Share

Ambisi Sang Penguasa
Ambisi Sang Penguasa
Penulis: niandez

Hari Perayaan

George menangis di atas pusara anak tertuanya. Luis hanya diam tak bereaksi. Pemuda enam belas tahun itu sudah khatam hidup susah, sekarang keluarganya bertambah pilu gara-gara kematian sang kakak.

"Kemiskinan menjajah hidup kita, Ayah," kata Luis datar seraya melirik nisan bertulis Thomas Arias. Hidup selama sembilan belas tahun lamanya sebelum meninggal dua hari lalu akibat radang paru-paru yang telah lama diidap. "Jika kita punya uang, kakak tidak akan mati. Dia bisa sembuh."

"Sudahlah, Luis. Berdoalah untuk ketenangannya, jangan terus mengungkit kondisi hidup kita!"

"Itulah dirimu. Kau terlalu pasrah dengan keadaan. Jika aku jadi Ayah, akan kulakukan apa saja demi membuat keluargaku bahagia! Dan perlu diingat, ini sudah bulan kelima iuran sekolahku tidak dibayar!"

"Luis, hentikan! Kau tidak sopan berteriak di pemakaman!" George sudah pusing dengan tingkah laku anak bungsunya ini, selalu menuntut hal yang tidak mereka punya: kesejahteraan. "Akan kucari uang untuk biaya sekolahmu, nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya."

Luis menghela napas berat. Kesal sekali kalau mengingat-ingat kehidupan. Ia memalingkan pandangan ke arah para pelayat yang berjalan keluar dari area pemakaman, hampir lenyap di ujung pandangan. Mereka hanya kakek, nenek, dan seorang pendeta yang bertugas mendoakan jenazah Thomas. Pemakaman yang sepi.

"Berusahalah mengubah keadaan. Lama-lama aku bosan menjadi anakmu."

"Dasar anak kurang ajar!" maki George. "Sadar tidak, selama ini siapa yang memberimu hidup? Kau harus berterima kasih padaku karena masih rela mengurusmu sendirian dengan susah payah. Mana ibumu ketika kau membutuhkannya, hah? Memangnya dia peduli denganmu?"

"Mengurusku memang kewajibanmu. Alibimu konyol, terus saja menyalahkan kepergian Ibu. Dia juga pasti jengkel hidup susah."

George berdiri, melangkahkan kaki menghampiri Luis dengan geram. "Jika kau gemar menuntut, jadilah jaksa suatu hari nanti. Tuntutanmu akan membuat hidupmu sejahtera!"

George tak minat memarahi Luis. Anak itu selalu pandai menjawab. Pergi adalah pilihan tepat daripada berdebat panjang yang tidak ada ujungnya.

Luis masih berdiri di dekat pusara, sebelum menyusul ayahnya, ia berdoa terlebih dahulu untuk mendiang sang kakak. "Semoga Tuhan mengampunimu."

---

Setelan jas usang dilempar ke dalam mesin cuci. Entah sudah berapa puluh kali dipakai, dari acara perpisahan sekolah sampai pemakaman tadi. Bahkan jas hitamnya sudah tampak kumal, kemeja putihnya juga tidak bersinar lagi, terlihat kekuningan.

"Ayah, aku butuh setelan jas baru!" teriak Luis di depan mesin cuci.

George tidak menyahut. Pria itu menutup pintu, pergi tanpa pamitan. Luis memiringkan kepala menerka ke mana orang tuanya pergi. Sedetik kemudian ia melanjutkan kegiatan mencuci lagi. George sudah dewasa, bisa bepergian sendiri. Jadi, Luis tidak peduli.

"Sebaiknya dia bawa uang saat pulang nanti."

***

George duduk di sofa berlapis kulit. Kedua orang tua yang sudah sangat renta duduk di seberang meja memberi tatapan tidak senang. "Berapa lagi yang kau minta?" tanya sang ayah bernada ketus.

"Tidak banyak. Hanya untuk membayar iuran sekolah Luis ... lima bulan."

"Lima bulan? Apa yang kau lakukan selama ini? Carilah pekerjaan yang menghasilkan! Jangan terus menjadi benalu!" oceh sang ibu.

George hanya menunduk. Ia sudah biasa menerima ocehan setiap datang meminta bantuan. Cukup bersabar sebentar, usai mengomel juga permintaannya bakal dikabulkan.

"Kami sudah terlalu sering menopang kehidupanmu dan anakmu. Carilah uang sendiri, George. Malulah pada diri sendiri! Usiamu sudah hampir kepala empat dan kau belum bisa mandiri." Nyatanya, sang ayah menolak memberi sejumlah uang yang diminta.

"Tapi, Ayah, keadaannya mendesak! Aku tidak mau Luis sampai dikeluarkan karena tidak mampu bayar iuran."

"Itu masalahmu! Salah sendiri tidak mampu memperjuangkan nasib. Kami sudah lelah membantu," kukuh sang ayah.

George merasa marah. Namun, ia hanya bisa mengepal tangan.

"Pergilah, George! Kami tidak mau melihatmu," ucap ketus sang ibu. Sungguh menyakiti hati George.

"Baiklah, aku akan pergi." George bangkit berdiri. "Kalian akan menyesali keputusan yang kalian buat!"

Kekesalan tak kunjung surut. George memiliki ide saat berada di luar rumah orang tuanya. Sedan tua yang diparkir di garasi samping rumah menjadi sasaran kemarahan George. Sambil mengedarkan pandangan mengamati keadaan sekitar, ia membuka kap mobil mengotak-atik mesin tua berkarat.

"Jika kalian tidak bisa memberiku uang, maka akan kudapatkan dengan caraku sendiri. Lihat saja ...."

George melenggang pergi setelahnya dengan senyum mengembang.

Dua hari kemudian, kabar duka pun terdengar. Luis berlari menghampiri George yang sedang duduk santai menonton televisi di ruang tengah.

"Ayah! Kakek dan Nenek kecelakaan!"

"Aku sudah tahu." George meneguk soda dalam kaleng dengan tenang.

"Mereka tewas, Ayah! Mengapa kau bisa setenang ini!"

"Jenazah mereka sudah ada yang mengurus. Petugas rumah sakit sedang menanganinya. Lalu aku harus apa?"

Luis mencium aroma mencurigakan. Gelagat ayahnya sangat tidak menunjukkan empati terhadap situasi. Di saat kedua orang tua mengalami tragedi, dia seakan tidak peduli. Gelak tawa pada acara televisi sangat tidak pantas terdengar pada saat ini.

Luis mematikan televisi, melipat tangan di dada lantas menatap serius. "Jika kau orang di balik kejadian ini, setidaknya berpura-pura lah sedikit. Kau tidak bisa berakting sedih?"

"Aku tidak pernah ikut kelas teater. Jika pandai berakting, mungkin wajahku sudah terpampang di televisi."

Luis ikut duduk di kursi robek-robek. "Berapa banyak yang kita dapat?"

"Cukup untuk membayar iuran sekolahmu dan membeli sebidang lahan. Aku punya rencana bisnis yang akan mengubah kondisi kita."

"Bisnis properti? Ide bagus. Harganya semakin menanjak setiap tahun. Aku baru tahu ternyata kau juga memiliki ide cemerlang."

"Ayahmu ini pintar, Luis. Bisa kujamin mulai sekarang kau tidak akan sering menuntut lagi. Segala keinginanmu bisa kau peroleh dalam sekejap."

George memberi sekaleng soda yang baru dibuka kepada Luis. Mereka bersulang atas kematian kedua orang tua George. Hari yang pantas dirayakan oleh kedua laki-laki malang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status