Mag-log inKini tatapannya tajam, seakan siap menyingkirkan siapapun yang berani menjadi penghalang.
Alactra bangkit, tegaknya apik bak seorang bangsawan yang penuh wibawa. "Sesuai keinginan Ibu." ucapnya penuh kepatuhan. *** Istana Bintang : Paviliun Alactra Setelah kembali dari kediaman Permaisuri, Alactra tiba di paviliunnya sendiri. Melewati gerbang istana Bintang, lalu sekilas melihat portal cahaya kesepuluh yang telah ditambahkan. Kini ia termenung dalam duduknya. Dengan menghadap jendela, ia sibuk namun juga tak fokus. Meski raganya hadir, sepertinya jiwanya berlabuh entah kemana. Sang penasehat terhenti dalam ucapnya begitu menyadari hal itu. Dokan Laryn—sang penasehat. Merupakan seorang sarjana muda yang direkrut permaisuri untuk membimbing putra tertuanya. Ia lulusan terbaik dari akademi paling bergengsi di kekaisaran, akademi Hanzard. Akademi Hanzard adalah wadah pendidikan yang sudah terbukti kredibilitasnya di kekaisaran, bahkan sudah dibangun sebelum terbentuknya kekaisaran Magnus. Tak hanya itu, sekolah yang dipilih Alactra itu telah meluluskan berbagai talenta terbaik dari setiap penjuru kota. Tak terkecuali Valerius sebagai salah satunya. Mengetahui hal itu, lama kelamaan terciptalah sebuah tradisi tak tertutulis bagi seluruh keturunan kaisar untuk menempuh pendidikan di akademi Hanzard. Ruangan dengan dinding bercat putih itu tak bersuara, lampu kristal di atas sana menerangi dua sosok yang berhadapan. Namun tak saling bercakap dalam satu pandangan. "Apa yang anda khawatirkan putra mahkota?" tanya seorang pria berambut biru, mengenakan sutra panjang dengan tatapan sayu. Jarinya mengitari permukaan cangkir teh yang ada di hadapannya. Pria berusia 25 tahun itu berparas menawan dengan badannya yang proporsional. "Bukan hal penting Tuan Dokan. Hanya sedikit kegundahan." jawab Alactra, kedua matanya menerawang ke arah jendela dengan tatapan kosong. Dokan tersenyum miring, ia meraih secangkir teh di hadapannya, meneguknya dengan pelan. "Itu juga termasuk hal yang wajar bagi seorang penerus tahta." ucapnya singkat, berhasil menarik wajah Alactra menghadapnya. Bunyi ketukan sepatu pemuda itu ringan, jemarinya mengetuk beberapa kali seakan terhanyut dalam kalimat itu. "Yang mulia, anda bisa membagi beban itu kepada saya." lanjut pria bermata biru segar itu meraih secarik kertas yang kosong dengan pena. "Hanya tentang ibu dan segala ambisinya. Lalu anak di luar nikah ayah yang akhirnya masuk ke istana bersama ibunya. Ayahku mengangkat ibu anak itu menjadi selir." jelasnya dengan kedua mata yang menatap kosong. "Itu bukan hal yang baru dalam dinamika keluarga bangsawan, anda hanya perlu sedikit beradaptasi." ucap Dokan Laryn, senyum tipis dengan kedua mata yang dingin timbul dari wajahnya. "Saat ini anda berada dalam sudut pandang seorang putra, tidak ada yang tahu beberapa tahun ke depan, mungkin anda sendiri yang akan mengangkat selir bahkan memiliki seorang anak haram." lanjutnya dengan kepala terangkat. "Lupakan saja. Kau benar tentang hal itu." Alactra menyetujui, kedua bibirnya kembali mengatup. Sedangkan secarik kertas yang ada di hadapan Dokan Laryn bahkan tak menyimpan setetes tintapun. Percakapan keduanya hanya singkat, bahkan Alactra yang kini berusia 16 tahun hanya pulang beberapa kali untuk menemui ibu atau saudara perempuannya, Alectra. Bagaimana sifat Alactra terbentuk