Kini, Airin sudah duduk berhadapan dengan Dyandta. Jarak rumah pribadi dengan rumah sakit cukup dekat. Airin diantar oleh sopir pribadinya sendiri."Ada apa, Nak? Kenapa tiba-tiba meminta Ibu untuk datang?" tanya Airin sedikit cemas. "Wajahmu terlihat gelisah. Ada masalah?"Dyandta mengangguk lemah. Seakan tidak siap mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Pikiran Dyandta melayang entah kemana. Dalam pikirannya, timbul sebuah pertanyaan baru. Mungkinkah Airin juga mengetahui hal ini dan sengaja menyembunyikan semuanya dari Dyandta?Mendadak Dyandta merasa takut akan fakta itu. Ia tak tahu harus apa jika memang itu semua benar. Haruskah ia mempertahankan rumah tangga yang dibangun susah payah olehnya? Bahkan ia sampai bertengkar dengan orang tua kandungnya demi menikahi Damien. Haruskah pengorbanan itu dibalas pengkhianatan?"Dyandta?" Airin menyentuh tangan Dyandta yang berada di atas meja. Wanita itu melamun dan Airin berusaha menyadarkannya. "Ada apa? Katakan pada Ibu. Jangan tutupi
Pukul 20.00 malam, Damien menepati ucapannya pada Airin. Ia pulang ke rumah dengan memakai kursi roda. Damien sudah bisa mendorong kursi rodanya sendiri untuk masuk ke dalam rumah. Sesampainya di ruang tamu, Damien langsung disambut tidak ramah oleh orang tuanya.Sebelumnya, Airin sudah menceritakan semua kebohongan Damien pada Bailey. Itu sebabnya, malam ini Airin dan Bailey menunggu kepulangan Damien di ruang tamu."Ayah, Ibu, kenapa tidak tidur?" tanya Damien tanpa berpikir negatif melihat perubahan sikap orang tuanya."Kami menunggumu sejak tadi," jawab Airin dingin dengan tatapan tidak bersahabat.Damien mengernyit saat melihat tatapan berbeda yang ditampilkan Airin. Setelah itu ia beralih menatap Bailey. Tatapan Bailey juga tak kalah tajam dan mengintimidasi. Damien masih belum menyadari kesalahannya."Ada apa ini? Kenapa sikap kalian berbeda dari biasanya?" tanya Damien bingung.Bailey berdiri dari tempat duduknya, diikuti Airin. Kedua tangan Bailey bersedekap, menatap Damien d
Deborah berjalan tergesa-gesa di koridor rumah sakit, sekitar pukul 05.00 pagi. Ia baru saja mendapat ultimatum dari Dokter Jhonny karena kelakuan buruk Velice, saudara kembarnya yang lahir 5 menit setelah Deborah. Wajah panik Deborah terlihat jelas, meskipun kondisi koridor tidak terlalu terang. Langkah kakinya semakin cepat saat melihat Velice keluar dari ruang rawat salah satu pasien di sana.Napas Deborah sudah sangat memburu. Marah bercampur lelah. Deborah tak menyangka kelakuan adiknya bisa berdampak juga pada karirnya. Dokter Jhonny memberi ancaman padanya."Kau akan dipecat dari rumah sakit ini, jika tidak bisa menasehati Velice." Begitulah ancaman keras Dokter Jhonny pada Deborah. Meskipun hanya sebuah gertakan, Dokter Jhonny tidak akan segan melakukan itu pada Deborah. Karena sebelumnya, Dokter Jhonny sudah melaporkan hal ini pada atasannya di rumah sakit itu.Deborah menarik paksa Velice dan menjauhkannya dari meja resepsionis. Cengkraman tangan Deborah pada lengan Velice b
Dyandta baru saja menghentikan mobilnya, tak jauh dari rumahnya saat ini. Rasa ragu untuk pulang ke rumah muncul di hati Dyandta. Haruskah ia pulang detik ini juga? Siapkah dirinya melihat wajah Damien yang sudah mengkhianatinya? Ah, entahlah. Semua pertanyaan yang berputar di otak Dyandta membuat pusingnya semakin bertambah.Saat hendak melajukan mobilnya lagi, tiba-tiba ponsel yang ada di kursi bagian kanan berdering. Dyandta mengurungkan niat untuk melajukan mobilnya. Diterimanya panggilan telepon dari nomor yang tidak tersimpan di kontak ponselnya."Halo," jawab Dyandta. "Ini Dokter Dyandta. Ada yang bisa dibantu?""Halo, Dok. Saya Deborah, saudara kembar Velice."Dyandta terdiam. Tak menyangka. Ternyata yang menghubunginya saat ini adalah saudara kembar dari wanita yang telah berani menggoda suaminya. Dyandta menggenggam erat ponsel yang masih menempel di telinganya. Rasa marah pun muncul saat mengingat kembali rekaman video itu."Dok, tolong dengarkan saya. Saya baru mengetahui
