Saat mengintip dari jendela, Kara mendapati seorang perempuan seumuran ibunya. Penampilannya rapi dan berkharisma. Samar-samar, Kara dapat melihat kerlip mutiara pada bros di dada kirinya.
Di belakang wanita itu, dua orang pengawal berdiri tegap. Raut mereka tegas dan penuh waspada, tidak tampak membahayakan tetapi tetap mencurigakan. Meski demikian, Kara memberanikan diri untuk menemui tamunya.
“Selamat malam, Nona Martin. Saya Vivian Bell dari Savior Group. Apakah Anda keberatan meluangkan waktu untuk berbincang?”
Kara berkedip bimbang. Tangannya enggan melepas gagang pintu.
Mengamati keraguan gadis itu, Vivian pun menyodorkan kartu nama. Begitu memeriksanya, Kara tersentak.
“Dia seorang komisaris? Untuk apa orang berpangkat sebesar ini menemuiku? Dan bukankah Savior Group adalah perusahaan terkenal di kota tetangga? Apakah mereka ini penipu?”
“Saya sebetulnya berencana untuk menemui Anda besok siang. Sayangnya, saya harus kembali ke L City malam ini.”
Menimbang tutur bicara yang sangat tertata dan pembawaannya yang tenang, Kara akhirnya mempersilakan. Kalaupun wanita itu memang penipu, tidak ada banyak yang bisa diambilnya. Rekening Kara sekarat.
Saat memasuki ruang tamu, Vivian melihat sekilas kondisi sekitar. Ia tidak tampak terganggu dengan ukuran ruang yang sempit ataupun perabotan yang serba sederhana. Tidak ada kesan menyindir ataupun menyudutkan. Hanya sekadar melihat, tersenyum kepada anak-anak, lalu memulai percakapan.
"Savior Group sedang mencari sekretaris terbaik. Anda mungkin heran mengapa saya sampai turun tangan. Tapi, CEO kami sangat pemilih. Selama tiga tahun terakhir saja, dia sudah mengganti sekretarisnya sebanyak 50 kali."
"Lima puluh kali?" Kara terbelalak.
"CEO itu pasti sangat menyebalkan. Sekretarisnya tidak bisa bertahan lebih dari satu bulan," celetuk Louis tanpa mengalihkan pandangan dari rubik.
Mendengar komentar cerdas dari anak jenius itu, Vivian tersenyum. Ia tampak tertarik pada Louis. Sayangnya, ia tidak punya banyak waktu untuk basa-basi.
"CEO kami itu perfeksionis. Dia membenci kesalahan dan tidak segan-segan memecat karyawan. Karena itu, kami membutuhkan sekretaris profesional yang sempurna untuknya."
Mata Kara bergerak ke sana kemari. Kesimpulan dalam benaknya terlalu sulit dipercaya. "Apakah Anda menawari saya pekerjaan tersebut?"
"Benar, Nona. Beberapa minggu ini, kami sudah melakukan banyak investigasi. Kami berhenti setelah menemukan resume Anda."
"Tapi, saya belum pernah menjadi sekretaris. Sebelumnya, saya bekerja di bidang pemasaran. Titel sarjana saya pun rendah, bukan magister ataupun doktoral. Apakah mungkin saya orang yang kalian cari?"
Vivian tidak mengubah ekspresi. Bibir kecilnya tetap melengkung pada sudut yang sempurna. "Anda berhasil menduduki jabatan manajer hanya dalam waktu satu tahun sepuluh bulan setelah magang. Miller Corporation tidak sembarangan menilai karyawan, bukan?"
Sedetik kemudian, Vivian meletakkan secarik kertas di atas meja. "Ini kompensasi yang kami tawarkan pada minggu pertama kalau Anda bersedia."
Kara dan si Kembar kompak mengulurkan kepala. Begitu melihat angkanya, Kara tertegun.
"Itu cukup untuk biaya hidup sebulan!"
Tiba-tiba, Vivian meletakkan kertas lain.
"Ini kompensasi kalau Anda bisa bertahan lebih dari satu bulan."
Mata Kara semakin lebar. "Itu cukup untuk biaya sekolah anak-anak!"
"Dan kalau Anda bisa bertahan selama tiga bulan, ini akan menjadi kompensasi untuk bulan-bulan selanjutnya."
Begitu kertas terakhir diletakkan, mulut Kara ternganga lebar. Ia seperti melihat jalan keluar yang begitu terang.
"Aku tidak perlu khawatir lagi jika jumlah itu masuk ke rekening setiap bulan. Bukan hanya anak-anak yang sejahtera, Ibu juga bisa pensiun dari perpustakaan!"
"Hei, Emily. Itu berapa? Kamu yang lebih pintar matematika," bisik Louis seraya menyenggol lengan saudaranya.
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau nolnya ada enam itu satu juta. Itu nolnya ada delapan. Apakah seratus juta?"
"Mama terima saja. Nolnya banyak," bisik Louis sambil menutupi mulut dengan sebelah tangan. Ia tidak peduli jika Vivian tertawa simpul, sedangkan sang nenek memicingkan mata ke arahnya.
"Kalau Mama menerima pekerjaan ini, itu berarti kita harus pindah ke kota lain. Apakah kalian tidak keberatan?" tanya Kara dengan nada bijak. Ia tidak punya banyak waktu untuk berunding di ruangan lain.
Mendapat pertanyaan seserius itu, Emily berkedip-kedip, sedangkan Louis menatap Vivian dengan raut penasaran. "Bagaimana keadaan di kota Anda, Nyonya? Apakah aman dan menyenangkan?"
Vivian spontan menaikkan alis. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu dari seorang bocah yang masih sangat kecil.
"Tingkat kejahatannya cenderung rendah dan itu kota yang menyenangkan. Ada lebih banyak taman bermain dan pusat perbelanjaan di sana. Kalian bisa bersenang-senang bersama ibu kalian di akhir pekan."
"Bagaimana dengan perpustakaan? Nenek kami seorang pustakawan. Kami suka membantu Nenek setiap kali dia bekerja," tanya Emily dengan suara kecilnya yang memikat hati. Ia semanis gulali. Vivian akhirnya meloloskan tawa karenanya.
"Kebetulan sekali, kami baru membangun sebuah perpustakaan. Itu proyek amal. Kalau nenek kalian bersedia bekerja di sana, kami akan dengan senang hati menyambutnya."
Sementara Susan berterima kasih, si Kembar kompak melipat tangan dan berpandangan. Mereka persis seperti Kara yang sedang berpikir. Setelah menyipitkan mata dan memainkan alis, mereka mengangguk bersama.
"Baiklah, Mama. Kami tidak keberatan."
Melihat harapan yang terpancar dari mata si Kembar, sudut bibir Kara naik dengan sendirinya. Ia tidak perlu lagi mengajukan pertanyaan. Siapa CEO itu dan seberapa menyebalkan dirinya sama sekali bukan masalah. Demi menafkahi dua malaikat ciliknya, ia siap menghadapi bos besar yang perfeksionis itu.
“Kesempatan emas ini tidak boleh terlewatkan.”
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma