Dua hari setelah kejadian itu, Fathan tidak lagi membicarakan soal Zion atau pun dirinya yang memilih mempertahankan Zion dalam rumah mertuanya.
Malam itu saat Wening mengunjungi putranya yang berada di dalam kamarnya... "Mama, apa aku anak yang nakal? Kenapa mereka semua nggak suka sama aku?” Suara Zion terdengar lirih, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam. Mata kecilnya yang basah oleh air mata menatap Wening dengan tatapan bingung, seolah mencari jawaban yang bisa meredakan rasa sakit di hatinya. Wening terdiam, hatinya mencelos mendengar pertanyaan itu. Tangannya yang gemetar perlahan mengusap pipi Zion, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir. “Tidak, sayang, kamu bukan anak yang nakal. Kamu anak yang baik, sangat baik. Jangan pernah berpikir sebaliknya,” jawab Wening dengan suara serak. Namun, di balik kata-kata itu, ia menyimpan rasa sakit yang mendalam. Bagaimana mungkin seorang anak sepolos Zion bisa merasa dirinya bersalah atas semua penderitaan ini? Zion terdiam, tapi di balik tatapan matanya, Wening bisa melihat luka yang semakin dalam. Dia tahu, semakin lama mereka tinggal di rumah ini, semakin rusak hati anaknya. Kebencian dari keluarga Fathan dan Ayahnya sendiri seolah tidak pernah ada habisnya. Setiap hari, hinaan itu datang, semakin kasar dan semakin menyakitkan. Wening ingin melindungi Zion, tapi setiap kali dia mencoba melawan, posisinya semakin terjepit. Tiba-tiba, suara pintu yang dibanting membuat mereka tersentak. Fathan memasuki kamar dengan langkah cepat, matanya langsung tertuju pada Zion yang berdiri gemetar di samping Wening. Wajah Fathan yang penuh amarah semakin mempertegas suasana mencekam di dalam ruangan. “Kamu masih mempertahankan dia, Wening? Aku sudah bilang, dia nggak pantas berada di rumah ini! Jika kamu memilih dia maka kamu akan kehilangan aku sebagai suamimu!” Fathan mendekati Zion, tangannya terangkat seolah siap menghantam anak yang tak berdaya itu. Wening segera menarik Zion ke pelukannya, melindungi tubuh kecil itu dari serangan suaminya. “Mas, tolong hentikan! Dia hanya anak kecil!” teriak Wening, suaranya bergetar penuh ketakutan. Lagi dan lagi Air matanya tumpah untuk kesekian kalinya, setiap hari tak pernah terlewat. “Anak kecil? Dia cuma bawa masalah, Wening! Semua ini terjadi gara-gara dia! Hidupku berantakan, karirku hancur, dan itu semua karena kamu dan anak ini!” Fathan berteriak dengan suara penuh kebencian. Zion yang berada dalam pelukan Wening menangis terisak. Dia merasakan ketakutan yang begitu besar setiap kali mendengar suara Fathan yang marah, dan meskipun Wening memeluknya erat, Zion tahu bahwa pelukan itu tidak bisa menghentikan amarah ayahnya. Tanpa peringatan, Fathan memukul meja di sampingnya dengan keras, membuat Wening dan Zion terkejut. “Keluar dari rumah ini, Wening! Bawa anak itu pergi jauh-jauh, aku nggak peduli lagi!” Fathan melangkah mundur dengan mata yang masih menyala oleh kebencian. Namun, sebelum Wening bisa merespons, suara lain terdengar dari luar kamar. Suara Bu Gema, Ibu Fathan, yang memasuki ruangan dengan langkah pasti. “Apa ini? Apa kalian masih di sini? Fathan sudah bilang berkali-kali, bawa anak ini pergi dari sini. Kenapa kamu membangkang Wening? Pilihan ada padamu, pertahankan rumah tanggamu atau anak itu? Pilih salah satu dah kamu terima konsekuensinya!" Wening merasa sesak di dadanya mendengar suara Bu Gema. Setiap kali wanita itu berbicara, kata-katanya selalu membawa luka yang dalam. “Kamu harusnya malu, Wening,” lanjut Bu Gema dengan nada tajam. “Bawa anak hasil perselingkuhanmu ke rumah ini, mengklaim dia sebagai cucu keluarga Byantara? Kamu pikir kami akan terima begitu saja? Nggak akan pernah! Anak itu nggak pantas!” Tangan Zion bergetar dalam genggaman tangan Wening yang lebih erat. Anak itu berusaha keras menahan tangisnya, namun Wening tahu, hati kecil Zion sudah mulai retak. Zion mungkin tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tapi dia merasakan kebencian yang begitu besar mengarah padanya. “Aku, aku nggak berselingkuh, Bu. Zion itu anak mas Fathan,” Wening berusaha berbicara, meskipun suaranya terdengar hampir putus asa. Dia tahu tidak ada gunanya membela diri di depan Bu Gema, tapi dia harus tetap mencoba. Dia tidak bisa membiarkan Zion terus-menerus disakiti oleh kebohongan yang di ciptakan oleh nenek dan keluarga ayahnya. “Diam, Wening! Jangan menyangkal lagi!" Fathan menyela, kali ini suaranya lebih dingin daripada sebelumnya. “Aku nggak peduli apa yang kamu bilang. Jangan sekali kamu meninggikan suaramu di depan ibuku!" "Ayok, buk. Kita pergi dari sini!" “Mama... aku... aku minta maaf,” Zion berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Aku... aku memang nggak seharusnya ada di sini. Nenek sama ayah nggak suka, mama aku ..." Kata-kata itu menghancurkan hati Wening. Bagaimana bisa seorang anak sekecil seperti Zion merasa dirinya nggak pantas untuk dicintai? Bagaimana mungkin seorang Ibu melihat anaknya hancur seperti ini dan tidak bisa berbuat apa-apa? “Nggak, Zion. Jangan pernah berpikir kayak gitu. Kamu adalah anak yang luar biasa, dan Mama cinta sama kamu lebih dari apa pun,” Wening berusaha menenangkan Zion, tapi dia tahu kata-kata itu tidak cukup. Luka di hati anaknya sudah terlalu dalam, dan setiap hari luka itu semakin menganga. “Anak itu harus pergi. Semakin cepat, semakin baik. Pokoknya sebelum pernikahan itu berlangsung ingat itu." Setelah suara Bu Gema perlahan menghilang, Wening menatap Zion yang masih terisak di pelukannya. “Mama akan selalu ada buat kamu, Zion. Kita akan cari jalan keluar dari semua ini. Kita nggak akan tinggal di sini selamanya, Mama janji...”Tiga bulan setelah hari itu, kini Zion tidak lagi memikirkan siapapun. Keluarga baru ibunya dan kehidupan pribadinya adalah satu hal terpenting dan utama untuknya. Mengenai perempuan yang ia lihat di pemakaman, Zion memilih untuk menutupinya dari ibunya. Sebagai seorang anak, Zion tak ingin melibatkan ibunya terlebih masa lalu yang tidak seharusnya di ingat. Senja menyelimuti langit Jakarta, menciptakan gradasi jingga dan emas yang memantul pada dinding kaca gedung pernikahan megah itu. Lampu-lampu kristal berkilau di langit-langit, menggantung bagaikan bintang yang jatuh ke bumi. Musik orkestra lembut mengalun, menyatu dengan aroma bunga mawar putih yang menghiasi setiap sudut ruangan.Zion berdiri tegak, gagah dalam balutan jas putih elegan. Wajahnya tenang namun mata itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang meluap. Di hadapannya, berjalan anggun dalam gaun pengantin panjang berpayet kristal, Tasya Kamila—sosok yang menjadi jawaban doa panjangnya. Tepuk tangan tamu mengiringi l
Tubuh Zion menegang, wajahnya seketika berubah. Kabar yang baru saja ia dengar mampu membuat dirinya terdiam. Matanya terpejam mengingat bagaimana sikap ayah kandungnya yang dengan sengaja menorehkan luka begitu dalam. Luka yang hingga kini masih menganga. Jemarinya yang memegang buku harian itu bergetar hebat. Setiap huruf yang tertulis di halaman itu seperti anak panah yang menghujam ke dadanya. Nafasnya terasa sesak, seakan dunia menutup dirinya dalam ruang hampa udara.Teruntuk anakku Zion Putra Byantara...Maafkan Ayah, Nak. Jika dulu Ayah terlalu angkuh untuk mengakui darah daging sendiri. Ayah menyesal. Tapi penyesalan ini datang terlambat. Ayah ingin memelukmu, meski sekali saja, sebelum Tuhan memanggil Ayah pulang.Zion menggigit bibirnya hingga terasa asin darah. Ingatan itu datang bertubi-tubi, seperti film yang diputar tanpa henti—suara tangisan ibunya yang dipaksa pergi, wajah Wening yang menahan sakit ketika Fathan menikahi sahabat dekatnya, dan dirinya, seorang bocah k
Tubuh lemah itu terbaring di tempat tidur pasien. Fathan tidak menyangka jika tubuhnya lemah, saat dirinya ingin mengejar maaf dari darah dagingnya yang pernah ia tolak. "Tuan, anda sudah sadar? Apa yang anda rasakan?" Remon, asisten pribadinya menjaga pria lemah itu khawatir. "Apa aku pingsan, lagi? Ah, aku akan menemui anakku Re, aku takut waktuku tidak cukup," ujar Fathan, berusaha untuk bangkit. Namun dengan sigap Remon menahan tubuh itu. "Anda baru sadar, setelah seminggu tidak sadarkan diri. Dan sekarang anda ingin pergi? Tunggu tubuh anda fit lebih dulu, anda bisa menemui den Zion," sahut Remon. Tahu bagaimana perjuangan bosnya yang tengah mengejar maaf dari Zion dan mantan istrinya. Fathan menatap langit-langit ruangan putih itu, matanya berkaca-kaca. Nafasnya berat, dan selang oksigen yang menempel di hidungnya membuatnya merasa semakin rapuh. “Seminggu? Aku kehilangan waktu selama itu? Apa Zion datang ke sini?" Suaranya lirih, seolah setiap kata adalah beban. Ia memejam
Selepas kepergian Fathan, kini di ruang kerja Wening berubah hening. Terlebih Zion yang tiba-tiba datang membuat mereka memilih bungkam atas kehadiran Fathan sebelumnya."Sayang, aku serahkan keputusan ini padamu dan Zion. Kalian yang memiliki hak itu semua, sebagai ayah dan suami, aku ingin yang terbaik untuk kalian. Bicarakan berlahan dengan Zion, aku percaya anak kita adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Dia tahu mana pantas untuk bersikap, sudahlah kamu jangan risau." Raffan memeluk pinggang Wening, wanita yang amat ia cintai. "Ya mas, aku tahu itu. Sudah waktunya untuk bertemu," lirihnya., tak lama Zion bergabung bersama mereka. [Assalamualaikum Wening, maafkan ibu. Maafkan semua kesalahan ibuku. Aku sebagai anak mewakili, sekaligus meminta kamu dan Zion untuk membuka hati atas kesalahan yang kamu berbuat. Wening, ibu sudah tidak ada.] Terkirim, Wening terkejut bukan main membaca pesan yang di kirim Fathan padanya."Ada apa sayang?" tanya Raffan, melihat gelagat istriny
Hari berikutnya, senja baru saja menggantung di langit saat Fathan melangkah masuk ke sebuah restoran kecil namun nyaman di sudut kota. Restoran milik Wening. Tempat yang beberapa tahun terakhir menjadi saksi bagaimana wanita itu membangun hidupnya dari luka dan puing masa lalu.Wening tengah berdiri di balik meja kebesarannya, penampilannya yang elegan menunjukan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Meski penampilan sederhana tak menutup siapa Wening sebenarnya."Wening..." suara Fathan terdengar berat namun pelan. Seolah ia takut wanita itu akan pergi jika ia bicara terlalu keras.Wening tidak langsung merespons. Tatapannya hanya mengeras, penuh pertahanan."Kalau kau datang untuk membicarakan proyek, aku sedang tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat apa pun lagi denganmu, apalagi di luar bisnis," ucapnya datar, lalu hendak berbalik."Tunggu, Wening! Aku tidak datang untuk itu. Aku hanya ingin bicara. Bukan sebagai rekan kerja. Tapi sebagai, seseorang yang sudah terlalu lama memenda
Dua puluh tahun kemudian, Wening tengah sibuk membantu berapa karyawannya yang sibuk. Pengunjung membludak membuat mereka kekurangan tenaga, tidak ada yang tidak sibuk hari itu.Tanpa di sadari, dari jauh seseorang begitu intens menatap restoran miliknya. Satu jam berlalu dan Wening baru bisa mendudukkan tubuhnya."Setelah ini kalian tutup saja ya, bahan makanan sudah habis. Alhamdulillah hari ini luar bisa buat kita." Ucapnya tidak hentinya bersyukur."Ibu, benar. Sejak adanya menu baru restoran ini semakin ramai dan juga semakin banyak orderan," sahut salah satu waiters."Sudah, kalian selesaikan semua? Kita akan tutup secepatnya." Berapa watres kembali sibuk. Wening, mengingat hari ini ada janji temu dengan keluarga di salah satu tempat makan favorit keluarganya,"Langkah anggunnya menuju ke mobil, begitu sibuk dengan ponselnya sehingga tanpa sadar tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.Brakk!!"Maaf, aku tidak ...," Wening terdiam, menatap tidak percaya pria yang di depannya. Pri