adalah karena kerasnya pengajaran permaisuri dan acuhnya Valerius sebagai seorang ayah. Berbeda dengan permaisuri yang telah punya tekad bulat dengan ambisi dan apa yang ia mau meskipun dengan segala cara, Alactra masihlah seorang anak laki-laki yang belum cukup umur serta kadang berpijak dalam kebimbangan. Tugas Dokan Laryn adalah menjadi penyeimbang itu. Jikalau pemuda itu merasa ragu ataupun enggan dalam melangkah. *** Keesokan harinya, Cassian sudah pergi ke area training untuk memulai latihannya. Banyak hal yang telah ia pikirkan. Mendapatkan keamanan selama berada di istana adalah hal yang masih menjadi prioritas. Keuntungannya berlapis, di antaranya untuk melindungi sang ibu serta membangun citra dan kekuasaan. Langkah kedua, mempelajari soal sihir kuno dan membuat koneksi dengan orang- orang penting. Tak lupa pengakuan dari kaisar. Namun hal yang paling dasar adalah mengasah kemampuan untuk menjaga diri sendiri. Latihan fisik adalah sarana yang tepat untuk meningkatkan energi dan keterampilan bertarung. Telah diputuskan, Cassian berlari mengelilingi lapangan dalam 100 kali putaran hingga keringatnya bercucuran. "Ini belum cukup." lirihnya. TUK. Sebuah suara pantulan ringan datang dari arah yang tak terlihat. Cassian merasakan benda kecil menghantam kepalanya dengan ringan. TUK. Cassian segera menoleh, ia melihat sekeliling, mengamati setiap sudut area untuk mencari dari mana datangnya hantaman kecil itu. "Pftt...kekeke." Terdengar suara cekikikan samar-samar. Cassian tak dapat melihat rupa maupun bentuk dari sang pembuat suara. Cassian menaikkan alisnya, badannya menoleh ke arah kiri dan kanan dengan penasaran. "Keluar! Jika tidak aku akan menghancurkan area training ini!" cetusnya dengan lantang. Tentu saja yang ia katakan hanya sebuah ancaman kosong. Suara menjadi hening, Cassian melanjutkan langkahnya untuk berkeliling dan mengecek setiap sudut. Ia mendengar kembali suara bisikan dari arah tumpukan senjata. "Pssh dia benar-benar bodoh, siapa juga yang akan muncul karena ancaman konyol itu?" bisik sosok itu lirih. Tangan Cassian dengan cepat menarik sosok dari balik ruang yang terhalang tumpukan pedang di sudut area latihan. Ditentengnya ke atas sosok itu, ia dapati hingga terlihat dua bulu ekor yang berkibas ke kanan dan kiri dengan nakal. "Kena kalian!" sentak Cassian. Kini telah terpampang sosok dua ekor rubah anakan. "Kyaaaa! Manusia itu berhasil menangkap kita kakak! Le-lepaskan!" jerit salah satu diantara mereka. Telinga mereka bergerak ringan dan kikuk menandakan kewaspadaan terhadap musuh. Dua ekor rubah ini pastilah hewan sihir liar dari hutan merah. Rubah yang satu berwarna putih dan satu lagi berwarna hitam. Hutan Merah. Hutan Merah awalnya adalah hutan biasa tak jauh berbeda dari hutan-hutan lainnya. Namun pada suatu ketika memasuki musim kemarau panjang, tiba-tiba turunlah hujan berwarna merah yang nampak seperti darah, para populasi di dalamnya mulai bermutasi menjadi hewan sihir yang tak terkendali. Mereka menjadi lebih rakus daripada biasanya, menyerang rumah warga ibukota dan desa untuk makanan juga minuman. Lalu, suatu waktu kaisar meminta master menara sihir membuat segel dari luar supaya para binatang itu tak bisa keluar sembarangan. Namun terdapat pengecualian bagi binatang sihir tingkat tinggi yang telah punya kesadaran sendiri serta keturunan binatang sihir yang memiliki kontrak persahabatan dengan manusia. Mereka punya akses khusus untuk dapat keluar karena dianggap tak akan membahayakan wilayah manusia. Suara gemuruh tipakan kaki terdengar dari kejauhan, itu adalah wajah yang sudah lama tak ia lihat. Dua saudara Cassian dari sepuluh lainnya. Dengan mengenakan seragam yang sama, kemeja putih dengan celana ketat mereka semua mulai melangkah mendekat. Begitu tiba terdapat dua sosok memasuki arena latihan, diikuti anggota pasukan istana lainnya di belakang. Salah seorang mendekat, berencana memberikan salam penghormatan sebagai penanda awal dari bergabungnya Cassian. "Salam kepada bintang kesepuluh kekaisaran." ucapnya penuh penghormatan. Suasana menjadi hening, nampaknya itu adalah kalimat yang terdengar konyol bagi yang lain. Cassian melihat telapak tangan kanannya yang sudah kosong. Kedua rubah sihir dari hutan Merah itu sudah kabur. Kini yang tersisa adalah tatapan tidak menyenangkan dari orang-orang di hadapannya. Sebuah kaki melangkah ke depan, melewati Cassian dengan langkah yang berat mengambil salah satu senjata dari banyaknya tumpukan senjata. Aksi orang itu diikuti oleh orang lainnya satu persatu. Cassian hanya terpaku begitu orang-orang mulai berbaris dengan rapi, meninggalkan Cassian berdiri sendirian seorang, hingga ia pun mau tak mau harus ikut mengambil posisi demi mencegah perhatian yang tidak perlu. Cassian mengikuti gerakan dari instruksi pembimbing hampir selama satu jam. Tak hanya dia, tapi juga anggota training yang lain. Salah seorang menatapnya seakan anak panah yang melesat dari busurnya. "Anak pelayan itu lumayan." ucap salah seorang di antara mereka. Suara instruktur pedang masih lantang memandu. Pose kuda-kuda yang pertama dilanjutkan mengayunkan pedang ke depan secepat mungkin dengan tebasan tajam. Berbalik badan Lalu menghunuskan pedang ke arah sebaliknya, depan, belakang, kanan dan kiri diulangi hingga berkali-kali sebagai penguatan dasar. Lalu setelah latihan dasar masing masing orang memiliki teman sparing. Sedangkan Cassian, masih belum menemukan satu. Tatapan dari para anggota training tertuju pada Cassian, mereka mulai berbisik dan bergosip secara terang-terangan. "Lihat dia, sedikit menyedihkan." ucap seorang anggota training yang merupakan pasukan pengawal istana kepada kelompoknya. "Kapten sedang ada urusan, tentu belum memberikan dia guru pribadi." katanya dengan mata memicing. "Shh diam jangan terlalu banyak bicara." sahut temannya. "Aku penasaran apa yang akan terjadi pada dinamika istana setelah pangeran kesepuluh resmi diangkat. Bukankah dia hanya seorang anak pelayan?" cetus salah satu lainnya mendekatkan kepala. "Shh, ibunya sudah menjadi selir sekarang." "Diam! Musuh mati dengan tebasan, bukan lidah!" suara lantang mendarat tiba-tiba. Sang kapten para pengawal telah tiba di lapangan training. Lejandro Zalerius. Seluruh anggota pengawal bergegas berbaris rapi. "Hormat kepada kepada kapten!" cetus salah seorang anggota diikuti lainnya. "Selamat kembali kapten!" Pria itu berjalan mendekat ke arah Cassian kemudian merendahkan badannya. "Selamat atas diangkatnya bintang kesepuluh kekaisaran Magnus!" Cassian tertegun atas ucapan pria berbadan kekar itu. "Berdiri." ujarnya dengan tenang. Pria itu memiliki wajah tegas dengan rambut berpangkas tipis, mengenakan seragam training dengan pedang yang