Acara makan malam yang di hadiri calon tunangan Fidela. Meski tidak diizinkan untuk bergabung, Wening tahu jika adik iparnya akan segera bertunangan.
"Anak ini tidak seharusnya ada di sini!" suara Bu Gema menggema, dingin dan menusuk, seakan setiap kata yang keluar darinya adalah belati yang tertuju langsung ke hati Wening. Zion berdiri terpaku di tengah ruangan, tubuhnya yang mungil gemetar di bawah tatapan tajam neneknya. Tangannya yang kecil memegang erat ujung baju Wening, seakan hanya Ibunya yang bisa melindunginya dari badai hinaan yang sedang datang. Semua tamu yang hadir di acara keluarga itu terdiam, mata mereka tertuju pada Zion. Bisikan-bisikan terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana tidak nyaman yang kian menekan Wening. "Ibu –" suara Wening lirih, hampir tidak terdengar, tapi Bu Gema tidak peduli. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tajam. "Lihatlah dia! Tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa dia adalah cucuku. Lihat matanya, hidungnya, bahkan cara dia berdiri! Sama sekali tidak ada kemiripan dengan Fathan. Aku sudah bosan dengan kebohongan ini, Wening!" Wening ingin berbicara, ingin mengatakan sesuatu untuk membela Zion, tapi lidahnya terasa kelu. Setiap kali hal ini terjadi, setiap kali tuduhan kejam itu dilontarkan, dia selalu terjebak dalam ketidakberdayaan. Pandangannya beralih ke arah Fathan, berharap ada sedikit dukungan dari suaminya. Namun, Fathan hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya datar, seolah dia tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya. Lalu, suara Fathan yang dingin tiba-tiba terdengar, menyayat hati Wening lebih dalam. "Memang benar, apa yang Ibu katakan. Aku tidak pernah merasa Zion adalah anakku." Kata-kata itu jatuh seperti pukulan keras yang menghancurkan Wening dari dalam. Zion yang masih terlalu kecil untuk mengerti kebencian yang diarahkan padanya, hanya menatap ayahnya dengan mata penuh harapan, seolah-olah menunggu Fathan menarik kembali kata-kata yang baru saja diucapkan. Tapi harapan itu segera pupus ketika Fathan menoleh ke arah Zion dengan tatapan dingin dan penolakan. "Dia bukan anakku." Tegas Fathan lagi, kali ini suaranya terdengar lebih keras, cukup keras untuk didengar oleh semua tamu yang hadir. "Aku tidak akan pernah mengakui anak yang bahkan tidak memiliki satu tetes pun darah Byantara!" Tangisan kecil terdengar dari Zion. Suara isaknya memecah keheningan yang menyesakkan di ruangan itu. Wening merasakan hatinya seolah dicabik-cabik, melihat anaknya yang tidak bersalah dihina dan dipermalukan oleh orang yang seharusnya melindunginya. Perlahan, Wening berlutut di hadapan Zion memeluknya erat, mencoba memberikan kenyamanan meskipun dia sendiri merasa begitu hancur. "Zion, sayang, jangan dengarkan mereka, ayah sedang pusing di kantor banyak kerjaan, Zion anak hebat kebanggaan ayah dan mama," bisik Wening dengan suara bergetar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kamu adalah anak Mama, dan Mama akan selalu mencintaimu." Namun kata-kata Wening tidak bisa menghapus luka yang telah dibuat oleh Fathan dan keluarganya. Zion, meskipun masih terlalu kecil, bisa merasakan kebencian yang mengarah kepadanya. Tangisannya semakin keras, membuat Wening merasa semakin tidak berdaya. Hati Wening terasa seakan terpecah belah, dia ingin melindungi Zion, tapi bagaimana dia bisa melawan Fathan dan keluarganya yang terus-menerus menyerang mereka? "Sudah, cukup!" kata Bu Gema dengan nada memerintah. "Anak itu tidak seharusnya berada di sini. Keluarkan dia dari acara ini, Wening. Aku tidak mau melihat wajahnya lagi! Kehadirannya membuat tamu ibu tidak berselera makan!" Wening menggeleng lemah, menahan air mata yang hampir jatuh. "Bu, tolong, dia hanya anak kecil. Jangan begitu kejam padanya, lagi pula apa hubungannya dengan mereka yang tidak berselera makan aku –" "Kejam?" Bu Gema tertawa sinis. "Kamu yang kejam, Wening. Kamu yang membawa anak hasil perselingkuhanmu dan mencoba memaksanya menjadi bagian dari keluarga ini! Jangan berpikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan." Kata-kata itu menghantam Wening seperti gelombang besar. Tuduhan itu, yang sudah sering dia dengar, kini disampaikan di depan semua tamu. Namun yang paling menyakitkan adalah tidak ada satu pun yang membela mereka, terutama Fathan, pria yang seharusnya berdiri di sampingnya. Wening menunduk, memeluk Zion lebih erat. Dia bisa merasakan tubuh anaknya yang kecil masih gemetar di pelukannya. Dia ingin menghilangkan semua rasa sakit dan ketakutan yang dirasakan Zion, tapi bagaimana caranya? Bagaimana dia bisa melindungi anaknya ketika orang yang seharusnya menjadi tameng mereka malah ikut menancapkan pedang ke hatinya? Fathan melangkah maju, berdiri di samping ibunya. "Bawa dia pergi, Wening," katanya tanpa emosi. "Dia tidak pantas berada di sini. Seperti yang ia bilang, hargai kami." Ucap Fathan lirih penuh penekanan. Wening menatap Fathan dengan mata penuh air mata, berharap ada sedikit belas kasihan di mata pria yang pernah dia cintai itu. Namun, Fathan tetap tak bergeming, tidak ada sedikit pun rasa penyesalan di wajahnya. Hanya dingin dan kekosongan. Dengan perasaan yang hancur, Wening bangkit sambil tetap memegang tangan Zion. Anak itu masih terisak, air matanya membasahi pipi. Dia menarik Zion keluar dari ruangan, meninggalkan tatapan para tamu yang penuh dengan rasa ingin tahu dan bisikan-bisikan yang menghakimi. Setelah berada di luar, Wening kembali berlutut lagi di hadapan Zion, menghapus air mata di wajah anaknya. “Maafkan Mama, Zion. Maafkan Mama karena tidak bisa melindungimu.” Isaknya kini tak lagi bisa ditahan. Zion hanya menatap ibunya dengan mata merah, tidak mengerti mengapa dunia begitu kejam kepadanya. "Sudah aku katakan jangan perlihatkan anak itu di acara ini. Kamu menghancurkan reputasiku, Wening!" Suara itu? Suara tidak asing, Wening menoleh di sana seseorang berdiri angkuh, tatapannya sulit untuk di artikan.Meski hatinya sakit atas perlakuan Fathan, namun Wening memilih bertahan setelah di bujuk oleh fathan. Tapi sayang di balik kelembutan Fathan tersembunyi sesuatu mampu menghancurkannya hati Wening."Wening, kamu sudah siapkan semuanya? Ibu tidak ingin kamu melupakan sesuatu!" seru Bu Gema. Dengan nada suara yang tidak akan pernah berubah. Keras tanpa memperdulikan perasaan Wening."Ya, Bu, aku pastikan tidak ada kekurangan apa pun." Sahut Wening lembut."Bagus jangan sampai kamu mencoreng wajah ibu di depan besan. Tidak perlu berdiri disini, ibu tidak mau kamu berkeliaran, dan juga anak mu itu." Tunjuk ibu jari Bu Gema.Kata yang menjadi makanan sehari-hari untuk Wening. Namum kali ini hatinya benar-benar sakit, bagaimana tidak Ibu mertuanya tidak menghargai apa pun yang ia lakukan."Wening jauhkan anakmu itu. Kamu bisa urus anak kamu tidak sih! Jangan sampai saat acara dia berkeliaran di sini! Ibu tidak ingin calon Besan ibu ilfill dengan keluarga ibu yang terpandang ini. Kamu menger
"Sudah pulang kamu? Cepetan masak kami sudah lapar!" Bu Gema menunjuk arah dapur, tidak peduli jika Wening baru saja pulang dari rumah sakit."Aku ke kamar dulu," pamit Wening. Melanjutkan langkahnya, tetapi baru berapa langkah suara Bu Gema terdengar lebih tinggi."Tidak bisa. Dia tahu di mana kamarnya, cepat ke dapur!" Wening berbalik, di sana Bu Gema berdiri angkuh. "Tidak sampai lima menit untuk mengantar anakku ke kamarnya. Tapi aku tahu ibu cukup lama menahan lapar karena menungguku." Suara Wening lirih dan tenang, sarat akan penekanan."Kamu semakin hari semakin berani. Oh tuhan kapan wanita ini pergi dari sini." Lantang Bu Gema, Wening melanjutkan langkahnya menuju kamar di sana putranya akan aman."Istirahat sayang, mama masak dulu buat nenek," lirih Wening, mengecup kening Zion."Ya, mah,""Anak, pinter."Wening memastikan putranya aman di kamar, sebelum ia meninggalkan sendiri tanpa pengawasan darinya. Tidak ada yang menjamin keamanan Zion, terlebih saat dirinya jauh dari
