“Jadi, ini alasanmu batal menikahiku, Liam?" tanya Aleena dengan suara bergetar, matanya yang sendu menatap tajam ke arah pria yang pernah ia percayai sepenuh hati.
Ia tak tahu lagi harus berkata apa selain itu. Rasa kecewa, marah, dan sakit hati bercampur aduk dalam dadanya.
Liam tidak segera menjawab. Justru seorang wanita yang duduk di sebelahnya lebih dulu bersuara. "Apa? Menikah? Apa yang kau katakan? Memangnya kau siapa? Kenapa meminta kekasihku menikahimu?"
Rentetan pertanyaan itu meluncur tajam dari bibir Laluna, wanita yang kini tengah menggandeng tangan Liam dengan posesif.
Aleena menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ingin rasanya ia memberitahu wanita itu bahwa ia sedang mengandung anak dari pria yang kini duduk di hadapannya.
Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Liam sudah lebih dulu bangkit dari tempat duduknya. Pria itu menghampirinya dengan ekspresi datar dan tatapan yang begitu dingin.
"Ya, ini alasanku tidak bisa menikahimu. Jadi, sekarang pergilah. Kau sudah tahu alasannya," ucapnya tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Aleena terpaku. Bibirnya bergetar, hatinya serasa diremukkan menjadi serpihan kecil yang tak mungkin bisa disatukan lagi. Sakitnya begitu menusuk, jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik apa pun.
"Baiklah. Aku akan pergi," ucapnya lirih, berusaha tetap tegar meskipun hatinya hampir hancur berkeping-keping.
"Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal!"
Liam menyeringai tipis, lalu dengan santai berkata, "Itu lebih bagus." Tangannya meraih gagang pintu, membukanya lebar-lebar seolah tidak sabar ingin mengusir Aleena keluar dari kehidupannya.
Aleena menatapnya sekali lagi, penuh kebencian yang membara. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah kembali ke tempat ini, tidak ke kantor, tidak ke apartemen, bahkan tidak ke rumah Liam sekalipun.
Ia melangkah keluar dengan hati yang remuk, menahan isak tangis yang ingin pecah.
Setelah keluar dari gedung itu, ia berjalan tanpa arah, membiarkan angin menyapu wajahnya yang dingin.
Kedua tangannya perlahan mengusap perutnya yang masih rata, menyadari kenyataan pahit yang harus ia hadapi sendiri.
"Aku harus pergi jauh darinya. Aku tidak sudi bertemu dengannya lagi," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.
Usia kandungannya baru menginjak delapan minggu, namun luka di hatinya terasa seperti bertahun-tahun lamanya.
Ia merasa hancur, tak pernah membayangkan akan membesarkan anaknya seorang diri. Namun, di tengah kepedihannya, ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah membiarkan anaknya merasakan penderitaan yang sama.
"Maafkan aku, sayang..." lirihnya sambil mengusap perutnya dengan penuh kasih. "Kau harus lahir tanpa seorang ayah. Tapi aku berjanji akan menyayangi dan melindungimu dengan seluruh hidupku."
Tanpa menoleh ke belakang, Aleena melangkah pergi dari kota itu, membawa luka dan harapan yang baru.
Ia tak tahu apa yang menantinya di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: ia akan bertahan, demi anaknya, demi kehidupannya yang baru, tanpa Liam.
**
Aleena berdiri mematung di depan jendela apartemennya, menatap jalanan kota yang mulai diterangi lampu-lampu temaram.
Hatinya terasa sesak. Berapa lama Liam telah mempermainkannya? Sejak kapan dia dan wanita itu menjalin hubungan? Apakah selama ini Aleena hanya salah satu dari sekian banyak wanita di hidup Liam?
Benar-benar gila.
Aleena menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menahan gejolak emosi yang membakar dadanya.
Tangannya refleks mengusap perutnya yang mulai membuncit. Di dalam sana, ada kehidupan kecil yang kini menjadi alasan terbesarnya untuk bertahan.
“Apa kau yakin akan tinggal di sini dan membesarkan anakmu seorang diri?” suara Jenny, sahabatnya, membuyarkan lamunannya.
Aleena mengangguk mantap. “Ya. Aku akan tetap di sini. Aku ingin membuka café di seberang sana.”
