"Halah, anak nggak tau siapa bapaknya aja kamu bela. Huf, Fathan kapan kamu ceraikan wanita ini. Ibu bosan liat mukanya itu, bawaannya kesel terus!"
"Biarin aja buk, aku capek. Bisa nggak, sebelum aku kerja jangan berisik! Kupingku sakit denger kalian berdebat." Sahut Fathan, acuh. Kesal setiap ada di rumah hanya mendengar perdebatan antara Wening dan ibunya yang selalu terjadi setiap harinya. "Ayah, aku mau duduk di pangkuan ayah," rengek Zion. "Menjauh lah aku sibuk. Wening apa kamu lupa, kebiasaan apa yang kamu lakukan saat aku di rumah? Apa hal sepele itu saja kamu tidak bisa? Apa perlu aku ingatkan lagi?" tangan besar itu mendorong tubuh mungil Zion. Beruntung tidak sampai terjatuh. "Mas, Zion cuma mau duduk di pangkuan kamu apa itu –" Wening menundukkan wajahnya, jika Fathan dan Ibu mertua mendelik maka ia akan memilih bungkam. "Singkirkan dia, berapa kali aku katakan saat aku ada di rumah jangan perlihatkan wajahnya di hadapan aku. Apa begitu saja kamu tidak becus Wening? Apa harus aku ingatkan setiap saat?" Fathan meninggalkan meja makan, dengan kasar mendorong Zion yang tengah berdiri tidak jauh dari Wening. "Ini gara-gara kamu, Wening. Coba pake ot*k kamu, jangan bikin ulah. Apa tiga tahun nggak bikin kamu paham hah? Harus gunakan apa lagi untuk mengingatkan kamu? Lihat kami harus mengalah demi anak ha – akh! Ini semua karena kamu Wening!" Bu Gema, mengejar Zion yang mengikuti langkah Fathan. Dengan cepat mencekal lengan Zion. "Kamu mau kemana? Pria itu bukan ayah –" ucapan Bu Gema terhenti, ketika suara Wening terdengar. "Ibu!" seru Wening, tertahan. "Zion, sayang, masuk ke kamar dulu ya, nanti Mama nyusul," sambungnya lembut. Setelah kepergian putranya Wening menoleh ke arah Ibu mertuanya. "Apa, mau marah? Ayok marah, sampai di mana keberanian kamu melawan ibu mertua kamu ini hah? Kamu itu perempuan nggak bener, masih untung kamu masih di pertahankan di rumah ini kalau nggak sudah di buang kamu sama anakku! Lihat saja nanti kamu akan gelandangan kalau anakku sudah murka!" sengit Bu Gema, menyingkirkan tubuh Wening dari hadapannya. "Minggir napa sih, kamu ngapain di sana cepetan masak. Ingat malam ini masak yang enak ada tamu istimewa, jangan sampai jamuan dari kita ancur. Awas aja kalau nama ibu jadi jelek gara-gara kamu!" "Acara, apa Buk?" Bukan jawaban yang di terima Wening, tapi tatapan tidak suka dari Ibu mertua yang ia dapatkan. "Tugas kamu itu cuma, masak. Acara apapun itu tidak perlu tahu, sudah sana masak. Inget anakmu jangan berkeliaran di sini! Termasuk kamu, jangan harap ibu menyuruhmu bergabung di ruang tamu, jadi kamu harus sadar diri." Bu Gema, menatap sinis pada wanita cantik itu. Wanita yang sampai saat ini belum bisa ia terima menjadi menantunya. "Mbak masakin mie goreng dong! Nggak pake lama ya!" Fidela memainkan dagunya, agar Wening segera membuatkan untuknya. "Kamu, bisa ... " "Mau membantah perintah aku? Aku hubungi mas Fathan loh! Kamu nggak lupa kan mbak, status kamu di rumah ini itu apa! Mas Fathan tidak menceraikan kamu itu karena satu hal. Mau tahu apa?" sinis Fidela. "Karena kamu pantas menjadi babu di rumah ini. Itulah kenapa kamu masih ada di sini!" sinis Fidela, senyum cemooh tercetak jelas di sana. Wening hanya bisa diam mengikuti permintaan adik iparnya, jika tidak tentu akan menjadi boomerang untuknya. "Sabar, aku pasti bisa melewati ini. Semua demi Zion," gumam Wening, menyiapkan piring untuk menuang bumbu dan mie. "Lama banget sih! Cuma bikin mie aja kayak bikin makanan sepuluh macam!" sindiran tajam Fidela. "Tahu lama, kenapa nggak bikin sendiri? Itu lebih cepat bukan?" sahut Wening, berlalu dari hadapan Fidela. "Bisa sopan nggak