Share

Si Kembar yang Menggemaskan

Lima tahun kemudian.

"Kenzo, Kenzi, ayo sini sayang! Sekarang kita sudah punya rumah baru!"

Alana melambaikan tangannya pada dua bocah yang tengah bermain dengan anjing baru mereka di teras depan rumah. Mereka langsung berlari begitu Mamanya memanggil.

"Yeay asik! Tidak sama Kakek lagi!"

"Kakek galak, ditinggal saja ya Mom!"

Kedua bocah laki-laki itu bersorak masuk ke dalam sebuah rumah yang bisa dibilang cukup megah untuk ditempati Alana dan si kembar.

Kenzo dan Kenzi adalah buah satu malam yang Alana lakukan lima tahun yang lalu. Hingga lahirlah si kembar yang pintar, cerdas, anak manis, menggemaskan, dan tentu saja mereka nakal.

"Mom, Kenzo mau di kamar yang di atas sana, boleh ya Mom?!"

"Kenzi mau bobo sama Mommy saja," sahut si bungsu yang memeluk kaki Alana.

Kenzo berdecak lidah melihat tingkah manja kembaranya. "Ah payah! Manja sekali. Anak laki-laki tapi masih saja manja sama Mommy! Berani dong, kayak Kenzo," cibirnya sombong.

"Mom... Kenzo nakal! Cubit dia, Mom!" Kenzi mendongak menatap Alana seraya menunjuk ke arah Kenzo.

Alana menggeleng-gelengkan kepalanya pelan dan terbungkuk mengusap kedua pipi gembil Kenzi.

Anak itu selalu kalah dengan Kakaknya, karena Kenzi sangat berbeda dengan Kenzo, sejak bayinya dulu Kenzi sudah manja, banyak perhatian dari Alana karena anak itu mudah sekali sakit dan kondisinya yang sangat rentan.

"Tidak boleh sayang, kan sudah janji sama Mommy, kalau sudah punya rumah baru tidak akan nakal lagi," ujar Alana tersenyum hingga kedua matanya menyipit.

"Alana," panggil Stella membuat Alana menoleh ke belakang.

"Iya Ma?"

Wanita itu meletakkan beberapa tas besar di sofa, ia berjalan mendekati Alana yang kini menggendong Kenzi. Tatapan mata Stella menjadi teduh dan sedih menatap anak dan cucunya.

"Rumah ini dulu tempat tinggal kita juga, apa kau ingat, nak?" tanya wanita itu.

Alana diam menatap seluruh ruangan rumah itu, namun Alana menggeleng-gelengkan kepalanya.

Stella menatapnya sedih dan mengusap punggung Alana.

"Ma, kan Alana sudah bilang kalau Alana tidak mengingat apapun," ucap Alana sedih.

Stella memeluknya, wanita itu menangis tanpa suara betapa sedihnya nasib putri sematawayangnya. Lima tahun Alana kehilangan ingatannya setelah kecelakaan yang dialaminya, bahkan saat hamil pun Alana lupa dan tidak tahu siapa ayah dari kedua anaknya dan di mana laki-laki itu saat ini.

Kehamilan Alana membuat Frans Papanya, murka. Laki-laki itu memarahi Alana habis-habisan meskipun susah payah Alana mengingat masa lalunya, namun tidak sedikitpun ia mengingatnya. Terutama Ayah dari si kembar yang sampai saat ini tidak diketahui oleh siapapun.

"Alana yakin tinggal di sini hanya bertiga saja? Kalau ada apa-apa bagaimana, Sayang?" tanya Stella mengusap rambut panjang Allana.

Alana malah tersenyum pahit, "bukannya Papa meminta Alana pergi? Alana ingin hidup mandiri dan membahagiakan kembar tanpa meminta bantuan siapapun kecuali bekerja keras sendiri, Ma. Lagi pula... Papa tidak menyukai kembar sebagai Cucunya, anakku hanya biang masalah bagi Papa," ujar Alana berkaca-kaca dan mengusapnya dengan cepat.

"Mommy jangan nangis, tidak boleh sedih, nanti Kenzi ikut sedih," ujar Kenzi menarik pipi Alana dengan tangan mungilnya.

Alana terkekeh pelan, ia mengecup pipi putranya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak sayang, Mommy tidak menangis! Lebih baik sekarang Kenzi panggil Kakak, bantu Mommy di sini, okay?!"

"Siap Mom! Nanti jangan lupa buatkan telur mata sapi!" pekik anak itu turun dari gendongan Alana.

Alana mengangguk pelan dan tersenyum lebar. Putranya pun langsung berlari menaiki anak tangga mencari kembaranya.

Sementara Stella masih di sana memperhatikan Alana yang membawa masuk beberapa barang-barangnya dan juga koper berisi pakaian milik si kembar.

"Sayang, kalau kau membutuhkan sesuatu, kau bisa menghubungi Mama," ucap Stella kembali, jujur ia berat melepaskan Alana untuk tinggal sendirian, putrinya itu selama ini adalah gadis manja yang selalu mengandalkan orang tuanya.

