"Nay, aku minta maaf," ucap Kenan saat Nayla hendak tidur memunggunginya. "Aku tau caraku mungkin cemburu padamu salah, tapi sumpah aku gak ngelakuin apa-apa dengan Rebecca. Aku menyangka Rebecca itu kamu karena dia duduk di ranjang kita, Nay." Kenan menjelaskan. Nayla mendengarkan cerita suaminya yang memang belum sempat ia dengar karena selalu menghindar bahkan kesal saat melihat Kenan dan Rebecca."Apakah semua itu benar, Kak?" jawab Nayla dengan wajah menoleh, tetapi tidak dengan tubuhnya. "Sumpah demi apa pun aku mau, kalau apa yang aku ceritakan saat ini semuanya benar dan apa adanya." Kenan mengangkat tangannya yang menandakan ia bersumpah atas ucapan yang dilontarkan sesuai keadaan yang terjadi kala itu. Sepasang mata Nayla berkaca. Ia menyesal karena telah salah sangka pada suaminya. Mungkin memang Nayla juga cukup keras kepala tidak mau mendengarkan penjelasan Kenan dan lebih mempercayai orang yang sebenarnya memang ingin rumah tangganya hancur. Kenan meraih tubuh Nayla d
Nayla membulatkan mata ketika mendengar pertanyaan putrinya, lalu melotot ke arah suaminya yang sudah tersenyum sedari tadi. "Maksud Kakak apa buat begini? Bikin malu saja!" bisik kesal Nayla pada Kenan. "Biarin aja. Kamu, kan, istriku," jawab Kenan enteng tanpa merasa bersalah telah mempermalukan Nayla di hadapan keluarganya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Kenan, tetapi kekesalan Nayla juga wajar karena keluarga besarnya malah menjadi seperti jijik melihat tanda merah kecil di lehernya karena ulah sang suami yang seolah menjadi drakula dadakan. "Ayok, kita makan! Malah diliatin aja," ucap Kenan sambil menciduk centong nasi. Seluruh keluarga Kenan akhirnya makan meski dengan sejuta keheningan. Hanya Allea saja yang masih bicara dengan ibunya perihal sekolah dan ada hal yang berhasil membuat Kenan kaget dengan pertanyaan putrinya. "Mom, drakula itu ada enggak?" "Enggak ada, itu hanya cerita di film-film aja." Nayla menjawab santai. "Biasanya drakula itu suka menghisap dara
Waktu berjalan begitu cepat. Allea kecil kini beranjak remaja usia dua belas tahun. Saat ini ia duduk di bangku kelas enam dan memiliki wajah yang semakin cantik. "Nay, Lea udah besar. Kasih Adek, yuk?" pinta Kenan saat mereka hendak tidur setelah capek beraktivitas seharian. "Aku ikut aja, Kak. Benar kata Kak Ken, Lea udah besar ditambah lagi dia sekarang semakin sibuk dengan teman-temannya." "Jadi, kita bikin adek buat Lea, ya?" ajak Kenan yang sudah semangat. Nayla hanya tersenyum mengisyaratkan dia mengikuti apa yang diinginkan oleh suaminya. Zaman memang telah berubah. Sekarang anak kelas enam sekolah dasar pun mengenal arti cinta online bahkan cinta sesama teman sekolahnya. Pubertas anak zaman sekarang memang benar-benar mengerikan terutama untuk orang tua yang terkesan cuek karena kesibukan aktivitas diri di tempat kerja. Tidak terasa sudah hampir lima tahun juga Rebecca tinggal di rumah Kenan menjadi benalu di rumah tangganya dan menjadi simpanan ayah tirinya bahkan ia be
"Lele!" Rey meraih pensil warna yang sedang Allea pegang. "Apa?" Allea menatap malas. "Kamu kenapa?" "Masih harus aku jawab, Kak?""Ya harus, lah! Orang aku gak tau kamu marah karena apa." "Kak Rey jahat! Dari dulu aku bilang kalau aku itu calon pacar Kakak, tapi itu tadi ada cewek yang ke sini. Mana Kak Rey lembut banget sama dia." Allea menangis membuat Rey serba salah. Ya Tuhan, dia beneran cemburu sama aku? Tapi, apa iya sedari kecil dia menyukaiku? Ah, sekarang pun masih kecil. Reynand berucap dalam hatinya. Reynand bingung harus berbuat apa. Bocah kecil yang kini beranjak remaja menangis karena melihat dirinya didatangi oleh seorang wanita. Wanita itu memang dekat dengan Rey. Pemuda itu pun memang menyukai si wanita itu semenjak SMA dulu. Mereka berpisah karena si wanita harus ikut ayahnya ke kota lain dan cinta Rey belum sampai diungkapkan. Namun, saat wanita itu kembali Rey malah dihadapkan dengan sosok gadis remaja yang menaruh hati sejak usia dini. Reynand sesungguhn
