Lelah, itulah yang Luna rasakan. Hampir sebulan ini ia harus pulang lebih lambat karena lembur. Ketika ada proyek selesai maka ia dan rekan satu tim akan sibuk mengaudit hasil laporan proyek.
Sebenarnya ia hanya staf, tapi dua bulan lalu diangkat menjadi wakil manager. Tentu saja apa yang harus dikerjakan dan tanggung jawabnya semakin berat. Selama ia bekerja menjadi tulang punggung menggantikan suaminya yang masih pengangguran, hubungan mereka terasa hambar.
Beruntung Irwan tidak menuntut untuk selalu dilayani karena saat tiba di rumah tubuhnya begitu letih. Hari ini ia izin untuk pulang lebih cepat dan kebetulan besok hari libur. Luna tersenyum membayangkan akan melakukan banyak hal dengan suaminya. Pergi berdua setelah cukup lama meluangkan waktu bersama, mungkin cek in di hotel yang harga kamarnya masih terjangkau dengan isi dompet atau makan malam romantis dan menonton.
“Mas Irwan pasti kaget dengan kejutan aku.”
Tiba di rumah, ia melihat motor suaminya terparkir artinya pria itu ada di dalam. Beni keponakannya sibuk dengan mobil remote yang ia belikan minggu lalu.
“Beni, Bunda kamu kemana?”
“Tidak tahu tante, tadi sih bercanda sama Om Irwan di dapur,” sahut Beni yang sibuk menggerakan mobil dengan remotenya.
Bercanda. Mas Irwan bercanda dengan mbak Sherin di dapur, batin Luna.
Mungkin saja kakaknya memasak untuk makan malam dan Irwan bantu sesuatu. Berusaha mengenyahkan prasangka buruk dari pikirannya. Bagaimanapun juga ia percaya dengan sang suami yang setia kepadanya. Menikah karena saling cinta meski hampir dua tahun pernikahan belum juga diberikan momongan.
Dengan langkah pelan Luna menuju dapur dan tidak menemukan siapapun di sana. Bahkan tidak ada jejak kalau dapur baru saja digunakan untuk memasak. Menoleh ke arah meja makan yang terlihat rapi, hanya ada setumpuk piring bersih juga penghangat nasi dan perangkat makan lainnya. Namun, tidak ada makanan atau masakan tersaji di sana.
“Mas Irwan pasti ketiduran.” Dengan langkah pasti dan wajah tersenyum, Luna menuju kamarnya.
“Mas,” panggilnya saat membuka pintu. Tidak ada Irwan di sana. Ranjangnya pun masih rapi seperti saat ia tinggalkan tadi pagi. “Kok, nggak ada.”
Menghubungi ponsel suaminya, ternyata ada di meja rias. Kalau tidak membawa ponsel, artinya Irwan tidak pergi jauh. Bahkan motornya juga ada di depan rumah.
Brak.
Terdengar suara dari kamar sebelah, tepatnya kamar Sherin. Berharap sang kakak tahu kemana Irwan pergi. Luna pun keluar dari kamar menuju kamar sebelah. Langkahnya terhenti mendapati kaos teronggok di lantai dan langsung memungutnya.
“Ini kaos Mas Irwan.”
Terdengar suara cekikikan dan itu suara Sherin, tapi dengan siapa Sherin sampai terkikik bak kuntilanak di tengah malam. Mulut Luna hendak memanggil kakaknya, tapi urung mendapati kamar itu tidak tertutup rapat.
“Ahhh, terus sayang.”
Dahi Luna mengernyit, siapa yang dipanggil sayang oleh sang kakak.
“Ehm, lebih cepat. Aahhh.” Rasanya tubuh Luna bergidik mendengarkan desahan Sherin bersahutan dengan derit ranjang karena gerakan penggunanya. Sebagai seorang istri Luna paham kalau suara ranjang dan racauan Sherin karena kegiatan percintaan. Hanya saja dengan siapa Sherin melakukannya, wanita itu tidak terlihat dekat dengan pria manapun setelah bercerai apalagi melakukan itu di rumah. Sungguh perbuatan hina.
Tangan Luna sudah berada di pintu ingin mendorong lebih dalam.
“Sherin, kamu luar biasa … nikmat.”
Deg.
Jantung Luna rasanya ingin berontak keluar dari tubuh mendengar suara barusan. Suara Irwan suaminya. Artinya Sherin dan Irwan ….
“Ah, terus sayang aku hampir sampai.” Racauan Sherin diiringi dengan desahan dan erangan saling bersahutan. Tubuh Luna gemetar mendengarnya bahkan kedua lutut seakan tidak bertulang membuatnya mendadak lemas.