sih! Pantas aja kalau mas Fathan seli ..." "Kamu bilang apa tadi? Coba kamu lanjutkan, aku nggak asing dari ucapan kamu itu!" tanya Wening, mengerutkan keningnya. Ucapan Fidela membuatnya curiga. "Udah sana. Pergi dari sini, aku mau makan tanpa ada kamu disini, bikin nggak napsu makan aja, sih!" Fidela mencari cara agar Wening segera pergi, terlebih Wening pasti akan terus mencecarnya soal ucapannya tadi. "Hei, kamu dari tadi di cari sama mama. Cepetan sana!" sambung Fidela, dan itu berhasil membuat kakak iparnya pergi. "Huf, aman," gumam Fidela. Hanya helaan nafas yang terdengar seiring perginya Wening dari dapur. Hari ini ia akan menjadi hari yang melelahkan, bukan karena kedatangan tamu tetapi sikap keluarganya yang pasti akan memperlakukan dirinya bak pembantu. "Ibu, panggil, aku?" tanya Wening, sampai di ruang keluarga. "Kalau bukan kamu yang di panggil, terus siapa yang bakalan ibu panggil, hah?" kata Bu Gema berkacak pinggang, tatapan tidak suka terlihat jelas di sana. "Ambil dan pergi ke kasar. Ingat jangan kelayapan, kalau nggak anak kamu yang bakal menanggungnya!" "Aku tidak akan kemana-mana, aku minta sama ibu untuk tidak menyakiti Zion. Dia cucu ibu jadi –" "Pergi sekarang! Atau ibu melakukan di hadapan kamu sekarang juga!"Tiga bulan setelah hari itu, kini Zion tidak lagi memikirkan siapapun. Keluarga baru ibunya dan kehidupan pribadinya adalah satu hal terpenting dan utama untuknya. Mengenai perempuan yang ia lihat di pemakaman, Zion memilih untuk menutupinya dari ibunya. Sebagai seorang anak, Zion tak ingin melibatkan ibunya terlebih masa lalu yang tidak seharusnya di ingat. Senja menyelimuti langit Jakarta, menciptakan gradasi jingga dan emas yang memantul pada dinding kaca gedung pernikahan megah itu. Lampu-lampu kristal berkilau di langit-langit, menggantung bagaikan bintang yang jatuh ke bumi. Musik orkestra lembut mengalun, menyatu dengan aroma bunga mawar putih yang menghiasi setiap sudut ruangan.Zion berdiri tegak, gagah dalam balutan jas putih elegan. Wajahnya tenang namun mata itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang meluap. Di hadapannya, berjalan anggun dalam gaun pengantin panjang berpayet kristal, Tasya Kamila—sosok yang menjadi jawaban doa panjangnya. Tepuk tangan tamu mengiringi l
Tubuh Zion menegang, wajahnya seketika berubah. Kabar yang baru saja ia dengar mampu membuat dirinya terdiam. Matanya terpejam mengingat bagaimana sikap ayah kandungnya yang dengan sengaja menorehkan luka begitu dalam. Luka yang hingga kini masih menganga. Jemarinya yang memegang buku harian itu bergetar hebat. Setiap huruf yang tertulis di halaman itu seperti anak panah yang menghujam ke dadanya. Nafasnya terasa sesak, seakan dunia menutup dirinya dalam ruang hampa udara.Teruntuk anakku Zion Putra Byantara...Maafkan Ayah, Nak. Jika dulu Ayah terlalu angkuh untuk mengakui darah daging sendiri. Ayah menyesal. Tapi penyesalan ini datang terlambat. Ayah ingin memelukmu, meski sekali saja, sebelum Tuhan memanggil Ayah pulang.Zion menggigit bibirnya hingga terasa asin darah. Ingatan itu datang bertubi-tubi, seperti film yang diputar tanpa henti—suara tangisan ibunya yang dipaksa pergi, wajah Wening yang menahan sakit ketika Fathan menikahi sahabat dekatnya, dan dirinya, seorang bocah k
Tubuh lemah itu terbaring di tempat tidur pasien. Fathan tidak menyangka jika tubuhnya lemah, saat dirinya ingin mengejar maaf dari darah dagingnya yang pernah ia tolak. "Tuan, anda sudah sadar? Apa yang anda rasakan?" Remon, asisten pribadinya menjaga pria lemah itu khawatir. "Apa aku pingsan, lagi? Ah, aku akan menemui anakku Re, aku takut waktuku tidak cukup," ujar Fathan, berusaha untuk bangkit. Namun dengan sigap Remon menahan tubuh itu. "Anda baru sadar, setelah seminggu tidak sadarkan diri. Dan sekarang anda ingin pergi? Tunggu tubuh anda fit lebih dulu, anda bisa menemui den Zion," sahut Remon. Tahu bagaimana perjuangan bosnya yang tengah mengejar maaf dari Zion dan mantan istrinya. Fathan menatap langit-langit ruangan putih itu, matanya berkaca-kaca. Nafasnya berat, dan selang oksigen yang menempel di hidungnya membuatnya merasa semakin rapuh. “Seminggu? Aku kehilangan waktu selama itu? Apa Zion datang ke sini?" Suaranya lirih, seolah setiap kata adalah beban. Ia memejam
Selepas kepergian Fathan, kini di ruang kerja Wening berubah hening. Terlebih Zion yang tiba-tiba datang membuat mereka memilih bungkam atas kehadiran Fathan sebelumnya."Sayang, aku serahkan keputusan ini padamu dan Zion. Kalian yang memiliki hak itu semua, sebagai ayah dan suami, aku ingin yang terbaik untuk kalian. Bicarakan berlahan dengan Zion, aku percaya anak kita adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Dia tahu mana pantas untuk bersikap, sudahlah kamu jangan risau." Raffan memeluk pinggang Wening, wanita yang amat ia cintai. "Ya mas, aku tahu itu. Sudah waktunya untuk bertemu," lirihnya., tak lama Zion bergabung bersama mereka. [Assalamualaikum Wening, maafkan ibu. Maafkan semua kesalahan ibuku. Aku sebagai anak mewakili, sekaligus meminta kamu dan Zion untuk membuka hati atas kesalahan yang kamu berbuat. Wening, ibu sudah tidak ada.] Terkirim, Wening terkejut bukan main membaca pesan yang di kirim Fathan padanya."Ada apa sayang?" tanya Raffan, melihat gelagat istriny
Hari berikutnya, senja baru saja menggantung di langit saat Fathan melangkah masuk ke sebuah restoran kecil namun nyaman di sudut kota. Restoran milik Wening. Tempat yang beberapa tahun terakhir menjadi saksi bagaimana wanita itu membangun hidupnya dari luka dan puing masa lalu.Wening tengah berdiri di balik meja kebesarannya, penampilannya yang elegan menunjukan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Meski penampilan sederhana tak menutup siapa Wening sebenarnya."Wening..." suara Fathan terdengar berat namun pelan. Seolah ia takut wanita itu akan pergi jika ia bicara terlalu keras.Wening tidak langsung merespons. Tatapannya hanya mengeras, penuh pertahanan."Kalau kau datang untuk membicarakan proyek, aku sedang tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat apa pun lagi denganmu, apalagi di luar bisnis," ucapnya datar, lalu hendak berbalik."Tunggu, Wening! Aku tidak datang untuk itu. Aku hanya ingin bicara. Bukan sebagai rekan kerja. Tapi sebagai, seseorang yang sudah terlalu lama memenda
Dua puluh tahun kemudian, Wening tengah sibuk membantu berapa karyawannya yang sibuk. Pengunjung membludak membuat mereka kekurangan tenaga, tidak ada yang tidak sibuk hari itu.Tanpa di sadari, dari jauh seseorang begitu intens menatap restoran miliknya. Satu jam berlalu dan Wening baru bisa mendudukkan tubuhnya."Setelah ini kalian tutup saja ya, bahan makanan sudah habis. Alhamdulillah hari ini luar bisa buat kita." Ucapnya tidak hentinya bersyukur."Ibu, benar. Sejak adanya menu baru restoran ini semakin ramai dan juga semakin banyak orderan," sahut salah satu waiters."Sudah, kalian selesaikan semua? Kita akan tutup secepatnya." Berapa watres kembali sibuk. Wening, mengingat hari ini ada janji temu dengan keluarga di salah satu tempat makan favorit keluarganya,"Langkah anggunnya menuju ke mobil, begitu sibuk dengan ponselnya sehingga tanpa sadar tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.Brakk!!"Maaf, aku tidak ...," Wening terdiam, menatap tidak percaya pria yang di depannya. Pri