Share

Altair dan Sepasang Matahari
Altair dan Sepasang Matahari
Penulis: Maryam Ashiya

Monolog Tak Terbaca

Hari ke tujuh bulan tujuh.

Altair duduk terpaku di ruang tatami-nya, memandangi taman zen di depan apartemennya dengan pandangan kosong. Langit Jakarta terlihat redup di atasnya.

“Tanabata,“ desahnya. Benaknya siap merunuti kembali legenda asal Cina itu yang selama tiga puluh tahun ini mengisi sebagian ruang otaknya, bahkan tertulis dengan indahnya di dalam diary pribadinya: 

Long long ago, the God in the heaven had had a daughter named Orihime (means Weaver, the star Vega). She was everyday weaving cloths for the god using weaver called as tanahata. The God was anxious about too hard working daughter and one day he introduced a youngster named Kengyuh (means Cowherd, the star Altair) who also works hard taking care of cows. And they fell in love at the first glance and they now forgot their work letting the cloths of god wasted and cows in ill.

The God was angry about it and let them live apart separated by Ama no kawa (River in the Heaven, the Milky Way). Then Orihime was weeping all day long. The God pitied her and allowed them to meet once in a year at the night of 7th of July (July is the seventh month. Seven was lucky number from that time).

If it rains on this occasion, the River of Heaven is flooded and prevent them to meet. Therefore, on 6th of July, people pray for them not to rain on this day, dedicating Tanzaku ( a strip of poetry paper) to the star in various colors writing their wishes (including people’s own wishes) hunging them on leafy bamboo.

Lalu ia pun menyanyi dan bertepuk tangan sendiri sekedar mengusir sepi.

Sasa no ha sara-sara

Nokiba ni yureru

Ohoshi – sama kirakira,

kingin sunago

Goshiki no tanzaku,

watashi ga kaita

Ohoshi – sama kira-kira,

 sora kara miteru

Ia menghentikan tepuk tangannya. Omong kosong apa ini? umpatnya. Sungguh, ia benci dongeng itu. Ia bukan pecinta yang merindukan kehadiran kekasihnya. Ia bukan seorang Kengyuh yang demi cintanya setia menunggui perjumpaan dengan Orihime tiap tahun sekali. Ia benci dongeng tentang Tanabata atau cerita-cerita percintaan lainnya: Romeo and Juliet, Laila Majnun, Titanic, Hamlet... yang selalu berakhir dengan tragis itu. Baginya semua itu hanya akan membuat manusia semakin bodoh karena larut dalam kesedihan yang tak nyata. Absurd. Gila. Unreasonable.

Tetapi kini ia merasa nasibnya tak kalah tragisnya dengan Pangeran Kengyuh itu. Harapannya menggantung di pucuk-pucuk kehidupan tanpa kepastian. Bukan, sama sekali bukan karena ia tak dapat berjumpa dengan kekasihnya – karena ia adalah pria merdeka yang tak pernah membiarkan seorang wanita asing pun masuk dalam kehidupan pribadinya.

Ini hari ulang tahunnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya ia merayakannya sendirian, tanpa ada mama di sampingnya, pun tak ada Titania yang dengan binar mata cerianya membuatnya merasa dihargai sebagai seorang kakak. Ia rindu kehangatan, rindu makna sejati dari kehidupan, rindu sesuatu yang dapat mendefibrasikan segala kekakuan yang memenjara hati dan pikirannya – agar ia betul-betul dapat merasakan indahnya kebebasan. Agar ia dapat menghirup udara dengan perasaan lega. Kesepian ini... setahun sudah ia mengalaminya.

 Hanya kesenyapan yang tersisa. Tak ada lagi suara-suara, canda, atau tawa mereka yang dulu meramaikan ruangan ini. Semua hanya tinggal kenangan. Mama telah pergi ke lain dunia, papa yang telah lama menceraikan wanita itu sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri sana, dan Titania... menghilang entah ke mana. Tanabata, festival bintang di Jepang yang dulu selalu ia minta sebagai hadiah ulang tahunnya sehingga mereka pun beramai-ramai datang ke sana dan merayakannya bersama lebih dari dua juta orang lainnya, kini bagai tak punya arti lagi baginya. Parade-parade, keramaian toko-toko di pinggir jalan, origami, kertas warna-warni... pun Sendai dengan hiasan-hiasannya yang paling alami, semuanya kini hanya terkesan sebagai benda-benda mati yang tak lagi menarik hati. Karena sejujurnya bukan perayaan Tanabata itu yang membahagiakannya melainkan karena di hari itulah kebersamaan dan rasa kasih sayang di antara mereka semakin terjalin dengan eratnya. Senyuman Titania, kecup mesra di pipinya, pelukan erat papanya, belaian tangan mama di kepalanya... ah, adakah hadiah yang lebih baik dari itu semua?

Ia bangkit berdiri, lalu mulai mengitari ruangan. Tak disentuhnya sama sekali hidangan ala Jepang yang tersaji sejak tadi.

Terdengar ketukan di pintu. Ia tersentak.

“Siapa?“ tanyanya pelan. Sungguh ia berharap suara ketukan itu berasal dari orang yang sedang ia nanti-nantikan kedatangannya. Bergegas ia melangkahkan kakinya ke depan, lalu dibukanya pintu kaca es bergaya Shoji dengan hati yang berdebar-debar. Segera dijumpainya sosok-sosok mungil yang berdiri dan berjejer rapi di depan pintu. Soni, Indra, Andre, Iqbal, Bayu... ia mencoba mengenali mereka satu persatu. Di belakangnya, Prabowo, sang pengasuh anak-anak panti itu menatapnya dan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. 

“Selamat ulang tahun, Mister Altair,“ ucap mereka kompak. Lalu mereka pun bersama-sama menyanyikan lagu ulang tahun untuknya dengan penuh ceria.

Altair lemas, kecewa, tetapi juga tak dapat menyembunyikan kegembiraannya atas kedatangan makhluk-makhluk berwajah polos itu. Ia terharu. Dipeluknya anak-anak itu satu-persatu dengan hangat.

“Terima kasih,“ balasnya. Ia bersyukur di saat-saat kesepiannya seperti ini ada sahabat-sahabat kecil seperti mereka yang sudi mendatanginya, dan dengan kepolosan serta kemurnian kanak-kanaknya mampu mengurangi kesedihannya.

“Ayo masuk, masuk,“ suruhnya seraya menggiring mereka satu-persatu ke ruang tamu. Digendongnya salah seorang anak diantara mereka yang paling kecil dengan tersenyum ramah. Segera ruangan yang tadi sunyi senyap berubah ribut oleh suara-suara anak-anak itu. Tetapi Al malah merasa senang dan menyuruh mereka melakukan apa pun yang mereka suka. Mereka bernyanyi, bertepuk tangan, berceloteh, berlarian, dan menghadiahinya sebuah pertunjukan teater yang sangat lucu sehingga mau tak mau Al tertawa-tawa melihat tingkah polah mereka.

 Sejenak di hari itu ia lupa pada kesepiannya.

* * *

Ifa geram, kesal, dongkol, sekaligus marah. Tubuhnya bergetar menampung luapan emosi yang tertahan. Matanya menatap tajam ke depan dan kedua alisnya bertautan. Giginya saling beradu dan napasnya turun naik tak karuan. Wajahnya yang memerah semakin merah terbakar udara siang ini. Bergegas ia mempercepat langkahnya agar bisa segera keluar dari kawasan gedung tinggi menjulang tempat ia menjalani wawancara pekerjaan beberapa menit yang lalu.

