Jeremy diam-diam mengulum senyum. Ia sudah sering mengamati gelagat Frank Harper saat menghadapi wanita. Pria itu selalu menjaga jarak, sekalipun dengan Isabela.
Namun, dengan Kara Martin tadi, jarak mereka terlalu dekat. Jeremy bahkan sempat mengira bahwa Frank akan mencium Kara.
"Nona Martin, Tuan Harper memanggil Anda," ujar Jeremy dengan senyum lebar. Ia agak kesulitan menahan tawa karena imajinasi singkatnya itu.
Melihat keramahan Jeremy, mata Kara melebar. Pria itu terlihat lebih sangar dari si Setan Cabul. Ia sempat mengira bahwa Jeremy adalah kepala pengawal. Namun ternyata, pria itu jauh lebih hangat.
Dengan permintaan sesopan itu, Kara tidak perlu banyak waktu untuk mewujudkannya. Ia melangkah ringan menuju ruangan CEO.
Namun, begitu melihat tampang dingin Frank, hatinya kembali berat. Sulit dipercaya bahwa dirinya akan sering bertemu mata abu-abu itu.
"Kau pikir aku membayarmu hanya untuk bersantai?" Nada bicara pria itu sama mengganggu dengan tatapan sinisnya.
"Saya membaca buku panduan, bukan bersantai. Nyonya Bell memberi saya waktu sehari untuk mempelajari kebiasaan Anda."
"Bosmu itu aku, bukan dia. Perkataankulah yang harus kau dengar. Sekarang mulailah bekerja!"
Kara ternganga tanpa kata. Mata bulatnya berkedip-kedip seperti boneka. Ia belum membaca panduan. Bagaimana mungkin ia bisa bekerja?
"Apa yang harus saya kerjakan?" tanyanya tanpa berpikir panjang.
Frank menghela napas tak percaya. "Kau orang pilihan Nyonya Bell, tapi tidak mengerti tugas sekretaris?"
Bibir Kara langsung manyun. Ia masih belum terbiasa dengan sindiran tanpa jeda dari bosnya itu.
"Anda seorang pemimpin, tapi enggan memberikan instruksi yang jelas kepada karyawan? Penghargaan CEO terbaik itu Anda beli atau bagaimana?"
Senyum miring di wajah Frank sontak berubah kaku. Tangannya gatal, ingin menarik kerah baju. Kara Martin ternyata bukan hanya pandai, tetapi mahir membuatnya gerah.
"Kau menginginkan instruksi?" Nada suaranya mencurigakan.
Dengan mata menyipit, Frank beranjak dari kursi. Kemudian, sambil menyempal tangan ke dalam saku, ia memperhatikan Kara dari jarak tiga kaki.
“Baiklah, tapi sebelum itu, kau harus mencatat aturan dasar 3J baik-baik.” Sambil mengacungkan telunjuk, Frank mulai mengitari Kara.
"Pertama, jaga profesionalitas. Kau harus bisa memisahkan kehidupan pribadi dengan pekerjaan. Aku tidak peduli jika kau memelihara puluhan kucing atau ratusan ayam. Saat di kantor, seluruh pikiranmu harus fokus pada pekerjaan."
Belum sempat Kara menimpali, sang CEO sudah bicara lagi.
"Kedua, jaga jarak. Kau tidak boleh terlalu dekat denganku. Dua kaki adalah batasmu. Jangan sampai tunanganku cemburu pada gadis yang tak selevel dengannya. Itu sebuah penghinaan."
Kara memutar mata. Ia muak dengan sikap Frank yang selalu merendahkan dirinya.
"Ketiga, jaga penampilan. Kau termasuk salah satu representasi dari Savior Group, jadi kau harus tampil rapi dan smart. Jangan sampai klien memandang kita remeh karena ulahmu."
"Apa yang salah dengan penampilanku?" Kara tidak bisa menahan unek-uneknya lebih lama.
Frank sontak menghentikan langkah tepat di depan Kara. Mata abu-abunya mulai mengamati gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Setelah menggeleng jijik, ia menunjuk sepatu hitam sang sekretaris.
“Kau bukan anak magang, jadi singkirkan sepatu kuno itu. Dan celana itu ... tukarlah dengan rok. Dengan begitu, kau mungkin bisa terlihat sedikit lebih menarik. Lalu, blouse yang membosankan itu ... carilah yang lebih bermode. Terakhir, kepalamu.”
“Ada apa dengan kepalaku?” tanya Kara dengan nada horor. Ia masih bisa terima jika sang CEO memprotes outfit-nya, tetapi kepala? Apakah Setan Cabul itu juga ingin menggantinya?
“Kau tidak sedap dipandang. Buka ikat rambutmu!”
Kara terbelalak. Ia sedang dalam bahaya. Jika rambutnya tergerai, bukankah Frank Harper bisa lebih mudah mengenalinya?
“Saya lebih nyaman seperti ini, Tuan. Jika rambut saya tergerai, itu akan lebih merepotkan.”
“Kau yang repot, bukan aku. Buka sekarang atau aku yang membukanya!”
Kara menelan ludah. Ia ingin mencari alasan, tetapi tidak ada. Sambil menundukkan kepala, ia terpaksa menggerai rambutnya.
“Singkirkan kacamata itu juga!”
“K-kacamata? Bagaimana saya bisa melihat?” Kara terbata-bata. Ia baru sadar bahwa Frank Harper telah mencurigainya.
“Kau masih punya mata. Jadi, lepaskan!”
Frank tiba-tiba merebut kacamata Kara. Merasa topengnya lepas, gadis itu spontan menutup mata dengan sebelah tangan.
“Tolong kembalikan! Saya bisa pusing kalau tanpa kacamata!” Tangannya yang lain menggapai-gapai tanpa arah.
“Ini bukan kacamata plus ataupun minus. Apa yang kau pusingkan?”
Kara sontak mengintip lewat sela jari. Frank ternyata sedang menguji kacamata itu. Panik, Kara nekat merebutnya. Namun, sang CEO dengan sigap menangkap kedua tangannya.
Dari jarak sedekat itu, mustahil Frank Harper tidak mengingatnya. Namun, Kara telah terkunci. Ia tidak bisa lari. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah menutup mata dan mengernyitkan wajah.
Sayangnya, Kara tidak tahu bahwa taktiknya justru menyegarkan ingatan Frank. Pada malam panas mereka, ia secara tidak sadar membuat ekspresi itu setiap kali si Setan Cabul mendesak terlalu dalam.
“Kara Martin, kau yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya?”
Jantung Kara seakan meledak. Darah segar seperti berhamburan memenuhi rongga dadanya. Ia tidak bisa lagi bernapas.
Dengan mata terbelalak, ia hanya menatap lurus manik abu-abu di hadapannya. Wajah pucatnya terpantul di sana.
Jika tidak segera bertindak, ia yakin paru-parunya akan berhenti untuk selama-lamanya. Ia belum siap meninggalkan si Kembar bersama ancaman dari ayah kandung mereka yang tak berperasaan.
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma