"Anak ini benar-benar tidak tahu diri! Dan kamu, kamu wanita yang sangat tidak tahu diri!" Suara tajam ibu mertuanya, Ibu Gema, memecah keheningan ruang keluarga yang tadinya hanya dipenuhi oleh riuh rendah percakapan kecil. Semua mata seketika tertuju pada anak yang baru saja tersandung dan menjatuhkan gelas di depannya. Air tumpah menggenangi meja, dan serpihan gelas berhamburan di atas karpet.
Wening segera bergerak, meraih tangan Zion yang kini gemetar. “Maaf, Bu,” katanya cepat, mencoba menenangkan anaknya yang menunduk ketakutan. “Dia tidak sengaja, anak-anak memang begitu.” Ujar Wening, setelah kejadian tadi, Zion ada di kamarnya sayang saat Wening kembali ke dapur justru Dinda menghampiri Zion dan mengajaknya bermain dan hasilnya Zion kembali menjadi sasaran kemarahan Bu Gema. “Tentu saja dia tidak sengaja!” Bu Gema menjawab dengan suara yang makin meninggi. “Seharusnya diajari dari kecil! Tapi, bagaimana bisa dia diajari dengan benar kalau ibunya saja tidak becus mendidik! Lagi pula kenapa kamu masuk lagi ke sini?" Wening tertegun, tubuhnya membeku di tempat. Serangan itu terlalu sering datang, tapi kali ini, di depan seluruh keluarga, rasanya jauh lebih menghina. Dia berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Bukan kali ini, berapa saat yang lalu merasakan yang teramat sakit. “Saya sudah berusaha, Bu –" “Berusaha? Kalau hasilnya begini, apa itu yang kamu sebut berusaha? Lihatlah anakmu! Bahkan dia tidak mirip dengan keluarga Byantara sama sekali! Bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa dia benar-benar cucuku? Dan kecerobohannya itu, apa kamu benar benar mendidiknya?" Kata yang terlontar dari Bu Gema menikam jantung Wening. Tuduhan itu, tuduhan lama yang seolah tidak pernah bisa mati, selalu kembali menghantui setiap kali ada kesempatan. Zion yang masih kecil, yang bahkan tidak tahu mengapa dirinya begitu dibenci, hanya bisa berdiri di dekat Wening, menggenggam ujung baju ibunya dengan tangan kecil yang gemetar. Mata Zion memohon perlindungan, namun apa yang bisa Wening lakukan? Wening menoleh ke arah Fathan yang duduk di sofa, wajahnya datar, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Di sini, di tengah pertengkaran yang selalu sama, Fathan memilih diam. Dia tidak melontarkan pembelaan untuk istri atau anaknya, tidak juga ikut menghina. Hanya diam. “Mas Fathan, tolong,” bisik Wening putus asa, berharap suaminya akan melakukan sesuatu, mengatakan sesuatu yang bisa mengubah situasi. Tapi Fathan hanya menatap Wening sesaat, lalu memalingkan wajahnya. Tepat di saat itu, Bu Gema melanjutkan, “Lihat saja wajahnya! Sedikit pun tidak ada kemiripan dengan Fathan. Kalau bukan karena kamu yang asli ...“ “Sudah cukup, Bu!” suara Wening akhirnya pecah, dengan mata yang kini mulai berkaca-kaca. Wening berusaha membela dirinya dan anaknya. “Zion tidak bersalah. Dia anak saya, anak mas Fathan. Apa yang Ibu tuduhkan itu kejam. Saya tidak akan tinggal diam mendengar anak saya terus-menerus dihina seperti ini.” Ibu mertuanya tersenyum sinis. “Tinggal diam? Apa yang bisa kamu lakukan, Wening? Siapa yang akan mendukungmu? Bahkan suamimu sendiri tidak berada di pihakmu.” Wening merasa dunia seakan runtuh. Dia menoleh lagi pada Fathan, kali ini dengan tatapan penuh luka. Namun, sekali lagi, Fathan tetap diam, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Rasa sakit itu, rasa hancur karena tidak ada satu pun yang membelanya, terutama suaminya, kini membuncah menjadi sesak yang menghimpit. Wening bisa merasakan Zion menggenggam tangannya lebih erat, anaknya pasti takut, sangat takut. “Ayo, Nak,” bisik Wening lirih, meraih Zion yang kini menahan tangis. “Kita ke kamar.” Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Wening memeluk Zion menjauh dari ruang keluarga yang penuh dengan tatapan merendahkan. Wening tahu, melawan Ibu mertuanya di hadapan keluarga besar tidak akan mengubah apa pun. Fathan sudah cukup jelas, dia memilih untuk tidak terlibat. Setibanya di kamar, Wening menutup pintu dan memeluk Zion erat-erat. Ia bisa merasakan tubuh kecil itu bergetar, isak tangis yang tertahan keluar perlahan dari bibir mungil anaknya. Wening ingin mengatakan sesuatu yang menenangkan, namun lidahnya kelu. Ia merasa begitu bersalah. “Maafkan Mama, Zion maafkan –” bisiknya di antara air mata yang kini jatuh deras. “Maafkan Mama yang tidak bisa melindungi mu –" Zion menatap Ibunya dengan mata yang masih basah. “Aku tidak apa-apa, Ma,” katanya pelan, tapi Wening tahu itu hanya kata-kata yang keluar karena Zion ingin menghibur ibunya. Anak sekecil itu sudah harus berhadapan dengan kebencian dan hinaan yang tidak pernah dia pahami. Wening membelai kepala Zion, mengusap-usap rambutnya dengan lembut. “Ini semua salah Mama,” gumamnya. “Mama seharusnya bisa melindungimu. Mama seharusnya tidak membiarkan orang-orang menyakitimu seperti ini –" Namun dalam hatinya, Wening tahu, apa pun yang ia lakukan selama ini tidak pernah cukup. Setiap hari, setiap waktu, Zion selalu menjadi korban dari kebencian keluarga suaminya, dan Fathan, pria yang seharusnya menjadi pelindung bagi mereka, memilih untuk tidak bertindak apa pun. Fathan lebih memilih diam, seakan dia bukan bagian dari masalah yang ada di depan matanya. Wening meremas jemarinya sendiri, merasa getir dengan kenyataan hidupnya. Selama ini, dia berpikir bahwa kesabarannya akan membuahkan hasil. Bahwa suatu hari Fathan dan keluarganya akan berubah, akan menerima Zion sebagai bagian dari mereka. Tapi setiap kejadian seperti ini membuat Wening semakin sadar bahwa harapan itu mungkin tidak lebih dari mimpi yang sia-sia. "Anak itu seharusnya tidak menyandang nama Byantara, kena kamu diam saja Fathan? Suruh wanita itu menghapusnya!"Meski hatinya sakit atas perlakuan Fathan, namun Wening memilih bertahan setelah di bujuk oleh fathan. Tapi sayang di balik kelembutan Fathan tersembunyi sesuatu mampu menghancurkannya hati Wening."Wening, kamu sudah siapkan semuanya? Ibu tidak ingin kamu melupakan sesuatu!" seru Bu Gema. Dengan nada suara yang tidak akan pernah berubah. Keras tanpa memperdulikan perasaan Wening."Ya, Bu, aku pastikan tidak ada kekurangan apa pun." Sahut Wening lembut."Bagus jangan sampai kamu mencoreng wajah ibu di depan besan. Tidak perlu berdiri disini, ibu tidak mau kamu berkeliaran, dan juga anak mu itu." Tunjuk ibu jari Bu Gema.Kata yang menjadi makanan sehari-hari untuk Wening. Namum kali ini hatinya benar-benar sakit, bagaimana tidak Ibu mertuanya tidak menghargai apa pun yang ia lakukan."Wening jauhkan anakmu itu. Kamu bisa urus anak kamu tidak sih! Jangan sampai saat acara dia berkeliaran di sini! Ibu tidak ingin calon Besan ibu ilfill dengan keluarga ibu yang terpandang ini. Kamu menger
"Sudah pulang kamu? Cepetan masak kami sudah lapar!" Bu Gema menunjuk arah dapur, tidak peduli jika Wening baru saja pulang dari rumah sakit."Aku ke kamar dulu," pamit Wening. Melanjutkan langkahnya, tetapi baru berapa langkah suara Bu Gema terdengar lebih tinggi."Tidak bisa. Dia tahu di mana kamarnya, cepat ke dapur!" Wening berbalik, di sana Bu Gema berdiri angkuh. "Tidak sampai lima menit untuk mengantar anakku ke kamarnya. Tapi aku tahu ibu cukup lama menahan lapar karena menungguku." Suara Wening lirih dan tenang, sarat akan penekanan."Kamu semakin hari semakin berani. Oh tuhan kapan wanita ini pergi dari sini." Lantang Bu Gema, Wening melanjutkan langkahnya menuju kamar di sana putranya akan aman."Istirahat sayang, mama masak dulu buat nenek," lirih Wening, mengecup kening Zion."Ya, mah,""Anak, pinter."Wening memastikan putranya aman di kamar, sebelum ia meninggalkan sendiri tanpa pengawasan darinya. Tidak ada yang menjamin keamanan Zion, terlebih saat dirinya jauh dari