disarungkan di pinggang. Ia bangkit dari bungkuknya, berdiri dengan tegak layaknya seorang prajurit. "Yang mulia, setiap pangeran mendapatkan seorang guru pembimbing. Namun, sayangnya seluruh kandidat yang saya kenal telah ditempatkan masing-masing untuk tujuh pangeran lainnya." ucapnya dengan suara lirih, alisnya turun dengan desah pelan. "Takutnya, harus menunggu beberapa waktu sampai menemukan kandidat yang layak." lanjutnya, melayangkan kata pada sosok di hadapannya. Anggota training lain sudah sibuk dengan latihannya masing-masing. Cassian masih membisu, ia menaikkan kedua bibirnya ke atas dengan tipis. "Tak masalah." jawabnya singkat, ia berbalik menggenggam pedangnya erat. Tanpa Cassian sadari rupanya terdapat banyak mata yang mengamati ia sejak tadi, meskipun tak menunjukkan reaksi terang-terangan. Namun jelas sebuah pandangan mendarat dengan tajam. Dua orang pemuda mendekat membelakangi satu sama lain. Keduanya saling menatap, menghunuskan pedangnya masing-masing hingga satu gerakan dan KLANGGG! Besi itu berdenting saling berbenturan memercikkan api. "Kak, Kenapa kita harus mengawasi anak itu?" ucap salah satu diantara keduanya. "Itu adalah perintah ibu, hal lainnya tak perlu diambil pusing." jawab pemuda yang lain. Keduanya melayangkan aksinya sambil berbisik bagai agen yang bertukar informasi. Damien Rynete Magnus, 13 tahun. Dan saudara kembarnya Dalaine Rynete Magnus, 13 tahun. Keduanya lahir hanya dengan selisih beberapa menit. Paras keduanya tak perlu diragukan, berkulit putih, bersih. Mengenakan seragam yang sama dengan anggota pelatihan lainnya. Namun tampilannya tampak berbeda bila dipandang mata. Orang-orang menyebutnya dengan aura. Wajah keduanya berbentuk oval dengan mata lancip. Damien tampil rupawan dengan rambut merah yang tergerai panjang. Sedangkan adiknya tampil menawan dengan rambut merah yang dikepang kecil di pundak kanan. Bukan berarti Cassian tak menyadarinya. Di kehidupan sebelumnya, ia sangat jarang bertemu sembilan saudaranya yang lain. Namun bukan berarti dia tak tahu tentang mereka. Jalan utama menuju istana kekaisaran salah satunya adalah melewati rumah tua miliknya dan Cassandra. Meksipun dulu dia hanya mengintip dari balik jendela, ia tahu satu persatu rupa saudaranya. Hal itu tak lepas dari ibunya Cassandra yang selalu menceritakan bagaimana anggota keluarga istana hidup, apa keahlian mereka dan apa kesibukannya. Sedangkan untuk Damien dan Dalaine, di masa depan mereka akan menjadi seorang sword magic yang hebat. Itupun kalau masa depan tak berubah. *** Istana Matahari : Aula diskusi BRAAKKK! Suara hantaman itu berasal dari kulit telapak tangan yang beradu dengan permukaan meja. Pria paruh baya dengan rambut setengah gundul menaikkan alis tebalnya dengan wajah gusar. "Jelas-jelas tanah itu adalah wilayahku! Bagaimana bisa anda bersikap rakus!" katanya dengan pandangan mata tajam. Di seberang meja, pria dengan rahang tegas berkulit besih mendengus. "Hanya secuil wilayah dan anda mengemis tambang milik keluarga Elgar? Gembelpun masih punya rasa malu!" cetusnya dengan suara meninggi. "Yang mulia tolong keadilan anda!" lanjut pria itu merentangkan tangannya ke langit bagai meminta sebuah keputusan. Hening melanda, Valerius masih tak berucap. Kedua matanya mengamati, kira-kira mau ke mana arah pembicaraan ini. "Kalian sudah selesai?" tanya Valerius, jarinya