Home / Romansa / Ambivalensi CEO / Bab 3 : Lelaki yang Diselimuti Emosi

Share

Bab 3 : Lelaki yang Diselimuti Emosi

Author: MA Marayna
last update Last Updated: 2021-08-26 12:32:23

“Mawar Anindita, permisi.” Kembali suara itu terdengar oleh Mawar yang masih menutupi wajah dengan selimut.

Melihat pergerakan dari tangan yang semakin mengeratkan tarikan, lelaki itu mengerti bahwa orang yang terbaring itu ketakutan.

“Saya bukan orang jahat,” ucapnya berhasil membuat gadis yang berbaring itu menurunkan selimutnya.

Mata cokelat dengan bulu mata yang lentik menyapa pandangan laki-laki yang tadi terus menyebutkan nama.

Tidak bisa dihindarkan, tatapan itu menghanyutkan mata si gadis yang terpesona dengan mata si laki-laki.

Semakin ia tatap, mata si laki-laki ternyata begitu menakutkan. Ia pun memilih mengalihkannya dengan cepat.

“Kamu, siapa?” tanyanya tak melihat ke arah laki-laki itu.

Lelaki itu menunjukkan senyum liciknya tanpa sepengetahuan Mawar. Ia mengulurkan tangan, membuat Mawar menoleh. “Perkenalkan, Izzan Madava. Owner sekaligus CEO Perusahaan Buana Dama.”

Mawar langsung menyipitkan mata mendengar nama perusahaan. Meski ragu, perlahan tangan gadis itu menyentuh tangan Izzan. Senyum datar gadis itu ditunjukkan. “Mawar.”

Tangannya tertahan, sebab lelaki yang mengulurkan tangan menahannya. Dengan mata yang membulat, Mawar memberi kode lewat matanya meminta untuk dilepaskan. Bukannya dilepaskan, laki-laki itu memperkuat tekanan yang ia berikan.

“Argh ... lepas,” ucapnya menahan sakit karena jari lelaki itu menekan jarum infus yang ada di punggung tangannya.

Izzan menyeringai melihat raut kesakitan dari wajah Mawar, mungkin ini pertama kalinya ia bahagia melihat orang lain merasakan sakit. Ia tidak mau melepas, bahkan menambah rasa sakit itu.

Cairan merah pun keluar, semakin membuat Mawar merasakan sakit yang luar biasa di tangannya.

“Arghh ... sakit. Apa mau kamu, hah?” Dengan rasa sakit yang semakin bertambah, Mawar mempertanyakan alasan laki-laki itu menyakitinya.

Ia menekan lebih kuat.

“Perempuan bergaun merah, yang kamu hilangkan nyawanya itu calon istriku!” Mata lelaki itu memerah, dengan tatapan menakutkan membuat gadis itu memberontak meski kalah kuat dengan tenaga laki-laki yang penuh emosi.

“To-long!” teriaknya.

“Kamu, sadar sudah membunuh orang lain?” tanyanya sengaja membuat gadis itu ketakutan.

Mawar menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca. “Nggak! Perempuan itu pasti masih hidup, a-ku bukan pembunuh! Hiks ....” Mawar menangis, bukan karena rasa sakit dari Izzan tapi mengingat perempuan gaun merah yang tak sengaja ia tabrak.

“Aku yang membawanya ke rumah sakit, aku yang menyentuh darah segar yang keluar dari dahinya. Aku juga yang membantu menguburkan mayatnya!” Intonasi yang begitu menakutkan bagi Mawar.

“Argh ... Aku minta maaf, hiks ....” Ia meringis kemudian memohon ampunan sebab tekanan pada tangannya begitu sakit.

“Bagaimana, rasanya? Sakit hah? Apa menurut kamu, saya bahagia kehilangan dia di hari pernikahan kami hah?” Ia menyentak, sambil terus memperkuat tekanan pada tangan gadis itu.