Jenny menatapnya dengan ekspresi tak percaya. “Kenapa tidak kau gugurkan saja, Aleena? Liam tidak menerima kehadiran bayinya sendiri.”
Aleena menarik napas panjang, lalu menggeleng pelan. Ada keteguhan dalam sorot matanya.
“Tidak akan, Jenny. Aku tidak akan pernah menggugurkan kandunganku! Biar saja Liam tidak mau bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anakku tanpa sosok ayah di sampingnya.”
Jenny menghela napas kasar. Wajahnya dipenuhi amarah dan kekecewaan. “Liam benar-benar gila! Bisa-bisanya dia mengusirmu, padahal kau sedang mengandung anaknya? Lalu sekarang dia sudah punya wanita lain? Oh my God. Kau benar-benar salah memilih pasangan, Aleena.”
Aleena tersenyum miris. Pahit. Pedih.
“Ya. Aku tahu itu.” Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam kesunyian malam. “Awalnya aku pikir dia akan menjadi cinta terakhirku. Rupanya aku salah. Aku telah mencintai pria Casanova. Seorang pemain wanita yang memiliki banyak perempuan di hidupnya.” Aleena mengusap pipinya yang mulai basah.
“Dan yang lebih buruknya lagi, aku telah mengandung anak dari pria seperti itu. Aku hanya salah satu dari sekian banyak korban.”
Ia kemudian mengangkat wajahnya, menatap Jenny dengan sorot mata penuh tekad. “Aku bersumpah tidak akan pernah mengenalkan anakku padanya. Sebab dia sendiri yang menuduh bahwa ini bukan anaknya.”
Aleena menggeleng keras. “Tidak! Kau tidak bisa datang dan tiba-tiba mengklaim hak atas mereka! Kau tidak tahu apa-apa soal mereka! Aiden suka dinosaurus, Eve suka bunga matahari, dan mereka punya rutinitas, punya dunia yang tenang tanpamu!”“Dunia yang kau bentuk karena kau takut menghadapiku!” bentak Liam, kini hanya berjarak setengah meter dari Aleena. “Bukan karena mereka tidak butuhku, tapi karena kau tidak ingin aku kembali dalam hidupmu!”Aleena merasakan dadanya sesak. “Karena aku takut… mereka akan mencintaimu. Karena aku tahu, kau selalu bisa membuat siapa pun percaya padamu. Dan saat kau pergi lagi—”“Aku tidak akan pergi,” potong Liam tajam. “Tidak kali ini.”Keheningan menggantung di antara mereka. Suara hujan di luar terdengar samar, denting waktu seolah melambat. Tatapan Liam mengunci mata Aleena, seolah ingin menembus benteng pertahanannya.“Liam, tolong,” bisik Aleena dengan suara bergetar. “Pergilah. Aku mohon... jangan buat semuanya makin rumit.”Tapi pria itu tidak
Sementara itu, Aleena duduk di balkon rumahnya, memandangi langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah kering yang sebentar lagi akan basah oleh hujan.Di pangkuannya, Eve tertidur dengan napas teratur, tangan mungilnya menggenggam ujung syal milik Aleena.Di dekat jendela, Aiden duduk dengan serius, matanya menelusuri halaman-halaman buku dongeng kesukaannya. Suasana terasa damai, sejenak seperti tidak ada apa-apa yang salah di dunia.Ponsel Aleena bergetar pelan di sampingnya. Ia menoleh dan meraihnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Eve. Sebuah pesan singkat masuk, dari nomor yang tak ia simpan:Kita perlu bicara. Bukan sebagai mantan. Tapi sebagai ayah dan ibu dari dua anak luar biasa.–LiamAleena menatap layar itu lama. Jemarinya gemetar ringan, tapi bukan karena dingin.Ia tahu, pembicaraan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Apa pun yang akan dikatakan Liam nanti, itu akan menja
Siang itu, udara kota terasa panas dan menyengat. Matahari menyorot tajam di balik kaca jendela besar sebuah kafe berkelas di pusat kota.Di salah satu sudut ruangan yang cukup sepi, Liam duduk dengan pandangan kosong menatap cangkir kopinya yang sudah lama mendingin.Kemeja putih yang ia kenakan tampak kusut meski ia selalu rapi. Kancing teratas dibiarkan terbuka, lengan tergulung hingga siku, tapi tidak ada kesan santai dari penampilannya.Rahangnya kaku, dan matanya seperti terus terombang-ambing oleh pikiran yang tak kunjung menemukan dermaga.Cangkir itu sesekali ia putar dengan ujung jari, seolah mencari jawaban dari pusaran kopi hitam yang nyaris basi.Denting bel pintu kafe membuatnya menoleh cepat. Sosok tinggi dengan balutan gaun krem selutut dan sepatu hak tinggi memasuki ruangan.Rambutnya ditata sempurna, wajahnya dibingkai riasan profesional, dan di bibirnya terlukis senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.Laluna.
Esok paginya, Aleena bangun lebih awal. Ia sengaja menyiapkan sendiri sarapan anak-anak meski tubuhnya masih terasa lelah.Ia ingin menghindari segala kemungkinan bertemu Liam lagi, apalagi setelah ketegangan yang terjadi semalam. Ia tak ingin anak-anak berharap lebih. Dan yang paling penting—ia tak ingin hatinya goyah lagi.Namun rencana tinggal rencana.Saat ia sedang mencuci tangan di dapur, suara bel rumah mengejutkannya. Ia menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul 06.45 pagi. Alisnya langsung berkerut.Ia berjalan ke pintu depan, membuka sedikit tirai di jendela samping—dan jantungnya langsung berdegup kencang. Liam berdiri di sana.Membawa dua kotak makan putih dan dua kantong kecil berisi susu cokelat dengan gambar kartun kelinci di depannya. Susu favorit Aiden dan Eve.Aleena menghela napas panjang sebelum membuka pintu dengan cepat, menahan tubuhnya agar tidak langsung meledak.“Kau pikir bisa masuk semudah itu ke hidup kami?” desisnya kemudian menghadang pria itu sebelum sem
Aleena menatap kedua anaknya, lalu Liam. Ia tahu ini awal dari sesuatu yang besar—pertempuran panjang yang tak lagi bisa ia hindari.Tapi melihat tatapan tulus Liam pada anak-anak mereka, hatinya melemas, meski ia mencoba mengingkarinya.Liam masih berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis yang tak bisa disembunyikan.Tatapannya jatuh pada Eve yang menggenggam tangan Aleena erat, dan Aiden yang tampak ragu namun memancarkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.“Ayo cepat, sebelum Om Liam berubah pikiran,” ucap Liam sambil mengedip pada Eve. Suaranya ringan, tapi ada getaran harap yang dalam.Eve cekikikan kecil, dan Aiden menoleh ke arah Liam dengan senyum malu-malu. Ada sesuatu yang berubah dari anak laki-laki itu sejak mereka bertemu Liam—Aleena bisa merasakannya.Aleena tidak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah mereka dari belakang, dengan segudang pikiran yang berkecamuk di benaknya. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki dan hatinya tak lagi sejalan.Ia menunduk, mem
Aleena terpaku. Napasnya tercekat, seolah udara di sekelilingnya mendadak menghilang. Nama itu—John—keluar dari bibir Liam seperti peluru yang menghantam jantungnya.Ia tak tahu dari mana pria itu tahu, atau seberapa banyak yang sudah ia ketahui, tapi satu hal pasti: Liam tidak main-main.“Apa maksudmu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, matanya menatap Liam dengan campuran ketakutan dan kebingungan.Liam mengendurkan genggamannya, tapi tetap berdiri tak jauh darinya. Tatapannya masih menusuk, namun kini diselimuti aura yang lebih gelap.“Maksudku jelas, Aleena. Pria itu bukan seseorang yang bisa kau andalkan. Dia hanya datang saat keadaan tenang, saat semuanya baik-baik saja. Tapi ketika badai datang, dia akan lari.”Aleena menggeleng cepat, mencoba menyangkal. “Kau tidak tahu apa-apa tentang John!”“Tapi aku tahu segalanya tentangmu,” balas Liam tenang. “Aku tahu bagaimana caramu menyembunyikan luka. Aku tahu nada suaramu ketika kau berpura-pura bahagia. Dan ak