Callista Putri tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam satu hari, dipaksa menikahi Zafran Aryasatya, kakak iparnya yang dingin, demi menjaga dan membesarkan Kayla, keponakan kecilnya yang baru saja dilahirkan juga kehilangan ibunya. Di tengah sikap Zafran yang dingin dan sikap keluarga Zafran yang tak menginginkannya, Callista berusaha untuk tetap kuat. Namun, di saat hatinya rapuh dan kesepiannya kian dalam, Elric Darmawan, cinta masa lalunya, kembali muncul. Dengan janji akan kebahagiaan dan cinta yang pernah hilang, Elric meyakinkan Callista untuk melupakan segalanya. Siapakah yang akan Callista pilih? Seseorang yang selalu menghujaninya dengan cinta ataukah suaminya yang tak pernah menganggapnya ada, dan bagaimana Callista menjalani pernikahan tanpa cinta yang semakin membuatnya menderita? Baca sekarang dan jatuh cinta bersama Callista dan Zafran dalam perjalanan cinta yang tak pernah mudah, tapi sungguh berarti.
View MoreLangit Surabaya berubah kelabu sore itu, seakan mengetahui ketakutan mendalam Callista dan ibunya. Di ruang tunggu Rumah Sakit Graha Husada, Callista berjalan mondar-mandir, setiap langkahnya sarat kecemasan. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar tak karuan. Sudah hampir tiga jam sejak kakaknya, Novita, dibawa masuk ke ruang operasi. Kontraksi yang datang terlalu cepat telah mengejutkan semua orang.
"Masih belum ada kabar?" tanya ibunya yang baru kembali dari toilet, wajahnya pucat pasi, mata sembab seolah telah menangis diam-diam.
Callista menggeleng lemah. "Belum, Bu. Dokter bilang kondisinya kritis. Bayinya harus segera dikeluarkan."
Callista menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya serasa dingin. Dalam pikirannya berlarian berbagai kemungkinan buruk yang menghantui seperti bayangan hitam tak berbentuk. Tidak seharusnya kehamilan berakhir seperti ini. Sebulan sudah Novita tinggal di rumah orang tua mereka di Surabaya, sendirian, tanpa ditemani suaminya Zafran. Sendirian menghadapi masa-masa terberatnya.
"Kamu sudah menghubungi Zafran?" tanya ibunya dengan suara bergetar, matanya memancarkan kemarahan yang ditahan.
"Sudah, Bu. Berkali-kali," jawab Callista sambil menatap ponselnya dengan geram. "Entah dia sibuk, atau memang sengaja mengabaikan. Sudah dua puluh panggilan tak terjawab!"
Callista meremas ponselnya hingga buku-buku jarinya memutih. Inilah yang membuat Callista murka. Sebulan Novita di Surabaya, tak sekalipun Zafran datang menjenguk. Bahkan ketika diberitahu istrinya akan melahirkan, pria itu hanya menjawab singkat, "Aku akan usahakan datang." Usahakan? Seolah kelahiran anaknya hanyalah agenda tambahan dalam jadwal hariannya!
"Brengsek!" desis Callista.
"Jaga bicaramu," tegur ibunya, meski di matanya terpancar persetujuan diam-diam.
Callista masih ingat jelas bagaimana kondisi Novita ketika datang ke Surabaya. Wajahnya sembab, tubuhnya kurus meski sedang mengandung tujuh bulan. Mata yang dulu berbinar kini redup, seolah cahaya kehidupan di dalamnya nyaris padam. Novita tidak banyak bercerita, hanya bilang dia butuh waktu sendiri. Tapi Callista tahu, ada yang tidak beres dalam rumah tangga kakaknya. Sorot mata Novita selalu menyiratkan ketakutan setiap kali nama Zafran disebut.
"Ibu takut, Lis," bisik ibunya, suaranya bergetar. "Sejak kecil Novita tak pernah sakit. Kenapa sekarang..."
Kalimat itu terhenti oleh isakan tertahan. Callista merangkul ibunya, meski dalam hati dia pun sama hancurnya.
***
"Callista..." Suara lemah Novita memecah keheningan ruang pemulihan, nyaris tak terdengar di antara bunyi monitor dan peralatan medis. Operasinya sudah selesai, tapi dokter memberitahu bahwa kondisinya terus memburuk. Pendarahan yang tak kunjung berhenti membuat mereka harus bersiap dengan kemungkinan terburuk.
"Komplikasi preeklamsia berat," begitu diagnosis dokter, dengan wajah penuh penyesalan. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi..."
Callista segera mendekat, menggenggam tangan kakaknya yang terasa dingin seperti es. "Aku di sini, Kak," bisiknya, mencoba tersenyum meski hatinya remuk redam.
"Bayiku... dia baik-baik saja?" tanya Novita, matanya sayu mencari kepastian, bibirnya yang pucat bergetar.
"Dia sehat, Kak. Dia cantik sekali, seperti Kakak," jawab Callista, mencoba tersenyum meski air mata sudah menggenang di pelupuknya. Dia berbohong. Bayi mungil itu sedang berjuang di ruang NICU, tubuhnya terlalu kecil, terlalu rapuh. Tapi Callista tak sanggup menambah beban hati kakaknya.
Novita tersenyum lemah, darah merembes dari sudut bibirnya. "Syukurlah..."
Novita meraih tangan Callista dengan sisa-sisa tenaganya, jemarinya yang dingin mencengkeram lemah. "Berikan dia nama, Kayla," ucapnya tertatih.
Callista mengangguk, air mata mulai menetes tak terbendung. "Nama yang sangat cantik, kak."
"Callista, aku minta tolong." Novita menatap adiknya dengan tatapan penuh keputusasaan, matanya yang berkaca-kaca menyimpan ketakutan yang mendalam. "Ini sangat... penting."
"Apa pun, Kak. Katakan saja," Callista mencondongkan tubuhnya, meremas tangan kakaknya lebih erat seolah dengan begitu bisa menyalurkan kekuatan.
Novita menarik napas dalam-dalam, setiap tarikan napasnya terlihat menyakitkan. "Jaga Kayla untukku. Rawat dia, sayangi dia seperti anakmu sendiri, jangan biarkan dia kehilangan sosok seorang ibu," ucapnya dengan suara bergetar, setiap kata seolah memerlukan perjuangan untuk dikeluarkan.
"Kak, jangan bicara begitu!" Callista setengah berteriak, suaranya pecah oleh tangis. "Kakak akan sembuh, Kakak sendiri yang akan merawat Kayla. Kita akan membesarkannya bersama!"
"Dengarkan aku!" Novita tiba-tiba mencengkeram tangan Callista dengan kekuatan yang tak disangka. "Aku tahu waktuku tidak banyak. Zafran... dia tidak akan bisa menjadi ayah yang baik untuk Kayla. Dia..." Novita terbatuk, darah segar menetes dari sudut bibirnya.
Callista menatap kakaknya nanar, tubuhnya gemetar oleh ketakutan dan kebingungan. "Kak... Kau jangan banyak bicara."
"Anggaplah Kayla sebagai anakmu, Lis," bisik Novita, matanya tiba-tiba dipenuhi teror. "Aku... mempercayaimu, Callista. Hanya kamu yang bisa kulimpahkan tanggung jawab ini."
Callista menatap kakaknya dengan hati yang remuk. Dia selalu iri dengan Novita yang sempurna di mata orang tua mereka. Novita si juara kelas, Novita si anak teladan, Novita yang selalu menjadi tolok ukur kesuksesan. Tetapi di balik keirian itu, ada cinta yang tak pernah pudar. Novita adalah kakak yang selalu melindunginya, yang diam-diam membela Callista di depan orang tua mereka ketika Callista merasa tak pernah cukup baik.
"Aku berjanji, Kak," ucap Callista, air matanya kini mengalir deras membasahi wajah. "Aku akan menjaga Kayla dengan nyawaku. Aku bersumpah."
Novita tersenyum, senyum terakhirnya yang penuh kedamaian sekaligus kesedihan. Tangannya perlahan terangkat, gemetar hebat, menghapus air mata di pipi Callista. "Jangan tangisi aku. Hiduplah dengan bahagia. Buat Kayla bahagia."
"Kak..." Callista terisak, tubuhnya berguncang hebat.
"Satu lagi," Novita berbisik, suaranya nyaris tak terdengar, "Jangan pernah membantah perintah ibu, karena hanya dia yang kau punya saat ini." Novita terengah, tampak berjuang untuk tetap sadar.
Belum sempat Callista menjawabnya, monitor di samping ranjang Novita mendadak berbunyi nyaring, memecah keheningan ruangan dengan nada monoton yang mengerikan. Perawat dan dokter segera masuk, tergopoh-gopoh dengan wajah tegang.
"Maaf, Anda harus keluar!" seorang perawat mendorong Callista menjauh dari ranjang.
"Tidak! Kakak! Kakak!" Callista berteriak, meraung, tangannya masih berusaha menggapai kakaknya yang kini dikelilingi tim medis.
Tubuhnya ditarik paksa keluar ruangan, tangisnya memenuhi koridor rumah sakit. Di luar, ibunya sudah menunggu dengan wajah pucat.
"Ada apa? Lis, ada apa?!" tanyanya panik.
Callista tak bisa menjawab, hanya terisak tak terkendali dalam pelukan ibunya. Di tengah kepanikan itu, Callista samar-samar mendengar dokter di dalam ruangan mengatakan sesuatu tentang pendarahan internal yang tidak terkendali, tekanan darah yang anjlok, dan jantung yang melemah. Segala usaha dilakukan, tetapi takdir berkata lain.
Pukul 18.42, Novita dinyatakan meninggal dunia.
***
Pemakaman berlangsung dalam duka yang mendalam. Hujan turun rintik-rintik, seolah langit pun menangis melepas kepergian Novita. Keluarga dan teman-teman Novita hadir, berkumpul di bawah payung hitam yang berjejer seperti jamur. Tapi ada satu orang yang kehadirannya justru menimbulkan tanda tanya sekaligus amarah: Zafran.
Pria itu datang terlambat, bahkan setelah proses pemakaman hampir selesai. Langkahnya santai, tak ada sedikit pun kesan terburu-buru. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja kehilangan istri. Tak ada jejak kesedihan, tak ada air mata. Hanya ekspresi datar yang membuat darah Callista mendidih.
"Maaf aku terlambat," ucap Zafran ringan, seolah dia hanya terlambat datang ke pertemuan bisnis biasa. Bahkan pakaian hitamnya terlihat terlalu rapi, seolah baru saja disetrika.
Ibu Callista yang masih terisak menatap menantunya dengan pandangan tak percaya. "Kamu... bagaimana mungkin kamu bisa setenang ini?" suaranya bergetar oleh amarah dan kesedihan. "Istrimu baru saja meninggal, Zafran! Istrimu! Ibu dari anakmu!"
Zafran hanya mengangguk pelan, memasang wajah sedih yang terlihat dipaksakan. "Aku tahu, Bu. Ini sudah takdir Tuhan, sebaiknya kita jangan terlalu sedih agar Novita bisa pergi dengan tenang."
Callista menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah, menahan diri untuk tidak menampar wajah pria di hadapannya ini. Tak ada kepura-puraan dalam sikap tenang Zafran. Ini adalah ketenangannya yang asli, ketenangan yang mengerikan, seolah kematian Novita tak berarti apa-apa baginya.
"Dimana anakku?" tanya Zafran tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Nadanya datar, tapi ada sesuatu yang mengancam dalam sorot matanya yang coklat terang.
Callista menjawabnya tanpa menatap kakak iparnya, takut amarahnya akan meledak. "Di rumah sakit, dia masih menjalani perawatan di inkubator karena berat badannya sangat ringan."
"Aku akan membawanya pulang ke Jakarta segera setelah dia boleh keluar dari rumah sakit," ujar Zafran datar, seolah mengumumkan keputusan yang tak bisa diganggu gugat.
"Tidak," jawab Callista spontan, teringat pesan terakhir Novita yang masih membayang dalam benaknya. Jantungnya berdegup kencang. "Dia baru lahir, masih butuh perawatan khusus. Lagipula..." Callista ragu sejenak, "Bukankah lebih baik dia tinggal dengan keluarga ibunya dulu? Setidaknya sampai kondisinya stabil. Kau sendiri sibuk bekerja, siapa yang akan menjaganya?"
Mata Zafran menyipit, kilatan dingin melintas di matanya. "Dia anakku, Callista. Aku yang berhak menentukan dimana dia tinggal. Ibuku sudah menyiapkan pengasuh terbaik untuknya."
"Dan Novita, kakakku, yang melahirkannya dengan nyawanya sebagai bayaran!" Callista membalas dengan suara bergetar, air matanya kembali menggenang. "Kakak tidak akan meninggal jika kau tidak mengabaikannya selama sebulan ini! Dimana kau saat dia membutuhkanmu? Saat dia terbaring lemah? Saat dia..."
"Cukup!" Ibu Callista menyela, suaranya tegas meski tubuhnya terlihat rapuh oleh kesedihan. "Ini pemakaman. Jangan bertengkar di sini."
Hening. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Udara terasa begitu tegang, sarat dengan permusuhan tersembunyi.
"Kita bicarakan ini nanti," kata Zafran akhirnya, nada suaranya tetap dingin dan terkendali. "Aku akan ke rumah sakit melihat anakku."
"Kayla namanya," Callista memberitahu dengan nada tajam. "Kayla. Itu permintaan terakhir kakakku. Setidaknya hormati itu."
Zafran tak menghiraukannya. Dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan area pemakaman. Callista mengikutinya dengan tatapan penuh kebencian dan kecurigaan.
"Ada sesuatu yang tidak beres dengan pria itu," bisik Callista pada dirinya sendiri, tubuhnya gemetar menahan amarah dan ketakutan yang aneh. "Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu tidak terpengaruh dengan kematian istrinya? Mengapa dia tiba-tiba begitu tertarik dengan Kayla, sementara selama ini dia bahkan tidak peduli dengan kehamilan Kak Novita?"
Zafran meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, matanya secara refleks melirik ke arah ruang makan melalui kaca jendela ruang kerjanya di rumah. Callista sedang duduk sendirian di meja makan yang panjang, mengaduk-aduk sereal dalam mangkuknya dengan gerakan yang tampak lesu. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, namun Zafran masih bisa melihat ekspresi kosong di mata gadis itu. Berbeda sekali dengan Novita.Mantan istrinya dulu selalu sempurna di setiap kesempatan duduk dengan postur tegak, makan dengan tata krama yang tak terbantahkan, bahkan saat sarapan sekalipun. Novita tak pernah menunjukkan kemalasan atau ketidakpedulian seperti yang terlihat pada Callista saat ini.Zafran menggelengkan kepala, berusaha mengusir perbandingan itu dari pikirannya. Ia kembali fokus pada laptop di hadapannya, namun matanya kembali melayang. Callista bangkit dari kursinya, bergerak dengan langkah gontai menuju dapur. Gadis itu mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dan celana
