Share

Jadilah Dirimu

Tap! Tap! Tap!

Suara langkah Jiyeon terdengar hingga radius 10 meter. Ia berjalan mencari ayahnya di ruang makan yang terletak tepat di dekat tangga. Ayah tersayangnya sedang duduk di kursi dan menyantap makan malam itu. Jiyeon ingin mendekati dan mengatakan kepada ayahnya bahwa air hangat sudah siap digunakan untuk mandi. Tapi sejurus kemudian, ia memilih diam. Membungkam mulutnya karena pada saat ia tiba di ruang makan, ayah dan kakaknya, Mina, sedang membicarakan sesuatu yang serius.

Jiyeon mendekati meja makan dengan langkah pelan. Supaya tidak mengganggu mereka berdua yang tengah serius membahas masalah perusahaan.

“Jika bukti sudah ada di tangan kita, untuk apa lagi menundanya, Ayah?” Mina tampak sedikit emosi saat membahas masa depan perusahaan dengan ayahnya.

Tuan Park terlihat santai sambil menikmati sushi yang tertata rapi di atas piringnya. Sedangkan Jiyeon, duduk dan diam di kursi bagian pojok seraya memperhatikan dua anggota keluarganya. Ia berusaha memahami apa yang dibahas mereka berdua.

“Kita tidak bisa bertindak tergesa-gesa seperti itu. Semua bukti sudah dibawa pengacara Han. Kita akan menjebloskan dia ke penjara di saat yang tepat.”

Kekecewaan terpampang jelas di raut wajah Mina. “Menunggu apa? Menunggu orang itu korupsi lebih banyak lagi, Ayah?”

Jiyeon mengerutkan keningnya. Korupsi?

“Jika dia berani mengambil lebih banyak uang perusahaan maka hukumannya juga semakin berat.” Tuan Park tetap santai menanggapi kata-kata Mina.

“Tapi... Jika dia korupsi lebih banyak lagi, bukankah kita yang akan dirugikan, Ayah? Uang perusahaan tidak akan kembali 100 persen.”

Tuan Park menyadari bahwa Jiyeon mendengarkan pembicaraan mereka. Kemudian ia menatap Mina. “Aku akan menyita aset-aset berharga miliknya.”

Jiyeon bertanya-tanya dalam hati. Korupsi? Siapa yang melakukan korupsi? Berapa uang perusahaan yang sudah dibawa kabur oleh orang itu? Bagaimana nasib perusahaan kelak?

“Ayah...” lirih Jiyeon yang memandang ayah dan kakaknya secara bergantian. Jiyeon ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia tidak yakin bahwa yang dikatakannya nanti mendapat persetujuan dari ayah dan kakaknya.

“Ada apa, Jiyeon? Kau mendengar pembicaraan kami?” tanya Tuan Park dengan nada datar, tanpa intimidasi atau nada marah.

“Mm... Begini, Ayah. Aku ingin bekerja di perusahaan, bukan di rumah sakit.”

Uhuk!

Mina tersedak mendadak saat mendengar pernyataan Jiyeon. Ia menatap lekat pada adik kandungnya yang notabennya adalah seorang dokter spesialis jantung. “A, apa yang kau katakan? Kau seorang dokter, bukan akuntan, pebisnis, investor atau yang lainnya.”

Tuan Park masih diam. Pria paruh baya itu nampak sedang memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan pernyataan Jiyeon. “Kalau kau yakin, kenapa tidak dilakukan saja? Aku tidak pernah memaksamu melakukan hal-hal yang ku sukai. Lakukan sesukamu, Jiyeon.”

Mina meletakkan garpu dan pisau makannya. Selera makannya hilang seketika. “Jiyeon... Sadarkah kau bahwa... Kau adalah penerus ibu. Kau harus meneruskan perjuangan ibu sebagai dokter. Tidak ingin kah kau menyelamatkan banyak nyawa dengan tanganmu seperti yang ibu lakukan ketika masih hidup?” Kedua manik mata Mina berkaca-kaca. Selama ini dia menahan hasrat untuk tinggal bersama Jiyeon dan ibunya di Jerman demi masa depan adiknya. Supaya Jiyeon bisa lebih fokus mempelajari bidang kedokteran ditemani ibunya. “Harapanku dan ibu adalah kau menjadi seorang dokter yang hebat, Jiyeon. Bukan pengusaha.”

Jiyeon tertunduk sedih. Air bening hangat menetes dari kedua sudut mata indahnya. Ia teringat pesan sang Ibu yang menginginkan dirinya menjadi dokter yang hebat.

“Dengarkan aku, Jiyeon.” Mina beralih posisi. Saat ini gadis cantik itu berdiri di samping kursi yang Jiyeon duduki. “Dengarkan aku!” Mina memegang bahu adiknya dan meminta sang adik menatap matanya. “Tataplah aku.”

Jiyeon menahan tangisnya. Ia berusaha sekuat hati menatap kakaknya.

“Bukankah kau tahu bahwa cita-cita ibu adalah menjadi dokter spesialis syaraf terhebat di Jerman? Ibu tidak bisa mewujudkannya karena beliau sudah tiada. Bukankah kau sendiri yang mendengar sebelum ibu tiada, ibu menggantungkan harapan besar padamu? Ibu ingin kau menjadi dokter spesialis jantung terhebat di Korea Selatan, Jiyeon. Kau sudah mendapatkan gelarmu. Langkahmu tinggal separuh lagi menuju sukses. Tapi... Sekarang kau ingin menyerah? Kau ingin ibu kita kecewa di alam baka sana?”

Kata-kata Mina semakin membuat Jiyeon menangis tanpa kata. Ia ingat semua yang dikatakan Mina. Ia juga teringat pesan ibunya sebelum meninggal. Ia mengingat semuanya dengan jelas. Bagaimana ibu tersayangnya meninggal di pangkuannya.

“Cukup, Kak. Aku mohon...” Jiyeon menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya. Ia sudah tidak sanggup mendengar kata-kata Mina yang membahas tentang ibu mereka. Hati Jiyeon terlalu sakit jika harus mengingat kematian ibunya. Kakaknya benar. Dia harus tetap menjadi seorang dokter demi mewujudkan cita-cita ibunya. “Ibu meninggal karena aku,” lirih Jiyeon diiringi isak tangisnya.

Mina memeluk Jiyeon dan menumpahkan air matanya di bahu adik kesayangannya. “Maafkan aku, Jiyeon. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu sedih. Aku hanya tidak ingin ibu kecewa padamu.” Mina tak kalah sedih dari adiknya. “Aku akan selalu mendukungmu, Adikku. Kau dan aku harus melindungi masa depan keluarga kita.”

Tuan Park tak dapat meneteskan airmata seperti kedua putrinya. Dia hanya nampak sedih dengan mata berkaca-kaca.

“Itulah alasanku, kenapa aku tidak pernah melarangmu melakukan apapun yang kau suka, Jiyeon. Kau pasti sudah tahu apa yang harus kau lakukan. Ayah hanya bisa mendukungmu.” Tuan Park mengambil segelas air putih yang terletak tepat di samping piringnya. “Kasih sayangku pada kalian berdua tidak pernah ku beda-bedakan. Kalian sama. Kalian berdua adalah putriku yang memiliki kemampuan berbeda tapi sama hebatnya. Aku yakin padamu, Jiyeon, kau akan menjadi dokter yang hebat seperti yang diinginkan oleh ibumu.”

Mina melepaskan pelukan pada adik cantiknya. Ia mengusap airmata Jiyeon yang masih mengalir di pipi mulus itu.

“Besok pagi kita bisa bicara lagi, Jiyeon. Sekarang istirahatlah.” Tuan Park terlihat begitu perhatian pada putri bungsunya. “Ayah juga akan mandi lalu istirahat. Air hangat yang sudah kau siapkan tidak akan ayah sia-siakan begitu saja.”

Jiyeon tidak menyangka bahwa ayahnya kan mengatakan hal manis seperti itu padanya. Tuan Park memang menyayangi Jiyeon. Tapi ketika gadis itu masih kecil, kasih sayangnya berat sebelah. Tuan Park lebih menyayangi Mina daripada Jiyeon. Terlebih, Jiyeon adalah alasan ibunya meninggal. Demi menyelamatkan Jiyeon, nyonya Park rela meregang nyawa.

Tak ingin mengucapkan sepatah kata pun, Jiyeon berdiri kemudian berjalan pelan menapaki setiap anak tangga agar sampai di kamarnya.

Jiyeon POV

Sejak kemarin, kakiku terasa tak berdaya menopang tubuhku. Aku masih mengingat setiap kata yang dikatakan oleh Kak Mina. Mungkin itulah yang menjadi alasanku dibenci oleh keluarga ibu di Jerman. Aku adalah satu-satunya penyebab ibu meninggal. Aku yang bersalah atas kejadian malam itu hingga ibu harus mengorbankan nyawanya demi menyelamatkanku. Aku... Benar-benar tidak berguna.

Kak Mina mengingatkanku pada cita-cita Ibu. Ya, benar. Ketika ibu meninggal, aku bertekad melanjutkan perjuangan ibu sebagai dokter. Itu janjiku pada ibu. Aku akan tetap menjadi dokter.

Kriiiing!

Aku tersentak kaget mendengar dering ponselku yang membahana di kamarku. Ku lihat ponsel berlayar datar yang ada di atas ranjang, di sampingku. Nama Kim Jaehwan dan fotonya terpampang dengan jelas di layar itu.

“Ya, halo,” ucapku lirih.

“Hei, apa yang terjadi padamu?” tanya Jaehwan yang mendengar suaraku lesu, lirih, tidak seperti biasanya.

Aku menarik nafas panjang demi menenangkan pikiran dan hatiku. “Sesuatu telah terjadi. Ternyata kepulanganku membawa dampak buruk pada keluarga.”

Tak ada respon dari Jaehwan. Mungkin dia sedang menerka-nerka maksud kata-kataku.

“Aku mengerti perasaanmu, Jiyeon. Kamu sudah benar, mengambil keputusan pulang ke Korsel. Keluargamu ada di sana, bukan di Jerman. Lalu dampak buruk apa yang kau maksud ,heh?”

Kali ini aku yang terdiam. Mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskan perkara tadi padanya. “Akan aku ceritakan jika kau sudah pulang ke Korsel. Baru empat hari aku di sini, sudah banyak masalah yang mengganggu pikiranku.” Ku akui saja apa yang kurasakan dan apa yang terjadi padaku pada Jaehwan.

“Hei, kau pelit sekali sekarang. Aku sudah sangat penasaran, malah kau bikin menunggu untuk mendengar ceritamu?”

“Aku tidak bisa menceritakannya via telepon. Mengertilah, Bodoh!” Aku kembali pada Jiyeon milik Jaehwan yang selalu bertengkar dengannya.

Jaehwan tertawa. “Hmm... Haruskah aku memanggilmu nyonya Kim? Atau tetap memanggilmu dengan panggilan nona Park?”

“Hei, Kim Jaehwan! Jangan bercanda! Aku sedang sedih. Tidak ada prihatinnya sama sekali. Suami macam apa seperti itu pada istrinya...”

Jaehwan tertawa terpingkal-pingkal. Mendengarnya tertawa seperti itu, membuat sedihku hilang seketika. Aku pun tersenyum tanpa bisa dilihat oleh Jaehwan.

“Aku akan pulang dalam waktu dekat ini. Mungkin besok ijazahku bisa diambil. Ya, aku telat mengambil ijazah dua hari yang lalu.”

“Dasar payah!” ketusku. Dia selalu seperti itu. Sering telat, sering lupa, sering apapun. “Telepon aku jika kau pulang, ya?” pintaku dengan nada datar. Aku belum bisa bermanja padanya. Suasana hatiku masih belum kembali normal.

“Tidak akan. Aku tidak akan meneleponmu.”

“Kau! Berani kau, Jaehwan jelek!”

“Jika aku meneleponmu, berarti kau harus menjemputku di bandara. Setuju?”

Ah, selalu aku yang kalah. Menyebalkan! “Baiklah, aku yang akan menjemputmu. Semoga aku tidak lupa.”

Jaehwan tertawa lagi.

“Ada yang ingin aku bicarakan dengamu. Ini tentang kak Mina. Jadi, kau harus segera kemari.”

“Mina? Memangnya ada apa dengan kakakmu?”

Aku sengaja tidak menjawabnya. Aku bahkan bingung menjelaskan itu padanya. “Entahlah. Ku tunggu kau pulang.”

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status