Share

Bab 3 : Lelaki yang Diselimuti Emosi

“Mawar Anindita, permisi.” Kembali suara itu terdengar oleh Mawar yang masih menutupi wajah dengan selimut.

Melihat pergerakan dari tangan yang semakin mengeratkan tarikan, lelaki itu mengerti bahwa orang yang terbaring itu ketakutan.

“Saya bukan orang jahat,” ucapnya berhasil membuat gadis yang berbaring itu menurunkan selimutnya.

Mata cokelat dengan bulu mata yang lentik menyapa pandangan laki-laki yang tadi terus menyebutkan nama.

Tidak bisa dihindarkan, tatapan itu menghanyutkan mata si gadis yang terpesona dengan mata si laki-laki.

Semakin ia tatap, mata si laki-laki ternyata begitu menakutkan. Ia pun memilih mengalihkannya dengan cepat.

“Kamu, siapa?” tanyanya tak melihat ke arah laki-laki itu.

Lelaki itu menunjukkan senyum liciknya tanpa sepengetahuan Mawar. Ia mengulurkan tangan, membuat Mawar menoleh. “Perkenalkan, Izzan Madava. Owner sekaligus CEO Perusahaan Buana Dama.”

Mawar langsung menyipitkan mata mendengar nama perusahaan. Meski ragu, perlahan tangan gadis itu menyentuh tangan Izzan. Senyum datar gadis itu ditunjukkan. “Mawar.”

Tangannya tertahan, sebab lelaki yang mengulurkan tangan menahannya. Dengan mata yang membulat, Mawar memberi kode lewat matanya meminta untuk dilepaskan. Bukannya dilepaskan, laki-laki itu memperkuat tekanan yang ia berikan.

“Argh ... lepas,” ucapnya menahan sakit karena jari lelaki itu menekan jarum infus yang ada di punggung tangannya.

Izzan menyeringai melihat raut kesakitan dari wajah Mawar, mungkin ini pertama kalinya ia bahagia melihat orang lain merasakan sakit. Ia tidak mau melepas, bahkan menambah rasa sakit itu.

Cairan merah pun keluar, semakin membuat Mawar merasakan sakit yang luar biasa di tangannya.

“Arghh ... sakit. Apa mau kamu, hah?” Dengan rasa sakit yang semakin bertambah, Mawar mempertanyakan alasan laki-laki itu menyakitinya.

Ia menekan lebih kuat.

“Perempuan bergaun merah, yang kamu hilangkan nyawanya itu calon istriku!” Mata lelaki itu memerah, dengan tatapan menakutkan membuat gadis itu memberontak meski kalah kuat dengan tenaga laki-laki yang penuh emosi.

“To-long!” teriaknya.

“Kamu, sadar sudah membunuh orang lain?” tanyanya sengaja membuat gadis itu ketakutan.

Mawar menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca. “Nggak! Perempuan itu pasti masih hidup, a-ku bukan pembunuh! Hiks ....” Mawar menangis, bukan karena rasa sakit dari Izzan tapi mengingat perempuan gaun merah yang tak sengaja ia tabrak.

“Aku yang membawanya ke rumah sakit, aku yang menyentuh darah segar yang keluar dari dahinya. Aku juga yang membantu menguburkan mayatnya!” Intonasi yang begitu menakutkan bagi Mawar.

“Argh ... Aku minta maaf, hiks ....” Ia meringis kemudian memohon ampunan sebab tekanan pada tangannya begitu sakit.

“Bagaimana, rasanya? Sakit hah? Apa menurut kamu, saya bahagia kehilangan dia di hari pernikahan kami hah?” Ia menyentak, sambil terus memperkuat tekanan pada tangan gadis itu.

“Hiks ... Argh. Mohon, aku mau lakukan apapun asal jangan ke penjara. To-long lepas, sakit.” Ia mengucapkan kalimat ini dengan penuh air mata, mengingat jika dirinya di kantor polisi siapa yang akan mengurus ayahnya yang jatuh sakit setelah ditinggal sang ibu.

“Wah, kenapa kamu takut?” Mata itu mendekat, membuat Mawar memundurkan wajahnya.

Seringai yang terbentuk, benar-benar jauh dari citra seorang Izzan yang begitu lembut di mata semua orang. “Tenang sayang, penjara itu terlalu indah untuk kamu.” Mendengar ini, ada sedikit rasa lega, tapi Mawar melihat sebuah hal yang begitu menakutkan di mata lelaki itu.

“Hiks ... Le-pas ...,” ringisnya karena Izzan belum juga mengakhiri tekanan pada punggung tangannya.

“Menikah, dengan saya itu adalah hukuman untuk kamu,” ucapnya dengan satu tangan membelai helai rambut yang terlepas dari tali pengikat rambutnya.

Mawar langsung menepis tangan itu, sakitnya masih terasa. Dengan tegas ia menolak, “Nggak! Aku gak mau nikah sama orang seperti kamu!” Meski lelaki itu adalah owner sekaligus CEO, ia belum mengenal laki-laki itu. Satu hal yang terpenting, ia tidak tau maksud laki-laki itu menjadikannya istri.

“Kenapa? Kamu mau tahu alasannya?” Tebakan yang begitu tepat.

Sedikit melepas tangannya yang sekarang berdenyut nyeri. Ia juga mulai menjauhkan wajahnya dengan tegak.

“Balas dendam. Itu yang akan dilakukan saya, caranya menikah dengan kamu. Saya harus kehilangan calon istri, maka kamu tidak pantas bahagia dengan pilihan kamu!”

Mawar menutup mata, tarikan napas membuatnya semakin menitikkan air mata. “Saya, sudah menikah.” Meski tidak terlalu yakin dengan alasan ini Mawar nekat mengatakannya.

“Haha ... Haha. Kamu pikir, saya orang bodoh?” Ia tersenyum smirk. “Semua hal tentang kamu, sudah saya kantongi. Termasuk ayah kamu yang sedang sakit, benar?” tanyanya membuat Mawar membulatkan mata.

Bodoh! Ia merutuki kebodohan, rasa takut dan terancam membuatnya tidak bisa mencari alasan untuk solusi masalah ini.

Brak.

Pintu terbuka, menampilkan seorang laki-laki berambut panjang yang diikat rendah. Ia langsung mendekat dengan napas yang memburu. Pandangan Izzan begitu santai, membuat Mawar menggigit bibir bawahnya takut jika itu adalah teman dari si lelaki kejam ini.

“Zan, kenapa gak mau denger perkataan gue sih?” tanyanya, kemudian melihat darah di tangan Izzan yang masih menekan punggung tangan si gadis.

“Lo, bisa bikin orang mati!” Langsung saja tangan itu terbebas dari tekanan, meski kini rasa denyutan perih terus menyerang.

Izzan menghela napasnya. “Kalo, gue diberi hak untuk membunuh, maka orang pertama itu harus dia!” Masih saja ia menatap kesal pada gadis yang sudah menjauhkan dirinya dengan Vilia.

“Zan sadar, kepergian Vilia memang tertabrak. Oke, semuanya bisa diselesaikan lewat jalur hukum. Gak usah menyakiti, kalo gini lo bisa kena hukuman juga bodoh!” Tio menyentak lelaki yang baru saja kehilangan belahan jiwanya.

“Gak perlu. Kalo jalur hukum dia hanya mendapat hukuman enam tahun di penjara, sedangkan gue harus kehilangan Vilia selama-lamanya!” Masih saja emosi mempengaruhi lelaki ini.

Tio mengernyit, ia bingung menawarkan apa lagi untuk membuat Izzan meredam emosinya. “Oke, jadi mau lo apa?” Pasrah, Tio mempertanyakan kemauan Izzan yang pastinya sadis.

“Menikahi si penghilang nyawa, itu keputusan gue.” Perkataan yang terlontar ini tentu saja membuat kedua bola mata sahabatnya keluar.

“Apa?”

“Gue gak bisa bersatu sama Vilia, dia juga gak akan pernah bisa bahagia dengan orang yang dia cinta!” Sekali lagi, sebuah intonasi yang penuh dengan keseriusan.

Tio menggaruk rambutnya, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari Izzan. “Lo bakal jebak dia terikat biar gak bisa sama orang lain?” Izzan mengangguk cepat.

“Wah, lo gila Zan! Balas dendam itu gak baik, bro!” Tio menggelengkan kepalanya, tidak setuju. “Gue, gak setuju.”

Izzan mengedikan bahu. “Orang tua lo juga pasti gak bakal merestui Zan,” kata Tio lagi.

“Gue bakal, buat mereka merestui. Lagi pula gue gak butuh restu resmi dari mereka, ini kan hanya sebuah pembalasan.” Ia menyeringai, memikirkan penderitaan gadis itu yang akan terjadi di tangannya.

“Inget dosa, menikah dengan tujuan tertentu apalagi balas dendam itu gak boleh Zan.” Tio berubah menjadi religius padahal ia hanya mengatakan apa yang ia baca di salah satu akun media sosial tentang pernikahan.

“Dosa gue, urusan sama Tuhan. Bukan sama lo,” ucapnya enteng.

Di antara perdebatan itu, Mawar sedang merasakan lemah dan pandangannya yang mulai memudar. Setiap perkataan yang dilontarkan oleh Izzan, berhasil membuat pikirannya kacau.

“Ayah ... Ibu ... Bantu aku,” lirihnya kemudian tak sadarkan diri.

Tio melihat perempuan yang terbaring dengan jarum infus yang sudah terlepas itu seperti berkata sesuatu, terlihat darah yang bertambah lelaki itu menyenggol sahabatnya. “Zan, dia ...,” ucapnya, langsung membuat Izzan menoleh.

Izzan langsung mendekat. “Panggil dokter cepat!” Mungkin ini seperti kalimat yang takut kehilangan, meski nyatanya tidak.

Tio langsung keluar untuk mencarikan dokter. Izzan terus mencoba membuat gadis itu terbangun tapi tidak ada pergerakan. “Bangun, kamu gak boleh mati sebelum aku membalaskan dendam!”

Izzan Madava bukan lagi, laki-laki yang lembut setelah kepergian Vilia. Tidak sepenuhnya, karena itu hanya berlaku kepada Mawar Anindita

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status