Tidak ingin menerobos masuk dan menyaksikan percintaan panas perselingkuhan laknat tersebut. Ia masih berdiri mematung di depan pintu, bahkan untuk menghindar pun rasanya tidak sanggup.
Tidak terasa air matanya menetes membasahi pipi, tidak menduga ia dikhianati. Selama ini berusaha mempercayai suaminya meski kadang ragu karena omongan tetangga atau melihat interaksi aneh suami dan kakaknya.
“Kamu memang luar biasa, besok lagi ya.”
“Pasti dong, kalau perlu dari pagi. Beni kamu suruh main kemana kek.” Suara Irwan dengan siasat dan rencana menjijikan mereka.
Terdengar suara gelak tawa dan langkah mendekat lalu pintu terbuka.
“Luna,” ucap Irwan.
“Eh, Luna, kamu sudah pulang."
“Sejak kapan dan mau sampai kapan kalian bohongi aku?” tanya Luna dengan teriakan.
“Luna kamu salah paham,” ujar Irwan langsung menghampiri dan memegang lengan istrinya, tentu saja langsung dihempas.
“Jangan sentuh aku setelah kamu sentuh dia, aku jijik.”
“Luna, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Irwan tidak macam-macam, dia hanya bantu pasang bohlam.” Sherin ikut mendekat dan berusaha menjelaskan situasi mereka, tentu saja kebohongan yang keluar dari mulut wanita itu.
“Bohlam di selangkangan kamu? Aku dengar semua percakapan kalian yang menjijikan tadi,” pekik Luna. “Dengan naif aku ingin beri kejutan untuk kamu mas, nyatanya aku yang terkejut.”
Sherin menyodorkan piyama saat Irwan keluar dari toilet dengan handuk mengalung di pinggangnya.“Beni udah tidur?”“Sudah,” jawab Sherin lalu duduk di tepi ranjang dan mengalihkan pandangan saat suaminya berganti piyama. Padahal mereka sudah sah, tapi malu kalau harus memperhatikan Irwan berganti meski ia menyukai dada kekar suaminya. Bahkan saat masih melakukan affair, senang sekali bersandar di dada dan bahu pria itu.“Ibu gimana?”“Udah tidur dari sore. Kenapa?”“Nggak pa-pa,” sahut Irwan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Di toko masih dibantu Encing nggak?”“Iya, paling siang ke sana. Kalau nggak ke sana, encing sore pasti kemari.”“Kamu jangan capek-capek, lagi hamil. Kalau bik Ela sudah nggak kerja, kita cari orang lagi. Beni masih anter jemput ‘kan?” cecar Irwan setelah menggantung handuk lalu ikut duduk di samping Sherin.Akhir-akhir ini ia lembur dan pulang agak malam. Semangat untuk menjalani, karena hidupnya sekarang harus menafkahi Sherin, Beni dan calon anak m
“Tenang, Sadam udah di jalan mau ke sini.” Ratna tersenyum karena menjadi perhatian dari semua orang di ruangan itu. Meski rasanya ingin sekali menghardik kalau memang pria itu ada di hadapannya.Mendengar Sadam memang dalam perjalanan ke tempat itu, Luna pun menghela lega. Sempat berburuk sangka kalau Sadam mungkin berubah pikiran untuk melamarnya.“Tenanglah, Sadam pasti datang,” bisik Ibu dan Luna mengangguk pelan.Mami Sadam masih mengoceh karena putranya berulah. Padahal dia sendiri yang mengusulkan waktu lamaran hari ini tanpa persiapan berarti, ternyata sibuk dan sudah satu minggu ini ia belum bertemu dengan putranya itu.“Bapak, Ibu, kita bercakap-cakap saja dulu. Lamaran pasti jadi, tunggu orangnya datang,” tutur Papi Sadam.Akhirnya ramah tamah pun terlaksana sebelum acara dimulai sambil menunggu kedatangan Sadam. Satu jam menunggu akhirnya Sadam tiba. Dengan nafas terengah bersama supirnya yang membawakan paper bag berisi dompet dan ponsel.“Pagi menjelang siang, aku tidak
