Share

6. Pengkhianatan

Author: Rafli123
last update Last Updated: 2025-05-07 21:22:01

"Mama, kenapa ayah nggak suka sama aku?" Suara kecil Zion terdengar lirih, hampir tenggelam dalam keheningan menyakitkan di kamar mereka. Wening berlutut di hadapan Zion, berusaha menahan tangis yang membuncah di dadanya. Ia menggenggam tangan kecil anaknya, mengelusnya dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan itu.

"Siapa bilang? Ayah hanya, ayah terlalu banyak kerja sayang, ayah kan capek di kantor nak," jawab Wening dengan suara serak. Air mata menggenang di matanya, tapi ia berusaha tersenyum. "Kamu anak Mama, dan Mama akan selalu ada buat kamu sayang, apa pun itu,"

Zion menatap Wening dengan mata merah penuh pertanyaan, tapi tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibir mungilnya. Tangannya gemetar, menggenggam lebih erat jari-jari Wening, seolah takut kehilangan satu-satunya orang yang ia tahu mencintainya tanpa syarat.

Namun ketegangan di antara mereka bertambah ketika tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras, membuat Wening dan Zion tersentak. Fathan berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh amarah yang hampir tak terkendali. Matanya langsung tertuju pada Zion yang kini meringkuk ketakutan di balik tubuh Wening.

"Kamu masih melindungi dia? Anak ini nggak pantas mendapat perhatianmu, Wening!" Fathan melangkah masuk, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Aku udah cukup bersabar dengan semua ini, tapi sepertinya kamu nggak pernah paham!"

Wening berdiri tegak di depan Zion menghadang Fathan meskipun tubuhnya bergetar. Setiap kali situasi seperti ini terjadi, ketakutan selalu menghantui Wening, tapi kali ini, demi Zion, dia tidak akan mundur.

"Mas, berhenti! Jangan salahin Zion atas semua ini! Dia nggak pantas diperlakukan kayak gitu, apalagi sama ayah kandungnya sendiri!" Suara Wening penuh tekad, meskipun hatinya hancur melihat bagaimana Fathan memperlakukan anak mereka.

Fathan mendengus sinis. "Ayah kandung? Aku nggak pernah merasa anak itu anakku, Wening! Nggak ada satu pun tanda-tanda kalau dia bagian dari keluarga Byantara. Kamu masih mau memaksakan kebohongan ini? Sampai kapan huh, sampai kapan?!"

Kata-kata Fathan terasa seperti pisau tajam yang menusuk hati Wening. Ia sudah terlalu sering mendengar tuduhan itu, terlalu sering menghadapi kebencian yang tak beralasan dari Fathan dan keluarganya. Namun kali ini, Wening tidak bisa membiarkan hal itu berlalu begitu saja. Setiap kata yang keluar dari mulut Fathan adalah luka baru bagi Zion, dan Wening tahu luka-luka ini tidak bisa dibiarkan terus membekas.

"Berhenti sakitin Zion dengan kata-katamu, mas. Kalau kamu marah, marah aja ke aku, tapi jangan sakiti anak kita!" Wening berusaha menahan isaknya, tapi emosi yang selama ini tertahan mulai membuncah. Dia tidak bisa lagi menahan perasaannya yang terpendam terlalu lama.

Fathan mendekat, menatap Wening dengan dingin. "Kamu pikir aku peduli, sama perasaanmu? Kamu dan anak ini cuma beban di hidupku, Wening. Kamu seharusnya bersyukur aku masih membiarkan kalian tinggal di rumah ini."

Zion menggenggam lebih erat tangan Wening, tubuh kecilnya gemetar karena ketakutan. Mata anak itu kini basah oleh air mata yang terus mengalir, dan Wening merasakan hatinya seperti dicabik-cabik. Setiap hinaan yang keluar dari mulut Fathan semakin menekan batin Zion yang masih terlalu kecil untuk memahami kebencian yang begitu besar.

"Mas, dia masih anak-anak," suara Wening melembut, namun penuh kesedihan yang dalam. "Apa salahnya sampai kamu begitu benci sama Zion? Dia nggak pernah minta dilahirkan ke dunia ini. Dia cuma mau dicintai ayahnya, kayak anak-anak lain."

Fathan mengalihkan pandangannya, wajahnya semakin mengeras. "Cinta? Aku nggak punya cinta buat anak yang bahkan bukan darah dagingku. Keluargaku benar sejak awal, anak ini bukan milikku. Dan aku nggak akan pernah menganggapnya begitu."