“Hiks ... Argh. Mohon, aku mau lakukan apapun asal jangan ke penjara. To-long lepas, sakit.” Ia mengucapkan kalimat ini dengan penuh air mata, mengingat jika dirinya di kantor polisi siapa yang akan mengurus ayahnya yang jatuh sakit setelah ditinggal sang ibu.

“Wah, kenapa kamu takut?” Mata itu mendekat, membuat Mawar memundurkan wajahnya.

Seringai yang terbentuk, benar-benar jauh dari citra seorang Izzan yang begitu lembut di mata semua orang. “Tenang sayang, penjara itu terlalu indah untuk kamu.” Mendengar ini, ada sedikit rasa lega, tapi Mawar melihat sebuah hal yang begitu menakutkan di mata lelaki itu.

“Hiks ... Le-pas ...,” ringisnya karena Izzan belum juga mengakhiri tekanan pada punggung tangannya.

“Menikah, dengan saya itu adalah hukuman untuk kamu,” ucapnya dengan satu tangan membelai helai rambut yang terlepas dari tali pengikat rambutnya.

Mawar langsung menepis tangan itu, sakitnya masih terasa. Dengan tegas ia menolak, “Nggak! Aku gak mau nikah sama orang seperti kamu!” Meski lelaki itu adalah owner sekaligus CEO, ia belum mengenal laki-laki itu. Satu hal yang terpenting, ia tidak tau maksud laki-laki itu menjadikannya istri.

“Kenapa? Kamu mau tahu alasannya?” Tebakan yang begitu tepat.

Sedikit melepas tangannya yang sekarang berdenyut nyeri. Ia juga mulai menjauhkan wajahnya dengan tegak.

“Balas dendam. Itu yang akan dilakukan saya, caranya menikah dengan kamu. Saya harus kehilangan calon istri, maka kamu tidak pantas bahagia dengan pilihan kamu!”

Mawar menutup mata, tarikan napas membuatnya semakin menitikkan air mata. “Saya, sudah menikah.” Meski tidak terlalu yakin dengan alasan ini Mawar nekat mengatakannya.

“Haha ... Haha. Kamu pikir, saya orang bodoh?” Ia tersenyum smirk. “Semua hal tentang kamu, sudah saya kantongi. Termasuk ayah kamu yang sedang sakit, benar?” tanyanya membuat Mawar membulatkan mata.

Bodoh! Ia merutuki kebodohan, rasa takut dan terancam membuatnya tidak bisa mencari alasan untuk solusi masalah ini.

Brak.

Pintu terbuka, menampilkan seorang laki-laki berambut panjang yang diikat rendah. Ia langsung mendekat dengan napas yang memburu. Pandangan Izzan begitu santai, membuat Mawar menggigit bibir bawahnya takut jika itu adalah teman dari si lelaki kejam ini.

“Zan, kenapa gak mau denger perkataan gue sih?” tanyanya, kemudian melihat darah di tangan Izzan yang masih menekan punggung tangan si gadis.

“Lo, bisa bikin orang mati!” Langsung saja tangan itu terbebas dari tekanan, meski kini rasa denyutan perih terus menyerang.

Izzan menghela napasnya. “Kalo, gue diberi hak untuk membunuh, maka orang pertama itu harus dia!” Masih saja ia menatap kesal pada gadis yang sudah menjauhkan dirinya dengan Vilia.

“Zan sadar, kepergian Vilia memang tertabrak. Oke, semuanya bisa diselesaikan lewat jalur hukum. Gak usah menyakiti, kalo gini lo bisa kena hukuman juga bodoh!” Tio menyentak lelaki yang baru saja kehilangan belahan jiwanya.

“Gak perlu. Kalo jalur hukum dia hanya mendapat hukuman enam tahun di penjara, sedangkan gue harus kehilangan Vilia selama-lamanya!” Masih saja emosi mempengaruhi lelaki ini.

Tio mengernyit, ia bingung menawarkan apa lagi untuk membuat Izzan meredam emosinya. “Oke, jadi mau lo apa?” Pasrah, Tio mempertanyakan kemauan Izzan yang pastinya sadis.

“Menikahi si penghilang nyawa, itu keputusan gue.” Perkataan yang terlontar ini tentu saja membuat kedua bola mata sahabatnya keluar.

“Apa?”

“Gue gak bisa bersatu sama Vilia, dia juga gak akan pernah bisa bahagia dengan orang yang dia cinta!” Sekali lagi, sebuah intonasi yang penuh dengan keseriusan.

Tio menggaruk rambutnya, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari Izzan. “Lo bakal jebak dia terikat biar gak bisa sama orang lain?” Izzan mengangguk cepat.

“Wah, lo gila Zan! Balas dendam itu gak baik, bro!” Tio menggelengkan kepalanya, tidak setuju. “Gue, gak setuju.”

Izzan mengedikan bahu. “Orang tua lo juga pasti gak bakal merestui Zan,” kata Tio lagi.

“Gue bakal, buat mereka merestui. Lagi pula gue gak butuh restu resmi dari mereka, ini kan hanya sebuah pembalasan.” Ia menyeringai, memikirkan penderitaan gadis itu yang akan terjadi di tangannya.

“Inget dosa, menikah dengan tujuan tertentu apalagi balas dendam itu gak boleh Zan.” Tio berubah menjadi religius padahal ia hanya mengatakan apa yang ia baca di salah satu akun media sosial tentang pernikahan.

“Dosa gue, urusan sama Tuhan. Bukan sama lo,” ucapnya enteng.

Di antara perdebatan itu, Mawar sedang merasakan lemah dan pandangannya yang mulai memudar. Setiap perkataan yang dilontarkan oleh Izzan, berhasil membuat pikirannya kacau.

“Ayah ... Ibu ... Bantu aku,” lirihnya kemudian tak sadarkan diri.

Tio melihat perempuan yang terbaring dengan jarum infus yang sudah terlepas itu seperti berkata sesuatu, terlihat darah yang bertambah lelaki itu menyenggol sahabatnya. “Zan, dia ...,” ucapnya, langsung membuat Izzan menoleh.

Izzan langsung mendekat. “Panggil dokter cepat!” Mungkin ini seperti kalimat yang takut kehilangan, meski nyatanya tidak.

Tio langsung keluar untuk mencarikan dokter. Izzan terus mencoba membuat gadis itu terbangun tapi tidak ada pergerakan. “Bangun, kamu gak boleh mati sebelum aku membalaskan dendam!”

Izzan Madava bukan lagi, laki-laki yang lembut setelah kepergian Vilia. Tidak sepenuhnya, karena itu hanya berlaku kepada Mawar Anindita

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambivalensi CEO   Bab 18 : Kebenaran yang Bohong

    Ketika kebohongan terucap maka air mata akan terus meluncur dengan derasnya. -Ambivalensi CEO***Izzan mengernyitkan dahi, ia paham siapa lelaki yang membelakangi itu. Ternyata mantan dari Mawar--istrinya. "Bohong," ucapnya tentu tidak percaya. "Aku melihat mata kamu dan kamu juga lihat Danesh, aku tidak berbohong." Berhasil membuat bahunya bebas dari Danesh. "Jadi, ketika kamu menikah dengan Tika aku tidak keberatan. Aku tidak pernah mencoba merebut kamu kembali karena ada Izzan yang menjadi pilihan paling utama." Danesh mengepalkan tangan. Mawar lega sikap Danesh sepertinya mulai terpengaruh akan kebohongan yang ia katakan. "Aku memikirkan berbagai alasan untuk bisa putus sama kamu, ketika itu terjadi maka tidak ada penghalang aku untuk menikah dengan Izzan." Danesh menggeleng pelan tak habis pikir tentang kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tega kamu Mawar!" Sedikit berteriak, untung saja acara musik masih berlangsung. "Ya, aku memang sejahat itu. Jadi please jangan ganggu

  • Ambivalensi CEO   Bab 17 : Lelaki Masa Lalu

    Di balik pertemuan memang akan selalu ada cerita. *** Mengusap air mata, ia lalu menutup pintu kamar. Izzan tak sadarkan diri ketika tatapan lembut itu datang, mungkin ia bermimpi jika Mawar adalah sang kekasih yang telah tiada. Masuk ke dalam kamar Izzan karena ia tidak mungkin satu kamar dengan lelaki yang selalu saja membencinya. Esoknya ketika matahari belum menyorot, perempuan yang sudah berganti pakaian dengan sebuah kebaya modern itu mulai pergi dari rumah yang semalam begitu ingin ia tinggalkan. Ia ingin terus melanjutkan hidup meski setiap waktu pasti ada saja mungkin hukuman yang akan ia terima karena telah memisahkan dua insan yang begitu saling cinta. Terdengar jahat, namun Mawar pun tak mengelak jika memang ia pelakunya. Ia tak terlalu ingat kejadian itu, namun ia juga melihat bahwa ada seorang perempuan. Perempuan yang mengenakan gaun merah, ya tentu ia sangat hafal warna mencolok itu. Di taksi ia meletakan kepala di kursi penumpang, menatap beberapa rumah ya

  • Ambivalensi CEO   Bab 16 : Sakit yang Baru Dirasa

    Haruskah tangis datang di pagi yang begitu cerah ini? -Mawar Anindhita. *** Cuaca tak bisa mengubah hati yang terluka. Secerah apapun pagi jika tangis ditakdirkan hadir maka dunia seakan mempelihatkan sisi buruknya. "Hei pengantin baru malah ngelamun aja, awas tuh airnya kepenuhan." Peringatan yang menyadarkan Mawar kembali ke dunia nyata. "Ini sengaja kok, biar gak terlalu manis." Mengaduk teh tarik yang menjadi minuman pertama bagi perutnya. "Lo ada masalah apa sih, kita kenal itu bukan sehari dua hari jadi gue tahu pasti ada yang lo pikirin?" sahabatnya itu tentu curiga. "Nggak kok, I am fine." Memegang pundak sang sahabat agar bisa membuatnya percaya. "Oke, lo pasti belum bisa cerita. Kalo lo siap, gue selalu ada ya." Mawar mengangguk. "Gue ke ruangan kerja ya," katanya lalu pergi. Roti sando yang ia beli sebelum pergi ke kantor menjadi sarapan yang menyatu dengan teh tarik panas yang ia seduh. "Anin, lo udah baca kan rangkaian acara yang diminta klien. Yuk, ga

  • Ambivalensi CEO   Bab 15 : Hati Yang Kacau

    Raga yang tersisa sepertinya tidak bisa bertahan jika jiwanya sudah terkubur bersama sang kekasih . -Izzan Madava *** Izzan bangkit, matanya menyiratkan api. "Kalo boleh gue juga mau!" Mencengkeram kerah baju Tio. "Raga gue di sini, tapi jiwa sudah terkubur bareng Vilia. Gue gak punya alasan buat bertahan, apa gue juga harus mati?" sarkasnya dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh Tio. Mendengar itu Tio mendorong Izzan sampai berhasil melepaskan cengkraman di kerah bajunya. "Jangan gila Izzan! Kalo lo mati, kenapa gak dari awal aja hah?" "Lo pun gak harus menghukum Mawar dengan alasan tidak terima dengan takdir yang menimpa Vilia," tegasnya lagi. Izzan mendongak. "Hah, Mawar! Haha ... Dia pantas mendapatkan itu, lo tahu dia aja sepertinya tidak keberatan dengan yang terjadi kemarin." Tio memicingkan mata. "Tidak semua luka itu diperlihatkan, dia sama kaya lo! Kalian itu saling menyembunyikan luka jika bersama, tidak ingin terlihat lemah itu yang kalian lakukan,

  • Ambivalensi CEO   Bab 14 Apakah Ini Hukuman?

    Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut p

  • Ambivalensi CEO   Bab 13 : Kebodohan Izzan

    Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava *** Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status