Home / Fantasi / Anak Haram Sang Kaisar / Bab 4 : Sudah Kembali

Share

Bab 4 : Sudah Kembali

Author: Bakpaokukus
last update Last Updated: 2025-10-06 20:36:52

"Biarkan mereka mengingat kembali a j a r a n ibu mereka!" sorot mataku menjadi tajam.

Ucapanku keluar dengan ketus seraya memapah ibuku kembali bersemayam pada tempat duduknya.

Wajah para selir menjadi gelap, tatapan bengis menghujaniku.

***

"Arogan sekali! Cassian Leonce Magnus, kekuatanmu tak seberapa di istana ini!" ucap Wilona seraya meraih secangkir tehnya.

"Keberanianmu memang layak dipuji. Tapi, permainan kami anggota keluarga istana tak sederhana seperti yang kau kira."

Tubuhku tersentak sekelebat begitu merasakan dorongan paksa dari arah belakang menekan bahuku hingga aku bersujud.

"KeuGH!" aku meraung.

Bersamaan dengan itu aku merasakan sensasi aneh seperti ratusan jarum menusuk jantungku.

Rahangku mengatup karena rasa sakit yang merambat ke sekujur tubuh.

"Perasaan yang familiar ini…kenapa harus muncul sekarang!" bisikku lirih, tanganku mengepal menahan rasa panas yang luar biasa.

"Cassian!"

Jerit ibuku, ia beranjak dari kursinya, namun dengan tatapan tajam aku menekuk lenganku ke atas penuh tekad dan berhasil membuat geraknya terhenti hingga ia bersemayam kembali.

Tiba-tiba cambuk datang secepat kilat menghantam punggungku.

CTAK! CTAK!

CTAK! CTAK !

Rasa cambuk itu tak seberapa, yang jadi masalahnya adalah organ dalamku yang sepertinya terkoyak oleh sesuatu.

Darah tiba-tiba muncrat dari kerongkongan.

"KEUOGHH!"

Ini? Mungkin saja efek penangkal racun yang tadi.

Mataku terbelalak, saraf-saraf pada tubuhku serasa mendapatkan getaran listrik kejut.

Hembusan napas keluar pelan, penjaga itu masih melancarkan aksinya.

Namun kesadaranku berpindah ke sebuah ruang gelap entah dimana.

SHHAAA—

Sebuah bola cahaya mengerubungi satu sama lain di dalam tubuhku bagai bola medirian.

Tak hanya satu melainkan tiga buah. Ketiganya berputar dengan liar sampai akhirnya saling membentuk garis satu sama lain.

Seakan sebuah titik yang saling terhubung dan menciptakan satu kesatuan.

Bagai jantung kedua dalam tubuh.

AGHHHHHHHH!

Lolongku menggema hingga angkasa. Ledakan cahaya dari tubuhku tak ter elakkan, ledakan itu menciptakan hembusan angin dahsyat memporak-porandakan dekorasi pesta teh para selir. Meja, kursi, porselen yang pecah.

Tirai yang terbakar, bahkan taman bunga mawar di belakangnya tak terselamatkan.

Semua orang melebarkan mata dengan menganga.

Wajah para selir, prajurit bahkan ibuku tampak kebingungan.

Ibu menyampul wajahnya dengan tangan kanan, menghindari lesatan angin itu dengan gaunnya yang terhempas berkibas-kibas di udara.

"Cassian!!!"

Panggilnya dengan wajah yang penuh kepanikan.

Para penjaga terhempas jauh, aku mencoba mengendalikan energi itu dengan mengambil napas dalam-dalam lalu dengan satu sapuan, cahaya itu sirna.

Saat aku kembali membuka mata, seluruh indra yang ada pada tubuhku menjadi lebih tajam bahkan dengan mudah merasakan energi alam.

Apa yang barusan terjadi?

Dua penjaga tadi meringkuk, sampai salah satu selir kaisar yang lain berteriak dengan lantang.

"C-cambuk lagi! Beraninya membuat kekacauan di istana langit!"

Kedua penjaga itu mencoba bangun meskipun tak sepenuhnya sigap.

Begitu salah satu dari mereka melayangkan cambuk lagi.

Dengan segera aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi, mengambil napas dalam-dalam. Lalu dengan sekali gerakan.

DUAKKKK!

Badan penjaga itu terpental begitu berbenturan dengan tanganku yang berkepal.

Tubuhnya menghantam salah satu patung air mancur hingga hancur lebur.

Apakah ini kekuatan sihir kuno?

Meskipun aku tak begitu yakin bagaimana cara menggunakan kekuatan ini dengan benar, tapi setidaknya masih bisa digunakan untuk hal dasar.

Mata para selir melebar.

Tak hanya mereka, ibuku pun ikut membuat ekspresi wajah terkejut.

"Kau! Tidak mungkin! Bagaimana bisa!"

Wilona melontarkan kalimat itu dengan rasa kesal.

"Tidak! Bagaimana bisa darah rendah sepertimu!" ujarnya dengan kening berkerut.

Suara getaran tanah kurasakan, rombongan pengawal istana datang berbondong-bondong dengan baju zirah dan persenjataannya.

Di belakangnya nampak pria dengan seragam seorang knight menampilkan ekspresi menyeramkan.

Ia mengibaskan pedangnya sekelebat memotong salah satu tirai yang terbakar kemudian diinjak-injaknya tirai itu hingga menjadi debu.

"Apa yang terjadi disini?!" Knight itu menatapku dari atas hingga bawah. Mengacungkan pedangnya dengan tajam ke arahku.

"Apa ini semua perbuatan anda!?" semua mata tertuju padaku, ketiga selir kaisar memberikan senyuman miring.

Merasakan kemenangan telak.

Masalah akan menjadi runyam karena ini.

Aku melirik sepintas kepada ibuku lalu kearah pelayan pribadinya, mengisyaratkan untuk membawa ibuku pergi secepatnya dari tempat ini.

Pelayan itu mengangguk dan segera menarik ibuku.

"Yang mulia ayo kita kembali ke Paviliun anda." ucap pelayan itu lirih.

Ibu tampak tak bergerak, tangannya berencana meraihku namun segera disingkap oleh pelayan itu.

"Ibu, silahkan pergi terlebih dahulu. Saya akan menyusul nanti." aku menimpali.

Ibuku tampak masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, namun pelayan itu berhasil membawanya pergi menjauh.

Aku menatap knight itu, pria paruh baya dengan badan kekar berwajah bersih. Bajunya terbuat dari besi tebal dan nampak berat berwarna merah mengkilat dipadu warna abu-abu besi. Namanya adalah Barsan Razan, berusia sekitar 37 tahun.

Di kehidupan sebelumnya aku tak terlalu terlibat dengan pria ini.

Tapi setiap ada upacara atau pesta kekaisaran setelah kemenangan perang. Pria ini lah tokoh utamanya.

"Ya, aku yang melakukanya." jawabku tanpa rasa takut.

Jika aku menunjukkan kelemahan, orang-orang istana akan semakin gencar untuk menginjak-injak aku dan ibu di masa depan.

Wanita yang menutupi ekspresinya dengan kipas itu melangkah maju, selir pertama kaisar. Rosalina Rynete Magnus.

Apa yang wanita itu rencanakan?

Dia menyingkap kipasnya lalu mulai berbicara.

"Tangkap anak ini! Dia sudah mengacau di istana para selir! Kekuatannya berbahaya! Hampir membunuh kami semua!" ujarnya dengan kedua mata rancung.

Tanganku mengepal menahan amarah. Tak disangka mulut Rosalina benar-benar licin. Dengan mudah ia memanipulasi skenario, tapi lebih tidak beruntung lagi karena yang terjadi memang mudah menimbulkan kesalahpahaman.

Barsan terdiam sejenak sampai akhirnya bersuara.

"Tangkap dan penjarakan!" cetusnya dengan sebuah perintah.

Para penjaga segera mengepungku, aku tidak berbuat apa-apa dan hanya pasrah ketika empat orang penjaga mendekat dan membelenggu kedua tanganku ke belakang.

Aku menghela napas panjang.

Penjaga yang ada di belakangku mendorongku dengan kasar supaya aku berjalan lebih cepat.

Rosalina melihatku dengan senyum puas.

Baiklah.

Kali ini aku yang terlalu ceroboh.

Lain kali aku tidak akan kalah.

Selang beberapa menit dua orang penjaga menghantamku hingga ambruk ke salah satu sel penjara.

Para bajingan ini tidak menghormatiku sebagai pangeran sama sekali.

***

Keesokan paginya : Istana Matahari

Pintu ruangan kaisar terbuka, Marquis Lucien bersama Barsan sang Knight memasuki ruangan.

Keduanya bersamaan memberikan salam.

"Salam bagi matahari kekaisaran."

Valerius sang kaisar tengah sibuk seperti biasa dengan dokumen-dokumen istana.

Hari ini ia hanya mengenakan pakaian sederhana dengan bagian dada yang terbuka.

Pandangannya kini tertuju pada Marquis Lucien dan Barsan.

"Yang mulia, saat ini pangeran Cassian telah ditahan di penjara istana." ucap Marquis Lucien.

"Apa yang terjadi?" Valerius masih terbenam dalam duduknya. suaranya bergetar berat.

"Salah satu selir anda melaporkan, bahwa ia mengacau di istana Langit." Barsan menimpali.

Valerius menyipitkan matanya, ia tahu benar apa yang terjadi.

Karena Valerius sendiri punya mata-mata yang bekerja seperti kamera pengawas di setiap sudut kekaisaran.

"Lepaskan dia." ucapnya singkat, suaranya memberikan keputusan mutlak.

Barsan tak membantah maupun menanyakan lebih lanjut, ia hanya membungkuk dan berucap.

"Baik."

Barsan meninggalkan ruangan kaisar. Marquis Lucien memberikan senyum miring.

"Tak disangka, pangeran kesepuluh langsung mendapatkan masalah begitu memasuki istana." cetusnya dengan tawa terkekeh.

"Lucien, sebarkan lagi tingkat kedudukan anggota keluarga istana di setiap sudut kekaisaran. Menyedihkan melihat seorang keturunan kaisar diinjak oleh seorang selir." katanya dengan suara menukik.

Marquis Lucien menaikkan alisnya.

"Bukankah anda tidak berniat ikut campur dalam pertikaian ini yang mulia?"

Valerius mengambil kembali penanya.

"Aku hanya menegaskan aturan kekaisaran." jawab Valerius menghindari tatapan pria di hadapannya.

Lucien mendegus lirih atas sikap kaisar yang penuh dengan kepedulian berbalut ego.

"Sesuai perintah anda yang mulia." Lucien berbalik meninggalkan ruangan itu, suaranya penuh dengan kepatuhan.

***

30 menit kemudian : Penjara istana

Suara besi yang saling bertabrakan bagai rantai yang mengikat para tahanan.

Cassian melihat sekeliling penjara, terdapat banyak tahanan dengan rupa yang sudah tak layak.

Bau di sana pun menyengat.

Ia menghela napas.

Tiba-tiba suara sepatu menggema mendekat.

"Rupanya anda, Marquis Lucien." ucap Cassian bangkit dari duduknya, kedua tangannya mencengkram jeruji besi. Marquis Lucien tersenyum miring.

"Yang mulia, anda sudah membuat kegaduhan begitu memasuki istana." sahutnya pria berusia 25 tahun itu menempelkan kunci pada lubangnya, hingga pintu sel terbuka.

"Aku tak punya pilihan lain. Aku juga harus melindungi ibuku." lanjut Cassian melangkah keluar, bajunya telah lusuh terkena debu.

"Saya sarankan sembunyikan saja ibu anda dari istana." cetus pria berbusana beludru itu menatap Cassian dengan dengusan.

"Jarang sekali mendapatkan komentar sarkastik darimu." suara Cassian lemah, langkahnya mengikutinya dari belakang.

"Berusahalah untuk tidak terjebak dalam masalah yang lain." katanya menaiki tangga, Cassian mengangguk.

Mereka berdua keluar dari sel penjara menuju ke istana.

Sinar matahari menghujani, memberikan rasa kebebasan yang segar.

Sebaiknya aku mulai meneliti tentang sihir darah dan sihir kuno.

Tetapi mulai dari mana?

***

Aku menatap pria dihadapanku itu dengan sebuah ide.

"Marquis Lucien, apakah saya bisa menggunakan perpustakaan istana?" tanyaku dengan wajah tertimbun tanda tanya.

Marquis Lucien terhenti, ia menoleh dan menatapku.

Terdiam sejenak kemudian mengangguk.

"Ya, tentu. Anda adalah pangeran sekarang." jawabnya dengan wajah tanpa reaksi.

"Terimakasih banyak." aku melangkah pergi, suaraku pecah dengan keletihan.

***

Istana bintang : Paviliun Cassian

Aku kembali ke paviliun.

Lux sudah menunggu di halaman depan dengan raut wajah berkerut.

Ia berlari menghampiriku.

"Yang mulia, anda baik-baik saja? Saya mendengar insiden yang terjadi." tanyanya penuh ketergesaan.

Aku mengangguk, terpampang hidangan di atas meja dari kejauhan, aku menaikkan alisku.

"Anda harus makan terlebih dahulu." ucap Lux menghantarku ke tempat duduk.

Aku terbenam di kursi halaman.

Tepat di depanku sudah tersaji hidangan lezat dari daging-dagingan dan sayuran.

Beberapa di antaranya ada hidangan penutup yang manis.

Sayang sekali, jika makanan-makanan ini diracun seluruhnya.

Padahal baunya lezat.

Aku memotek sepotong paha ayam, lalu mendekatkannya ke mulutku.

Begitu menyentuh lidah gigiku mengoyaknya pelan.

Aku terdiam sejenak bagai menunggu reaksi.

