Share

4. Tinggal Diam

Author: Rafli123
last update Last Updated: 2025-05-07 21:20:52

"Anak ini benar-benar tidak tahu diri! Dan kamu, kamu wanita yang sangat tidak tahu diri!" Suara tajam ibu mertuanya, Ibu Gema, memecah keheningan ruang keluarga yang tadinya hanya dipenuhi oleh riuh rendah percakapan kecil. Semua mata seketika tertuju pada anak yang baru saja tersandung dan menjatuhkan gelas di depannya. Air tumpah menggenangi meja, dan serpihan gelas berhamburan di atas karpet.

Wening segera bergerak, meraih tangan Zion yang kini gemetar. “Maaf, Bu,” katanya cepat, mencoba menenangkan anaknya yang menunduk ketakutan. “Dia tidak sengaja, anak-anak memang begitu.” Ujar Wening, setelah kejadian tadi, Zion ada di kamarnya sayang saat Wening kembali ke dapur justru Dinda menghampiri Zion dan mengajaknya bermain dan hasilnya Zion kembali menjadi sasaran kemarahan Bu Gema.

“Tentu saja dia tidak sengaja!” Bu Gema menjawab dengan suara yang makin meninggi. “Seharusnya diajari dari kecil! Tapi, bagaimana bisa dia diajari dengan benar kalau ibunya saja tidak becus mendidik! Lagi pula kenapa kamu masuk lagi ke sini?"

Wening tertegun, tubuhnya membeku di tempat. Serangan itu terlalu sering datang, tapi kali ini, di depan seluruh keluarga, rasanya jauh lebih menghina. Dia berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Bukan kali ini, berapa saat yang lalu merasakan yang teramat sakit. “Saya sudah berusaha, Bu –"

“Berusaha? Kalau hasilnya begini, apa itu yang kamu sebut berusaha? Lihatlah anakmu! Bahkan dia tidak mirip dengan keluarga Byantara sama sekali! Bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa dia benar-benar cucuku? Dan kecerobohannya itu, apa kamu benar benar mendidiknya?"

Kata yang terlontar dari Bu Gema menikam jantung Wening. Tuduhan itu, tuduhan lama yang seolah tidak pernah bisa mati, selalu kembali menghantui setiap kali ada kesempatan. Zion yang masih kecil, yang bahkan tidak tahu mengapa dirinya begitu dibenci, hanya bisa berdiri di dekat Wening, menggenggam ujung baju ibunya dengan tangan kecil yang gemetar. Mata Zion memohon perlindungan, namun apa yang bisa Wening lakukan?

Wening menoleh ke arah Fathan yang duduk di sofa, wajahnya datar, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Di sini, di tengah pertengkaran yang selalu sama, Fathan memilih diam. Dia tidak melontarkan pembelaan untuk istri atau anaknya, tidak juga ikut menghina. Hanya diam.

“Mas Fathan, tolong,” bisik Wening putus asa, berharap suaminya akan melakukan sesuatu, mengatakan sesuatu yang bisa mengubah situasi. Tapi Fathan hanya menatap Wening sesaat, lalu memalingkan wajahnya.

Tepat di saat itu, Bu Gema melanjutkan, “Lihat saja wajahnya! Sedikit pun tidak ada kemiripan dengan Fathan. Kalau bukan karena kamu yang asli ...“

“Sudah cukup, Bu!” suara Wening akhirnya pecah, dengan mata yang kini mulai berkaca-kaca. Wening berusaha membela dirinya dan anaknya. “Zion tidak bersalah. Dia anak saya, anak mas Fathan. Apa yang Ibu tuduhkan itu kejam. Saya tidak akan tinggal diam mendengar anak saya terus-menerus dihina seperti ini.”

Ibu mertuanya tersenyum sinis. “Tinggal diam? Apa yang bisa kamu lakukan, Wening? Siapa yang akan mendukungmu? Bahkan suamimu sendiri tidak berada di pihakmu.”

Wening merasa dunia seakan runtuh. Dia menoleh lagi pada Fathan, kali ini dengan tatapan penuh luka. Namun, sekali lagi, Fathan tetap diam, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Rasa sakit itu, rasa hancur karena tidak ada satu pun yang membelanya, terutama suaminya, kini membuncah menjadi sesak yang menghimpit. Wening bisa merasakan Zion menggenggam tangannya lebih erat, anaknya pasti takut, sangat takut.

“Ayo, Nak,” bisik Wening lirih, meraih Zion yang kini menahan tangis. “Kita ke kamar.”

Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Wening memeluk Zion menjauh dari ruang keluarga yang penuh dengan tatapan merendahkan. Wening tahu, melawan Ibu mertuanya di hadapan keluarga besar tidak akan mengubah apa pun. Fathan sudah cukup jelas, dia memilih untuk tidak terlibat.

