LOGIN"Betul yang mulia, jika anda sudah memutuskan. Tentu pasti keputusan yang tepat bagi istana dan kekaisaran." ucap mereka dengan kedua pandangan yang enggan naik.
*** Keesokan paginya : Istana Kekaisaran Suara bersahutan datang dari aula halaman. Banyak sosok dengan tunik hitam putih berlalu lalang, berbagai bawaan mereka letakkan atau singkirkan. Seorang wanita baya dengan rambut putih berjalan dari sudut ke sudut lainnya bagai seorang pengawas. "Jangan letakkan bunga itu di sana." ujarnya pada salah seorang pria berbaju lusuh. Ia melangkahkan kakinya gesit berpindah ke area lain. Dekorasi merah sebagai warna dominannya telah terbentang sepanjang halaman istana. Tempat dengan bentuk persegi panjang itu memiliki air terjun bundar dengan taman berpagar hijau sebagai penghiasnya. Disana sudah terpampang Lux dengan dua sisi rambut yang dikepang. Terbungkus seragam pelayan, melakukan pengawasan khusus atas perintah sang tuan. Cassian waspada, bisa jadi ada hal-hal yang disabotase oleh seseorang untuk mencelakakan ia dan ibunya. Pintu kayu berpahat itu telah berderit. Lux menyiapkan pakaian istana yang akan dikenakan tuannya, Cassian. Jubah baju istana yang terbuat dari beludru tebal berwarna merah, panjangnya hingga lantai. Bawahannya adalah celana berwarna gelap dipadukan sepatu boots bersulam emas. Aksesoris pada pakaian Cassian adalah lencana istana dengan sarung tangan berwarna putih menambahkan kesan bersih dan rapi. Warna dominan adalah merah tua yang menjadi ciri khas bangsawan atas. "Bagaimana? Apa ada sesuatu yang mencurigakan?" tanya pemuda berambut hitam itu telah apik dalam setelannya. "Tidak yang mulia, acara itu sepenuhnya keputusan kaisar tanpa ada campur tangan permaisuri." jawab Lux, kedua pasang matanya turun ke bawah. Cassian bertoleh dari benda yang memantulkan bayangannya. "Apa ayah tau soal kekuatanku?" lanjutnya dalam tanda tanya. Jemarinya bergerak lirih. Sisir itu berpindah dari tangannya ke tangan Lux. "Karena beliau adalah kaisar, tentu tahu segala hal yang terjadi di dalam istana." ujar wanita itu menggaru rambut hitam basah tuannya. Kepala Cassian miring, matanya melebar dengan beberapa asumsi. "Pak tua itu sedikit menyeramkan." bisiknya. TREEETTTTT TREEETTTTT DUMM DUMM DUMM Meriahnya pesta upacara tak lekang dari para penonton yang hadir memenuhi kursi yang telah disediakan. Tak hanya mereka, para penampil hiburan telah siap siaga duduk di antrian menunggu giliran. Drum dan terompet masih menggema menyambut para tamu. Cassandra telah bersemayam di kayu solid. Mengenakan gaun istana berbahan sutra perak bertabur permata kecil berwarna merah. Rambut pirangnya berkilau terkena sinar matahari bagai emas diantara lautan biru. Cassian memberikan lengannya untuk digandeng sang ibu. Dengan sepatu hak tinggi yang terbuat dari kaca. Cassandra berjalan pelan penuh keanggunan mendampingi putranya. Kepalanya sedikit mendongak. Matanya bertemu dengan mata sang kaisar. Jantung Cassandra berdegup kencang, rasanya seperti gejolak masa lalu telah menghantamnya dalam sekali pandang. Pandangan kaisar jatuh mendarat menelusuri rambut pirang itu. Kedua bibir tipisnya naik ke atas. Singgasana kaisar berada di tengah podium utama, di sampingnya permaisuri dengan gaun merah gelap itu telah bersimpuh dalam kedua mata yang merancung dingin. Sedangkan dua kursi lainnya adalah milik kedua anak mereka. Alactra Derek Magnus dan Alectra Derek Magnus. Dengan rambut ungu gelap jatuh kebawah, mengenakan jubah baju merah yang sama seperti milik Cassian serta pangeran lain. Kedua kakinya melebar bagai menantang dominasi. Permata berwarna merah itu ditempa menggunakan kristal yang didapat dari tambang batu sihir, diberikan secara turun-temurun dari generasi sebelumnya, berhasil melekat di