Apakah aku yang terlalu waspada?

Atau wanita itu menggunakan racun yang tidak bisa dideteksi?

Dengan sebuah ide, aku tersenyum miring

"Lux panggil dua pelayan itu." kataku dengan seringai tipis.

Lux memanggil dua pelayan wanita yang berjaga di halaman paviliun.

Keduanya menghadap.

"Ya, yang mulia?" ucap keduanya dengan pandangan tertunduk.

"Makan." kataku.

"Maksud anda?" tanya salah satu di antara mereka.

"Makan!" tegasku.

"Kami tidak berani, bagaimana bisa mengambil makanan yang mulia." ucap satu pelayan lain.

Lux menatap mereka dengan ketidakpuasan, keduanya menampilkan sorot mata gelap.

Akhirnya dengan tangan gemetar keduanya mengambil salah satu hidangan dan mendekatkannya ke mulut.

Begitu makanan itu hampir tersentuh lidah, keduanya nampak pucat.

Namun tetap melahapnya dengan bibir yang bergetar.

"Bagus. Lux, mulai besok aku akan pergi ke area training untuk latihan pedang." ucapku lanjut memakan paha ayam itu.

Lux menoleh, kedua alisnya turun.

"Tapi yang mulai, anda belum punya guru seperti pangeran lain." lanjutnya dengan lekuk bibir turun.

"Tak masalah, aku bisa mendapatkannya nanti." jawabku dengan tubuh yang bersandar di kursi kayu solid itu.

"Sesuai keinginan anda." Lux berdesah kasar, ucapnya tanpa keberatan.

***

Sore hari : Istana bulan

Langkah kaki yang berat berdenting menuju ruangan permaisuri.

Sosok dengan badan proporsional mengenakan jubah beludru berwarna merah marun terhenti.

"Ibu, saya sudah kembali." ucapnya dengan pose bersujud.

Alactra Derek Magnus, pemuda berusia 16 tahun itu telah kembali dari akademi. Tubuhnya berbentuk trapezoid nampak menawan mengenakan pakaian kerjaan. Wajahnya persegi dengan rahang tegas memberikan kesan sosok yang kuat bila dipandang.

Mata hooded terlihat teliti mengamati lingkungan sekitar tak lupa alis melengkung tajam dan tebal.

Kesan pertama bila melihat pemuda itu adalah rasa intimidasi yang kuat.

Setelah Alactra memberikan salam, ibunya sang permaisuri memberikan senyum miring.

"Putraku, kamu sudah semakin dewasa." ucap Rosetta duduk di kursi santainya.

Menyenderkan tubuhnya setengah duduk.

Jemarinya bermain dengan rambutnya yang sedikit ikal.

"Kamu sudah mendengar kabarnya?" tanyanya, membuat Alactra diam sejenak. Hubungan antara Ibu dan anak itu nampaknya harmonis. Akan tetapi, Rosetta mendidik putra tertuanya dengan banyak manipulasi dan hukuman fisik.

"Ya, saya dengar adik bungsu saya sudah memasuki istana." Alactra mengepalkan tangannya.

Suaranya bergetar. Dengan masuknya Cassian tentu menambah daftar penghalang yang dapat mengancamnya meraih singgasana.

"Jangan biarkan dia lebih unggul." Rosetta menambahkan, baginya kekuasaan adalah segalanya.

Jika putranya menjadi pewaris selanjutnya, maka secara otomatis kekuasaannya akan lebih stabil.

Bahkan kaisar pun tak akan berani macam-macam kepadanya.

"Apa yang harus saya lakukan ibu?" tanya Alactra, kini raut wajahnya sedikit getir.

Ruangan itu menjadi hening dengan atmosfer berat.

Suara jam berdetik menambahkan ketegangan antara anak dan ibu di ruangan itu. Alactra tahu betul bagaimana sifat Rosetta, seorang wanita yang ambisius akan kekuasaan dan kotrol.

"Cukup lakukan yang terbaik, sisanya serahkan pada ibu. Ibu pastikan tahta itu hanya untukmu." cetusnya dengan sebuah lemparan pisau kecil yang mendarat di apel merah segar.

Kini tatapannya tajam, seakan siap menyingkirkan siapapun yang berani menjadi penghalang.

Alactra bangkit, tegaknya apik bak seorang bangsawan yang penuh wibawa.

"Sesuai keinginan Ibu." ucapnya penuh kepatuhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 36 : Pinjamkan Aku Pakaianmu

    "Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 35 : Mulut Mereka Lebih Besar Daripada Otaknya

    "Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 34 : Turun Tahta

    Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 33 : Pekerjaan Baru

    "Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 32 : Sebuah Lelucon

    Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 31 : Sebuah Janji

    Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status