Setibanya di kamar, Wening menutup pintu dan memeluk Zion erat-erat. Ia bisa merasakan tubuh kecil itu bergetar, isak tangis yang tertahan keluar perlahan dari bibir mungil anaknya. Wening ingin mengatakan sesuatu yang menenangkan, namun lidahnya kelu. Ia merasa begitu bersalah.

“Maafkan Mama, Zion maafkan –” bisiknya di antara air mata yang kini jatuh deras. “Maafkan Mama yang tidak bisa melindungi mu –"

Zion menatap Ibunya dengan mata yang masih basah. “Aku tidak apa-apa, Ma,” katanya pelan, tapi Wening tahu itu hanya kata-kata yang keluar karena Zion ingin menghibur ibunya. Anak sekecil itu sudah harus berhadapan dengan kebencian dan hinaan yang tidak pernah dia pahami.

Wening membelai kepala Zion, mengusap-usap rambutnya dengan lembut. “Ini semua salah Mama,” gumamnya. “Mama seharusnya bisa melindungimu. Mama seharusnya tidak membiarkan orang-orang menyakitimu seperti ini –"

Namun dalam hatinya, Wening tahu, apa pun yang ia lakukan selama ini tidak pernah cukup. Setiap hari, setiap waktu, Zion selalu menjadi korban dari kebencian keluarga suaminya, dan Fathan, pria yang seharusnya menjadi pelindung bagi mereka, memilih untuk tidak bertindak apa pun. Fathan lebih memilih diam, seakan dia bukan bagian dari masalah yang ada di depan matanya.

Wening meremas jemarinya sendiri, merasa getir dengan kenyataan hidupnya. Selama ini, dia berpikir bahwa kesabarannya akan membuahkan hasil. Bahwa suatu hari Fathan dan keluarganya akan berubah, akan menerima Zion sebagai bagian dari mereka. Tapi setiap kejadian seperti ini membuat Wening semakin sadar bahwa harapan itu mungkin tidak lebih dari mimpi yang sia-sia.

"Anak itu seharusnya tidak menyandang nama Byantara, kena kamu diam saja Fathan? Suruh wanita itu menghapusnya!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Istikomahsha
bangkit dong Wening ..jangan diem aja...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   43. Ending

    Tiga bulan setelah hari itu, kini Zion tidak lagi memikirkan siapapun. Keluarga baru ibunya dan kehidupan pribadinya adalah satu hal terpenting dan utama untuknya. Mengenai perempuan yang ia lihat di pemakaman, Zion memilih untuk menutupinya dari ibunya. Sebagai seorang anak, Zion tak ingin melibatkan ibunya terlebih masa lalu yang tidak seharusnya di ingat. Senja menyelimuti langit Jakarta, menciptakan gradasi jingga dan emas yang memantul pada dinding kaca gedung pernikahan megah itu. Lampu-lampu kristal berkilau di langit-langit, menggantung bagaikan bintang yang jatuh ke bumi. Musik orkestra lembut mengalun, menyatu dengan aroma bunga mawar putih yang menghiasi setiap sudut ruangan.Zion berdiri tegak, gagah dalam balutan jas putih elegan. Wajahnya tenang namun mata itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang meluap. Di hadapannya, berjalan anggun dalam gaun pengantin panjang berpayet kristal, Tasya Kamila—sosok yang menjadi jawaban doa panjangnya. Tepuk tangan tamu mengiringi l

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   42. Memaafkan

    Tubuh Zion menegang, wajahnya seketika berubah. Kabar yang baru saja ia dengar mampu membuat dirinya terdiam. Matanya terpejam mengingat bagaimana sikap ayah kandungnya yang dengan sengaja menorehkan luka begitu dalam. Luka yang hingga kini masih menganga. Jemarinya yang memegang buku harian itu bergetar hebat. Setiap huruf yang tertulis di halaman itu seperti anak panah yang menghujam ke dadanya. Nafasnya terasa sesak, seakan dunia menutup dirinya dalam ruang hampa udara.Teruntuk anakku Zion Putra Byantara...Maafkan Ayah, Nak. Jika dulu Ayah terlalu angkuh untuk mengakui darah daging sendiri. Ayah menyesal. Tapi penyesalan ini datang terlambat. Ayah ingin memelukmu, meski sekali saja, sebelum Tuhan memanggil Ayah pulang.Zion menggigit bibirnya hingga terasa asin darah. Ingatan itu datang bertubi-tubi, seperti film yang diputar tanpa henti—suara tangisan ibunya yang dipaksa pergi, wajah Wening yang menahan sakit ketika Fathan menikahi sahabat dekatnya, dan dirinya, seorang bocah k

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   41. Surat Wasiat

    Tubuh lemah itu terbaring di tempat tidur pasien. Fathan tidak menyangka jika tubuhnya lemah, saat dirinya ingin mengejar maaf dari darah dagingnya yang pernah ia tolak. "Tuan, anda sudah sadar? Apa yang anda rasakan?" Remon, asisten pribadinya menjaga pria lemah itu khawatir. "Apa aku pingsan, lagi? Ah, aku akan menemui anakku Re, aku takut waktuku tidak cukup," ujar Fathan, berusaha untuk bangkit. Namun dengan sigap Remon menahan tubuh itu. "Anda baru sadar, setelah seminggu tidak sadarkan diri. Dan sekarang anda ingin pergi? Tunggu tubuh anda fit lebih dulu, anda bisa menemui den Zion," sahut Remon. Tahu bagaimana perjuangan bosnya yang tengah mengejar maaf dari Zion dan mantan istrinya. Fathan menatap langit-langit ruangan putih itu, matanya berkaca-kaca. Nafasnya berat, dan selang oksigen yang menempel di hidungnya membuatnya merasa semakin rapuh. “Seminggu? Aku kehilangan waktu selama itu? Apa Zion datang ke sini?" Suaranya lirih, seolah setiap kata adalah beban. Ia memejam

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   40. Penyesalan

    Selepas kepergian Fathan, kini di ruang kerja Wening berubah hening. Terlebih Zion yang tiba-tiba datang membuat mereka memilih bungkam atas kehadiran Fathan sebelumnya."Sayang, aku serahkan keputusan ini padamu dan Zion. Kalian yang memiliki hak itu semua, sebagai ayah dan suami, aku ingin yang terbaik untuk kalian. Bicarakan berlahan dengan Zion, aku percaya anak kita adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Dia tahu mana pantas untuk bersikap, sudahlah kamu jangan risau." Raffan memeluk pinggang Wening, wanita yang amat ia cintai. "Ya mas, aku tahu itu. Sudah waktunya untuk bertemu," lirihnya., tak lama Zion bergabung bersama mereka. [Assalamualaikum Wening, maafkan ibu. Maafkan semua kesalahan ibuku. Aku sebagai anak mewakili, sekaligus meminta kamu dan Zion untuk membuka hati atas kesalahan yang kamu berbuat. Wening, ibu sudah tidak ada.] Terkirim, Wening terkejut bukan main membaca pesan yang di kirim Fathan padanya."Ada apa sayang?" tanya Raffan, melihat gelagat istriny

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   39. Hanya Mantan

    Hari berikutnya, senja baru saja menggantung di langit saat Fathan melangkah masuk ke sebuah restoran kecil namun nyaman di sudut kota. Restoran milik Wening. Tempat yang beberapa tahun terakhir menjadi saksi bagaimana wanita itu membangun hidupnya dari luka dan puing masa lalu.Wening tengah berdiri di balik meja kebesarannya, penampilannya yang elegan menunjukan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Meski penampilan sederhana tak menutup siapa Wening sebenarnya."Wening..." suara Fathan terdengar berat namun pelan. Seolah ia takut wanita itu akan pergi jika ia bicara terlalu keras.Wening tidak langsung merespons. Tatapannya hanya mengeras, penuh pertahanan."Kalau kau datang untuk membicarakan proyek, aku sedang tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat apa pun lagi denganmu, apalagi di luar bisnis," ucapnya datar, lalu hendak berbalik."Tunggu, Wening! Aku tidak datang untuk itu. Aku hanya ingin bicara. Bukan sebagai rekan kerja. Tapi sebagai, seseorang yang sudah terlalu lama memenda

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   38. Pertemuan Pertama

    Dua puluh tahun kemudian, Wening tengah sibuk membantu berapa karyawannya yang sibuk. Pengunjung membludak membuat mereka kekurangan tenaga, tidak ada yang tidak sibuk hari itu.Tanpa di sadari, dari jauh seseorang begitu intens menatap restoran miliknya. Satu jam berlalu dan Wening baru bisa mendudukkan tubuhnya."Setelah ini kalian tutup saja ya, bahan makanan sudah habis. Alhamdulillah hari ini luar bisa buat kita." Ucapnya tidak hentinya bersyukur."Ibu, benar. Sejak adanya menu baru restoran ini semakin ramai dan juga semakin banyak orderan," sahut salah satu waiters."Sudah, kalian selesaikan semua? Kita akan tutup secepatnya." Berapa watres kembali sibuk. Wening, mengingat hari ini ada janji temu dengan keluarga di salah satu tempat makan favorit keluarganya,"Langkah anggunnya menuju ke mobil, begitu sibuk dengan ponselnya sehingga tanpa sadar tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.Brakk!!"Maaf, aku tidak ...," Wening terdiam, menatap tidak percaya pria yang di depannya. Pri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status