Wening tercekat mendengar kata-kata itu. Meski hatinya sudah sering terluka oleh perkataan Fathan, namun kali ini terasa lebih menyakitkan. Ia ingin berteriak, ingin membantah dengan sekuat tenaga bahwa Zion adalah anak Fathan, bahwa darah Fathan yang mengalir di tubuh anak itu. Tapi Wening tahu, tidak ada gunanya berdebat lagi. Fathan telah menutup hatinya, membiarkan keluarganya mengendalikan pikiran dan perasaannya.

"Kenapa, mas? Kenapa kamu biarin keluargamu meracuni pikiranmu kayak gini?" Wening bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Mereka nggak tahu apa-apa soal kita, soal pernikahan kita. Kenapa kamu lebih memilih mereka daripada anakmu sendiri?"

Fathan mendekat dengan tatapan penuh kebencian. "Karena mereka benar, Wening. Mereka lihat apa yang aku nggak bisa lihat dulu. Anak ini, Zion, adalah bukti dari pengkhianatan mu. Dan aku nggak akan pernah bisa maafin kamu."

Zion yang sejak tadi diam meski terisak, tiba-tiba mulai menangis keras. Tangisannya begitu memilukan, seakan-akan setiap kata yang keluar dari mulut Fathan adalah duri yang menancap dalam di hatinya yang polos. Wening memeluk Zion erat-erat, berusaha menenangkan anaknya sambil menahan air mata yang kini tidak bisa lagi ia sembunyikan.

"Cukup, mas," kata Wening dengan suara bergetar. "Aku nggak peduli lagi apa yang kamu pikir. Aku cuma peduli sama Zion. Kamu boleh terus benci sama aku, tapi jangan pernah lagi bahkan sakitin anak ini."

Fathan menatap Wening tajam, namun kali ini dia tidak membalas. Dia berbalik dengan langkah keras, meninggalkan mereka di kamar itu, membawa serta hawa dingin yang semakin menyelimuti rumah mereka. Suara pintu yang dibanting menutup perdebatan itu, namun bagi Wening, ini belum berakhir.

_

_

Di saat yang sama, Alya, sahabat Wening, sedang menunggu di kafe tempat mereka sering bertemu. Wajahnya penuh kegelisahan karena pesan terakhir dari Fathan. Dia tahu apa yang mereka lakukan salah, tapi perasaannya pada Fathan telah membutakan logikanya. Setiap kali Wening bercerita tentang rumah tangganya yang kacau, Alya merasakan bebannya semakin berat. Fathan dan Wening, dua orang yang paling penting dalam hidupnya, terjebak dalam lingkaran yang sulit ia uraikan.

Ketika Wening datang ke kafe beberapa saat kemudian, Alya langsung menyambutnya dengan senyum hangat. "Gimana hari ini, Wen?"

Wening menghela napas berat sebelum menjawab, "Aku nggak tahu lagi, Alya. Mas Fathan semakin jauh, dan aku bingung harus gimana."

Alya merasa detak jantungnya semakin cepat, tapi ia mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. "Mungkin Fathan cuma butuh waktu. Kamu jangan terlalu keras sama dia. Kadang, cowok butuh ruang buat menemukan dirinya sendiri."

Wening mengangguk pelan, meski rasa lelah jelas terpancar dari wajahnya. Dia tidak tahu bahwa sahabat yang ia percayai itu sebenarnya menyimpan rahasia besar yang kelak akan menghancurkan dunianya.

'Wening maafkan aku, aku tidak bisa mundur lagi. Aku sangat mencintainya, aku mencintai suamimu, Wening,'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   10. Pesta Untuk Suamiku

    Meski hatinya sakit atas perlakuan Fathan, namun Wening memilih bertahan setelah di bujuk oleh fathan. Tapi sayang di balik kelembutan Fathan tersembunyi sesuatu mampu menghancurkannya hati Wening."Wening, kamu sudah siapkan semuanya? Ibu tidak ingin kamu melupakan sesuatu!" seru Bu Gema. Dengan nada suara yang tidak akan pernah berubah. Keras tanpa memperdulikan perasaan Wening."Ya, Bu, aku pastikan tidak ada kekurangan apa pun." Sahut Wening lembut."Bagus jangan sampai kamu mencoreng wajah ibu di depan besan. Tidak perlu berdiri disini, ibu tidak mau kamu berkeliaran, dan juga anak mu itu." Tunjuk ibu jari Bu Gema.Kata yang menjadi makanan sehari-hari untuk Wening. Namum kali ini hatinya benar-benar sakit, bagaimana tidak Ibu mertuanya tidak menghargai apa pun yang ia lakukan."Wening jauhkan anakmu itu. Kamu bisa urus anak kamu tidak sih! Jangan sampai saat acara dia berkeliaran di sini! Ibu tidak ingin calon Besan ibu ilfill dengan keluarga ibu yang terpandang ini. Kamu menger

