Share

3. Bukan Anakku

Auteur: Rafli123
last update Dernière mise à jour: 2025-05-07 21:20:20

Acara makan malam yang di hadiri calon tunangan Fidela. Meski tidak diizinkan untuk bergabung, Wening tahu jika adik iparnya akan segera bertunangan.

"Anak ini tidak seharusnya ada di sini!" suara Bu Gema menggema, dingin dan menusuk, seakan setiap kata yang keluar darinya adalah belati yang tertuju langsung ke hati Wening. Zion berdiri terpaku di tengah ruangan, tubuhnya yang mungil gemetar di bawah tatapan tajam neneknya. Tangannya yang kecil memegang erat ujung baju Wening, seakan hanya Ibunya yang bisa melindunginya dari badai hinaan yang sedang datang.

Semua tamu yang hadir di acara keluarga itu terdiam, mata mereka tertuju pada Zion. Bisikan-bisikan terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana tidak nyaman yang kian menekan Wening.

"Ibu –" suara Wening lirih, hampir tidak terdengar, tapi Bu Gema tidak peduli. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tajam.

"Lihatlah dia! Tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa dia adalah cucuku. Lihat matanya, hidungnya, bahkan cara dia berdiri! Sama sekali tidak ada kemiripan dengan Fathan. Aku sudah bosan dengan kebohongan ini, Wening!"

Wening ingin berbicara, ingin mengatakan sesuatu untuk membela Zion, tapi lidahnya terasa kelu. Setiap kali hal ini terjadi, setiap kali tuduhan kejam itu dilontarkan, dia selalu terjebak dalam ketidakberdayaan. Pandangannya beralih ke arah Fathan, berharap ada sedikit dukungan dari suaminya. Namun, Fathan hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya datar, seolah dia tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Lalu, suara Fathan yang dingin tiba-tiba terdengar, menyayat hati Wening lebih dalam.

"Memang benar, apa yang Ibu katakan. Aku tidak pernah merasa Zion adalah anakku."

Kata-kata itu jatuh seperti pukulan keras yang menghancurkan Wening dari dalam. Zion yang masih terlalu kecil untuk mengerti kebencian yang diarahkan padanya, hanya menatap ayahnya dengan mata penuh harapan, seolah-olah menunggu Fathan menarik kembali kata-kata yang baru saja diucapkan. Tapi harapan itu segera pupus ketika Fathan menoleh ke arah Zion dengan tatapan dingin dan penolakan.

"Dia bukan anakku." Tegas Fathan lagi, kali ini suaranya terdengar lebih keras, cukup keras untuk didengar oleh semua tamu yang hadir. "Aku tidak akan pernah mengakui anak yang bahkan tidak memiliki satu tetes pun darah Byantara!"

Tangisan kecil terdengar dari Zion. Suara isaknya memecah keheningan yang menyesakkan di ruangan itu. Wening merasakan hatinya seolah dicabik-cabik, melihat anaknya yang tidak bersalah dihina dan dipermalukan oleh orang yang seharusnya melindunginya. Perlahan, Wening berlutut di hadapan Zion memeluknya erat, mencoba memberikan kenyamanan meskipun dia sendiri merasa begitu hancur.

"Zion, sayang, jangan dengarkan mereka, ayah sedang pusing di kantor banyak kerjaan, Zion anak hebat kebanggaan ayah dan mama," bisik Wening dengan suara bergetar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kamu adalah anak Mama, dan Mama akan selalu mencintaimu."

Namun kata-kata Wening tidak bisa menghapus luka yang telah dibuat oleh Fathan dan keluarganya. Zion, meskipun masih terlalu kecil, bisa merasakan kebencian yang mengarah kepadanya. Tangisannya semakin keras, membuat Wening merasa semakin tidak berdaya. Hati Wening terasa seakan terpecah belah, dia ingin melindungi Zion, tapi bagaimana dia bisa melawan Fathan dan keluarganya yang terus-menerus menyerang mereka?

"Sudah, cukup!" kata Bu Gema dengan nada memerintah. "Anak itu tidak seharusnya berada di sini. Keluarkan dia dari acara ini, Wening. Aku tidak mau melihat wajahnya lagi! Kehadirannya membuat tamu ibu tidak berselera makan!"

Wening menggeleng lemah, menahan air mata yang hampir jatuh. "Bu, tolong, dia hanya anak kecil. Jangan begitu kejam padanya, lagi pula apa hubungannya dengan mereka yang tidak berselera makan aku –"

"Kejam?" Bu Gema tertawa sinis. "Kamu yang kejam, Wening. Kamu yang membawa anak hasil perselingkuhanmu dan mencoba memaksanya menjadi bagian dari keluarga ini! Jangan berpikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan."