”Saya rasa tidak ada masalah jika saya bekerja di perusahaan ini dengan tetap mempertahankan jilbab saya. Hal itu tidak akan mengurangi produktifitas kerja saya.”

”Kami tahu itu. Tapi maaf, dengan berbagai pertimbangan akhirnya kami memutuskan untuk tidak menerima karyawan yang berjilbab. Saat ini masalah yang berhubungan dengan islam sangat sensitif sekali. Kami tidak ingin kehadiran Anda dengan penampilan Anda yang strange itu menimbukan kekurangpercayaan orang-orang asing yang ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan kami. ”

Ifa tersinggung. “Sebegitu negatifkah pandangan Bapak tentang citra gadis berjilbab sampai-sampai harus sekhawatir itu?”

Mereka berdebat lama. Wawancara yang sebelumnya berjalan lancar berubah menjadi kaku ketika pembicaraan mereka beralih ke penampilan Ifa yang menampakkan citra dirinya sebagai seorang muslimah. Ifa sudah menduga hal ini akan terjadi. Tapi toh, nyatanya emosinya terpancing juga.

Wawancara akhirnya terpaksa disudahi ketika tidak ada titik temu di antara mereka berdua.

”Sayang sekali kami tidak bisa menerima Anda karena Anda tetap tidak mau merubah pendirian Anda. Padahal prestasi Anda yang sangat bagus sebenarnya amat layak dijadikan pertimbangan untuk diterima bekerja di perusahaan ini,” pria di depannya, yang tak lain adalah  manajer HRD di sana, menetapkan  keputusan terakhir yang sudah Ifa duga.

”Tidak apa-apa. Lagi pula saya juga tidak ingin bekerja di tempat yang tidak respect terhadap islam sekalipun gajinya besar. Permisi,” jawab Ifa selunak mungkin. Bergegas ia meninggalkan ruang tempat ia melakukan wawancara tadi dengan hati yang ditegar-tegarkan.

Gagal lagi, gagal lagi. Itulah yang dialami Ifa setelah berkali-kali melamar pekerjaan dan menjalani wawancara tapi selalu saja nihil hasilnya hanya dikarenakan satu alasan – ia tidak sudi melepas jilbabnya dan perusahan-perusahaan yang dilamarnya pun tetap tidak memberikan toleransi untuknya. Menyedihkan. Di negara yang katanya mayoritas penduduknya adalah penganut islam terbesar di dunia ternyata masih kekurangan kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya secara konsisten. Kaum sekuler yang menguasai kehidupan ekonomi di Indonesia dengan seenaknya telah membuat aturan-aturan yang menjatuhkan islam dan membelenggu orang-orang muslim Indonesia dengan iming-iming kesenangan duniawi hingga mereka terasing dari ajaran agamanya sendiri.

Bundanya di rumah pasti akan bersikap sama seperti biasanya, tersenyum dikulum seraya menggodanya. Senyum yang sebenarnya tidak ingin ia lihat saat hatinya sedang bersiap memuntahkan lahar panasnya. Dan senyum itu akan bertambah membuatnya kesal saat umminya itu mulai melancarkan kata-kata rayuannya: ‘Sudahlah, Fa. Daripada pusing-pusing mikirin pekerjaan yang sangat sulit kamu dapatkan lebih baik menikah saja. Banyak lho, yang mau melamar kamu. Itu tuh, anaknya Pak Haji Zainal Arifin yang baru saja lulus kuliah di Al Azhar. Orangnya pinter, sholeh, dan sudah punya pekerjaan mapan. Hormat pada orang tua lagi. Ada juga anaknya ibu Frida, temen pengajian ibu, yang sering nanyain kamu lewat ummi. Kemarin dia...