mengetuk tangan kursi berwarna emas yang terbuat dari besi. "Besok upacara pengangkatan pangeran kesepuluh akan diadakan. Jangan bertele-tele." lanjutnya dengan tatapan merancung. Kedua sosok itu menghindari pandangan sang kaisar, mereka berdehem. "Duke Elgar, jika kau tidak mau tambangmu dirampok secara paksa olehnya, berilah dia upeti bulanan atau kompensasi." ujar Valerius dengan wajah tak berlekuk. Duke Elgar bangkit dari kursinya dengan amarah. "Upeti?! Upeti untuk tanah sekecil itu?! Anda tentu bercanda yang mulia!" Tambang itu merupakan tambang emas dengan kepemilikan penuh atas nama keluarga Elgar pada awalnya. Namun, setelah digali semakin dalam, lokasinya mulai merambat ke arah wilayah Duke Bascal karena berdekatan dengan wilayah perbatasan. Memang benar dari area itu adalah sekaligus area perbatasan antara dua wilayah sang Duke. "Aku menginginkan lima persen dari hasil tambang!" ucap Duke Bascal membelai jenggotnya tipis itu, senyumnya miring. Decakan datang dari kejauhan. "Tidak bisa! Lima persen terlalu banyak!" sahut Duke Elgar, satu lengannya menekuk kebelakang. Ia berjalan mondar-mandir, segala solusi tak menenangkan hatinya. "Galilah area itu dengan pengawasan dari kalian berdua. Jika memang terdapat hasil tambang yang bernilai, berikan sesuatu sebagai kesepakatan." kata Valerius dengan tenang. Kakinya melebar di atas singgasananya. "Jika memang ternyata tak ada apa-apa, hanya sekedar tanah kosong yang tergali melewati perbatasan. Gantilah dengan sesuatu sesuai nilainya." lanjut Valerius, tangannya bergelagat mengikuti ucapannya. Para bangsawan tertegun. Mereka menatap satu sama lain dengan kedua bibir yang bercelah. Anggukan lirih itu tampil, kedua Duke saling menatap, isyarat pandang yang sama dalam satu kesepakatan. "Terimakasih atas kebijakan Kaisar, semoga kaisar panjang umur." ucap kedua Duke diikuti bangsawan lainnya. Ruangan dengan tata kursi meja memutar itu telah sunyi bersama kedamaian. "Yang mulai, karena permasalahan mengenai tambang telah selesai. Mohon bahas tentang upacara yang anda sebutkan sebelumnya." kata salah seorang pria yang sedari tadi menjadi penonton. "Ya, aku sudah menetapkan upacara perayaan bagi putra kesepuluhku. Cassian, serta ibunya kuangkat sebagai selir." seluruh ruangan kembali bergemuruh, para bangsawan bertatap wajah satu sama lain. "Yang mulia, mungkinkah wanita yang anda maksud adalah Cassandra yang itu?" tanya Duke Elgar, langkahnya melaju ke depan dengan pelan. "Ada masalah?" cetus sang kaisar, alisnya naik tajam. Suaranya menjadi ketus bagai petir di musim panas. GULP Duke Elgar tak melanjutkan, jakunnya bergerak dengan tersendat. "J-jika yang mulia sudah memutuskan. Pasti itulah yang terbaik bagi kekaisaran." tuturnya dengan melengking, mengambil alih gemuruh bisik bangsawan lainnya. Seluruhnya tertegun dan mengangguk satu sama lain. "Betul yang mulia, jika anda sudah memutuskan. Tentu pasti keputusan yang tepat bagi istana dan kekaisaran." ucap mereka dengan kedua pandangan yang enggan naik."Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan
"Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat
Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil
"Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg
Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s
Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay







