6 tahun kemudian...
"Sialan! Apa kau tak punya mata sampai menumpahkan susu milikmu pada celanaku?!" Teriak seorang pria dengan keras pada seorang anak perempuan berambut hitam yang saat ini tengah menundukkan kepala.Tubuh anak perempuan itu bergetar ketakutan mendengar bentakan pria dewasa di hadapannya. Mata bulatnya yang berwarna hijau terang sudah bersiap untuk mengeluarkan air mata. "Ben, tenangkan dirimu, ini hanya kesalahan kecil. Lagipula, adik manis itu tak mungkin sengaja juga menumpahkan susunya," ujar seorang gadis berambut pirang yang saat ini menenangkan pria yang bersiap kembali mengamuk karena celana yang ia gunakan menjadi basah dan lengket.Pria yang dipanggil Ben menatap tajam gadis berambut pirang itu dengan mata cokelatnya sembari mengeratkan rahangnya yang tegas hingga giginya mengatup. Wajah marah dan kesal bercampur menjadi satu di wajah tampannya."Tapi dia sudah menumpahkan susunya padaku, Marinka. Apalagi kita akan ada meeting dengan Adam Corp setelah ini. Apa yang akan mereka katakan saat melihatku berpenampilan konyol dengan noda susu di celanaku?"Ben bertanya balik dengan nada tinggi sambil mengelap celana hitamnya dengan tisu yang tersedia diatas meja. Omelan dan gerutuan yang tak pernah absen dari bibir tebalnya yang sedikit menghitam akibat terlalu sering merokok.Perempuan yang dipanggil Marinka pun menghela napas, lalu mendekati gadis kecil yang saat ini tengah bergetar ketakutan di hadapannya. Marinka hanya bisa mengelus rambut halus milik gadis kecil itu karena tak tahu harus berkata apa. Ia tak jago menenangkan anak kecil.Kini, suasana terasa hening seketika setelah mendengar teriakan Ben yang cukup memekakan telinga. Insiden barusan tentu saja menyedot semua perhatian di cafe itu.Mereka semua saling berbisik satu sama lain, menyayangkan tingkah Ben yang terlalu berlebihan memarahi anak kecil di tempat umum karena masalah sepele. Dalam suasana tegang yang nyaris mencekik udara di sekitarnya ini, datanglah seorang wanita muda menghampiri meja tempat Ben duduk."Sayang, kau tak apa?" Tanya wanita muda dengan wajah bak boneka menghampiri gadis kecil itu.Bocah itu langsung berlari ke arah wanita itu dan memeluknya erat, menenggelamkan kepalanya di dada wanita itu untuk menyembunyikan wajahnya."Sudah, tak apa. Kau aman bersama Mommy," hibur wanita itu sambil menggendong anak perempuan itu dengan suara lembut sambil sesekali menepuk pelan punggung mungilnya.Di belakang wanita muda itu terdapat seorang anak laki laki yang memiliki wajah yang sangat persis dengan gadis kecil yang tadi menumpahkan susu ke celana Ben. Bocah laki laki itu menatap ibu dan kembarannya dengan tatapan datar tanpa berkata apapun."Apa anda ibu dari anak perempuan ini?" Tanya Ben sambil menghampiri ibu dan anak yang kini tengah berpelukan itu. Wanita muda itu menganggukkan kepalanya dengan pelan menanggapi pertanyaan itu"Benar, saya ibu dari anak perempuan ini. Apa anak saya melakukan kesalahan pada anda?""Ya, dia menumpahkan susu padaku setelah berlari entah dari apa,"pria itu berkata sambil menunjuk celana hitamnya yang kini berwarna putih akibat susu yang ditumpahkan anak perempuan itu.Walaupun sudah dibersihkan dengan tisu, tetap saja noda putih yang tercetak di celana hitam itu tercetak dengan sangat jelas.Wanita itu melotot dengan mata doe hijaunya, seperti hendak keluar dari tempatnya. Ia menatap pria itu dan anaknya secara bergantian. Dengan cepat, wanita muda itu memasang raut wajah tak enak."Maafkan perilaku anak saya, Tuan," wanita muda itu menundukkan kepala saat menyadari kesalahan apa yang telah anaknya lakukan. Wajahnya membungkuk total seperti kebiasaan orang Jepang dengan poni yang menutupi wajah cantiknya.Jika dilihat lihat, baju yang dikenakan oleh wanita muda itu terlihat cukup lusuh, begitu pula dengan pakaian yang dipakai oleh si kembar yang saat ini sedang bersamanya. Ben menghela napas kasar lalu menatap ketiga manusia di hadapannya dengan tatapan merendahkan."Kau pikir maafmu cukup untuk mengembalikan celana yang kugunakan menjadi bersih kembali?" Tanya Ben dengan nada sarkastik, membuat gadis itu mengangkat kepalanya dengan tatapan menyesal. Mata hijau itu menyiratkan rasa sedih dan rasa bingung luar biasa.Wanita muda itu meremas ujung baju yang ia kenakan untuk meredakan kekalutan yang saat ini mendera dirinya. Ia menatap Ben dan kedua bocah kembar itu secara bergantian lalu menghela napas panjang."Saya bisa mencuci celana anda jika anda mau. Kebetulan, disini ada fasilitas laundry sebagai ganti rugi saya, tuan," ujar gadis itu mengusulkan niatnya agar masalah cepat selesai.Ben tertawa kecil dengan raut wajah sarkas dan marah. Ia mendekati wanita muda itu dan memegang kedua lengannya, mencengkeramnya cukup kuat sehingga wanita muda itu memejamkan matanya. Wanita muda itu bahkan sampai harus menggigit bibirnya agar ia tak meringis dan membuat kedua anaknya khawatir."Aku menolak permintaanmu! Kau pikir bajuku ini baju murah hingga kau mengusulkan untuk mencucinya dengan sabun murahan?""Tuan, kita bisa bicarakan ini baik baik. Tolong lepaskan saya terlebih dahulu," ujar wanita muda itu dengan nada memohon. Bukannya menurut, Ben malah memperkuat cengkramannya sehingga ringisan kesakitan akhirnya lolos dari mulut wanita muda itu."Paman, tolong lepaskan Mommy kami. Aku mohon, Paman," ujar gadis kecil tadi sambil menarik ujung jas milik Ben agar menghentikan aksinya.Ben yang melihat jasnya dipegang oleh gadis kecil itu tentu langsung menepis tangan gadis kecil tadi dengan kasar, hingga gadis kecil itu terjerembab. Bocah laki laki yang merupakan kembarannya langsung melotot, lalu menatap tajam Ben yang saat ini masih mencengkeram ibunya.Bocah laki laki itu segera menghampiri kembarannya dan membantunya berdiri. Setelah itu, ia menghampiri Ben dan segera menginjak kaki Ben yang terbalut sepatu pantofel dengan sekuat tenaga. Ben meringis kesakitan hingga cengkramannya mengendur. Walaupun masih kecil, tapi tenaga yang digunakan oleh bocah kecil itu cukup kuat juga."Akh! Sialan! Apa yang kau lakukan, hah?!""Melindungi Mommy dan Terra dari pria seperti anda," ujar bocah laki laki itu dengan nada agresif.Mata bulatnya yang berwarna hijau menatap