Kata-kata itu menghantam Wening seperti gelombang besar. Tuduhan itu, yang sudah sering dia dengar, kini disampaikan di depan semua tamu. Namun yang paling menyakitkan adalah tidak ada satu pun yang membela mereka, terutama Fathan, pria yang seharusnya berdiri di sampingnya.

Wening menunduk, memeluk Zion lebih erat. Dia bisa merasakan tubuh anaknya yang kecil masih gemetar di pelukannya. Dia ingin menghilangkan semua rasa sakit dan ketakutan yang dirasakan Zion, tapi bagaimana caranya? Bagaimana dia bisa melindungi anaknya ketika orang yang seharusnya menjadi tameng mereka malah ikut menancapkan pedang ke hatinya?

Fathan melangkah maju, berdiri di samping ibunya. "Bawa dia pergi, Wening," katanya tanpa emosi. "Dia tidak pantas berada di sini. Seperti yang ia bilang, hargai kami." Ucap Fathan lirih penuh penekanan.

Wening menatap Fathan dengan mata penuh air mata, berharap ada sedikit belas kasihan di mata pria yang pernah dia cintai itu. Namun, Fathan tetap tak bergeming, tidak ada sedikit pun rasa penyesalan di wajahnya. Hanya dingin dan kekosongan.

Dengan perasaan yang hancur, Wening bangkit sambil tetap memegang tangan Zion. Anak itu masih terisak, air matanya membasahi pipi. Dia menarik Zion keluar dari ruangan, meninggalkan tatapan para tamu yang penuh dengan rasa ingin tahu dan bisikan-bisikan yang menghakimi.

Setelah berada di luar, Wening kembali berlutut lagi di hadapan Zion, menghapus air mata di wajah anaknya. “Maafkan Mama, Zion. Maafkan Mama karena tidak bisa melindungimu.” Isaknya kini tak lagi bisa ditahan. Zion hanya menatap ibunya dengan mata merah, tidak mengerti mengapa dunia begitu kejam kepadanya.

"Sudah aku katakan jangan perlihatkan anak itu di acara ini. Kamu menghancurkan reputasiku, Wening!"

Suara itu? Suara tidak asing, Wening menoleh di sana seseorang berdiri angkuh, tatapannya sulit untuk di artikan.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   41. Surat Wasiat

    Tubuh lemah itu terbaring di tempat tidur pasien. Fathan tidak menyangka jika tubuhnya lemah, saat dirinya ingin mengejar maaf dari darah dagingnya yang pernah ia tolak."Tuan, anada sudah sadar? Apa yang anda rasakan?" Remon, asisten pribadinya menjaga pria lemah itu."Apa aku pingsan, lagi? Ah, aku akan menemui anakku Re, aku takut waktuku tidak cukup," ujar Fathan, berusaha untuk bangkit. Namun dengan sigap Remon menahan tubuh itu. "Anda baru sadar, setelah seminggu tidak sadarkan diri. Dan sekarang anda ingin pergi? Tunggu tubuh anda fit lebih dulu, anda bisa menemui den Zion," sahut Remon. Tahu bagaimana perjuangan bosnya yang tengah mengejar maaf dari Zion dan mantan istrinya.Fathan menatap langit-langit ruangan putih itu, matanya berkaca-kaca. Nafasnya berat, dan selang oksigen yang menempel di hidungnya membuatnya merasa semakin rapuh.“Seminggu? Aku kehilangan waktu selama itu? Apa Zion datang ke sini?" Suaranya lirih, seolah setiap kata adalah beban. Ia memejam, mengingat

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   40. Penyesalan

    Selepas kepergian Fathan, kini di ruang kerja Wening berubah hening. Terlebih Zion yang tiba-tiba datang membuat mereka memilih bungkam atas kehadiran Fathan sebelumnya."Sayang, aku serahkan keputusan ini padamu dan Zion. Kalian yang memiliki hak itu semua, sebagai ayah dan suami, aku ingin yang terbaik untuk kalian. Bicarakan berlahan dengan Zion, aku percaya anak kita adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Dia tahu mana pantas untuk bersikap, sudahlah kamu jangan risau." Raffan memeluk pinggang Wening, wanita yang amat ia cintai. "Ya mas, aku tahu itu. Sudah waktunya untuk bertemu," lirihnya., tak lama Zion bergabung bersama mereka. [Assalamualaikum Wening, maafkan ibu. Maafkan semua kesalahan ibuku. Aku sebagai anak mewakili, sekaligus meminta kamu dan Zion untuk membuka hati atas kesalahan yang kamu berbuat. Wening, ibu sudah tidak ada.] Terkirim, Wening terkejut bukan main membaca pesan yang di kirim Fathan padanya."Ada apa sayang?" tanya Raffan, melihat gelagat istriny