tubuhnya dengan apik sebagai simbol pewaris selanjutnya. Di kehidupan sebelumnya, Cassian pernah berpikir bahwa Alactra tak seburuk itu. Sampai realita berhasil merenggut nyawanya. Piciknya pria itu tak jauh beda dari ibunya. (Lama tak bertemu, putra mahkota.) (Kali ini, tahta itu tak bisa kau miliki.) (Kekacauan, akan terjadi. Tunggulah giliranmu.) "Kak, apa itu adik bungsu kita?" ucap seorang gadis berambut ungu gelap dengan gaun bangsawan sedemikian rupa. Ia kembali terdiam, sorot matanya menyebarkan intimidasi bagi setiap pasang mata yang memandangnya. Alectra menatap pemuda yang ada di podium bawah dengan segudang tanya. Kursi para selir saling berekatan membentuk garis rapi. Rosalina, Dalora dan Wilona telah bersemayam dalam keheningan palsu. Batin mereka diselimuti kegusaran yang terpendam apik. Tak mereka sangka, bahwa seorang pelayan yang diangkat menjadi selir akan mendapatkan pesta upacara semegah ini. Suara raungan terompet seorang dewan mengambil alih. TREETTTTTTTTT Kesunyian telah tiba, seorang pria baya dengan beludru panjang melangkah ke tengah-tengah podium bawah. "Upacara akan dimulai, silakan para hadirin untuk singgah dalam tempat masing-masing." ucapnya lantang Menjangkau setiap telinga yang ada di sana. "Sudah hampir 15 tahun lamanya sejak yang mulia kaisar, sang Magnus X mengambil seorang wanita untuk dirinya. Wilona Bactar Magnus yang merupakan putri keluarga Bactar menjadi yang terakhir sebelumnya. Kini, titah kaisar telah keluar. Casandra Leonce, anda mendapatkan kehormatan dari yang mulia kaisar Magnus—Valerius Leopold Magnus, untuk menduduki posisi selir selanjutnya dan mengabdikan diri sebagai bagian dari keluarga istana kekaisaran serta seluruh yang berada di bawah naungannya." jelas pria itu dengan batu sihir yang melayang di udara. Seorang pria baya lainnya memberikan sebuah gulungan mewah bercorak hitam dengan hiasan matahari. Cassandra melangkah maju dengan gaun yang diseret pelan. Tubuhnya menunduk meraih titah. Bangsawan serta perajurit yang berbaris memberikan salam penghormatan dengan lantang. "Selamat atas diangkatnya selir keempat Kekaisaran Magnus. Panjang umur bagi selir keempat." Raut ketiga selir tampak gelap, Rosalina dengan kipasnya selalu sigap menutupi ekspresinya. Sedangkan dua yang lain terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan. Cassandra melangkah kembali menuju tempat selir, membenamkan dirinya pada posisi duduk yang anggun. Sang dewan melanjutkan ucapannya. "Cassian Leonce Magnus, merupakan putra kandung kaisar dengan selir keempat Kekaisaran Magnus, anda telah dipanggil untuk menduduki posisi resmi sebagai pangeran kesepuluh kekaisaran Magnus. Atas titah kaisar, anda mendapatkan hak yang setara seperti keturunan kaisar yang lain serta kesempatan atas posisi penerus apabila beberapa syarat terpenuhi." lanjut pria itu dengan kedua mata yang tak berlekuk. "Selamat atas kembalinya bintang kesepuluh kekaisaran. Panjang umur bagi pangeran kesepuluh." sorai para bangsawan serta perajurit kembali menggema. Marquis Lucien maju, membentangkan sebuah gulungan, kemudian bersuara. "Tingkat kedudukan antar anggota keluarga kekaisaran. Kedudukan tertinggi anggota istana adalah kaisar dan permaisuri. Kedudukan setelahnya adalah putra mahkota, dan anak dari kaisar maupun permaisuri. Kedudukan setelahnya adalah seluruh keturunan kaisar. Baik dari permaisuri maupun selir. Kedudukan setelahnya adalah para selir." ucap Marquis Lucien sampai akhirnya kembali pada tempatnya. Bisik dari para penonton bergemuruh. "Bukankah mantan pelayan itu benar-benar beruntung. Tapi dengan wajahnya. Tak heran jika kaisar tergoda di masa lalu. Dulunya mereka telah ditolak istana. Kenapa sekarang tiba-tiba kembali?" "Entahlah, mungkin karena sekarang