"Apa yang akan kau lakukan untuk membuat adikmu itu jera?"Dyandta melontarkan pertanyaan pada Deborah setelah beberapa detik terdiam. Memikirkan segala hal buruk yang akan terjadi karena pengkhianatan ini.Dyandta memperhatikan gelengan kepala Deborah. Ia tahu, wanita itu juga bimbang untuk melakukan sesuatu. Velice adalah saudara kembarnya dan mustahil jika Deborah menyakiti Velice."Saya masih belum memiliki rencana apapun, Dok. Saya bingung," ujar Deborah jujur."Hhh!" Dyandta menghela napas panjang untuk sesaat. "Kau hanya perlu melakukan satu hal."Deborah mengernyit. "Apa itu, Dok?""Awasi pergerakan mereka seperti biasa. Jika waktunya tepat, silahkan abadikan kebersamaan mereka melalui rekaman video, atau foto. Apa kau bisa melakukannya?"Deborah mengangguk cepat. "Ya. Saya bisa, Dok.""Bagus. Hubungi saya setiap kali kau melihat mereka akan pergi keluar. Untuk urusan di luar, biar saya yang urus. Kau urus yang terjadi di rumah sakit saja," ujar Dyandta menjelaskan setelah men
"Kau harus meninggalkannya, Damien!"Damien menepis tangan Velice dengan kasar. Kemarahan itu terlihat jelas di wajah tampan Damien. Pria itu benar-benar sudah bisa berjalan normal. Posisinya saat ini berada di salah satu pusat perbelanjaan. Sejujurnya, Damien enggan pergi ke tempat tersebut. Tapi Velice memaksa karena ingin membeli salah satu tas mahal yang stoknya terbatas. Itu sebabnya Velice memaksa Damien saat Damien berpura-pura mengikuti terapi di rumah sakit."Apa yang kau pandang dari wanita itu, hah? Dia tidak cantik dan super sibuk. Bahkan dia tidak punya waktu banyak untuk menemanimu terapi. Apa itu belum cukup untuk membuktikan bahwa dirinya tidak layak menjadi seorang istri?"Damien menatap Velice dengan tajam. "Tutup mulutmu itu! Tidak semudah itu meninggalkan wanita yang sudah berkorban banyak untukku. Kau tidak sebanding dengannya. Dia seorang dokter, dan kau hanya suster. Bahkan prestasinya jauh lebih besar daripada kau.""Lalu, kenapa kau mengencaniku?!""Aku tidak
Tepat di saat bersamaan, Damien dan Dyandta tiba di rumah. Mereka saling bertatapan dalam diam. Ada rasa canggung karena masalah ini. Meskipun Damien sudah ada di depan mata, bibir Dyandta seakan sulit untuk bergerak. Harusnya Dyandta mengatakan apa yang sudah dirancang pikirannya. Tapi sulit sekali rasanya untuk mengutarakan itu semua."Kau darimana?" tanya Damien lembut. Pria itu berdiri dari kursi rodanya secara perlahan. Rasa sakit di lutut saat berdiri masih bisa dirasakan Damien. Ia sedikit meringis kecil.Dyandta gugup. Keringat dingin mulai menyelimuti tubuhnya. Apa yang harus ia jawab untuk pertanyaan itu? Haruskah ia mengatakan bahwa dirinya baru saja menemui George yang memergoki Damien bersama Velice?Saat Dyandta masih bermain dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba saja Damien mendekat. Membuat Dyandta sedikit menegang dan sulit untuk bergerak ke belakang. Ia ingin menghindari pria itu. Tapi kedua kakinya sama sekali tidak memberi dukungan.Kedua tangan Dyandta digenggam da
Damien menyugar rambutnya ke belakang setelah selesai mandi. Handuk berwarna putih masih melilit di pinggangnya, menutupi area sensitif hingga ke lutut. Sementara tubuhnya masih belum mengenakan apapun.Tadi, setelah meminum teh lemon buatan istrinya, Damien memutuskan untuk mandi. Tubuhnya terasa gerah dan lengket. Sekarang, ia sudah merasa segar dan siap untuk mengajak sang istri jalan-jalan, menikmati sore yang indah di pantai sambil menunggu senja.Damien menggunakan deodorant yang ada di atas meja rias, kemudian menyemprotkan parfum kesukaannya di beberapa area tubuh. Setelah itu, Damien meraih kaos berwarna putih serta celana jeans hitam favoritnya. Damien memakai pakaiannya dengan cepat, lalu merapikan rambutnya yang masih basah.Saat dirinya hendak beranjak keluar, ponsel yang sempat ia abaikan pun berdering. Letak ponsel itu ada di atas meja rias. Satu panggilan dari Velice, wanita yang terobsesi padanya."Apa dia tuli? Atau amnesia? Aku sudah mengatakan untuk tidak menghubun