan keluar dari lipatan celana menginterupsi pembicaraan mereka. Hal itu membuat mereka kompak mengalihkan pandangan ke asal suara. Mereka juga kompak tidak membalas. “Kalau lo mau mati di sini, mending serahin diri aja. Tapi jangan ngebebanin lima orang lain yang pengen hidup karena kalian,” tambahnya.
“Oke. Gue minta maaf,” ucap gadis berkulit putih yang secara tidak langsung juga menutup pembicaraan singkat. Dia sadar ada yang harus diawasi daripada harus memusingkan hal yang tidak pasti.
Lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya ke arah semula. Begitu juga dengan gadis berambut gelombang. Dia juga tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini karena memang dia tidak mau membahasnya. Semua ini terjadi karena gadis itu yang mendesaknya.
*
Kini, tujuh anak manusia itu duduk melingkar di atas rumput sambil meluruskan kaki. Masing-masing kepala sedang menarik dan mengembuskan napas berulang kali, seperti baru saja melakukan lomba lari dengan jarak sejauh satu kilometer. Mereka juga kelelahan, didukung oleh raut wajahnya. Keringat yang keluar dari dahi sejak tadi bermunculan seperti embun menjelang subuh.
Tidak ada lagi suara langkah kaki beserta suara pijakan ranting kayu. Tidak ada lagi yang perlu diwaspadai. Semua itu sudah berakhir. Mereka bisa pulang tanpa merasa khawatir lagi. Mereka bisa keluar dari dunia yang sudah seperti jebakan.
Sebelum kesempatan itu punah dari impiannya, gadis berkulit putih yang sejak tadi tidak mengalihkan atensinya menatap tajam. Ada banyak pertanyaan yang terlintas di kepala dan harus dituntaskan saat itu juga. Dia tidak bisa diam saja ketika identitasnya dipertanyakan.
Perlahan, dia mengulurkan jarinya ke depan yang lantas membuat semua pasang mata menatapnya. Termasuk juga sang objek yang menjadi sasarannya―gadis berambut gelombang. Dia berkata, “Lo … sebenarnya bisa baca masa depan ‘kan?”
Pertanyaan ini membuat mereka yang mengamati pembicaraan membelalakkan mata. Sepertinya sulit untuk menerima kenyataan yang terjadi kepada sang objek. Oleh karena itu, sontak semua pasang mata berganti.
Gadis itu mendesis dan menatapnya dengan tatapan mengejek. Bukannya takut, dia malah ingin menantang sang lawan bicara yang penasaran dengan identitasnya. “Gue juga gak perlu jawab pertanyaan lo, ‘kan. Jadi gue gak bakalan jawab,” balasnya yang diakhiri dengan senyum menyungging.
“Jawab lo, brengsek!”
“Kalau lo benar juga, lo pasti tahu karena bisa baca pikiran gue. Gak salah ‘kan?”
Gadis berkulit putih itu menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan. Amarahnya tadi sudah mencapai ke atas kepala. Dia tidak mau dipancing lagi karena hal itu akan semakin membangkitkan emosi. “Benar. Gue bisa baca pikiran orang lain,” jawabnya yang mengakui dengan jujur dan tidak direkayasa. Tuduhan gadis itu juga tidak ada dusta sama sekali.
“Wah! Gue sama sekali gak nyangka.” Menengahi pembicaraan antara dua gadis itu, gadis berambut pendek yang mengenakan T-shirt polos berwarna merah muda berseru. “Maksudnya lo bisa baca pikiran semua orang, termasuk gue?”
Gadis yang ditanya itu menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Gue tahu isi kepala semua orang dan apa yang mereka pikirkan. Tapi, hanya dia yang pikirannya gak bisa gue baca,” tambahnya yang kemudian menunjuk satu orang. Arah tunjuknya ke seorang gadis yang mengenakan baju lengan panjang. Mendadak, semua pasang mata juga berganti ke arah sang puan yang dari tadi hanya menyimak pembicaraan.