posisi Kaisar lebih stabil dan kekuasaan telah menyebar hingga ke benua lain." "Anak itu juga sudah besar sekarang, aku ingat saat dulu Cassandra datang dengan pakaian lusuh menggendong bayinya." Kejadian dua belas tahun yang lalu, siapa yang tak tahu. Bertepatan dengan terciptanya hutan merah karena hujan darah, seorang wanita dengan pakaian rakyat jelata mengendong bungkusan kain yang tebal, memohon di depan gerbang untuk dapat masuk. *** 12 tahun yang lalu JDERRRRR. Guntur tampak menggema lebih hebat dari biasanya, seorang bangsawan dengan tandu kereta kuda melewati jalan setapak setelah menyelesaikan urusan dengan istana. Sosok itu baru saja mendapatkan titah dari kaisar untuk mengabdikan hidupnya didalam istana, membantu segala urusan kaisar. Kedua panjaga gerbang saling berbincang lirih satu sama lain, sesekali mendongak ke atas melihat awan mendung yang semakin menggelap. "Bukankah pemuda itu salah satu lulusan akademi Hanzard?" cetus satu dari keduanya. "Ah maksudmu yang barusan pergi dengan tandu?" jawab yang lain dengan pertanyaan. "Ya, kalau tidak salah namanya. Lucien Devereuq. Dia baru saja mendapatkan gelar Marquis dari kaisar." lanjutnya mendekatkan wajah dan berbisik lirih. "Kaisar tidak pandang status, asal berguna semua bisa diatur haha." JDERRRRR. Guntur kembali mendera, kini diikuti rintikan hujan tipis. "Hei, bukankah ada yang salah dengan hujan ini?" ujar pria itu mengadahkan satu tangannya hingga mendaratlah rintik cair berwarna merah pekat. "Apa ini semacam fenomena alam yang langka?" lanjutnya membawa tetesan itu ke dekat hidung. "Shhh, ada seorang yang mendekat." cetus penjaga lainnya dalam posisi sigap. Para penjaga segera menghalang gerbang dengan kedua tombaknya. "Berhenti!" Owekkk!— JDEERRRR Suara tangisan bayi terdengar secara misterius, kedua penjaga itu menengok ke sekeliling tempat sampai akhirnya mendaratkan pandanganya pada buntalan kain tebal yang didekap seorang wanita berambut kuning lusuh dengan pakaian compang-camping. "Tolong, panggilkan kaisar. Tolong." rintihnya dengan suara bergetar lemah. Kedua penjaga itu menoleh satu sama lain sampai akhirnya berdiri tegap kembali. "Istana tidak bisa dimasuki sembarang, apalagi oleh orang sepertimu, Pergi!" Wanita itu meneteskan air mata, bersamaan dengan rintik hujan merah yang semakin deras. "Aku membawa putra kaisar! Biarkan aku masuk!" ujar wanita itu, kakinya bergetar bagai akan tersungkur ke tanah. Kedua penjaga itu menoleh lagi satu sama lain kemudian mengangguk pelan, satu orang penjaga segera berlari menghadap ke istana Matahari tempat kaisar berada. Di ruangan itu Valerius sedang bertengkar hebat dengan Rosetta mengenai beberapa hal. Deritan pintu berbunyi diikuti langkah yang terburu-buru dari penjaga gerbang. "Salam kepada matahari kekaisaran." "Salam kepada bulan kekaisaran." "Yang mulia! Seorang wanita mengaku membawa anak yang merupakan putra anda." kata Penjaga itu dengan baju besi yang terbasahi warna merah samar-samar. Permaisuri merancungkan pandangan, ia mengibaskan gaun lengannya dengan geram. "Omong kosong! Beraninya membual di hadapan kaisar!" ketus Rosetta dengan kedua bibir merah gelap. Valerius mengangkat tangannya lirih, menghentikan wanita itu untuk bicara lebih lanjut. "Aku akan menemuinya." ujarnya. Rosetta mendengus dengan kesal berencana mengikuti sang kaisar, melihat siapa wanita yang dilaporkan penjaga itu. Mendung semakin petang, hujan itu semakin deras hingga mata kaisar dan permaisuri memandang dengan heran dan rasa khawatir. "Hujan ini tidak normal." Pelayan segera datang memayungi kaisar juga permaisuri. Langkah mereka terdengar berat semakin dekat menuju gerbang istana. Setibanya kaisar, tepat di tengah gerbang, wanita itu mendongak tepat ke arah kaisar. "Yang