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   9. Teriakan Zion

    "Sudah pulang kamu? Cepetan masak kami sudah lapar!" Bu Gema menunjuk arah dapur, tidak peduli jika Wening baru saja pulang dari rumah sakit."Aku ke kamar dulu," pamit Wening. Melanjutkan langkahnya, tetapi baru berapa langkah suara Bu Gema terdengar lebih tinggi."Tidak bisa. Dia tahu di mana kamarnya, cepat ke dapur!" Wening berbalik, di sana Bu Gema berdiri angkuh. "Tidak sampai lima menit untuk mengantar anakku ke kamarnya. Tapi aku tahu ibu cukup lama menahan lapar karena menungguku." Suara Wening lirih dan tenang, sarat akan penekanan."Kamu semakin hari semakin berani. Oh tuhan kapan wanita ini pergi dari sini." Lantang Bu Gema, Wening melanjutkan langkahnya menuju kamar di sana putranya akan aman."Istirahat sayang, mama masak dulu buat nenek," lirih Wening, mengecup kening Zion."Ya, mah,""Anak, pinter."Wening memastikan putranya aman di kamar, sebelum ia meninggalkan sendiri tanpa pengawasan darinya. Tidak ada yang menjamin keamanan Zion, terlebih saat dirinya jauh dari

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   8. Kebebasan

    Setelah pengusiran malam itu pada Wening dan Zion, namun entah kenapa Wening tetap melakukan kegiatannya menyiapkan semua kebutuhan suami dan keluarganya. Jika orang di luar sana mengatakan Wening itu bodoh, maka jawabannya tidak! Wening hanya ingin mempertahankan hak putranya dan menyakinkan dirinya jika kelak suami dan keluarganya menyadari kesalahannya, meski entah sampai kapan kesabarannya teruji, jika sudah tidak makasih maka pergi adakah jalan terakhir yang akan ia ambil.Kekacauan terjadi di rumah, karena ulah adik iparnya yang semakin kisruh sehingga Wening membereskan semuanya. Entah apa yang ada dalam pikiran adik iparnya itu, membuat kegaduhan yang membuat Wening extra untuk mengembalikan keadaan ke semula. Namun, satu hal yang selalu Wening pikirkan, keselamatan Zion, ya, hanya Zion.Malam itu, Zion demam tinggi. Tubuh kecilnya berkeringat dingin, bibirnya bergetar dalam tidurnya. Setiap kali Wening menyentuh dahinya, panas tubuh anaknya semakin terasa. Dengan panik, ia me

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   7. Mama, Aku Minta Maaf

    Dua hari setelah kejadian itu, Fathan tidak lagi membicarakan soal Zion atau pun dirinya yang memilih mempertahankan Zion dalam rumah mertuanya. Malam itu saat Wening mengunjungi putranya yang berada di dalam kamarnya..."Mama, apa aku anak yang nakal? Kenapa mereka semua nggak suka sama aku?” Suara Zion terdengar lirih, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam. Mata kecilnya yang basah oleh air mata menatap Wening dengan tatapan bingung, seolah mencari jawaban yang bisa meredakan rasa sakit di hatinya. Wening terdiam, hatinya mencelos mendengar pertanyaan itu. Tangannya yang gemetar perlahan mengusap pipi Zion, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir.“Tidak, sayang, kamu bukan anak yang nakal. Kamu anak yang baik, sangat baik. Jangan pernah berpikir sebaliknya,” jawab Wening dengan suara serak. Namun, di balik kata-kata itu, ia menyimpan rasa sakit yang mendalam. Bagaimana mungkin seorang anak sepolos Zion bisa merasa dirinya bersalah atas semua penderitaan ini?Zion

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   6. Pengkhianatan

    "Mama, kenapa ayah nggak suka sama aku?" Suara kecil Zion terdengar lirih, hampir tenggelam dalam keheningan menyakitkan di kamar mereka. Wening berlutut di hadapan Zion, berusaha menahan tangis yang membuncah di dadanya. Ia menggenggam tangan kecil anaknya, mengelusnya dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan itu."Siapa bilang? Ayah hanya, ayah terlalu banyak kerja sayang, ayah kan capek di kantor nak," jawab Wening dengan suara serak. Air mata menggenang di matanya, tapi ia berusaha tersenyum. "Kamu anak Mama, dan Mama akan selalu ada buat kamu sayang, apa pun itu," Zion menatap Wening dengan mata merah penuh pertanyaan, tapi tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibir mungilnya. Tangannya gemetar, menggenggam lebih erat jari-jari Wening, seolah takut kehilangan satu-satunya orang yang ia tahu mencintainya tanpa syarat.Namun ketegangan di antara mereka bertambah ketika tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras, membuat Wening dan Zion tersentak. Fathan

