Share

2. Gadis Menjijikkan

Aвтор: Pixie
last update Последнее обновление: 2022-12-05 15:25:37

“Kenapa kau melakukan ini, Kara? Aku sangat mencintaimu. Kau memintaku menunggu sampai kita menikah. Aku terima. Tapi kau malah melakukannya dengan Rolland, sebulan sebelum pernikahan kita? Apakah kau sengaja menyakitiku? Atau kau besar kepala karena semua orang menjulukimu Nona Yang Paling Sempurna, hmm?”

Kerongkongan Kara tersekat. Hatinya hancur melihat air mata Finnic.

“Tolong ... percayalah padaku, Fin. Aku tidak tidur dengan Tuan Rolland. Aku—”

“Cukup Kara! Setiap kata dari mulutmu terasa seperti jarum yang menusuk hati. Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu. Kau sudah merusak kepercayaanku, harapanku, impianku. Mulai detik ini, aku tidak ingin melihatmu di kota ini.”

 “Tapi—”

“Kau akan menyesal telah menyia-nyiakan aku! Lihat saja! Ke mana pun kau pergi, akan kupastikan kau menderita. Tidak akan ada satu pun tempat yang mau menerima gadis menjijikkan sepertimu.”

Finnic menggebrak pintu lalu melangkah pergi.

“Tunggu ..., Finnic!”

Kara berusaha mengejar, tetapi lututnya masih lemah. Ia kembali membentur lantai. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah meratapi nasib.

Dalam sekejap, email pemecatan datang. Media sosialnya dibanjiri oleh hujatan. Semua orang di kantor menghina dirinya.

Secepat itu, dunia Kara berubah kelam.

Malangnya, empat setengah tahun kemudian, ia masih belum bisa bangkit. Satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan adalah keluarga—sang ibu yang selalu setia menemaninya, dan dua malaikat cilik yang dulu tidak sanggup ia gugurkan.

“Louis! Emily! Mama kalian pulang!”

Mendengar panggilan sang nenek, mata gadis mungil yang sedang membaca pun berbinar. Kilauan abu-abunya mengalahkan bintang paling terang.

Dengan sigap, ia melepas buku dan merosot dari kasur. Sambil tertawa-tawa, ia beradu cepat dengan saudara laki-lakinya.

“Mama pulang! Mama pulang!”

Tepat setelah Kara meletakkan plastik belanjaan di atas meja, si Kembar menyergap masing-masing kakinya. Melihat wajah imut yang ceria itu, rasa lelah pun sirna. Ia tersenyum lebar dan membelai lembut kedua anaknya.

“Kenapa kalian berlari sekencang itu? Kalau jatuh, bagaimana?”

Sambil menunjukkan deretan gigi mungilnya, Louis menggeleng tegas. “Aku tidak mungkin jatuh, Ma. Kakiku ini kuat.”

“Aku juga,” celetuk Emily seraya menyibak rambut panjangnya yang lebat dan bergelombang.

Ia persis seperti replika mungil Kara. Hanya mata mereka saja yang berbeda warna dan rambut Kara baru dipotong sebahu.

Sementara Louis ... ia seratus persen replika setan bermata abu-abu itu. Meski demikian, Kara menyayangi mereka sama besarnya.

“Apa yang Mama beli?” Telunjuk mungil Louis tertuju ke arah plastik belanjaan. “Karena itukah Mama pulang terlambat?”  

Keceriaan Kara sontak meredup. Ia tidak mungkin mengaku bahwa dirinya baru saja dipecat. Dendam Finnic jelas masih membara. Pekerjaan sebagai SPG saja tidak segan-segan dirampas.

Padahal, manajer yang memecat Kara saja tidak tega. Ia sampai memberikan pesangon dari tabungannya sendiri demi menebus rasa bersalah.

“Buku cerita? Bukankah Mama bilang kita harus hemat? Kenapa Mama membeli sebanyak ini?”

“Lihatlah rubik ini, Emily! Ini keluaran terbaru. Harganya pasti mahal!”

Kara terpaksa memalsukan senyum. Itu juga pemberian manajernya.

Pria baik hati itu merasa iba pada si Kembar. Sebentar lagi, mereka berusia genap empat tahun dan harus masuk TK, tetapi ibu mereka malah kehilangan pekerjaan.

Setibanya di kamar, Kara menghela napas melihat angka pada buku tabungannya. Tidak banyak yang tersisa di sana. Pesangon dari sang manajer memang cukup untuk menyambung hidup selama sebulan. Akan tetapi, bagaimana setelahnya?

“Haruskah aku mencari setan bermata abu-abu itu dan menuntut tanggung jawab? Hatinya pasti luluh saat melihat si Kembar.”

Namun, detik berikutnya, Kara mengerjap dan mengenyahkan keputusasaan dari pikirannya.

“Tidak. Laki-laki kejam itu tidak akan ragu membunuhku. Louis dan Emily bisa menjadi yatim piatu dalam sekejap, atau bahkan ... menyusulku ke surga.”   

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”

Mendengar suara Susan Martin, Kara spontan memasukkan buku tabungannya ke dalam laci.

“Ibu .... Aku baru saja menghitung pengeluaran dan pemasukan bulan ini. Aman,” angguknya seraya memalsukan senyuman. Namun, ketika mendapati sebuah kertas di tangan sang ibu, ia gagal menyembunyikan keresahan.

“Tenang. Ini bukan tagihan,” tutur Susan sembari duduk di sebelah Kara. Ekspresinya agak gugup dan diwarnai iba. “Ini ... undangan pernikahan Finnic.”

Raut wajah Kara seketika berubah muram. Nama itu tidak pernah gagal menguasai hatinya. Bahkan setelah berulang kali dijatuhkan, Kara tidak dendam. Ia hanya kecewa dan berusaha memakluminya. Ia pernah mencoba untuk membenci Finnic, tetapi gagal dalam hitungan detik.

“Dia akan menikah?” desah Kara tanpa sadar.

Sebelum ibunya menjawab, ia tertawa gersang. “Baguslah. Itu artinya, dia sudah berhasil melupakanku. Dia tidak akan mengusik hidup kita lagi, Bu.”

Susan tersenyum miris. Sambil mengelus pundak kurus putrinya, ia berbisik, “Kara, kamu tidak harus selalu tegar. Kalau kau ingin menangis, menangislah.”

“Aku tidak sedih, Bu. Untuk apa menangis? Aku justru lega. Sekarang, yang terpenting bagiku adalah si Kembar.”

Kara menyembunyikan kesedihan dengan baik di balik suara yang mantap. Akan tetapi, matanya tak bisa berpura-pura. Sang ibu ikut berkaca-kaca melihatnya.

“Mama.” Suara kecil tiba-tiba datang dari arah pintu.

Emily ternyata sedang berdiri di sana. Buku besar yang diseretnya hampir menyentuh lantai. Di sampingnya, Louis sedang asyik mengotak-atik rubik baru. “Ada tamu.”

“Tamu? Semalam ini?”

“Ya, kami mendengar suara ketukan pintu.” Louis mengangguk singkat sebelum kembali mengacak rubik agar warnanya berantakan.

Dalam sekejap, Kara dilanda kekhawatiran. Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke pintu depan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Комментарии (5)
goodnovel comment avatar
Ririn Khalimi
keren banget
goodnovel comment avatar
Musniwati Elikibasmahulette
menarik sekali ya ,karya mu thoor ...️
goodnovel comment avatar
Novitasari Sari
semngt kara jngn putus asa
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Latest chapter

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status