Setelah pengusiran malam itu pada Wening dan Zion, namun entah kenapa Wening tetap melakukan kegiatannya menyiapkan semua kebutuhan suami dan keluarganya. Jika orang di luar sana mengatakan Wening itu bodoh, maka jawabannya tidak! Wening hanya ingin mempertahankan hak putranya dan menyakinkan dirinya jika kelak suami dan keluarganya menyadari kesalahannya, meski entah sampai kapan kesabarannya teruji, jika sudah tidak makasih maka pergi adakah jalan terakhir yang akan ia ambil.Kekacauan terjadi di rumah, karena ulah adik iparnya yang semakin kisruh sehingga Wening membereskan semuanya. Entah apa yang ada dalam pikiran adik iparnya itu, membuat kegaduhan yang membuat Wening extra untuk mengembalikan keadaan ke semula. Namun, satu hal yang selalu Wening pikirkan, keselamatan Zion, ya, hanya Zion.Malam itu, Zion demam tinggi. Tubuh kecilnya berkeringat dingin, bibirnya bergetar dalam tidurnya. Setiap kali Wening menyentuh dahinya, panas tubuh anaknya semakin terasa. Dengan panik, ia me
Dua hari setelah kejadian itu, Fathan tidak lagi membicarakan soal Zion atau pun dirinya yang memilih mempertahankan Zion dalam rumah mertuanya. Malam itu saat Wening mengunjungi putranya yang berada di dalam kamarnya..."Mama, apa aku anak yang nakal? Kenapa mereka semua nggak suka sama aku?” Suara Zion terdengar lirih, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam. Mata kecilnya yang basah oleh air mata menatap Wening dengan tatapan bingung, seolah mencari jawaban yang bisa meredakan rasa sakit di hatinya. Wening terdiam, hatinya mencelos mendengar pertanyaan itu. Tangannya yang gemetar perlahan mengusap pipi Zion, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir.“Tidak, sayang, kamu bukan anak yang nakal. Kamu anak yang baik, sangat baik. Jangan pernah berpikir sebaliknya,” jawab Wening dengan suara serak. Namun, di balik kata-kata itu, ia menyimpan rasa sakit yang mendalam. Bagaimana mungkin seorang anak sepolos Zion bisa merasa dirinya bersalah atas semua penderitaan ini?Zion
"Mama, kenapa ayah nggak suka sama aku?" Suara kecil Zion terdengar lirih, hampir tenggelam dalam keheningan menyakitkan di kamar mereka. Wening berlutut di hadapan Zion, berusaha menahan tangis yang membuncah di dadanya. Ia menggenggam tangan kecil anaknya, mengelusnya dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan itu."Siapa bilang? Ayah hanya, ayah terlalu banyak kerja sayang, ayah kan capek di kantor nak," jawab Wening dengan suara serak. Air mata menggenang di matanya, tapi ia berusaha tersenyum. "Kamu anak Mama, dan Mama akan selalu ada buat kamu sayang, apa pun itu," Zion menatap Wening dengan mata merah penuh pertanyaan, tapi tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibir mungilnya. Tangannya gemetar, menggenggam lebih erat jari-jari Wening, seolah takut kehilangan satu-satunya orang yang ia tahu mencintainya tanpa syarat.Namun ketegangan di antara mereka bertambah ketika tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras, membuat Wening dan Zion tersentak. Fathan