"Iya Ma, Mama tenang saja. Nanti Alana bisa pergi mencari kerja, si kembar juga harus bersekolah di sini juga kan," jawab Alana dengan tulus.

"Tapi Sayang...."

"Jangan khawatir Ma, Alana yakin kalau Alana mampu, jadi... Mama jangan sedih." Alana masih sama, dia selalu membuat Mamanya berpikir kalau dirinya bisa kuat melewati segala hal.

Alana menghentikan kegiatannya, ia melihat dua anak kembaranya menuruni anak tangga.

Mereka berlari mendekat dan nampak bingung mulai dari mana mereka akan menolong Mamanya.

"Mom, Kenzo mau tolongin Mommy!" pekik bocah itu mendekati Alana.

"Kalian bawa saja kotak mainan ke kamar ya," jawab Alana.

"Siap Boss!"

Mereka berdua mengangkat kotak keranjang kecil dan membawanya naik ke lantai dua.

Alana mengembuskan napasnya berat, ia memalingkan wajahnya dan tertunduk memegang sebuah boneka kura-kura milik Kenzi.

Kehilangan ingatannya membuat Alana berusaha susah payah mencari puing-puing masa lalu yang tidak bisa ia pecahkan. Hanya banyak kesedihan di hatinya, apa lagi saat ia menatap si kembar yang mulai tumbuh besar, namun tanpa kehadiran seorang Papa yang membuat Alana banting tulang memerankan sosok terhebat untuk anaknya.

'Seandainya, Papa mereka masih hidup atau aku tahu siapa dia dan di mana keberadaannya, mungkin nasib kembar tidak akan seperti ini. Ya Tuhan... Semoga aku kuat menjalani kehidupanku.'

**

Seorang laki-laki tengah duduk di kursi agungnya di dalam ruangan kerjanya dengan sebatang rokok menyala di sela jarinya.

Di temani anak buahnya, Alexsander menatap beberapa berkas di hadapannya dan melemparkan dokumen-dokumen di sudut meja.

"Tuan Hans meminta Tuan Muda untuk pindah menangani perusahaan kita yang berada di Barcelona, karena Tuan Hans sudah Tua, beliau ingin di sini saja, Tuan."

Alex menaikkan salah satu alisnya dan ia berdecih malas.

"Papaku memang banyak maunya! Apa istimewanya di Barcelona?!"

"Emm, siapa tahu Tuan bisa menemukan gadis yang selama ini membuat Tuan gelisah," ujar Benigno menatap Alex.

"Alana maksudmu? Dia yang tiba-tiba saja pergi dan semua dokumen rahasia kantor kita ada padanya! Sial... Ke rumahnya pun tidak ada, ke mana gadis itu?!" Alex mengusap wajahnya, meskipun bukan hanya hal itu saja yang membuat ia merasa kehilangan Alana.

Helaan napas panjang terdengar dari bibir Benigno, laki-laki ini tidak jarang jadi pelampiasan amukan Alex yang tidak pernah cocok dengan kinerja semua orang, kecuali Alana. Asistennya yang hilang bersama berkas rahasia berisi banyak keuangan dan berkas kerja sama dengan perusahaan besar yang belum tersalin selama lima tahunan ini.

Hal itu menuntut kedua orang tuanya meminta Alex untuk mengambil alih perusaha mereka yang di Barcelona. Karena Han, Papanya Alex menganggap putranya sangat ceroboh dan bodoh, padahal berkas itu hilang karena Alana.

"Jadi, apa Tuan Alex bersedia memimpin perusahaan Tuan Han di Barcelona?" tanya Benigno.

"Ya, aku akan ke sana. Tapi jangan sampai lalai dengan tugasmu, Benigno!"

Benigno mendengkus pelan dengan satu perintah Alex selama lima tahun ini yang tidak bisa ia pecahkan. Mencari Alana, sama halnya mencari jarum dalam tumpukan jerami.

"Saya sudah mencoba mencari ke mana-mana Tuan, bahkan semua informasi tentang keluarga Nona Alana juga tidak bisa saya temukan." Benigno berucap frustrasi.

"Tapi itu tugasmu, sialan!" amuk Alex menggebrak meja kerjanya.

"Baik Tuan, saya akan tetap mencarinya," jawab Benigno dengan pasrah. Tidak semudah itu memahami Alex yang tempramen.

Alex mengusap wajahnya dan memijit pangkal hidungnya dengan rahanganya yang mengeras kesal. Tiap mengingat Alana selalu membuatnya berdebar antara marah dan sebuah rasa yang tidak bisa ia artikan.

"Alana! Alana! Alana! Semua masalah datangnya dari dia! Ke mana dia?!" Alex mengepalkan jemari tangannya dan meninju meja kayu di hadapannya dengan napasnya yang naik turun. "Alana, awas saja kalau aku bertemu denganmu. Kau tidak akan aku lepaskan, Alana Stesia!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status