“Bagaimana rasanya, Kak? Sakit, bukan?” Sebenarnya Jiyeon tidak bermaksud melukai hati Mina. Dia hanya ingin Mina merasakan apa yang saat ini dia rasakan. Kesialan yang menimpa Mina karena perbuatan Namju merupakan kesedihan bagi Jiyeon. Tapi Mina malah memintanya berbaikan dengan Namju dan mendekatinya untuk kepentingan perusahaan. Itu artinya Mina ingin menggali luka lama di hati Jiyeon dengan mempertemukan dirinya dan Lee Namju.
Mina hanya memandang ke arah Jiyeon tanpa mengatakan sepatah kata. Dia tahu kalau adiknya juga merasakan sakit yang ia rasakan. Jiyeon adalah satu-satunya adik yang selalu mengerti dirinya.
“Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pamit. Katakan saja padaku kapan dan di mana kalian akan menemui orang itu.” Sesaat kemudian Jiyeon beranjak dari kursi empuk yang didudukinya. Detik terakhir sebelum ia membalikkan badan, dapat dilihatnya ekspresi wajah Mina yang tampak sedih.
....
Setelah Jiyeon meninggalkan ruang
“Kafe Lony dekat Busan Tower, jam 10 pagi.”Jiyeon langsung menghentikan langkahnya, menoleh ke arah kanan, mendapati Mina sedang bicara padanya dengan gaya melipat lengan bersilang di depan dada. Ia pun menghela nafas kasar karena di saat lelah malah melihat pemandangan yang membuatnya jenuh.“Tolong, jangan sekarang. Aku sudah lelah,” pinta Jiyeon yang tidak ingin kekesalannya semakin bertambah hanya karena kata-kata Mina. Sejujurnya, ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun dan membicarakan apapun karena kondisi tubuh dan psikisnya sedang lemah. “Tolonglah, Kak,” pintanya lagi dengan wajah seperti kertas kusut.Mina melangkah mendekati Jiyeon yang berdiri tepat di depan pintu. “Katakan saja itu pada Lee Namju. Aku akan menunggunya di sana.”Ternyata yang diucapkan Mina tadi adalah lokasi dan waktu yang dia tentukan untuk bertemu dengan Park Siwoo. Jiyeon hanya mengangguk paham dan segera melangkah
Berlin, Jerman 2021 Hari ini bukanlah hari Senin biasa. Seorang wanita muda tengah menunggu hari ini sejak lama, lebih dari tiga tahun. Ya, Park Jiyeon – putri pengusaha kaya asal Korea Selatan telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman dengan jurusan kedokteran hingga program S2 Spesialis jantung. Jiyeon merupakan salah satu mahasiswa teladan dengan nilai IP kumulatif Cumlaude yang membuat dirinya menjadi pusat perhatian di saat wisuda kelulusan. Siapa yang tidak mengenalnya? Jiyeon gadis tercantik di jurusan kedokteran dengan kecerdasa di atas rata-rata. Tubuhnya yang langsing, mata khas Asia, hidung mancung, bibir tipis yang seksi, dan rambut panjang berwarna coklat yang sering ia biarkan berjuntai menutupi punggungnya. Ia berdiri di balik jendela apartemennya yang dihiasi tirai berwarna putih transparan. Sembari menikmati pemandangan kota Berlin untuk yang terakhir kalinya, ia menyeruput kopi latte yang dibuatnya sen
Bandara Incheon, Korea Selatan Author pov "Bandara ini benar-benar ramai. Seakan tak pernah sepi, malah semakin ramai," gumam seorang gadis berambut hitam sebahu yang berjalan pelan sembari mendorong trolinya. Kepalanya tak berhenti menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat suasana bandara kesayangannya yang selalu ramai. Bruuukkk! Tiba-tiba seorang wanita muda tertabrak trolinya yang dipenuhi dua koper ukuran sedang dan dua tas jinjing. Kelihatannya sungguh berat. "Aw!" Terdengar suara wanita muda itu mengaduh sakit seraya melihat sikunya yang terasa sakit. "Maaf, maaf, Nona. Aku sungguh minta maaf." Park Jiyeon mendongakkan kepalanya, menatap gadis yang tiba-tiba menabraknya dengan troli berat itu. Posisinya yang terjatuh di atas lantai, membuatnya harus mengangkat kepala untuk dapat melihat si pelaku yang sedang meminta maaf. Gadis berambut hitam itu membuka kacamata hitam
Jiyeon pov Rumah ini bentuknya memang sama seperti dulu, sebelum aku dan ibu pergi dari sini. Aku berharap suasana di rumah ini tidak sepi seperti makam. Tapi ternyata, aku merasa begitu kesepian di sini. Meskipun ada kak Mina dan bibi Han. Pagi ini bibi Han membuatkan sarapan nasi goreng dengan sosis bakar dilumuri saos sambal dan mayones. Lembut sekali ku rasakan makanan itu di lidahku. Justru makanan masakan bibi Han ini yang membuatku hangat di rumah sebesar istana presiden ini. Mungkin karena dua tahun aku sama sekali tidak merasakan masakan rumah. Ya, sejak ibuku meninggal, aku tidak pernah lagi makan masakan rumah. Ya Tuhan... Tiba-tiba aku teringat ibu. Masih sangat jelas di ingatanku saat ibu menyiapkan sarapan untukku sewaktu kami di Jerman. Masa-masa itu tidak akan terjadi lagi. Aku...tidak bisa bertemu ibu lagi. Suasana di ruang makan yang begitu hening membuat lamunanku bebas terbang ke manapun. Memori itu terputar kembali. Ketika ibu memutuskan
Tap! Tap! Tap! Suara langkah Jiyeon terdengar hingga radius 10 meter. Ia berjalan mencari ayahnya di ruang makan yang terletak tepat di dekat tangga. Ayah tersayangnya sedang duduk di kursi dan menyantap makan malam itu. Jiyeon ingin mendekati dan mengatakan kepada ayahnya bahwa air hangat sudah siap digunakan untuk mandi. Tapi sejurus kemudian, ia memilih diam. Membungkam mulutnya karena pada saat ia tiba di ruang makan, ayah dan kakaknya, Mina, sedang membicarakan sesuatu yang serius. Jiyeon mendekati meja makan dengan langkah pelan. Supaya tidak mengganggu mereka berdua yang tengah serius membahas masalah perusahaan. “Jika bukti sudah ada di tangan kita, untuk apa lagi menundanya, Ayah?” Mina tampak sedikit emosi saat membahas masa depan perusahaan dengan ayahnya. Tuan Park terlihat santai sambil menikmati sushi yang tertata rapi di atas piringnya. Sedangkan Jiyeon, duduk dan diam di kursi bagian pojok seraya memperhatikan dua anggota keluarganya.
Keesokan hari. Jiyeon sengaja bangun jam enam pagi untuk menyiapkan sarapan bersama bibi Han di dapur kesayangan wanita yang mengasuhnya sejak masih bayi itu. Jiyeon membantu bibi Han menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak makanan. Ia biasa melakukan pekerjaan seperti itu saat masih tinggal di Jerman, tentunya bersama ibu tercinta ketika mendiang masih hidup. Jiyeon meminta bibi Han untuk tidak sungkan padanya. Jika membutuhkan sesuatu, bibi Han panggil saja Jiyeon. Pasti gadis itu akan datang membawakan sesuatu yang diminta. Sayur mayur telah disiapkan, daging sapi telah diiris sesuai kebutuhan bibi Han, bumbu-bumbu disiapkan juga oleh Jiyeon sehingga bibi Han semakin mudah dan cepat menyelesaikan tugas memasak di dapur. Bibi Han sendiri sangat menyayangi Jiyeon seperti putri kandungnya. Sedari kecil, Jiyeon adalah gadis yang ringan tangan. Dia suka membantu siapapun selagi dia bisa melakukan pekerjaan itu. Sudah lama bib
“Baik,” jawab dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang duduk di depan Jaehwan dengan kepala terus tertunduk. Jaehwan merasa heran. Kondisi kakek Hong pasti akibat pengaruh kedua orang ini. Pasti mereka telah mengatakan sesuatu pada laki-laki tua itu. “Sebenarnya apa yang telah kalian lakukan pada kakek Hong?” selidik Jaehwan yang merasa curiga bahwa kakek Hong mendapat tekanan atau ancaman dari keluarganya. “Dokter Kim...” Perawat yang duduk di samping Jaehwan berusaha menghentikan pertanyaan pemuda itu. Ia merasa bahwa pertanyaan seperti itu tidak layak keluar dari mulut seorang dokter. “Biarkan saja. Aku harus tahu apa yang terjadi.” Masih tetap menatap dua orang di depannya. “Jawab pertanyaanku! Apakah kalian tidak ingin kakek Hong sembuh?” “Dokter Kim, tolong jangan seperti ini,” pinta perawat itu. Jika petinggi rumah sakit mengetahui bahwa ada seorang dokter baru melakukan interogasi pada keluarga pasien seperti itu maka Ja
Malam hari begitu cepat menghampiri. Perputaran waktu yang cepat berlalu membuat banyak orang merasakan kepenatan dan kelelahan yang berlebih. Seharian bekerja, tak terasa malam sudah tiba. Ketika beristirahat pada malam hari pun, dengan cepatnya pagi sudah tiba. Begitu seterusnya. Hari ini Park Jiyeon memang belum aktif bekerja di RS. Dia hanya membantu Jaehwan menganalisa keadaan beberapa pasien. Sebagai dokter spesialis yang keahliannya di atas keahlian dokter biasa, dia harus bersikap profesional. Membantu Jaehwan pun sudah membuatnya menambah pengalaman di bidang kedokteran. Tapi malam ini, badannya terasa pegal-pegal dan ingin sekali lekas berbaring di ranjang kesayangannya. Jiyeon berjalan gontai menuju tempat parkir mobil. Malam ini Jaehwan tak menemaninya sampai pulang ke rumah. Laki-laki tampan penghuni hatinya itu mendapat panggilan ayahnya untuk segera pulang karena ada sesuatu yang penting. Jiyeon melihat keadaan sekelilingnya, sepi. Diliriknya arloji ma