Setelah pengusiran malam itu pada Wening dan Zion, namun entah kenapa Wening tetap melakukan kegiatannya menyiapkan semua kebutuhan suami dan keluarganya. Jika orang di luar sana mengatakan Wening itu bodoh, maka jawabannya tidak! Wening hanya ingin mempertahankan hak putranya dan menyakinkan dirinya jika kelak suami dan keluarganya menyadari kesalahannya, meski entah sampai kapan kesabarannya teruji, jika sudah tidak makasih maka pergi adakah jalan terakhir yang akan ia ambil.Kekacauan terjadi di rumah, karena ulah adik iparnya yang semakin kisruh sehingga Wening membereskan semuanya. Entah apa yang ada dalam pikiran adik iparnya itu, membuat kegaduhan yang membuat Wening extra untuk mengembalikan keadaan ke semula. Namun, satu hal yang selalu Wening pikirkan, keselamatan Zion, ya, hanya Zion.Malam itu, Zion demam tinggi. Tubuh kecilnya berkeringat dingin, bibirnya bergetar dalam tidurnya. Setiap kali Wening menyentuh dahinya, panas tubuh anaknya semakin terasa. Dengan panik, ia me
Dua hari setelah kejadian itu, Fathan tidak lagi membicarakan soal Zion atau pun dirinya yang memilih mempertahankan Zion dalam rumah mertuanya. Malam itu saat Wening mengunjungi putranya yang berada di dalam kamarnya..."Mama, apa aku anak yang nakal? Kenapa mereka semua nggak suka sama aku?” Suara Zion terdengar lirih, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam. Mata kecilnya yang basah oleh air mata menatap Wening dengan tatapan bingung, seolah mencari jawaban yang bisa meredakan rasa sakit di hatinya. Wening terdiam, hatinya mencelos mendengar pertanyaan itu. Tangannya yang gemetar perlahan mengusap pipi Zion, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir.“Tidak, sayang, kamu bukan anak yang nakal. Kamu anak yang baik, sangat baik. Jangan pernah berpikir sebaliknya,” jawab Wening dengan suara serak. Namun, di balik kata-kata itu, ia menyimpan rasa sakit yang mendalam. Bagaimana mungkin seorang anak sepolos Zion bisa merasa dirinya bersalah atas semua penderitaan ini?Zion
"Mama, kenapa ayah nggak suka sama aku?" Suara kecil Zion terdengar lirih, hampir tenggelam dalam keheningan menyakitkan di kamar mereka. Wening berlutut di hadapan Zion, berusaha menahan tangis yang membuncah di dadanya. Ia menggenggam tangan kecil anaknya, mengelusnya dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan itu."Siapa bilang? Ayah hanya, ayah terlalu banyak kerja sayang, ayah kan capek di kantor nak," jawab Wening dengan suara serak. Air mata menggenang di matanya, tapi ia berusaha tersenyum. "Kamu anak Mama, dan Mama akan selalu ada buat kamu sayang, apa pun itu," Zion menatap Wening dengan mata merah penuh pertanyaan, tapi tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibir mungilnya. Tangannya gemetar, menggenggam lebih erat jari-jari Wening, seolah takut kehilangan satu-satunya orang yang ia tahu mencintainya tanpa syarat.Namun ketegangan di antara mereka bertambah ketika tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras, membuat Wening dan Zion tersentak. Fathan
Pagi harinya, Fathan bersikap seperti biasa sekarang tidak ada kejadian apapun semalam. Bu Gema, sikapnya yang angkuh dan kebencian pada Wening semakin menjadi, namun lebih menyebalkan di mana Fathan justru diam tanpa merespon apapun tentang permintaannya untuk menghapus nama belakang Zion."Kenapa kamu diam saja?" kata Fathan yang tajam memecah keheningan di ruang makan. Wening yang teringat kata-kata Fathan semalam hingga tidak sadar melamun, gebrakan meja membuatnya terkejut, tangannya yang memegang sendok bergetar. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan. Setiap kali Fathan membuka mulut, yang keluar hanyalah kebencian dan tuduhan."Aku hanya ingin kita bicara dengan tenang, mas. Tentang Zion tapi yang ada kita– " Suaranya lirih, mencoba meredakan ketegangan yang tak kunjung surut.Fathan memalingkan wajahnya. "Zion? Anak itu bukan darahku! Keluargaku benar, dia tidak mirip sedikit pun denganku! Kamu lupa apa yang kalian lakukan di acara semalam?"Kata-kata Fathan menghantam
"Anak ini benar-benar tidak tahu diri! Dan kamu, kamu wanita yang sangat tidak tahu diri!" Suara tajam ibu mertuanya, Ibu Gema, memecah keheningan ruang keluarga yang tadinya hanya dipenuhi oleh riuh rendah percakapan kecil. Semua mata seketika tertuju pada anak yang baru saja tersandung dan menjatuhkan gelas di depannya. Air tumpah menggenangi meja, dan serpihan gelas berhamburan di atas karpet.Wening segera bergerak, meraih tangan Zion yang kini gemetar. “Maaf, Bu,” katanya cepat, mencoba menenangkan anaknya yang menunduk ketakutan. “Dia tidak sengaja, anak-anak memang begitu.” Ujar Wening, setelah kejadian tadi, Zion ada di kamarnya sayang saat Wening kembali ke dapur justru Dinda menghampiri Zion dan mengajaknya bermain dan hasilnya Zion kembali menjadi sasaran kemarahan Bu Gema.“Tentu saja dia tidak sengaja!” Bu Gema menjawab dengan suara yang makin meninggi. “Seharusnya diajari dari kecil! Tapi, bagaimana bisa dia diajari dengan benar kalau ibunya saja tidak becus mendidik! La
Acara makan malam yang di hadiri calon tunangan Fidela. Meski tidak diizinkan untuk bergabung, Wening tahu jika adik iparnya akan segera bertunangan."Anak ini tidak seharusnya ada di sini!" suara Bu Gema menggema, dingin dan menusuk, seakan setiap kata yang keluar darinya adalah belati yang tertuju langsung ke hati Wening. Zion berdiri terpaku di tengah ruangan, tubuhnya yang mungil gemetar di bawah tatapan tajam neneknya. Tangannya yang kecil memegang erat ujung baju Wening, seakan hanya Ibunya yang bisa melindunginya dari badai hinaan yang sedang datang.Semua tamu yang hadir di acara keluarga itu terdiam, mata mereka tertuju pada Zion. Bisikan-bisikan terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana tidak nyaman yang kian menekan Wening."Ibu –" suara Wening lirih, hampir tidak terdengar, tapi Bu Gema tidak peduli. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tajam."Lihatlah dia! Tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa dia adalah cucuku. Lihat matanya, hidungnya, bahkan cara dia berdiri
"Halah, anak nggak tau siapa bapaknya aja kamu bela. Huf, Fathan kapan kamu ceraikan wanita ini. Ibu bosan liat mukanya itu, bawaannya kesel terus!" "Biarin aja buk, aku capek. Bisa nggak, sebelum aku kerja jangan berisik! Kupingku sakit denger kalian berdebat." Sahut Fathan, acuh. Kesal setiap ada di rumah hanya mendengar perdebatan antara Wening dan ibunya yang selalu terjadi setiap harinya."Ayah, aku mau duduk di pangkuan ayah," rengek Zion."Menjauh lah aku sibuk. Wening apa kamu lupa, kebiasaan apa yang kamu lakukan saat aku di rumah? Apa hal sepele itu saja kamu tidak bisa? Apa perlu aku ingatkan lagi?" tangan besar itu mendorong tubuh mungil Zion. Beruntung tidak sampai terjatuh."Mas, Zion cuma mau duduk di pangkuan kamu apa itu –" Wening menundukkan wajahnya, jika Fathan dan Ibu mertua mendelik maka ia akan memilih bungkam."Singkirkan dia, berapa kali aku katakan saat aku ada di rumah jangan perlihatkan wajahnya di hadapan aku. Apa begitu saja kamu tidak becus Wening? Apa