tajam Ben yang saat ini tengah memegang kakinya. Bocah kecil itu merentangkan tangan mungilnya dengan maksud agar Ben tak lagi mendekati dan menyakiti Mommy serta adik kembarnya."Jangan paman dekati Mommy lagi, apalagi menyakitinya. Jika masih nekat, maka akulah yang akan memukul paman untuk menggantikan Mommy," sambung bocah itu lagi dengan nada mengancam.Ben tentu saja terkejut dengan perkataan bocah laki laki yang ada dihadapannya saat ini. Apakah ini perkataan dan tindakan untuk anak laki laki yang ia perkirakan berusia 5 tahun?"Wah...lihatlah dirimu, Boy. Kau mengancam pria dewasa sepertiku sambil menaikkan tatapanku padaku. Apa Mommy mu tak mengajarkanmu sopan santun, little one?"Saat bocah laki laki itu hendak menyahuti perkataan Ben, tiba tiba saja kepalanya dielus dengan lembut oleh tangan seseorang. Bocah laki laki itu menolehkan kepalanya ke arah belakang dan menemukan jika ibunya saat ini tengah mengelusnya dan menatapnya dengan lembut."Terry, sudahlah. Kau jangan seperti itu pada paman ini. Minta maaflah padanya karena kau sudah bersikap tidak sopan padanya,""Tapi Mommy, paman ini yang berbuat duluan. Dia menyakiti Mommy dan membuat Terra jatuh," ujar bocah kecil yang dipanggil Terry dengan nada kesal sambil menunjuk Ben dengan tangannya. Wanita tadi menggelengkan kepalanya melihat putranya bersikap keras kepala dan egois."Sayang,""Oke oke, Mommy. Aku mendengarnya," ujar bocah kecil itu dengan nada jengah. Ia mendekati Ben sambil menundukkan kepala, lalu mengulurkan tangan kecilnya untuk berjabat tangan."Aku minta maaf pada anda atas kesalahan yang aku buat barusan, paman,""Hmp! Dasar! Rupanya kau harus dimarahi dulu ibumu untuk bersikap sopan pada yang lebih tua," sarkas Ben yang membuat Terry mengepalkan tangan mungilnya. Terry menurunkan tangannya dan kembali menatap Ben dengan tatapan tajamnya."Dan lagi, aku tetap meminta kompensasi atas kejadian ini. Bagaimanapun, aku harus menghadiri pertemuan penting beberapa menit lagi,""Apa yang anda inginkan?" Tanya wanita berwajah boneka itu dengan nada lembut, berusaha untuk menekan emosinya agar tak terpancing."Aku meminta ganti rugi sebesar $1000 dolar padamu untuk celanaku,""$1000 dolar?!"Wanita muda itu berjengit kaget saat mendengar uang ganti rugi sebagai kompensasi atas kesalahan buah hatinya. Wajah wanita itu tampak gusar dengan raut wajah bingung yang begitu kentara di wajah cantiknya.Ben sendiri tampak menikmati ekspresi kalut itu, seolah ia sudah menemukan hiburan terbaru untuk mengusir rasa penat akibat pekerjaan yang mencekik dirinya. Wajah wanita muda di hadapannya sebenarnya sangat cantik, lebih cantik daripada Marinka yang berstatus sebagai sekretarisnya. Wajahnya yang mirip boneka itu menghipnotisnya. Dengan mata hijau yang begitu memukau, hidung kecil yang mungil namun mancung, kulit seputih susu dengan bibir merah mungil yang menggoda. Rambutnya yang berwarna hitam terlihat begitu lembut dan halus dan sangat pas dengan potongan rambut hime yang dipadukan dengan wolf cut dibagian depan, lalu rambut panjang yang lurus sebokong dibagian belakang. Tubuhnya seperti gitar spanyol, begitu indah dan memikat. Akan tetapi, pria itu sedikit terganggu dengan ba
Mata Ivy bergulir ke samping dengan genggaman tangan yang menguat pada kedua tangan anaknya. Bibirnya ia gigit dengan napas tertahan, membeku mendengar pertanyaan itu. "Maaf?" "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Ben mengulangi kalimatnya. Ia dengan sabar menunggu jawaban dari wanita muda beranak dua di hadapannya, ingin memastikan ingatan samar yang tiba tiba saja melintas di kepalanya saat ia melihat wajah Ivy. Pria itu yakin sekali jika wanita muda yang berada di hadapannya ini adalah orang yang selama ini ia cari. "Kita tak pernah bertemu sebelumnya, Tuan," jawab Ivy dengan nada tersendat, seolah kehilangan suara. Tatapan mata Ivy terlihat begitu sendu, dibarengi dengan mata yang berkaca kaca. Ivy segera memejamkan matanya dan melirik kembali tangan yang dipegang oleh Ben. "Anda bisa melepaskan tangan anda, Tuan. Saya harus pulang karena harus bekerja," Ben segera melepaskan tangan wanita muda itu dengan cepat. Pria itu baru sadar jika ia masih memegang tangan Ivy
Ben segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya setelah melakukan meeting dengan pemilik Adams Corp. Pria itu merasa kelelahan luar biasa setelah mengalami hari yang panjang. Celana yang kotor ia lempar kedalam keranjang cucian kotor yang terdapat di sudut ruangan. Karena merasa gerah, Ben segera mengendurkan dasi yang mencekik lehernya dan menyalakan air conditioner. Begitu udara yang dihasilkan oleh AC itu memenuhi ruangan, Ben segera menutup matanya. Ia ingin tidur hari ini dan berencana akan pergi ke klub malam nanti untuk mencari wanita yang bisa diajak tidur dengannya. Rasa rileks dapat Ben rasakan saat ini. Dirinya hampir saja terlelap sebelum bantingan pintu yang kasar dan juga keras menghancurkan niatnya, hingga matanya kembali terbuka dengan sempurna. "Sialan! Kau tak bisa membuka pintu dengan lebih santai?" Hardik Ben seraya menatap tajam si pelaku yang saat ini tengah memasang wajah tak berdosa. Ben ingin sekali mencekik orang itu andai saja ia tak ingat ji
"Mengapa anda menanyakan suami saya?" Tanya Ivy pelan, merasa tak nyaman dengan topik pembahasan yang Ben angkat. Ini adalah pembahasan yang normal, namun entah kenapa terlalu sensitif untuk Ivy. wanita muda itu merasa jika Ben terlalu ingin tahu akan urusan pribadinya."Kau masih punya hutang tentang celanaku yang kotor gara gara anak perempuanmu, omong-omong," Ben mengingatkan dengan nada rendah, membuat bulu kuduk Ivy merinding disko karenanya. "Dan lagi, kau bisa meminta pada suamimu untuk ganti rugi yang kau lakukan padaku. Jadi, aku tanya sekali lagi, dimana suamimu?"Wanita muda itu ingin meninggalkan Ben saat ini, berlari sejauh mungkin dari pria itu. Tatapan mengintimidasi dan mendominasi yang Ben keluarkan membuatnya tak nyaman seolah tercekik. Hanya saja ia tak bisa melakukannya untuk sekarang. Ivy tak mau dilaporkan oleh Ben pada atasannya dengan alasan tak melayani konsumen dengan baik yang berakhir dengan pemotongan gaji. Tidak! jangan sampai hal itu terjadi padanya."
"Ini, cemilanmu," Ben menyodorkan satu kantong keresek besar berisi snack, kue kering dan beberapa minuman botol pesanan kakak kembarnya. Steve segera meraih kantung keresek itu dengan hati riang. Pria itu berjalan menuju ke sebuah sofa yang berada di sudut ruangan, mengabaikan Ben yang berdiri mematung disana. Ben mengumpat dalam hati melihat perilaku Steve yang menurutnya kurang ajar. Bukannya berterima kasih, pria itu malah melenggang meninggalkan dirinya sendirian disana seperti orang bodoh. Dengan kesal, Ben segera menghampiri Steve yang saat ini tengah duduk santai di sofa sambil membuka snack dan kue kering yang tadi ia beli."Bukannya berterima kasih, kau malah meninggalkanku disana seperti orang bodoh," gerutu Ben kesal. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa single terpisah yang berada di sebelah Steve sambil memijat kepalanya yang terasa berdenyut."Heh, biasanya juga kau langsung pergi," sahut Steve dengan yang terdengar menyebalkan di telinga Ben."Tumben kau masih d
"Maaf, tuan. Sepertinya saya harus menolak tawaran anda," Ivy menolak langsung tawaran itu lagi, tentu dengan bahasa yang sangat halus selembut sutra agar Ben tak tersinggung. Pria itu menaikkan alisnya, bingung dengan penolakan yang dilontarkan oleh wanita beranak dua di hadapannya. Matanya menelisik ke arah Ivy, dengan tatapan penasaran dan juga menuntut disaat yang bersamaan."Kenapa kau menolakku? Apa alasannya?" Tanya Ben bertubi tubi, tak terima ditolak lagi untuk kedua kalinya. Pria itu berusaha untuk mempertahankan sikap ramahnya agar bisa menggali rasa tertariknya pada Ivy.Ivy tersenyum manis menanggapi pertanyaan itu. Ia menghela napas sejenak dan kembali menatap Ben dengan senyuman kecil yang terukir di bibir mungilnya yang merah dan menggoda.Ben kehilangan fokus. Ia malah memerhatikan bibir mungil itu. Rasanya Ben ingin mencecap bibir manis itu dan membungkamnya dengan bibirnya. Berbagai pikiran liar kini merasuki tubuhnya, membuat hasrat yang terpendam entah kenapa te
Setelah pulang berbelanja bulanan, Ivy segera membereskan semua yang tadi ia beli ke dalam kulkas, tentu dengan dibantu oleh si kembar. Kedua anaknya itu begitu bersemangat menyodorkan benda yang tadi mereka beli pada Ivy. "Mommy, aku mau mengatakan sesuatu pada Mommy," ujar si kecil Terra yang saat ini menyodorkan sekotak telur pada Ivy. Wanita berambut hitam itu menoleh pada anak perempuannya dengan senyuman lembut yang terukir di bibir mungilnya. Ia paling suka melihat anak anaknya mengatakan apa yang mereka pikirkan.Selain itu Ivy juga mengajarkan kedua anaknya untuk saling terbuka satu sama lain jika ada masalah ataupun pengalaman menarik yang mereka alami."Tentu saja, sayang. Apa yang ingin kau katakan pada Mommy?"Terra tampak ragu. Raut wajah si kecil terlihat gelisah disertai dengan tatapan mata yang terlihat menghindar dari Ivy dan juga kembarannya, Terry. Tentu saja ini membuat Ivy merasa bingung sekaligus heran dengan kelakuan anak bungsunya.Setelah mengambil kotak te
Untuk menghilangkan rasa tak nyaman karena tawarannya ditolak oleh Ivy, Ben mengendarai mobilnya menuju salah satu bar yang paling terkenal dikawasan ini. Pria itu berkendara dengan kecepatan penuh agar bisa segera mendinginkan isi kepalanya yang terasa kusut seperti sekarang.Tak membutuhkan waktu lama, Ben pun tiba di tempat tujuannya. Setelah memarkirkan mobil, Ben segera melangkahkan kakinya menuju ke dalam bar, melewati para bodyguard yang berjaga disana dengan santai. Pria itu memasukkan tangannya ke saku dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya.Begitu masuk, suara dentuman musik yang cukup keras terdengar di telinga Ben. Lampu disko yang warna warni memancarkan cahayanya. Bau parfum yang cukup menyengat bercampur padu menjadi satu di ruangan itu. Wanita wanita berpakaian seksi yang tengah menari dengan gerakan sensual menjadi pemandangan surgawi bagi lelaki yang ingin mencuci mata. Aroma alkohol yang cukup menusuk menjadi pelengkap bagaimana keadaan bar yang Ben samb