Share

Bab 4 - Paman Damar

“Sera...”

Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam.

Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri.

“Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya sebelum menghilang di udara.

“Aku tidak lapar,” tukas Sera dengan suara kecil, hampir kehilangan tenaga. Ia pun segera merebahkan dirinya di atas ranjang dan membelakangi Aditya, menutupi tubuh dengan selimut tebal berwarna corak acak.

“Jangan begitu...!” Pemuda tersebut mulai menyergah. Hembusan nafasnya terdengar sedikit kasar, seakan menjawab sikap sang adik yang tidak mengacuhkan kehadirannya. Ia meletakkan nampan di atas meja plastik. Bunyi nyaring deritan kayu-kayu penyangga kasur terdengar singkat saat menggeser posisi duduk, mengisi keheningan kamar sesaat.

“Sejak kemarin kau belum makan apa-apa. Kau bisa sakit,” tambahnya sambil menatap lurus punggung sang adik yang terbalut selimut. Gadis berambut merah tersebut tidak menjawab. Keheningan kembali merambat, menyisakan suara angin yang terdengar seperti siulan saat menembus celah-celah kecil di jendela.

Aditya menghela nafas lantas menyandarkan tempurung kepalanya ke dinding. Kedua mata sayunya menatap jauh ke arah plafon putih yang sebagian permukaannya telah terkelupas dan mendapati seekor laba-laba tengah meniti benang-benang kelabu. Berulangkali laba-laba itu tergelincir dari titian saat terhempas angin yang masuk melewati ventilasi kamar, namun nasib baik membuatnya selalu terselamatkan dengan menambatkan salah satu kakinya pada seutas benang.  

“Sera...” ujar Aditya pelan dengan kedua matanya yang masih menatap langit-langit kamar. Suaranya yang berat terdengar sedikit bergetar, seakan mengetahui apa yang tengah dipikirkan sang adik. “Terkadang ada beberapa hal yang tidak kita mengerti di dunia ini. Seperti kematian ayah.” Pemuda tersebut terdiam sejenak. Suara nafasnya terdengar samar beradu dengan detakan jam. Laba-laba yang dilihatnya mulai berjalan menjauh dan menghilang, tersamarkan oleh warna plafon. “Mungkin sudah waktunya ayah meninggalkan kita untuk menemani ibu di sana.”

Merasa suaranya tercekat, kedua kelopak mata pemuda tersebut ditutup rapat-rapat hingga membentuk beberapa garis kerutan. Kata-kata rutukan menggema keras dalam hati atas takdir pahit yang menjerumuskannya dalam kubangan kesedihan. Kepergian kedua orang tuanya masih membuatnya terpukul, sampai-sampai muncul harapan dalam benaknya bahwa semua ini adalah bagian dari rangkaian mimpi buruk.

Dok! Dok! Dok!

Sebuah ketukan keras yang berasal dari pintu depan memaksa Aditya membuka kelopak matanya kembali. Buru-buru ia menegakkan punggung sambil memasang baik-baik pendengarannya untuk memastikan. Sekitar empat detik berselang, ketukan keras tersebut terdengar kembali. Pemuda tersebut langsung beranjak dari ranjang tanpa menghiraukan Sera yang masih terbaring. Pandangannya tak berhenti menatap pintu utama, seolah tengah berusaha menembus lembaran kayu tebal tersebut untuk melihat si pengetuk.

Langkah Aditya terhenti sesaat sebelum memutar grendel. Ia mendekatkan wajahnya ke daun pintu dan membiarkan mata kirinya mengintip dari lubang kunci. Dari sudut pandang yang terbatas, ia menangkap sosok pria gemuk bertopi yang berdiri di balik pintu. Dan tampaknya ia disibukkan dengan jas cokelat yang berulang kali dikibas-kibaskan. Aditya kembali menarik wajahnya dengan beribu pertanyaan dalam otak. Dengan ragu-ragu, tangannya mulai bergerak perlahan memutar grendel pintu.

“Oh, akhirnya...” Pria gemuk itu menyambut dengan gumaman dan helaan nafas lega saat pintu terbuka. Ia segera melangkah mendekat sambil menahan topi hitam yang bertengger di kepala sebelum diterbangkan angin. “Kau pasti Aditya kan? Ah, kau masih sangat muda ya, Nak,” ucap pria tersebut seraya mengusap keringat di wajah dengan sapu tangan kelabu.

Aditya tak bisa menahan kerutan pada dahi dan langsung mengamati pria asing tersebut dari ujung topi hingga ujung sepatu. Jas cokelat yang dikenakan membalut rapi tubuh gemuk yang lebarnya hampir melebihi daun pintu. Perutnya buncit dengan beberapa kancing kemeja yang mencuat, seperti hendak terlepas. Beberapa kerutan di sekitar kantung matanya terlihat, serta wajah yang dihiasi dua pipi gemuk, beradu dengan ketinggian hidung.

“Maaf, anda...,” Aditya mulai membuka suara.

Pria gemuk itu tersenyum simpul. Kedua bibir yang tertarik menekan kedua pipinya yang bulat dan menjadikannya terlihat seperti kue pau. “Ah maaf, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Damar, rekan kerja Sagara,” sebutnya seraya mengulurkan tangan kanan ke arah Aditya.

Kedua mata Aditya membulat. Ia pun segera menjabat tangan pria tersebut dengan sedikit merasa bersalah. “Maaf, saya tidak tahu kalau paman—”

“Tidak apa-apa. Aku mengerti, pasti kau belum pernah mendengar namaku dari Sagara, kan?” potong Damar tersenyum menanggapi.

Pemuda tersebut hanya tersenyum keki tanpa memandang wajah Damar. Ia pun segera memundurkan langkah dan menggenggam grendel. “Silakan masuk, Paman,” ujarnya sambil mendorong daun pintu dengan punggung agar terbuka lebih lebar.

“Tidak perlu,” tukas Damar dengan cepat. Ia pun membalikkan badannya yang gemuk dan mengangkat kardus dengan kedua lengan yang besar. “Aku hanya mampir sebentar, sekalian mengantarkan barang-barang ayahmu yang tertinggal di kantor,” imbuhnya.

Buru-buru pemuda tersebut memindahkan kardus itu ke tangannya setelah mengucapkan terima kasih. Paha kanannya diangkat sesaat untuk menyangga kardus. Dari ekor matanya, pria gemuk tersebut terlihat tengah mengamati rimbunan sirih merah yang menutupi hampir seluruh dinding bagian luar.

“Hm, aku masih penasaran apa yang dia pikirkan saat membiarkan daun-daun ini tumbuh menguasai rumah,” decaknya kagum sambil tetap tidak melepaskan pandangan. Tangannya yang besar terulur, memegangi sehelai di antaranya yang perlahan bergerak tertiup angin. “Apa kau tidak merasa kesulitan merawat mereka?”

Aditya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Ia mengamati pria gemuk yang masih asyik memandangi dedaunan sirih yang masih saling bergesekan tertiup angin dan mengeluarkan suara berisik nyaring.

“Ayahmu adalah pria baik yang sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri. Sampai hari ini aku masih sulit untuk mempercayai kalau dia sudah tiada,” tambah Damar pelan sembari menatap jauh ke arah dedaunan.

Bibir Aditya terlipat sembari menundukkan tanpa menanggapi. Sekelebat wajah Sagara yang tiba-tiba melintas membuat air mukanya berubah. Namun hal itu tak berlangsung lama saat ekor matanya tanpa sadar menangkap gerakan si pria gemuk yang tiba-tiba menyikap sedikit lengan baju untuk melihat arloji. Aditya pun segera menghirup nafas dalam-dalam dan berusaha mengubah raut wajah dengan menarik sedikit bibir.

“Hm... Sepertinya aku harus kembali bekerja,” ujar Damar sambil menutup kembali arloji besar yang melingkari pergelangan tangan. Kedua matanya memandang pemuda tersebut dengan tatapan iba, seperti tak tega melihat keadaannya saat ini tanpa kedua orang tua yang menemani. “Jaga dirimu baik-baik ya,” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu Aditya dengan kedua tangan dan beranjak meninggalkan tempat tersebut dengan langkah kaki yang lebar.

Pemuda tersebut memandangi sosok gemuk melintasi halaman rumah. Tubuh Damar yang besar membuat kedua kakinya sulit bergerak cepat. Sekitar beberapa langkah dari mobil hitam kusam yang terparkir di depan pagar, pria tersebut berhenti dan membalikkan badan.   

“Jika butuh sesuatu, kau bisa datang ke rumahku kapan saja, nak. Pintuku selalu terbuka untukmu,” ujar Damar tersenyum sambil memegangi topinya yang hampir tertiup angin.

Aditya melayangkan senyuman tipis untuk menanggapi. Pria gemuk tersebut membalikkan tubuh dan melanjutkan langkahnya hingga masuk ke dalam mobil. Suara mesin tak lama kemudian meraung, diiringi laju mobil yang mulai bergerak dan menghilang di balik belukar.

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Martua Samosir
bagus cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status