“Berarti beneran dong, kalau lo bisa baca masa depan.” Kini, giliran lelaki yang mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih dengan motif tulisan kapital bersuara. Dia menyimpulkan segala percakapan yang disimaknya. Menegaskan ulang kepada gadis berambut gelombang itu mengenai asumsi tadi.
“Benar, gue bisa baca masa depan. Ada orang yang ngejar gue tadi. Karena orang itu juga kita terjebak di sini,” jawab sang puan yang akhirnya mengakui. Dia lelah karena disudutkan berkali-kali. Pengakuannya membuat semua orang terkejut seolah mendapat berita baru, tetapi tidak dengan gadis berkulit putih yang sudah menemukan jawabannya lebih awal.
“Kenapa harus kita?” tanya seorang lelaki yang memiliki mata bulat sempurna seperti bola. Wajahnya tampak ingin tahu mengenai apa yang menjadi awal pertemuan pada hari ini.
“Karena kita adalah orang pilihan. Dia membutuhkan kita,” jawab gadis berambut gelombang dengan singkat berdasarkan pengetahuannya tentang sang objek di luar sana.
Lelaki yang mengenakan kaus putih itu tersenyum bahagia. Dia mengulurkan tangan ke arah gadis pembaca masa depan. Raut wajahnya terlihat takjub seperti bertemu dengan orang baru. Sedangkan gadis itu bingung dengan gerak geriknya. “Apa pun itu, senang bertemu lagi. Akhirnya gue tahu lo, Jingga.”
*
Tidak ada lagi padang rumput. Tidak ada lagi deretan pohon bercabang. Kini, raga seseorang baru saja kembali dari bunga mimpi yang pagi itu dibangunkan oleh suara ayam berkokok. Suara itu membuat Jingga―gadis berambut gelombang―membuka dua matanya dengan segera. Dia mengusap mata dengan lembut sebelum mengangkat punggungnya dari kasur.
Duduk di tepi ranjang tidur, dia menggaruk puncak kepala yang kebetulan rambutnya sedang berantakan seperti singa. Tangannya terulur ke laci kecil di sebelah ranjang dan membukanya. Satu buku catatan kecil beserta pulpen diraih sebagai awalan pada hari ini. Dia menuliskan apa yang dilihatnya di mimpi tadi secara garis besar. Dia sadar kalau itu merupakan bagian dari kilasan masa depan, makanya dia tidak ingin melewatkan satu kata.
“Jingga! Tolong aku sebentar di bawah! Cuci muka dulu sebelum turun.”
Suara lembut seorang wanita memecah keheningan pada pagi ini. Oleh karena itu, Jingga buru-buru meletakkan catatannya di atas ranjang. “Baik, Bu!” serunya beberapa saat kemudian.
***
Bertempat di kediaman milik Jingga dan keluarganya dalam suatu perumahan kota metropolitan, tampak seorang wanita berusia hampir mencapai setengah abad sedang berada di depan kompor gas. Dia sedang memanggang selembar roti gandum di atas frying pan setelah diolesi mentega. Bersama sosis ayam yang masih dalam keadaan segar, dia akan memanggangnya secara terpisah.Tidak jauh dari wanita itu, ada seorang lelaki muda yang berada di meja makan. Mulutnya sedang mengunyah roti bakar yang telah dioles selai cokelat sebagai pembuka selera makan pada pagi hari. Dia yang mengenakan seragam SMA sebentar lagi akan berangkat, maka terlebih dahulu pula dia mengisi tenaga. Siswa SMA yang tidak mengenakan nametag di seragamnya duduk sambil mengangkat kaki di atas dudukan kursi.Wanita itu berbalik badan dengan membawa roti sosis beserta roti panggang lain yang sudah dimasak sebelumnya. Makanan itu dihidangkan di atas meja makan yang telah dialasi piring. “Chan! Kakakmu belum keluar?” tanyanya yang mem
Di koridor sebuah gedung yang memiliki sekitar delapan ruangan dalam satu lantai, tampak seorang lelaki yang mengenakan kacamata dan kemeja kotak-kotak yang dimasukkan dalam celana kain sedang bersembunyi di balik tembok. Dia sedang mengamati keadaan lorong yang saat itu dipadati orang lain―yang mondar-mandir untuk mencari ruang kuliah. Menjauh dari keramaian, dia ingin memastikan sesuatu sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dari lantai utama. Ada yang membuatnya khawatir jauh di sana.Bertempat di Universitas Jaya―kampus milik swasta yang berlokasi di pusat kota Jakarta―para mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikan memadati dua gedung utama. Gedung yang berhadapan langsung itu adalah gedung fakultas lain. Sedangkan fakultas di sini khusus untuk Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kesenian. Tiap gedung memiliki lima lantai yang bisa diisi sampai dua departemen.Setelah memastikan kalau keadaan di seberang aman, dia bernapas lega. Kalau keadaan seperti ini setiap hari, hidup
Di supermarket yang ada di bagian Jakarta bernama Batavia Market, Jingga yang berada di sana mengikuti punggung seseorang di belakang. Tujuan dia datang ke sini adalah karena permintaan ibu. Menjelang sore, dia diminta pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan dapur yang sudah habis atau hampir habis. Karena barang yang dibeli tidak hanya berjumlah satu buah saja, dia mengendarai motor matic yang selalu diparkir di garasi rumah bersama sebuah mobil.Tempat ini setiap hari selalu ramai. Apalagi kalau menjelang malam, maka padatnya tidak akan terkira. Jingga juga sudah mengantisipasi kejadian itu, makanya dia keluar sebelum malam. Kalau ditunda sekarang juga, kemacetan di jalan tidak akan bisa dihindari.Kini, sang puan berada di rak bagian minyak goreng dengan membawa keranjang berisi bawang putih. Dia diminta untuk membeli minyak goreng ukuran sedang, namun ukuran yang dicari sekarang tidak terlihat di depan mata. Satu rak panjang itu tetap menjadi fokus utama.Niatnya, dia ingin
Sebuah mobil berwarna putih diparkir di halaman depan rumah yang besar dan hanya memiliki satu lantai saja. Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dimasukkan dalam celana baru saja keluar dari mobil yang dikendarainya. Di tangan, dia membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan segar yang dibeli sebelum ke sini. Langkah kakinya menuju ke arah pintu rumah yang saat ini tertutup rapat. Dari luar, rumah itu seperti tidak berpenghuni. Lelaki itu berhenti di depan daun pintu. Satu tangannya kemudian menekan bel yang sejajar dengan gagang pintu. Bel berdering tiga kali yang bisa didengar dari dalam rumah. Dia hanya menunggu pemilik rumah yang membukakan pintu untuknya. Dia sangat yakin kalau pemilik rumah pasti ada di naungannya. Tidak lama kemudian, gagang pintu bergerak. Pintu terbuka setengahnya, kemudian muncul seorang laki-laki hidung mancung yang kelihatan dari balik pintu. Rupa wajahnya hampir seiras dengan lelaki yang mengenakan kemeja putih tersebut. Jika d
Menempuh seribu langkah dengan berlari dan membawa perasaan yang tidak tenang, Jingga menyusuri bahu jalan sambil sesekali memutar arah kepala ke belakang. Dia sedang panik dan butuh diselamatkan seseorang yang berbaik hati menawarkannya bantuan. Napasnya juga tersengal-sengal karena harus menggunakan energinya lebih sering.Sepertinya ide untuk meminta bantuan akan terasa sia-sia saja jika dilakukan. Suasana di kota sekarang amat sepi dan mencekam. Tidak ada orang, tidak ada kendaraan darat, bahkan tidak ada toko yang buka. Kota ini tampak seperti kota mati yang tidak dihuni warganya karena pindah ke daerah lain.Alasan gadis itu berlari seperti dikejar anjing adalah karena sosok yang sedang mengejarnya di belakang. Ketika pandangannya berputar lagi ke arah belakang, sosok bertudung hitam dari atas kepala hingga ujung kaki mengejarnya. Tanpa mengenal kata ampun pula padahal gadis itu sudah merasa lelah. Dia tadinya ingin berhenti dan menyerahkan diri, namun kala melih
Pemandangan yang gelap gulita beberapa saat sebelumnya perlahan semakin terang, hingga menyilaukan mata. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah kaki yang disertai suara pijakan ranting kayu. Suara itu muncul bersamaan hingga kesadaran seseorang terpanggil kembali.Jingga membuka dua mata dan menyesuaikan diri dengan cahaya. Dia yang mencoba mengumpulkan kesadarannya baru saja menyadari kalau kepalanya tadi bersandar di bahu seseorang. Melihat ke arah samping, dia mendapati Jeslyn yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.Masih membawa rasa penasaran, Jingga memutar kepala ke belakang. Bukan hanya dirinya saja, tapi dia bersama enam orang yang terjebak di lapangan terbuka bahkan tidak tahu keberadaannya. Ada Irene, Rama, Devin, Alden dan seorang gadis dengan baju lengan panjang. Persis di dalam mimpi.Di lapangan ini dibatasi beragam pohon bercabang seperti hutan. Mereka yang tidak mengenal satu sama lain sudah jelas kebingungan. Mereka jug
Menyusul Jingga yang masih membawa kantung kertas di belakang, Alden yang menjelang sore itu berada di kawasan Perumahan Nusantara. Setelah pertemuan tidak biasa yang terjadi di lapangan terbuka beberapa saat sebelumnya, lelaki yang bahunya sama tinggi dengan puncak kepala Jingga menawarkan diri untuk pulang bersama. Ketika ditanya, alasannya adalah dia ingin mengunjungi rumah sang puan dan bertemu orang tuanya.Alasan lain yang lebih masuk akal sebenarnya adalah dia ingin melihat-lihat keadaan perumahan itu sekarang. Sekaligus bernostalgia dan mengingat kenangannya yang pernah tinggal di sini waktu kecil. Dia lahir dan dibesarkan bersama lingkungan sekitar dan warga Perumahan Nusantara. Oleh karena itu, dia bisa berteman akrab dengan Jingga sampai masuk SMP.Seperti sekarang saat membuntuti sang puan di belakang. Dia sedang mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Selama pengamatan, dia sadar kalau kondisi perumahan ini sudah jauh berbeda dibandingkan keadaan beberapa t
Saat jarum pendek jam dinding menunjuk ke angka empat dan jarum panjang naik sedikit dari angka sembilan, Devin baru saja keluar dari kamar kecil di dalam ruang tidurnya. Dia yang sendirian sedang melangkahkan kaki menuju cermin yang berada di sebelah lemari. Melalui pantulan cermin, dia melihat bayangan dirinya yang kini dengan sorot mata cerah dan bibir yang tidak kering. Mirip seperti bunga yang baru mekar.Dia saat ini tinggal sendirian di dalam rumah. Kevin yang biasa menemaninya saat sang kepala keluarga di luar kota tidak terlihat untuk sementara waktu. Dia juga baru saja mendapat kabar kalau besok ayahnya pulang, dan besok juga Kevin harus pulang ke Bekasi.Dia yang sedang bercermin sekarang menatap bayangan dirinya dengan wajah bingung. Ada yang berbeda dan itu membingungkan pikiran yang mungkin butuh waktu lama untuk bisa mencerna segala kejadian. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, makanya saat keluar dari kamar mandi tadi dia butuh jawaban pasti.