Malam telah larut ketika Callista terbangun dari tidur singkatnya karena Kayla yang menangis lapar. Ini sudah ketiga kalinya malam ini ia terbangun. Mata yang bengkak dan punggung yang pegal tidak menghentikannya untuk bangkit dan membuatkan susu untuk Kayla dengan penuh kasih.Saat ia duduk di kursi goyang sambil menggendong Kayla, suara langkah kaki berat terdengar dari koridor yang menuju ke kamar Zafran. Pria itu baru pulang setelah hampir 14 jam menghilang tanpa jejak. Bau alkohol dan parfum wanita lain tercium samar menguar dari arah kamarnya.*BRAK!*Suara pintu yang dibanting keras membuat Callista bergidik dan Kayla hampir terbangun dari tidurnya. Bahkan di minggu kedua pernikahan mereka, Zafran tidak pernah sekalipun menanyakan kabar Callista atau keponakan yang kini menjadi tanggung jawabnya sendiri."Papa tidak pernah mau tahu tentang kita, sayang," bisik Callista pada Kayla yang sudah kenyang namun masih rewel. "Tapi tidak apa-apa. Mama akan memberikan cinta yang berlipat
Pernikahan diselenggarakan keesokan harinya. Tak ada pesta, bunga bahkan senyum yang terpancar dari Callista ataupun Zafran. Hanya akad nikah sederhana yang berlangsung di ruang tamu keluarga Callista, disaksikan kerabat dekat dan notaris. Suasana begitu hening, hanya tangis Kayla digendongan Bi Sari, neneknya yang mencoba untuk menenangkannya. Callista mengenakan kebaya putih sederhana, bukan gaun pengantin impiannya. Zafran mengenakan setelan abu-abu gelap, berdiri kaku di sampingnya seperti patung marmer yang dingin. Mata pria itu tak sekalipun menatap calon istrinya, hanya terfokus pada dokumen pernikahan yang akan segera ditandatangani, kontrak yang mengikat keduanya.Ketika ijab kabul selesai dan cincin telah tersemat di jarinya, Zafran akhirnya menoleh. Mata coklat terangnya menatap Callista dengan sorot yang lebih dingin dari es di kutub utara."Jangan pernah berharap lebih," Zafran berbisik tajam, mencengkeram pergelangan tangan Callista hingga menyakitkan, memastikan hanya
Wajah Zafran tetap dingin seperti es ketika berdiri di hadapan ruang NICU. Sorot matanya tajam mengawasi sosok mungil di balik kaca inkubator, tapi tak sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang mata kelabunya. Baginya, bayi itu hanyalah tanggung jawab dan warisan terakhir dari pernikahan yang gagal.Di sisi lain kota, Callista berlutut di bawah rintik hujan, menggenggam payung hitam yang nyaris tak berguna karena air matanya lebih deras dari hujan yang turun. Ia menangis di depan pusara kakaknya, merasakan kehilangan yang meremukkan jiwanya hingga ke serpihan terkecil."Kenapa harus secepat ini, Kak? Kenapa harus meninggalkanku?" bisiknya parau, jemarinya yang bergetar menelusuri nama Novita yang terukir pada batu nisan. "Bahkan kau belum sempat menimang Kayla." Callista mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Mata sembabnya menatap lekat pusara itu seolah bisa menembus tanah dan melihat wajah kakaknya sekali lagi."Kak, aku berjanji dengan seluruh hidup
Langit Surabaya berubah kelabu sore itu, seakan mengetahui ketakutan mendalam Callista dan ibunya. Di ruang tunggu Rumah Sakit Graha Husada, Callista berjalan mondar-mandir, setiap langkahnya sarat kecemasan. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar tak karuan. Sudah hampir tiga jam sejak kakaknya, Novita, dibawa masuk ke ruang operasi. Kontraksi yang datang terlalu cepat telah mengejutkan semua orang."Masih belum ada kabar?" tanya ibunya yang baru kembali dari toilet, wajahnya pucat pasi, mata sembab seolah telah menangis diam-diam.Callista menggeleng lemah. "Belum, Bu. Dokter bilang kondisinya kritis. Bayinya harus segera dikeluarkan."Callista menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya serasa dingin. Dalam pikirannya berlarian berbagai kemungkinan buruk yang menghantui seperti bayangan hitam tak berbentuk. Tidak seharusnya kehamilan berakhir seperti ini. Sebulan sudah Novita tinggal di rumah orang tua mereka di Surabaya, sendirian, tanpa ditemani suaminya Zafran
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments