Share

Bab 3 - Sebelum Hari Kelabu Tiba

Dua Hari yang lalu....

“Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia  berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’.

“Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurnal yang telah menguning, hingga jam dinding yang bagian pinggirnya berlapis ukiran kayu rumah tidak luput dari pandangan. Namun dari semua itu, ia justru tertarik pada pemandangan kebun bunga Aditya di balik jendela berkusen tinggi di dekat meja kerja.

Deritan engsel besi berkarat mulai terdengar saat daun jendela dibuka perlahan. Angin hutan seketika menyerbu masuk, mengantarkan kesejukan dan butiran-butiran serbuk sari yang melayang di udara. Hamparan warna-warni bunga yang semula terpantul pada kornea mata, diabaikan begitu saja. Gadis kecil itu lebih memilih untuk memejamkan mata, merasakan hembusan angin pada wajah yang juga menerbangkan beberapa helai rambut merahnya yang indah, hingga tanpa sadar membuat pikirannya berkhayal akan kastil impian setiap putri raja yang selalu di baca dalam buku-buku tebal. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama saat sayup-sayup suara sang ayah mulai terdengar karena diterbangkan angin. Sera seketika tersenyum, membenarkan dugaan pintarnya. Karenanya ia segera menekan kedua siku tangan pada kusen jendela yang memudahkannya untuk mengintip. 

“Sial!!”

Sebuah makian keras sontak membuat si gadis kecil tersentak hingga menolehkan kepalanya ke bagian sisi kiri kebun. Senyuman manis yang semula terhias di bibir seketika menghilang. Kini kedua matanya hanya tertuju pada sosok pria yang tengah menunduk sambil menggenggam kertas putih yang sudah koyak. Melihat hal itu, Sera hanya terdiam —meskipun rasa herannya tidak dapat menahan kerutan di dahi— dan memutuskan untuk meletakkan surat di meja kerja begitu saja. Namun sedetik kemudian, pandangannya teralih pada sebuah kotak kayu yang tergeletak di meja. Cahaya matahari siang yang terbias dari jendela, menampakkan keindahan setiap sudut ukiran dan memanjakan siapapun yang melihatnya. 

“Sejak kapan ayah punya kotak aneh seperti ini?” batinnya heran sambil membolak-balikkan benda di tangannya, meneliti dari berbagai sisi yang hampir seluruhnya dipenuhi oleh ukiran kayu dan debu. "Selama di sini, aku sama sekali tidak pernah melihat benda ini sebelumnya."  

“Apa yang kau lakukan?!”

Seruan keras tiba-tiba membuat Sera tersentak, hingga tanpa sadar menjatuhkan kotak kayu ke permukaan meja. Pandangannya ditolehkan ke arah Sagara yang entah sejak kapan telah berdiri di pintu kamar dengan kedua mata merah menatap tajam ke arahnya. Gadis kecil itu seketika menyunggingkan senyum untuk menutupi keterkejutannya lantas mengangkat kembali kotak kayu temuan untuk ditunjukkan. Namun, belum sempat mengucapkan sepatah kata, pria tersebut berjalan cepat dan langsung merebut benda tersebut.

Sera seketika tidak bergeming, lebih tepatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bentakan serta tatapan tajam sang ayah tidak bisa dilupakannya begitu saja. Ia masih tetap berdiri di tempat sambil tak berhenti menatap Sagara yang membelakanginya, dan terlihat sibuk mengutak-atik kotak dengan gelisah. Dengan rasa takut yang tanpa sadar membuat tubuhnya gemetaran, ia perlahan berkata, “A-Ayah... Maaf. Aku tadi tidak sengaja melihat kotak itu di meja. A-aku tidak tahu ka—,” 

Duk!

Bantingan keras penutup kotak membuat gadis kecil itu terkesiap. Beberapa perkataan yang akan keluar dari mulut ditelan kembali dengan paksa. Sedetik kemudian, Sagara menolehkan kepalanya sedikit ke arah kanan, hingga dapat menangkap sosok berambut merah dengan ekor matanya. “Jangan sekali-kali menyentuh barang pribadiku!” titahnya dingin.

Gadis tersebut terdiam membatu, tertegun dengan sikap aneh sang ayah yang tidak pernah dilihatnya selama ini. Sosok yang selama ini dikenal baik dan ramah, dalam sekejap berubah menjadi seperti orang asing. Ia bahkan bisa merasakan desiran darah yang mengalir cepat dalam tubuh. Dengan iringan permintaan maaf yang hampir tidak terdengar, Sera segera meninggalkan ruangan tersebut tanpa berhenti menyisakan raut wajah yang penuh tanda tanya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status