Kalau sudah seperti itu Ifa hanya bisa diam seraya memeluk bundanya lama-lama. Tak bisa dikatakannya kenapa ia ngotot ingin bekerja. Tak bisa diungkapkannya bahwa mencukupi kebutuhan adik-adiknya adalah keinginan kuatnya sejak ia beranjak dewasa dan mulai tahu betapa susahnya masa-masa yang telah dilewati oleh bundanya dalam membesarkan mereka bertiga. Sendirian. Tanpa bantuan seorang suami. Ya, sejak laki-laki pemimpin mereka berpulang ke alam baqa sebelas tahun yang lalu. Demi menyaksikan bundanya dengan tabah menjalani kehidupannya membuat cintanya pada wanita tegar itu bertambah besar hingga membuat hatinya terasa tersayat-sayat tiap kali melihatnya kepayahan setelah seharian bekerja di pasar.

Sejenak Ifa menghentikan langkahnya dan mengatur nafasnya. Tidak aku harus tegar, bisiknya. Aku tidak boleh menyerah. Seorang muslimah tidak boleh putus asa. Dipejamkannya matanya. Ditepisnya rasa nyeri yang menjalar di dadanya. Setelah mencoba menghirup napas dalam-dalam ia pun mulai melangkah. Kali ini emosinya sudah lebih stabil sehingga jalannya pun menjadi lebih teratur.

Bersamaan dengan langkahnya menuju jalan raya, sebuah Chopster –  berwarna matte silver melintas di samping Ifa. Sedetik. Dua detik. Biasa. Tak terjadi apa-apa. Ifa masih melangkah dengan kepala yang menunduk. Lelah. Jilbab putihnya ia tutupkan ke mukanya. Gerah. Ia berjalan sendirian di belakang orang-orang yang juga baru saja menjalani wawancara pekerjaan seperti dirinya. 

Tetapi mendadak Al – orang yang sedang berada di belakang kemudi –  dengan pandangan tajam melihat Ifa yang menenteng stop map. Ia menatap gadis yang wajahnya terlihat amat kuyu dan berjalan sendirian dengan langkah lunglai itu. Entah sebuah bisikan darimana asalnya yang sekonyong-konyong menyentakkan kesadarannya dan secara spontan menggerakkan tangannya untuk menghentikan kemudinya. Dengan sedikit tergesa ia keluar dari Chopster-nya yang elegan dan sporty itu lalu melangkah menghampiri gadis berjilbab yang baru saja dilihatnya.

“Tunggu.“

Ifa menoleh. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung. Lima meter dari tempatnya ada seorang pria asing berkaca mata menatap tajam ke arahnya. Ia mengernyitkan dahi dan memicingkan matanya. Sejenak ia terlihat bimbang. Ia merasa tak mengenali laki-laki itu sehingga sangsi benarkah pria itu yang baru saja memanggilnya. Namun akhirnya dipaksanya juga untuk melangkahkan kaki ke arahnya.

“Anda memanggil saya?“ tanyanya ragu.

Mereka berpandangan. Tak ada satu detik karena secepat kilat Ifa segera tersadar dan menundukkan mukanya. Al tersenyum. Tahu bahwa gadis yang ada di hadapannya sekarang bukan tipe gadis biasa. Tinggal di Indonesia selama lebih dari lima tahun paling tidak telah memberinya gambaran perilaku mayoritas wanita muslim berjilbab yang  masih teguh memegang ajaran agamanya.

”Hai, nama saya Altair. Maaf, saya melihat Anda keluar dari perusahaan saya dengan membawa stop map itu,“ sapanya ramah seraya menunjuk ke arah tangan kanan Ifa. Aksen Eropanya masih jelas terlihat. “Apakah kamu lagi butuh pekerjaan?“ tanyanya hati-hati. Ia tak jadi mengulurkan tangannya untuk mengajak Ifa bersalaman saat gadis itu hanya menangkupkan kedua tangannya di dada. Ia segera tahu diri.

“Saya Yulfa Amanah. Panggil saya Ifa. Jadi ini perusahaan Anda? Saya baru saja menjalani wawancara pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan Anda. Sayangnya… saya ditolak.“ Air muka Ifa berubah muram lagi. Nada bicaranya terdengar getir sekalipun seulas senyum tersungging di bibirnya.