Malam ini begitu indah, langit hitamnya bertabur kerlip bintang seolah menerangi kebersamaan Rey dan wanita pujaannya yang duduk di bangku taman. Sudah beberapa hari yang lalu Rey telah menimbang-nimbang keputusan untuk hidupnya. Tidak mungkin juga ia terus-menerus berstatus singgel padahal wajahnya tampan. Kalau kata Allea mirip aktor film China, tampan, katanya. "Sya?" sapa Rey memanggil nama sahabatnya––Meisya yang duduk di sampingnya."Iya?" jawab Meisya lembut. Dari dulu memang Meisya memiliki karakteristik lembut dan keibuan juga pendiam, benar-benar tipikal wanita idaman Rey. Tidak seperti Allea yang cerewet, manja, cemburuan dan pastinya kekanak-kanakan karena memang usai yang masih kecil. "Sebenarnya aku––" Ucapan Rey terhenti di tenggorokan, ia kesulitan untuk merangkai kata meski sebelum bertemu dengan Meisya dirinya sudah berlatih kata-kata. Entahlah, seketika kata-kata itu seolah raib ditelan sang malam. Meisya menunggu kelanjutan yang tidak kunjung diteruskan hingga
Doni memacu motor sport merahnya menuju taman yang tidak terlalu jauh dari rumah yang tadi karena Allea yang meminta. Sesungguhnya Allea pun ada rasa takut pergi dengan orang baru, tetapi semua seolah terpatahkan karena lelaki itu ada di rumah temannya berarti sudah dikenali sebelumnya. Perlahan Doni mengarahkan tangan Allea ke perutnya, tetapi Allea merasa gugup kemudian melepaskannya kembali. "Pegangan, Le. Aku mau ngebut," pinta Doni."Gak usah ngebut juga, Kak. Aku takut," ucap Allea. Sepertinya permintaan Nayla diabaikan hingga akhirnya Doni tancap gas dengan kecepatan tinggi di jalanan aspal yang mulus malam ini. Sontak tangan Allea spontan melingkar di perut Doni, alhasil pemuda itu tersenyum merasa menang. Sementara di tempat lain ada Rey yang mengantar Meisya menuju taksi di depan sana. Wanitanya menolak diantar ke rumah sehingga Rey hanya mengantar sampai wanitanya memasuki taksi. "Makasih, ya, Rey," ucap Meisya dengan senyum paling manis. "Sama-sama. Hati-hati, ya?" M
"Ih, malah ketawa coba," ucap Allea di sela tangisnya. Sesungguhnya ia merasa senang bisa melihat Rey tertawa lepas seperti itu. "Lagian kamu main colok aja, gimana nanti kalo mataku buta, coba?" "Ish! Ya jangan! Nanti Kak Rey enggak bisa liatin lagi muka aku yang kiyud," ucap Allea yang lagi-lagi membuat Rey tersenyum.Mereka masih mengobrol di bangku taman. Padahal jarum jam hampir menunjuk ke angka sembilan. "Kak, kalo ada bintang jatuh, Kakak mau minta apa?" tanya Allea. "Gak minta apa-apa, lagian minta mah sama Tuhan, bukan sama bintang jatuh. Udah nyungep kek mana mo kabulin permintaan kita coba?" Allea mengangguk-angguk, benar juga apa yang dikatakan Rey saat ini. Ah, lagi-lagi Allea masih percaya dengan mitos. "Ya udah aku ganti pertanyaan. Misal saat ini Tuhan kasih satu doa yang mau dikabulkan, Kak Rey mau minta apa?" "Gak minta apa-apa, karena Tuhan gak bisa diwakilkan." Rey masih menyebalkan. "Kak Rey, jawab!" Mata Allea membulat dan percayalah, sikap Rey malah sem
Allea masuk diikuti Nayla yang menutup pintu rumah. Mereka berjalan menuju kamar dan harus berpisah saat di dekat ruang keluarga. "Night, Mom." Allea mencium pipi Nayla yang berbalas ciuman kembali dari sang ibu. Saat ini tinggi badan Allea sudah tidak begitu jauh dari ibunya. Nayla masuk ke kamarnya begitu juga dengan Allea yang menutup pintu kamar dengan seulas senyum. "Ya Tuhan ... kenapa tadi aku harus tertidur pulas, sih? Padahal aku ingin sekali merasakan digendong sama Kak Rey," ucap Allea pelan saat punggungnya bersandar di balik pintu. Allea melangkah kemudian merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya hendak tertidur, tetapi entah mengapa perasaan sulit sekali untuk terlelap. Di otaknya hanya ada wajah Rey yang selalu mengganggu malam ini. ***I hate Sunday, mungkin kalimat itu yang dirasakan Allea ketika harus kembali ke sekolah. Apalagi ia kesal dengan sahabatnya yang malah mengundang lelaki kurang ajar baginya. "Le, gue minta maaf!" ucap Vina––sahabat Allea. Allea tidak