"Ibu pastikan tahta itu hanya untukmu."
Rosetta melempar pisau kecil mengenai sebuah apel merah yang tampak segar. Kini tatapannya tajam, seakan siap menyingkirkan siapapun yang berani menghalangi tujuannya. Dengan semua ini jalan masihlah sangat panjang bagi Cassian dan ibunya. Posisi yang tidak aman bahkan dalam istana yang merupakan haknya, juga tidak ada bantuan dari siapapun. Hidup dan mati ada ditangannya. Alactra tak berucap apapun setelah itu, pandangannya nampak kosong sekakan tak terbesit sesuatu apapun dalam pikirannya. Ia hanya memberikan hormat kepada sang ibu lalu meninggalkan ruangan itu, menapak lantai dan kembali menuju kediamannya. *** Paviliun putra mahkota Alactra Derek Magnus Alactra sedang termenung dalam duduknya, dengan menghadap jendela. Ia sibuk namun juga tak fokus berbincan dengan sang penasehat. Dokan Laryn Dokan Laryn sendiri merupakan seorang sarjana muda yang direkrut permaisuri untuk membimbing putra tertuanya. Ia merupakan lulusan terbaik dari akademi paling bergengsi di kekaisaran, yaitu akademi Hanzard. Akademi Hanzard adalah wadah pendidikan yang sudah terbukti kredibilitasnya di kekaisaran, bahkan sudah dibangun sebelum terbentuknya kekaisaran Magnus. Tak hanya itu saja, sekolah yang dipilih Alactra itu telah meluluskan berbagai talenta terbaik dari setiap penjuru kota. Bahkan Valerius sang kaisar juga merupakan lulusan terbaik dari akademi tersebut. Dengan mengetahui hal itu, lama kelamaan tercipta sebuah tradisi tak tertutulis bagi seluruh keturunan kaisar untuk menempuh pendidikan di akademi Hanzard. "Apa yang anda khawatirkan putra mahkota?" Ucap Dokan Laryn. Jarinya mengitari permukaan cangkir teh yang ada dihadapannya. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu berparas menawan dengan rambut biru gelap. Badannya yang proporsional sangat apik mengenakan pakaian tunik berbahan sutra, dan sepatu kulit. "Bukan hal penting." "Terkandang aku letih dengan segala rencana ibu." Dokan tersenyum miring, ia meraih secangkir teh dihadapannya, meneguknya dengan pelan. "Hal wajar, sebagai penerus tahta." "Anda memiliki beban yang berat." Bunyi ketukan sepatu Alactra terdengar ringan, ia menerawang ke arah jendela luar setengah tak sadar. Jemarinya mengetuk meja beberapa kali seakan terhanyut dalam lautan kata. "Yang mulia, anda bisa membagi beban itu kepada saya." Dokan meraih secarik kertas yang kosong dengan pena juga tinta. "Aku tidak mengerti kenapa ibu begitu khawatir tentang tahta, aku melihat anak ayah yang lain tak terlalu peduli akan hal itu." "Lalu, bukankah artinya segala kewaspadaan ibu hanya membuang-buang waktu?" Ucap Alactra, matanya terkesan sayu namun tajam, ia berusaha menumpahkan segala hal yang mengganjal dalam pikirannya. "Yang mulia permaisuri tau benar bagaimana dinamika keluarga bangsawan." "Bukan membuang waktu, melainkan berjaga-jaga." Dokan mulai menulis sebuah kalimat demi kalimat pada kertas itu. "Lupakan saja." Begitulah kalimat terakhir Alcatra sebelum kembali melamun dalam dunianya sendiri. Sementara itu, esoknya. Pagi-pagi sekali Cassian sudah pergi ke area training untuk memulai latihannya. Banyak hal yang telah ia pikirkan. Mendapatkan keamanan selama berada di istana adalah hal yang masih menjadi prioritas. Karena memiliki keuntungan berlapis, diantaranya untuk melindungi sang ibu lalu untuk membangun citra dan kekuasaan. Kemudian