 Al menatapnya dengan perasaan heran sekaligus iba. Inilah salah satu alasannya tadi menghampiri gadis itu, ia melihat gadis ini keluar dari perusahaannya dengan gerak lunglai dan muka yang muram sehingga ketenangannya merasa terusik. 

“Kenapa? Apa Anda tidak memenuhi kualifikasinya?” tanyanya. Ifa menggeleng.

”Lalu?”

”Karena perusahaan Anda tidak bersedia menerima karyawan yang berjilbab. It’s too strange, katanya. Mereka tidak ingin kehadiran saya dengan penampilan saya yang berbeda ini menganggu kenyamanan relasi-relasi bisnis Anda yang sebagian besar adalah orang asing.”

Al hampir tertawa mendengarnya. Seingatnya ia tidak pernah menetapkan peraturan seekstrem itu. Ia adalah pria moderat yang hampir-hampir tidak pernah mempermasalahkan perbedaan. Di perusahaan yang ia pimpin, siapapun bisa diterima bekerja – selama memenuhi syarat – tanpa memandang dari suku mana mereka berasal, berkebangsaan apa, agamanya apa, dan tetek bengek semacamnya. Tapi ia segera sadar bahwa gadis di hadapannya sedang tidak ingin ditertawakan.

Sorry, tapi seingat saya tidak ada peraturan di perusahaan saya yang bersifat mempersempit kebebasan atau merugikan hak-hak pribadi para karyawan kami. Kami selalu berusaha sebaik mungkin memberikan kemudahan kepada mereka untuk menjalankan ibadahnya, terutama bagi orang-orang Indonesia yang beragama islam dan diharuskan untuk beribadah lima kali sehari,” jelasnya. Tangannya mengusap-usap dagunya, nampaknya ia sedang menimbang sesuatu. ”Atau barang kali orang-orang di bawah saya membuat peraturan baru yang belum saya ketahui.”

Ifa tertegun mendengarnya.

”Mengenai hal saya tidak tahu. Tetapi kenyataan yang saya alami hari ini sangat jauh berbeda dengan apa yang Anda katakan tadi,” tukasnya pelan. ”Maaf, saya harus segera pergi.” merasa tak nyaman berlama-lama dengan pria di depannya Ifa berniat untuk berlalu dari hadapannya.

”Tunggu. Anda sungguh-sungguh butuh pekerjaan?” Al menahannya. Ifa menoleh, mencoba memastikan bahwa lawan bicaranya betul-betul bertanya serius padanya.

“Ya,“ jawab Ifa tegas. “Tapi boleh saya tahu untuk apa Anda menanyakannya? Saya sudah ditolak jadi tidak mungkin melamar lagi ke perusahaan Anda.“

Al berpikir sejenak.

“Mungkin saya bisa membantu. Boleh saya minta data diri Anda dan syarat-syarat lain yang sudah Anda bawa?“

Ifa terdiam. Bimbang. Benarkah pria di depannya itu benar-benar tulus menawarkan bantuannya? Atau jangan-jangan...

Al menunggu.

Khusnudzon, Fa. Khusnudzon. Bisikan dari dalam hati Ifa membuatnya mengulurkan stop map yang dipegangnya.

”Terima kasih,” kata Al, ”akan saya hubungi Anda segera kalau sudah dapat kepastian.”

Ifa mengangguk paham. Lalu ia permisi dan berbalik menuju jalan raya untuk menyetop bis kota yang melewati arah stasiun. Ia harus segera pulang ke Solo. Banyak hal di rumah yang menunggu untuk diselesaikan. Ia tak punya waktu untuk sekedar memikirkan apa yang baru saja dialaminya.

Tapi Al masih terus saja menatapnya. Lama.                 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status