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   39. Hanya Mantan

    Hari berikutnya, senja baru saja menggantung di langit saat Fathan melangkah masuk ke sebuah restoran kecil namun nyaman di sudut kota. Restoran milik Wening. Tempat yang beberapa tahun terakhir menjadi saksi bagaimana wanita itu membangun hidupnya dari luka dan puing masa lalu.Wening tengah berdiri di balik meja kebesarannya, penampilannya yang elegan menunjukan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Meski penampilan sederhana tak menutup siapa Wening sebenarnya."Wening..." suara Fathan terdengar berat namun pelan. Seolah ia takut wanita itu akan pergi jika ia bicara terlalu keras.Wening tidak langsung merespons. Tatapannya hanya mengeras, penuh pertahanan."Kalau kau datang untuk membicarakan proyek, aku sedang tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat apa pun lagi denganmu, apalagi di luar bisnis," ucapnya datar, lalu hendak berbalik."Tunggu, Wening! Aku tidak datang untuk itu. Aku hanya ingin bicara. Bukan sebagai rekan kerja. Tapi sebagai, seseorang yang sudah terlalu lama memenda

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   38. Pertemuan Pertama

    Dua puluh tahun kemudian, Wening tengah sibuk membantu berapa karyawannya yang sibuk. Pengunjung membludak membuat mereka kekurangan tenaga, tidak ada yang tidak sibuk hari itu.Tanpa di sadari, dari jauh seseorang begitu intens menatap restoran miliknya. Satu jam berlalu dan Wening baru bisa mendudukkan tubuhnya."Setelah ini kalian tutup saja ya, bahan makanan sudah habis. Alhamdulillah hari ini luar bisa buat kita." Ucapnya tidak hentinya bersyukur."Ibu, benar. Sejak adanya menu baru restoran ini semakin ramai dan juga semakin banyak orderan," sahut salah satu waiters."Sudah, kalian selesaikan semua? Kita akan tutup secepatnya." Berapa watres kembali sibuk. Wening, mengingat hari ini ada janji temu dengan keluarga di salah satu tempat makan favorit keluarganya,"Langkah anggunnya menuju ke mobil, begitu sibuk dengan ponselnya sehingga tanpa sadar tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.Brakk!!"Maaf, aku tidak ...," Wening terdiam, menatap tidak percaya pria yang di depannya. Pri

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   37. Pasrah

    Seperti yang di katakan oleh Mbah dukun itu, mereka meninggalkan gubuk itu tanpa menoleh ke belakang lagi. Terbesit pernyataan tentang ibu mertuanya, namun hal itu Alya urang menanyakan kekesalan nya pada keluarga suami dan Mbah dukun yang mengklaim bahwa apa yang terjadi pada dirinya karena karma."Antar aku ke rumah mama!" ucapnya memecah keheningan."Sayang, kita pulang ke rumah dulu ya?" jawab Fathan dengan nada yang lembut."Sudahlah mas. Kamu urus semuanya, aku capek, aku bukan sapi perah kalian!" Lantang Alya, katanya sehingga membuat Gema membulatkan matanya."Tapi sayang, kita pulang dulu ya. Aku akan mengantarmu ketemu sama mama, tapi tidak sekarang. Kita istirahat, dan tolong jangan katakan hal sensitif itu di hadapan kami," Fathan menoleh ke arah Alya dari ekor matanya dengan nada yang tegas."Mengertilah, turunkan aku di depan. Kamu pulang aja, aku ke rumah mama!" sentak Alya dengan nada yang semakin tinggi.Dengan terpaksa Fathan menghentikan laju mobilnya, melihat kemar

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   36. Karma

    Alya dan Fathan semakin marah dan kecewa terhadap Wening. Mereka merasa bahwa Wening telah melakukan hal yang tidak adil dan tidak pantas untuk mereka. "Dasar Wening! Dia pikir dia bisa melakukan apa saja dan tidak ada yang bisa menghentikannya! Lihat saja nanti akan aku buktikan hidupku jauh lebih baik dari pada kamu Wening! Tetaplah menjadi gembel, kamu pikir uang itu akan bertahan dalam kantong kamu!" kesal Alya, tidak hentinya menghina dan menghujat Wening."Iya, dia pikir dia bisa menghancurkan kita dan tidak ada yang bisa menghentikannya!" tambah Fathan, semakin membuat Alya terbakar emosi.Ibu Gema kembali memasuki ruangan dan mencaci maki Wening. Menambah ketegangan di antara mereka."Dasar Wening! Dia tidak pantas hidup di muka bumi ini! Dia hanya tahu cara menghancurkan orang lain dan tidak pernah memikirkan tentang orang lain!" kesal Bu Gema, meracau tidak henti, tanpa menyadari kesalahannya."Aku tidak percaya dia bisa melakukan hal seperti ini! Dia pikir dia bisa menghan

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status