mempelajari soal sihir kuno dan membuat koneksi dengan orang- orang penting, terakhir sebagai bonus tak lupa harus mendapatkan pengakuan dari kaisar. Namun pertama-tama hal yang paling dasar adalah mengasah kemampuan untuk menjaga diri sendiri. Pertama adalah latihan fisik. Untuk meningkatkan energi, Cassian berlari mengelilingi lapangan beberapa kali hingga keringatnya bercucuran. "Sungguh ini belum cukup." "Kenapa di novel-novel yang kubaca mereka semua tampak ahli dalam hal seperti ini?" TUK. Cassian merasakan benda kecil menghantam kepalanya dengan ringan. TUK. Cassian segera menoleh, ia melihat sekeliling, mengamati setiap sudut area untuk mencari dari mana datangnya hantaman kecil itu. "Pftt...kekeke." Terdengar suara cekikikan entah darimana, Cassian tak dapat melihat rupa maupun bentuk manusia yang membuat suara itu. Cassian menaikkan alisnya, badannya menoleh kearah kiri dan kanan karena penasaran. "Keluar!" "Jika tidak aku akan menghancurkan area training ini!" Suara menjadi hening, Cassian melanjutkan langkahnya untuk berkeliling dan mengecek setiap sudut sampai ia mendengar kembali suara bisikan dari arah tumpukan senjata. "Pssh dia benar-benar bodoh, siapa juga yang akan muncul karena ancaman konyol itu?" Tangan Cassian dengan cepat menarik sosok dari balik ruang yang terhalang tumpukan pedang disudut area latihan. Ditentengnya keatas sosok itu, ia dapati hingga terlihat dua bulu ekor yang berkibas ke kanan dan kiri dengan nakal. "Kena kalian!" Dua ekor rubah anakan tersentak. "Kyaaaa!" "Manusia itu berhasil menangkap kita kakak!" "Hu..hu..hu..hu" "Le-lepaskan!" Telinga mereka bergerak ringan dan kikuk menandakan kewaspadaan terhadap musuh. Dua ekor rubah ini pastilah hewan sihir liar dari hutan merah. Rubah yang satu berwarna putih dan satu lagi berwarna hitam. Hutan merah awalnya adalah hutan biasa tak jauh berbeda dari hutan-hutan lainnya. Namun pada suatu ketika memasuki musim kemarau panjang, tiba-tiba turunlah hujan berwarna merah yang nampak seperti darah, para populasi didalamnya mulai bermutasi menjadi hewan sihir yang tak terkendali. Mereka menjadi lebih rakus daripada biasanya, menyerang rumah warga ibukota dan desa untuk makanan juga minuman. Suara gemuruh tipakan kaki terdengar dari kejauhan, itu adalah wajah yang sudah lama tak ia lihat. Saudara-saudara Cassian. Dengan mengenakan seragam yang sama, kemeja putih dengan celana ketat mereka semua mulai melangkah mendekat. Begitu tiba terdapat tujuh saudara yang memasuki arena latihan, dibelakangnya ada puluhan anggota pasukan istana juga guru-guru pembimbing saling tertegun satu sama lain. Salah seorang mendekat lalu memberikan salam penghormatan sebagai penanda awal dari bergabungnya Cassian. "Salam kepada bintang kesepuluh kekaisaran." Suasana menjadi hening, nampaknya itu adalah kalimat yang terdengar konyol bagi yang lain. Cassian melihat telapak tangan kanannya yang sudah kosong. Kedua rubah sihir dari hutan merah itu sudah kabur. Kini yang tersisa adalah tatapan tidak menyenangkan dari saudara-saudaranya juga beberapa guru pembimbing. Sebuah kaki melangkah kedepan, melewati Cassian dengan langkah yang berat mengambil salah satu senjata dari banyaknya tumpukan senjata. Aksi orang itu diikuti oleh orang lainnya satu persatu. Cassian hanya menatap terpaku begitu orang-orang itu mulai berbaris dengan rapi, meninggalkan