Sadam tidak akan gentar dan goyah dengan rencana menikahi Luna. Baginya wanita itu adalah pelabuhan terakhir dan rumah untuknya pulang. Pemikiran yang sama mengenai kehidupan berumah tangga akan membuat perjalanan mereka lebih mudah. Sadam berprinsip kalau istri adalah pusat dari sebuah keluarga. Bagaimana kondisi rumah tangga, tergantung kondisi si istri. Akan lebih baik seorang istri menjadi penyemangat suami dan selalu berada di sampingnya. Begitupun dengan Luna yang ingin menjadi ibu rumah tangga saja. Berbakti pada suami dan memastikan suami serta anak-anaknya dalam limpahan kasih sayang. Wanita karir bukan cita-citanya setelah ia menikah. Sudah dua kali bertemu dengan Meli sang mantan istri. Pernah begitu mencintai dan tergila-gila pada wanita itu, tapi sekarang fokus Sadam hanya untuk Luna. Yang Sadam tahu Meli bekerja di stasiun TV, tapi sekarang malah mewakili perusahaan kontraktor.“Pak Sadam nggak salah, Bu Meli wow begitu diceraikan.”“Tidak, justru aku salah kalau teta
Luna hanya menggeleng sambil menggigit bibirnya saat Ratna datang. Berbeda dengan Sadam yang biasa saja dan memberikan arahan pada gadis itu.“Iya, gampanglah itu,” sahut Ratna. Sadam memintanya untuk membantu Luna mempersiapkan acara lamaran.Sadam pun akhirnya pamit dan memberikan sebuah kartu pada Luna untuk persiapan lamaran mereka. Mendekat untuk memeluk dan mencium kening Luna, dilakukan di hadapan Ratna.“Iya, nggak pa-pa terusin aja. Anggap aja gue nggak ada.”Luna tersenyum dan mengekor langkah Sadam meninggalkan ruang kerjanya, begitu pun dengan Ratna.“Hati-hati ya,” ujar Luna.“Hm, jangan segan menghubungiku.”Sore harinya, Ratna pun menemani Luna ke butik untuk memilih busana mereka saat lamaran. Mencari tempat untuk proses lamaran, karena permintaan Ibu juga Sadam. mengingat keluarga itu baru saja mengadakan pernikahan untuk Sherin.“Di sini bagus, lo setuju nggak?” tanya Ratna pada Luna yang sedang memfoto ruangan yang akan mereka sewa.“Hm, aku setuju, tapi nanti bilan
“Bu,” panggil Luna.Ibu yang sedang mengarahkan bik Ela dan suaminya agar membawa pulang makanan yang masih ada pun menoleh. Para kerabat dan tamu sudah pulang semua, termasuk Ardan dan Ratna. Beni sedang sibuk dengan mainan baru di kamarnya yang juga baru. Sherin dan Irwan sedang berganti pakaian.“Mau pulang?” tanya Ibu.“Iya, tapi Pak Sadam mau ngobrol dulu.” Luna memeluk lengan ibunya mengajak ke beranda di mana Sadam menunggu.“Ada apa nak Sadam?”Luna duduk di samping Sadam, sedangkan Ibu tepat di hadapan mereka.“Begini bu, saya berniat serius dengan Luna. Setelah ini saya akan bicarakan dengan orangtua untuk datang kemari bermaksud melamar Luna. Apa ibu keberatan? Saya paham mungkin terlalu cepat, apalagi Sherin baru saja menikah.”“Ibu paham, ini bukan masalah baru saja ada pernikahan di sini. Nak Sadam sudah yakin dengan Luna?”“Yakin, bu.”“Dengan segala latar belakang dan kekurangannya.”Sadam tidak langsung menjawab, ia meraih tangan Luna dan menggenggamnya. “Saya dan Lun
Sherin mematut wajahnya di cermin. Mengenakan kebaya putih gading yang membentuk tubuhnya. Polesan make up juga tatanan rambut dengan sanggul melengkapi penampilannya. Hari ini, tepatnya sesaat lagi ia akan menikah dengan Irwan.Pernikahannya yang kedua dan tidak pernah ada dalam rencananya ia akan gagal berumah tangga dan kembali memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak terbersit dalam benaknya akan menikah dengan Irwan. Awalnya hanya main-main dengan pria yang saat itu adalah adik ipar, nyatanya ia harus menanggung akibat itu.Awal hanya main-main malah berakibat fatal dan menjadi masalah. Luna menyaksikan affairnya dan saat ini ia sangat menyesal. Imbasnya bukan hanya Luna, tapi juga pada keluarga khususnya Ibu. Luna akhirnya bercerai bahkan keguguran.Pintu kamar dibuka, ternyata Ibu yang datang.“Sudah siap?” tanya wanita itu.Sherin tidak menjawab, ia menatap wanita yang sudah melahirkannya menghampiri dan berdiri di belakangnya. Rasa sesal dan malu yang ia rasaka