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   5. Bawa Dia Pergi

    Pagi harinya, Fathan bersikap seperti biasa sekarang tidak ada kejadian apapun semalam. Bu Gema, sikapnya yang angkuh dan kebencian pada Wening semakin menjadi, namun lebih menyebalkan di mana Fathan justru diam tanpa merespon apapun tentang permintaannya untuk menghapus nama belakang Zion."Kenapa kamu diam saja?" kata Fathan yang tajam memecah keheningan di ruang makan. Wening yang teringat kata-kata Fathan semalam hingga tidak sadar melamun, gebrakan meja membuatnya terkejut, tangannya yang memegang sendok bergetar. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan. Setiap kali Fathan membuka mulut, yang keluar hanyalah kebencian dan tuduhan."Aku hanya ingin kita bicara dengan tenang, mas. Tentang Zion tapi yang ada kita– " Suaranya lirih, mencoba meredakan ketegangan yang tak kunjung surut.Fathan memalingkan wajahnya. "Zion? Anak itu bukan darahku! Keluargaku benar, dia tidak mirip sedikit pun denganku! Kamu lupa apa yang kalian lakukan di acara semalam?"Kata-kata Fathan menghantam

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   4. Tinggal Diam

    "Anak ini benar-benar tidak tahu diri! Dan kamu, kamu wanita yang sangat tidak tahu diri!" Suara tajam ibu mertuanya, Ibu Gema, memecah keheningan ruang keluarga yang tadinya hanya dipenuhi oleh riuh rendah percakapan kecil. Semua mata seketika tertuju pada anak yang baru saja tersandung dan menjatuhkan gelas di depannya. Air tumpah menggenangi meja, dan serpihan gelas berhamburan di atas karpet.Wening segera bergerak, meraih tangan Zion yang kini gemetar. “Maaf, Bu,” katanya cepat, mencoba menenangkan anaknya yang menunduk ketakutan. “Dia tidak sengaja, anak-anak memang begitu.” Ujar Wening, setelah kejadian tadi, Zion ada di kamarnya sayang saat Wening kembali ke dapur justru Dinda menghampiri Zion dan mengajaknya bermain dan hasilnya Zion kembali menjadi sasaran kemarahan Bu Gema.“Tentu saja dia tidak sengaja!” Bu Gema menjawab dengan suara yang makin meninggi. “Seharusnya diajari dari kecil! Tapi, bagaimana bisa dia diajari dengan benar kalau ibunya saja tidak becus mendidik! La

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   3. Bukan Anakku

    Acara makan malam yang di hadiri calon tunangan Fidela. Meski tidak diizinkan untuk bergabung, Wening tahu jika adik iparnya akan segera bertunangan."Anak ini tidak seharusnya ada di sini!" suara Bu Gema menggema, dingin dan menusuk, seakan setiap kata yang keluar darinya adalah belati yang tertuju langsung ke hati Wening. Zion berdiri terpaku di tengah ruangan, tubuhnya yang mungil gemetar di bawah tatapan tajam neneknya. Tangannya yang kecil memegang erat ujung baju Wening, seakan hanya Ibunya yang bisa melindunginya dari badai hinaan yang sedang datang.Semua tamu yang hadir di acara keluarga itu terdiam, mata mereka tertuju pada Zion. Bisikan-bisikan terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana tidak nyaman yang kian menekan Wening."Ibu –" suara Wening lirih, hampir tidak terdengar, tapi Bu Gema tidak peduli. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tajam."Lihatlah dia! Tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa dia adalah cucuku. Lihat matanya, hidungnya, bahkan cara dia berdiri

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   2. Jamuan

    "Halah, anak nggak tau siapa bapaknya aja kamu bela. Huf, Fathan kapan kamu ceraikan wanita ini. Ibu bosan liat mukanya itu, bawaannya kesel terus!" "Biarin aja buk, aku capek. Bisa nggak, sebelum aku kerja jangan berisik! Kupingku sakit denger kalian berdebat." Sahut Fathan, acuh. Kesal setiap ada di rumah hanya mendengar perdebatan antara Wening dan ibunya yang selalu terjadi setiap harinya."Ayah, aku mau duduk di pangkuan ayah," rengek Zion."Menjauh lah aku sibuk. Wening apa kamu lupa, kebiasaan apa yang kamu lakukan saat aku di rumah? Apa hal sepele itu saja kamu tidak bisa? Apa perlu aku ingatkan lagi?" tangan besar itu mendorong tubuh mungil Zion. Beruntung tidak sampai terjatuh."Mas, Zion cuma mau duduk di pangkuan kamu apa itu –" Wening menundukkan wajahnya, jika Fathan dan Ibu mertua mendelik maka ia akan memilih bungkam."Singkirkan dia, berapa kali aku katakan saat aku ada di rumah jangan perlihatkan wajahnya di hadapan aku. Apa begitu saja kamu tidak becus Wening? Apa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status