Share

Bab 4

Author: Wii
last update Last Updated: 2021-05-02 21:48:01

Setelah puas melepaskan seluruh kesedihannya, Damien pun pamit pulang pada Bailey dan Airin. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan pun juga tidak terlalu padat hingga membuat Damien bisa sedikit santai mengemudikan mobilnya. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan perkataan orang tuanya. Haruskah ia mengakhiri semua ini? Apa tidak bisa ia perbaiki dulu?

Damien menghela napas berat ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Ia pun menghentikan mobilnya sambil tetap memikirkan banyak hal. Sepertinya besok Damien juga belum bisa masuk kantor, karena permasalahannya cukup berat. Ia mungkin tidak akan bisa fokus jika dalam kondisi seperti ini.

Saat Damien menoleh ke arah kirinya, tampaklah seorang wanita tengah berjalan gontai sambil merangkul pria di sampingnya. Wanita itu sudah pasti Cacha. Damien mengepalkan tangannya erat lalu turun dari mobil dan menghampiri Cacha bersama kekasih gelapnya itu. Tanpa pikir panjang, Damien langsung memukul Albert bertubi-tubi hingga kekasih Cacha itu tak mampu lagi untuk berdiri.

“Apa-apaan kau ini, hah?!” teriak Cacha sambil mendorong tubuh Damien lalu melihat kondisi Albert yang tampak kesakitan. “Berani sekali kau memukul kekasihku!”

“Aku berhak memukulnya, karena dia sudah merebut kau dariku!” balas Damien dengan seluruh amarahnya. “Itu masih belum seberapa. Aku bisa lebih menggila lagi untuk menghukumnya.”

“Kita sudah cerai! Kau tidak berhak mengganggu kehidupan baruku!”

Damien mendengus kesal. “Aku belum menandatangani surat itu. Jadi kau masih menjadi istriku. Dan ya, aku akan menuntut kekasih gelapmu itu ke pengadilan karena sudah merebut istriku.”

Cacha yang semakin geram pun langsung berdiri dan menampar Damien, hingga pipi kiri pria itu memerah sempurna. “Jangan coba-coba menantangku, Damien! Kau pikir, kau siapa, hah? Kau itu cuma benalu di kehidupanku. Kau tidak berguna untukku. Aku bahagia bersamanya dan kau tidak berhak mencampuri urusanku.”

Albert yang masih duduk di bawah pun tertawa mengejek kearah Damien. Sepertinya, ia puas saat mendengar perkataan Cacha yang begitu membela dirinya daripada suaminya itu. Albert tak menyangka, rencananya untuk menghancurkan rumah tangga Damien berhasil dengan sempurna.

“Berhenti tertawa!” bentak Damien.

“Apa hakmu melarangku tertawa, hah? Kau sudah dengar ucapan Cacha, bukan? Dia lebih mencintaiku daripada kau. Lebih baik kau mundur saja dan tidak perlu repot-repot melaporkanku,” ujar Albert dengan senyum miringnya.

Damien mengepalkan tangannya. “Kau memang pria bajingan. Kau sudah tahu dia punya suami, dan kau masih mengganggunya.”

“Bukan aku yang mengganggunya. Tapi dia yang mau denganku. Aku tidak memaksanya,” ujar Albert angkuh.

“Ya, terserah apa katamu. Dimataku, kau hanya seorang pengganggu rumah tangga orang. Kau bahkan tidak pantas untuk dipuja wanita. Kau hanya seorang pria murahan,” ucap Damien sarkas.

“Apa katamu?!”

Albert mencoba berdiri dan hendak memberikan pukulannya pada Damien. Namun Damien langsung menahan tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat sampai Albert memekik kesakitan. Albert merasa tulang-tulangnya akan patah jika cengkeraman itu tidak segera dilepaskan. Sementara Cacha terus berteriak dan berusaha untuk melepaskan tangan Damien dari tangan kekasihnya.

“Lepaskan dia, Damien!” teriak Cacha.

“Kenapa? Bukankah kekasihmu ini kuat? Dia pasti bisa melepaskannya sendiri,” ucap Damien dengan senyum miringnya.

“Kau gila, hah?! Tangannya bisa patah!”

“Cih! Biarkan saja. Memang itu yang kumau,” ujar Damien.