Pagi harinya, Fathan bersikap seperti biasa sekarang tidak ada kejadian apapun semalam. Bu Gema, sikapnya yang angkuh dan kebencian pada Wening semakin menjadi, namun lebih menyebalkan di mana Fathan justru diam tanpa merespon apapun tentang permintaannya untuk menghapus nama belakang Zion."Kenapa kamu diam saja?" kata Fathan yang tajam memecah keheningan di ruang makan. Wening yang teringat kata-kata Fathan semalam hingga tidak sadar melamun, gebrakan meja membuatnya terkejut, tangannya yang memegang sendok bergetar. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan. Setiap kali Fathan membuka mulut, yang keluar hanyalah kebencian dan tuduhan."Aku hanya ingin kita bicara dengan tenang, mas. Tentang Zion tapi yang ada kita– " Suaranya lirih, mencoba meredakan ketegangan yang tak kunjung surut.Fathan memalingkan wajahnya. "Zion? Anak itu bukan darahku! Keluargaku benar, dia tidak mirip sedikit pun denganku! Kamu lupa apa yang kalian lakukan di acara semalam?"Kata-kata Fathan menghantam
"Anak ini benar-benar tidak tahu diri! Dan kamu, kamu wanita yang sangat tidak tahu diri!" Suara tajam ibu mertuanya, Ibu Gema, memecah keheningan ruang keluarga yang tadinya hanya dipenuhi oleh riuh rendah percakapan kecil. Semua mata seketika tertuju pada anak yang baru saja tersandung dan menjatuhkan gelas di depannya. Air tumpah menggenangi meja, dan serpihan gelas berhamburan di atas karpet.Wening segera bergerak, meraih tangan Zion yang kini gemetar. “Maaf, Bu,” katanya cepat, mencoba menenangkan anaknya yang menunduk ketakutan. “Dia tidak sengaja, anak-anak memang begitu.” Ujar Wening, setelah kejadian tadi, Zion ada di kamarnya sayang saat Wening kembali ke dapur justru Dinda menghampiri Zion dan mengajaknya bermain dan hasilnya Zion kembali menjadi sasaran kemarahan Bu Gema.“Tentu saja dia tidak sengaja!” Bu Gema menjawab dengan suara yang makin meninggi. “Seharusnya diajari dari kecil! Tapi, bagaimana bisa dia diajari dengan benar kalau ibunya saja tidak becus mendidik! La
Acara makan malam yang di hadiri calon tunangan Fidela. Meski tidak diizinkan untuk bergabung, Wening tahu jika adik iparnya akan segera bertunangan."Anak ini tidak seharusnya ada di sini!" suara Bu Gema menggema, dingin dan menusuk, seakan setiap kata yang keluar darinya adalah belati yang tertuju langsung ke hati Wening. Zion berdiri terpaku di tengah ruangan, tubuhnya yang mungil gemetar di bawah tatapan tajam neneknya. Tangannya yang kecil memegang erat ujung baju Wening, seakan hanya Ibunya yang bisa melindunginya dari badai hinaan yang sedang datang.Semua tamu yang hadir di acara keluarga itu terdiam, mata mereka tertuju pada Zion. Bisikan-bisikan terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana tidak nyaman yang kian menekan Wening."Ibu –" suara Wening lirih, hampir tidak terdengar, tapi Bu Gema tidak peduli. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tajam."Lihatlah dia! Tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa dia adalah cucuku. Lihat matanya, hidungnya, bahkan cara dia berdiri
"Halah, anak nggak tau siapa bapaknya aja kamu bela. Huf, Fathan kapan kamu ceraikan wanita ini. Ibu bosan liat mukanya itu, bawaannya kesel terus!" "Biarin aja buk, aku capek. Bisa nggak, sebelum aku kerja jangan berisik! Kupingku sakit denger kalian berdebat." Sahut Fathan, acuh. Kesal setiap ada di rumah hanya mendengar perdebatan antara Wening dan ibunya yang selalu terjadi setiap harinya."Ayah, aku mau duduk di pangkuan ayah," rengek Zion."Menjauh lah aku sibuk. Wening apa kamu lupa, kebiasaan apa yang kamu lakukan saat aku di rumah? Apa hal sepele itu saja kamu tidak bisa? Apa perlu aku ingatkan lagi?" tangan besar itu mendorong tubuh mungil Zion. Beruntung tidak sampai terjatuh."Mas, Zion cuma mau duduk di pangkuan kamu apa itu –" Wening menundukkan wajahnya, jika Fathan dan Ibu mertua mendelik maka ia akan memilih bungkam."Singkirkan dia, berapa kali aku katakan saat aku ada di rumah jangan perlihatkan wajahnya di hadapan aku. Apa begitu saja kamu tidak becus Wening? Apa