Cassian berdiri sendirian seorang, hingga ia pun mau tak mau harus ikut mengambil posisi untuk mencegah perhatian yang tidak perlu. Cassian mengikuti gerakan dari instruksi pembimbing hampir selama satu jam. Tak hanya dia tapi juga anggota training yang lain. Salah seorang menatapnya seakan melempar pisau pada kelinci tepat sasaran. "Lihatlah dia, anak pelayan itu berlagak seperti bangsawan." Cassian menggelengkan kepalanya tertawa kecil. Yang ia pikirkan adalah bahwa orang-orang benar-benar tergila-gila pada tingkat kedudukan dan status. Padahal itu bagai undian kayu yang tak begitu penting untuk masalah dunia. Yang membuat Cassian tak menyukai rakyat jelata bukan karena mereka miskin ataupun rendah. Tapi karena tak punya kekuatan maupun kekuasaan hingga mudah diinjak-injak seenaknya. Suara instruktur pedang masih lantang memandu. Pose kuda-kuda yang pertama dilanjutkan mengayunkan pedang kedepan secepat mungkin dengan tebasan tajam. Berbalik badan Lalu menghunuskan pedang ke arah sebaliknya, depan, belakang, kanan dan kiri diulangi hingga berkali-kali sebagai penguatan dasar. Lalu setelah latihan dasar masing masing orang memiliki seorang guru pemandu personal, hingga dari mereka kembali menemui guru masing-masing. Sedangkan Cassian, masih belum menemukan satu. Tatapan dari para anggota training tertuju pada Cassian, mereka mulai berbisik dan bergosip secara terang-terangan. "Lihat dia, sungguh menyedihkan." Salah seorang anggota training yang merupakan pasukan pengawal istana berucap kepada kelompoknya. "Kapten sedang ada urusan, tentu belum memberikan dia guru pribadi." "Shh diam jangan terlalu banyak bicara." "Aku penasaran apa yang akan terjadi pada dinamika istana setelah pangeran ke sepuluh resmi diangkat." "Bukankah dia hanya seorang anak pelayan?" "Shh, ibunya sudah menjadi selir sekarang." Lanjut mereka yang tak habis-habisnya mengomentari segala aspek kehidupan putra Cassandra itu. Tiba-tiba suara perintah menggema. "Diam! Gunakan pedang, bukan mulut!" Suara seorang pria dengan lantang dan lugas mendarat tiba-tiba. Lejandro Zarius kapten para pengawal telah tiba di area Training pusat latihan pedang. Semua anggota pengawas bergegas berbaris rapi, total keseluruhan ada tiga puluh pengawal istana. "Hormat kepada kepada kapten!" "Selamat kembali kapten!" Pria itu berjalan mendekat kearah Cassian kemudian berlutut memberikan hormat. "Selamat atas diangkatnya bintang kesepuluh kekaisaran Magnus!" Cassian sedikit segan atas ucapan pria berbadan kekar dan tinggi itu, namun ia menepis keengganan yang tidak perlu. "Berdiri." Pria itu memiliki wajah tegas dengan rambut yang dicukur tipis, mengenakan kemeja berwarna coklat dan celana ketat berwarna hitam berserta sepatu training. Kini ia bangkit dari bungkuknya lalu berdiri dengan tegak layaknya kapten para pengawal. "Yang mulia, anda belum memiliki guru pembimbing kan? Saya akan mencari kandidat yang layak." Begitulahlah kata pria dengan nama belakang Zalerius itu. Ia melihat sekeliling area. Anggota training lain sudah sibuk dengan latihannya masing-masing kemudian ia kembali mendaratkan pandanganya kepadaku. Aku berfikir sejenak kemudian menatapnya lalu menggelengkan kepala. Aku sudah berencana untuk mencari guru pembimbingku sendiri sejak awal. Jika ingin menjadi lebih kuat, aku tidak boleh mendapatkan pelatihan amatir. Bahkan pangeran lain yang merupakan saudara seayahku mendapatkan guru pembimbing dengan kemampuan diatas rata-rata tentu atas dukungan ibu mereka. Dengan gelar dan kekuasaan. Sedangkan ibuku tidak tahu apa-apa soal istana, dia sendiri pasti sudah kesulitan beradaptasi dengan segala perubahan yang ada. Aku harus berusaha lebih keras demi melindungi diri sendiri juga ibu. Para pangeran lain tak melirikku sama sekali, mereka fokus pada tujuan mereka masing-masing. Kadang aku merasa emosional akan hal sepele seperti ini. Tidak. Yah lagipula validasi memang kebutuhan psikologi dasar manusia. Apa karena aku kembali keusia yang masih muda, emosiku jadi tercampur dengan emosi anak-anak yang belum stabil. Seharusnya aku tidak membiarkan emosi tidak berguna mengendalikanku. Selain itu sudah jelas mereka juga pasti terlibat dalam rencana permaisuri dikehidupan sebelumnya. Meksipun tidak, mereka tidak mungkin tidak tahu dan sengaja tidak peduli. Tanpa Cassian sadari rupanya terdapat banyak mata yang mengamati ia sejak tadi, meskipun tak menunjukkan reaksi terang-terangan namun jelas pandangan itu tajam mengamati dengan detail segala gerak-geriknya. Dua orang pemuda mendekat membelakangi satu sama lain setelah melakukan sparing namun keduanya nampak berbisik satu sama lain. "Anak buangan itu tidak akan membawa perubahan apapun dalam istana." "Kakak, ibu menyuruh kita mengawasinya secara diam-diam." "Ibu hanya terlalu khawatir pada anak budak itu." Damien Rynete Magnus (13 tahun), berdiri membelakangi adik kembarannya, Dalaine Rynete Magnus (13 tahun). Keduanya berparas tampan dengan kulit putih pucat yang bersih. Kemeja putih dan celana hitam lalu saling menghunuskan pedangnya pada masing-masing sisi bak pangeran cendikiawan yang mendapatkan segala kebutuhannya didalam istana. Keduanya memiliki wajah oval dan mata monolid, berambut merah terang. Sang kakak, Damien memiliki rambut panjang hingga bahu dengan kepang kecil dibagian sisi kanan sedangkan sang adik, Dalaine memiliki rambut pendek turun kebawah dengan poni sampai alis. *** Istana Matahari. Aula diskusi. BRAAKKK! Sebuah tamparan tangan menggebrak meja aula, pria paruh baya dengan rambut setengah gundul menaikkan alis tebalnya dengan tajam. "Jelas-jelas tanah itu adalah wilayahku! Bagaimana anda bisa begitu rakus Duke Elgar!" Di sebrang sisi meja, pria dengan rahang tegas dan wajah yang bersih dengan warna kulit kuning Langsat mendengus arogan. "Hanya secuil wilayah dan anda mengemis tambang milik keluarga Elgar, bukankah kamu berhayal disiang bolong Duke Bascal?" "Yang mulia tolong keadilan anda!" Ucap Duke Banef melayangkan pandangannya ke kursi sang kaisar. Valerius tampak tak tertarik dengan berdebatan ini. Baginya ini hanya pertikaian konyol yang dibesar-besarkan. Namun sebagai kaisar ia harus menunjukkan keadilan bagi keduanya. "Seberapa luas?" Tanya Valerius tangannya mengetuk pegangan kursi. "Besok akan ada upacara resmi pengangkatan pangeran dan selir yang baru." "Jangan memperpanjang masalah sepele." Lanjutnya menatap tajam kearah dua Duke tadi. Sungguh, jika Valerius adalah tipe orang yang berhati lemah dan tidak tahan banting tentu segala permasalahan yang melibatkan kekaisaran tidak ia pedulikan sejak dulu. Banyak orang bilang menjadi kaisar tiran Lebih mudah daripada kaisar yang bijak. Jika menjadi tiran, tidak perlu repot mencari dukungan,tidak perlu menjaga hubungan baik dengan orang lain, tidak perlu patuh terhadap aturan-aturan moralitas dan humanity. Jika menganggu tinggal bunuh, jika merepotkan tinggal bunuh, jika tidak sesuai kehendak hati tinggal singkirkan. Bantai orang yang tidak mau patuh, bantai orang yang menolak tunduk, meskipun tanah kekaisaran akan berwarna merah darah siapa yang peduli? Kadang pikiran seperti itu menyintasi benak sang kaisar Magnus. Namun, ia mengingat apa yang diucapkan sang ayah kaisar sebelumnya yaitu Ataric Leopold Magnus. Bahwa menjadi kaisar artinya menjadi seorang pengelola, menjadi kaisar artinya menjadi pemantau, menjadi kaisar artinya menjadi penyeimbang, penyelamat, penanggungjawab, dan pembunuh adalah aspek terakhir. Cakupan seorang tyran hanya pada aspek membunuh untuk tunduk, membunuh untuk berkuasa,membunuh untuk kontrol. Sedangkan menjadi kaisar yang bijak adalah tugas yang lebih sulit. Bahkan jika ia mencintai seorang wanita yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan bagi kekaisaran. Maka wanita itu harus sirna. "Cassandra." Valerius berucap dengan lirih, terkadang ia masih mengingat kenangan-kenangan masa lalu yang melekat. "Duke Elgar, jika kau tidak mau tambangmu dirampok secara paksa olehnya, berilah dia upeti bulanan." Duke Elgar bangkit dari kursinya dengan amarah. "Upeti?! Upeti untuk tanah sekecil itu?!" "Anda tentu bercanda yang mulia!" Tambang itu merupakan tambang kepemilikan keluarga Elgar pada awalnya. Namun, setelah digali semakin dalam tanah daerah galian mulai merambat kearah wilayah Duke Bascal karena berdekatan dengan wilayah perbatasan, tak heran akan terjadi hal seperti ini. "Aku menginginkan lima persen dari hasil tambang!" Ucap Duke Bascal membelai jenggotnya sambil memberikan senyum miring."Ibu pastikan tahta itu hanya untukmu." Rosetta melempar pisau kecil mengenai sebuah apel merah yang tampak segar. Kini tatapannya tajam, seakan siap menyingkirkan siapapun yang berani menghalangi tujuannya. Dengan semua ini jalan masihlah sangat panjang bagi Cassian dan ibunya. Posisi yang tidak aman bahkan dalam istana yang merupakan haknya, juga tidak ada bantuan dari siapapun. Hidup dan mati ada ditangannya. Alactra tak berucap apapun setelah itu, pandangannya nampak kosong sekakan tak terbesit sesuatu apapun dalam pikirannya. Ia hanya memberikan hormat kepada sang ibu lalu meninggalkan ruangan itu, menapak lantai dan kembali menuju kediamannya. *** Paviliun putra mahkota Alactra Derek Magnus Alactra sedang termenung dalam duduknya, dengan menghadap jendela. Ia sibuk namun juga tak fokus berbincan dengan sang penasehat. Dokan Laryn Dokan Laryn sendiri merupakan seorang sarjana muda yang direkrut permaisuri untuk membimbing putra tertuanya. Ia merupakan lulusan t
Aku mendekatkan langkah ku mengitari satu sama lain dari mereka, lalu kembali berucap. "Mungkin jika kalian mengajari aku dengan baik." "Aku bisa kembali mengajari para putra dan putri kalian." "Untuk mengingat ajaran ibu mereka." Wajah mereka menjadi gelap, tatapan tajam menghujaniku. "Arogan! Sungguh arogan!" "Cassian Leonce Magnus, banyak-banyaklah bercermin." Ucap Wilona seraya meraih semangkuk tehnya. "Aku akui kau punya keberanian yang besar, Cassian." "Tapi, permainan kami anggota keluarga kekaisaran tidak semudah yang kau kira." Dua orang pengawal datang menekan tubuhku hingga aku berlutut. KGH! Bersamaan dengan itu aku merasakan sensasi aneh seperti ratusan jarum menusuk jantungku. Aku mengatupkan rahangku karena rasa sakit yang luar biasa. Tanganku mengepal menahan rasa perih dan harga diri yang mereka coba injak-injak. Mereka benar-benar tidak pandang bulu untuk menginjak seseorang! Aku masihlah putra kaisar! Beraninya kalian memperlakukan pangeran yang resmi
Lanjut pemuda itu melangkahkan kaki kebagian sisi rak."Apa kau tau kenapa racun itu dijuluki racun ular perak?"Aku menggelengkan kepalaku pelan."Racun itu bisa menciptakan katalisator darah atau blood magic, membuka segel garis keturunan tertentu dan mengaktifkan sihir kuno."Aku melebarkan mataku.Apa benar hal seperti itu ada?Jangan-jangan aku kembali ke masa lalu juga karena racun ular perak?Pemuda itu meraih rak paling atas, terdapat ramuan berwarna biru tua. Baunya sedikit menyengat, campuran antara bunga mawar dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.Ia menyodorkan ramuan itu ke meja."Ini dia penangkal racun yang kau cari."Pemuda ini tidak mempermainkanku kan?Apa dia benar-benar bisa dipercaya?Tidak, lebih dari itu apa aku masih punya waktu untuk pilih-pilih?Pada akhirnya aku harus mengambil resiko."Berapa?""Gratis."Aku menaikkan alisku.Gratis?Kenapa?"Kenapa?""Yah, soalnya.""Akan merepotkan aku mengambil uang jika nanti hasilnya ada seseorang yang akan mati."Di
CLANG. "Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!" Pasukan kerajaan? Kepalaku mulai berputar akibat terbentur dinding. Pandanganku menjadi samar bagai kabut. Kesadaranku hilang seketika. Samar-samar, suara bergemuruh mengerubungiku. Namun aku tidak kuasa menjawab suara-suara itu. "Cassian!" Teriakan ibuku terdengar menggema bagai tetesan embun memanggil namaku, namun aku tak bisa menjawab ataupun membuka mataku. Pintu gerbang dibuka, pintu yang selama ini menjadi tanda perbatasan antara Istana dan daerah luar. Pintu itu terbuat dari baja berlapis yang tampak kokoh dan kuat. Berukir motif simetris dan nampak klasik. Suara salah seorang penjaga menggema dengan lantang. "YANG MULIA KAISAR TELAH TIBA...!" Sebuah kereta kuda megah berlapis perak dan emas, ukurannya lebih besar dari milik bangsawan biasa. Sebuah tirai sutra berwarna merah tua tersingkap. Tandu itu memiliki atribut khusus disetiap sudutnya, sehingga bagi siapa saja yang melihatnya akan tau dengan jelas bahwa itu
Rasa sakit yang luar biasa merambat ke dalam tubuhku. Ini adalah racun ular perak—racun yang orang-orang bilang sangat langka bahkan hampir mustahil untuk ditemukan. Yang menjadi ironi adalah seluruh anggota istana mengetahui dengan pasti bahwa ini adalah rencana permaisuri. Wanita licik itu tidak menyerah dalam misinya menyingkirkanku sejak dulu. Ia berdiri dengan senyum miring. Para pelayan yang betugas pun diam saja saat orang suruhan wanita berambut ungu gelap itu kerap mondar-mandir dengan gerak-gerik mencurigakan. Tak ada satupun yang melapor ataupun menghentikan. "Cassian! Jika kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan ibumu yang hanya seorang pelayan!" ungkap wanita itu membentangkan kedua lengannya bagai selebrasi atas sebuah kemenangan. Kalimat yang keluar dari kedua bibir bengisnya selalu mendarat tajam tanpa belas kasihan. Sosok itu mengenakan gaun beludru ungu tua, warnanya pekat dan berwibawa. Lengan bajunya panjang melebar, ujungnya disulam benang emas membentuk pola