Cacha geram dan memukul Damien dengan tasnya. Namun hal itu tak mampu menolong Albert sama sekali. Tubuh Damien lebih kekar dibanding Albert. Bahkan Damien sempat terpikir, apa yang dilihat Cacha dari pria di hadapannya ini? Tubuhnya juga tidak kekar. Hatinya tidak baik, karena sudah berani mengganggu istri orang.

“Damien, lepaskan dia!”

“Ca, tolong aku!” rintih Albert.

Damien hanya tertawa melihat rintihan dari pria itu. Sungguh memalukan. Batin Damien. Damien merasa bahwa ini hukuman yang pantas didapatkan Albert. Untung saja kerjasama produk barunya itu dibatalkan dengan cepat. Jika tidak, mungkin pria di hadapannya ini akan bertindak sesuka hati padanya.

“Damien!” teriak Cacha lagi.

Damien menatap Cacha. “Masuk ke mobilku sekarang juga. Aku akan melepaskannya setelah itu.”

“Tidak. Aku tidak mau,” tolak Cacha.

“Baiklah.”

Damien semakin mengeratkan cengkeramannya dan Albert juga semakin berteriak kesakitan. Cacha pun terkejut dan kembali memukul Damien. Namun pukulan itu justru semakin membuat Damien tak ingin melepaskannya. Mendengar Albert memohon-mohon seperti itu benar-benar membuatnya bahagia. Mungkin ini yang dinamakan jiwa psikopat?

“Aargghh!” teriak Albert lagi.

“Ya, baiklah. Aku akan ikut denganmu. Tapi lepaskan dia,” kata Cacha.

“Kau masuk dulu ke mobil, baru aku lepaskan.”

Cacha mendengus kesal sambil berjalan ke arah mobil Damien lalu masuk kedalam. Setelah itu, Damien melepaskan tangan Albert dan bergegas pergi. Membiarkan Albert kesakitan di sana. Sendirian.

“Aku sudah memutuskan untuk tetap mempertahankanmu, Ca. Aku yakin, kau masih mencintaiku,” batin Damien.

***

Kini Damien dan Cacha duduk berdampingan di atas kasur. Cacha sendiri masih membuang wajahnya, enggan untuk melihat Damien. Sementara Damien senantiasa memandang istrinya. Pria itu masih berharap Cacha kembali mencintainya dan meninggalkan Albert. Ia belum siap untuk berpisah dengan Cacha.

“Kenapa kau berubah, Ca?” tanya Damien membuka pembicaraan. “Apa aku pernah membuat sakit hati? Jika memang pernah, katakan saja padaku. Aku akan menerimanya.”

“Bukannya sudah kukatakan kalau aku tidak mencintaimu. Aku hanya mencintai Albert. Kau hanya kuanggap sebagai pelarianku saja,” ujar Cacha tetap dengan posisi wajah yang sama.

“Pelarian?”

“Iya, pelarian. Aku dan Albert sudah pernah berhubungan sebelumnya. Tapi dia sempat meninggalkanku begitu saja tanpa kabar. Saat kau datang, aku hanya memanfaatkanmu sambil menunggu kabar dari kekasihku. Aku yakin, dia kembali. Dan ternyata dugaanku benar,” kata Cacha menjelaskan.

Damien pun terkejut. Jadi selama ini, dia hanya menjadi tempat pelarian saja? Tidak ada cinta yang tulus dari Cacha untuknya? Astaga. Kenapa harus seperti ini? Pikir Damien.

“Perlu aku tekankan sekali lagi bahwa aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya mencintai Albert. Bahkan Albert rela meninggalkan istrinya demi aku. Jadi, aku akan melakukan hal yang sama yaitu meninggalkanmu demi dia,” lanjut Cacha sarkas.

Damien memalingkan wajahnya saat airmata itu jatuh dari pelupuk matanya. “Kenapa kau tega mempermainkan perasaanku, Ca? Jika memang kau tidak mencintaiku, harusnya kau tolak saja lamaranku saat itu. Jika sudah begini, aku bisa apa? Aku sudah terlalu mencintaimu. Bahkan lebih dari nyawaku sendiri.”

“Aku tidak peduli.”

Damien memejamkan matanya sejenak. “Ya, aku tahu itu.”

“Jika sudah tahu, kenapa kau menggangguku, hah? Harusnya kau tandatangani saja surat itu dan biarkan aku hidup bahagia bersama Albert,” kata Cacha tegas.

Damien menggeleng. “Aku belum siap berpisah denganmu. Tolong, kasih aku waktu untuk memikirkannya.”

“Terserah. Jika terlalu lama, aku akan menikah terlebih dulu dengan Albert. Aku tidak peduli padamu,” ucap Cacha sambil keluar dari kamar utama menuju kamar tamu.

Damien hanya bisa diam sambil menangis tanpa suara. Hatinya benar-benar hancur. Ia bingung, yang salah itu dirinya atau Albert? Andai saja dia tahu lebih awal, mungkin hatinya tidak akan sehancur ini.

Beberapa menit kemudian, Damien teringat akan ucapan ayahnya. Ia harus memeriksa beberapa berkas penting tentang perusahaan. Jika memang Cacha hanya menginginkan hartanya, kemungkinan besar ia pasti akan mengambil berkas kepemilikan perusahaan. Damien tidak mungkin tinggal diam jika itu memang benar.

Damien berjalan menuju meja kerjanya lalu memeriksa beberapa dokumen penting di laci. Ia melihat ada beberapa berkas yang berantakan. Bahkan beberapa stempel juga hilang. Damien pun terus mencari berkas kepemilikan perusahaan itu, berharap berkas itu tidak hilang dari tempatnya.

“Astaga. Dimana berkas itu?” gumam Damien mulai panik saat berkasnya tidak ada di tempat biasa.

Damien mencoba mencarinya kembali. Barangkali ia lupa meletakkannya. Ia pun membongkar laci yang ada di lemari pakaian, namun tidak menemukan apapun di sana.

“Tidak mungkin berkas itu hilang begitu saja. Aku sudah meletakkannya dengan baik. Pasti dia yang mengambilnya.”

Damien pun langsung menemui Cacha di kamar tamu. Meskipun pintunya dikunci, Damien tetap bisa membukanya. Ia pun membangunkan Cacha yang sudah tertidur.

“Dimana berkas kepemilikan perusahaanku?” tanya Damien.

“Aku tidak tahu,” jawab Cacha malas.

Damien mendesis. “Jangan berbohong. Aku tahu, kau yang mengambilnya. Aku tidak pernah menyentuh berkas itu.”

“Kenapa kau menuduhku? Mungkin saja ada penyusup,” ujar Cacha kesal.

“Ya, kau penyusupnya,” tuduh Damien. “Karena yang tahu letak berkas itu hanya kau dan aku. Tidak mungkin ada orang lain yang mengambilnya begitu saja dengan mudah.”

Cacha berdiri dan menatap tajam Damien. “Berani sekali kau menuduhku, hah?! Mana buktinya?!”

Damien mengeluarkan ponsel dan memutar rekaman cctv di kamarnya. Di sana terlihat jelas memang Cacha yang mengambilnya. Jadi, sebelum ke kamar Cacha, ia memastikan terlebih dulu melalui cctv. Untung saja Damien memasang cctv itu di kamarnya.

“Masih mau mengelak?” tanya Damien.

Cacha pun terlihat gelagapan. “Ya, memangnya kenapa?”

“Kembalikan berkas itu sekarang juga,” ujar Damien.

“Aku tidak mau.”

“Baiklah. Aku akan menghubungi polisi dan menyerahkan bukti ini pada mereka. Setelah itu, kau akan ditangkap dan di penjara. Lalu Albert, dia akan meninggalkanmu selamanya,” kata Damien, mengancam.

Cacha ketakutan. Ia tidak ingin hidupnya berakhir di penjara. Belum tentu Albert akan menolongnya. Bagaimana ini? Batin Cacha.

“Apa kau masih tidak ingin mengembalikannya?” tanya Damien.

“Ya, baiklah. Aku akan kembalikan, tapi sebelum itu hapus videonya,” ujar Cacha.

Damien tersenyum lalu menggeleng. “Tidak akan. Video ini akan kuhapus setelah kau mengembalikan berkasnya. Aku beri waktu sampai besok siang. Jika tidak, kau akan berurusan dengan polisi.

Setelah itu, Damien pergi dengan sedikit senyum kemenangan. Ternyata dugaan ayahnya benar. Cacha ingin menguasai perusahaannya sekaligus hidup bahagia dengan Albert. Wanita itu benar-benar ingin menghancurkan kehidupannya.

“Tidak akan kubiarkan kau mengambil alih perusahaanku,” gumam Damien.

TBC~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 117

    Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 116

    Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 115

    "....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 114

    "Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 113

    Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang

  • An Empty Heart (INDONESIA)   Bab 112

    "Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status