mulia! Ini saya Cassandra! Yang mulia! B-bayi, bayi kita sudah lahir!" ucap wanita itu, bibirnya gemetar pipinya basah. Bukan hanya dengan air mata tapi juga warna merah dari air yang jatuh dari langit. Valerius menatap ke arah wanita bernama Cassandra itu dengan getir. Ia mendekat dan berbisik. "Cassandra. Ini anak kita?" bisiknya lirih. Wanita itu mengangguk dengan bergesa-gesa. Seakan menemukan secercah harapan agar ia dan putranya dapat bertahan. Valerius menatap permaisuri sekilas sampai akhirnya meminta pelayan menghantarkan Cassandra juga bayinya ke Paviliun tamu. Wanita lusuh itu berjalan dengan terhuyung lemah, hingga pelayan mendekap dan membantunya. Kini tinggal kaisar dan permaisuri. "Bagus! Anda sungguh luar biasa Valerius! Berhubungan dengan seorang budak lalu mempunyai seorang anak haram!" ujar permaisuri rancap setelah kembali ke ruangan kaisar. "Bukan rakyat jelata. Dia dulunya, pelayan pribadiku, Rosetta." sahut kaisar dengan suara parau. "Anak itu adalah putra kandungku. Pangeran dari kekaisaran Magnus." Kedua matanya merah, suaranya bergetar hebat. Rosetta melempar vas bunga ke lantai. PRANGGGGG. "Jangan harap! Singkirkan wanita juga anak itu! Atau aku tidak akan membantumu mendapatkan dukungan dari para bangsawan!" tapak langkah permaisuri penuh dengan dominasi, ia pergi meninggalkan Valerius dengan tangan yang masih mengepal. Sedangkan di satu sisi, Cassandra telah meletakkan gumpalan itu di sebuah dipan busa. Kain itu terbuka pelan menampilkan sesosok mungil yang geriknya bahkan tak terarah. "Nnn.." bayi itu bersuara, kedua matanya hitam mirip seseorang yang Cassandra kenal. Dagunya berkerut, alisnya turun. Air mata itu tak dapat ia bendung lagi. "Ini, berilah anakmu susu." ucap seorang wanita paruh baya menyodorkan satu mangkuk kecil susu putih yang masih hangat. "Dilihat dari rambut dan warna matanya, memang sepertinya anak kaisar." cetus wanita itu memindai benda kecil di hadapannya. "Tapi sepertinya kau terlihat tak asing...apa kita pernah bertemu?" lanjut wanita itu menimpali dengan pertanyaan. "Saya, Cassandra. Pelayan pribadi yang mulia kaisar." sahutnya meraup pelan susu hangat itu untuk ia dekatkan pada mulut bayinya. "Cassandra... Cassandra yang itu?! Pelayan berambut pirang yang selalu mencuri makanan kaisar?" kata wanita itu dengan suara penuh energi. Cassandra menggelengkan kepalanya, jemarinya masih berlanjut menyuapi sang buang hati. "Tidak mencuri, kaisar sudah memberi ijin." ucapnya lirih, geraknya terhenti. Kedua matanya sayu memandang wanita itu. "Apa... kaisar masih lama?" tanyanya dengan pipi yang basah. Wanita itu membisu, desahnya meruah kasar. "Aku tidak berniat membuatmu putus asa. Tapi...saat ini istana dalam keadaan kacau." kata wanita itu membenamkan dirinya pada kursi kayu. "Beberapa bangsawan melakukan pemberontakan, kaisar juga sedang tak stabil." lanjutnya menerawang tungku perapian. Mangkuk kecil itu telah kosong, liur menetes dari ujung bibir bayi itu. "Selain itu, kaisar saat ini telah memiliki tiga orang selir bahkan 9 anak. Aku rasa tidak ada harapan untukmu untuk bisa tinggal di istana." wanita itu melanjutkan penuh decak dari kedua bibirnya. "Siapa namanya? Laki-laki atau perempuan?" ujar wanita itu dengan kedua alis naik. "Cassian... Cassian Leonce. Laki-laki." Cassandra menggait tubuh buah hatinya. Menempelkan keningnya dengan lembut bersama tetes air mata. Air mata pengharapan bagi putranya."Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan
"Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat
Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil
"Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg
Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s
Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay