Share

6. Gadis Tak Tahu Diri

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-05 15:42:10

"Ini juga harus kita bahas. Aku sudah lelah memberi kesempatan kepada orang-orang yang Bibi rekrut. Mereka tidak becus."

"Jeremy becus," sanggah Vivian sigap. Keanggunannya sedikit memudar.

"Nyaris becus. Masih ada satu tugas yang sampai saat ini belum dia selesaikan. Padahal, aku sudah memberinya waktu empat tahun lebih. Untung saja, dia masih orang terbaik yang kukenal. Jadi, dia masih kupertahankan."

Selagi Jeremy mendesah pasrah, Kara tertunduk dalam kebingungan. 

"Anda jelas mengerti bahwa saya tidak akan sanggup membayar denda. Bukankah ini berarti Anda melarang saya mengundurkan diri?" gumamnya.

"Ya, memang. Rakyat kecil sepertimu tidak mungkin punya uang sebanyak itu."

Masih dengan alis kusut, Kara berbisik, "Bukankah Anda tidak suka dengan saya? Kenapa malah menahan saya?"

Frank mendengus sinis. Matanya enggan beralih dari Kara. Ia masih penasaran dengan warna asli dari mata gadis itu. 

"Jangan salah paham! Aku hanya ingin memberimu pelajaran bahwa ... mengambil keputusan itu tidak boleh gegabah."

Kara ingin membantah, tetapi tidak bisa. Ia memang bersalah. Ia sendiri yang menandatangani kontrak tanpa memastikan siapa CEO-nya.

"Tapi, kalau kau ingin memanfaatkan situasi ini sebagai kesempatan, aku tidak apa-apa. Savior Group memiliki visi untuk menyelamatkan masa depan orang-orang. Barangkali, tiga bulan bekerja di sini, pola pikirmu bisa berubah. Percayalah, masa depanmu akan tetap suram kalau kepribadianmu masih seperti ini."

Kara menggertakkan rahang. Ia mulai kesulitan menahan kepulan emosi dari darahnya yang mendidih. 

"Kaulah yang membuat hidupku suram!" 

Kara ingin berteriak begitu. Namun, ia masih harus hidup. Sekarang, jalan terbaik adalah bersabar. 

"Anda tidak keberatan bertatap muka dengan saya selama tiga bulan?" 

Frank tersenyum kecil dan menaikkan alis. Responnya membuat Vivian memijat pelipis. Perempuan itu tahu kalau sang CEO pasti merencanakan sesuatu. 

"Baiklah. Saya akan menjadi sekretaris Anda untuk tiga bulan ke depan," sahut Kara mantap. 

Gadis itu mengerti bahwa pekerjaannya tidak akan mudah. Setan Cabul itu tidak mungkin membiarkannya damai. Namun, bukan Kara namanya jika tidak punya solusi dalam kesulitan. 

"Lihat saja, Frank Harper! Sebelum tiga bulan, aku pasti sudah meninggalkan perusahaan ini. Kau tidak akan betah memiliki sekretaris sepertiku."

“Tunggu saja, Nona Tak Tahu Diri! Tiga bulan ke depan akan menjadi momen tak terlupakan dalam hidupmu. Kau akan mengemis-ngemis memohon maaf dariku, dan mengakui bahwa kesombongan bukanlah alat untuk meninggikan derajatmu.”

***

"Tuan, kenapa Anda mengungkit kejadian empat tahun yang lalu? Bukankah Anda sendiri yang meminta saya untuk berhenti mengusutnya?" 

Mendengar pertanyaan tersebut, pria yang baru saja duduk di kursi bergeming. Aroma citrus yang terekam oleh hidungnya kembali terkenang, begitu pula dengan wajah lugu Kara yang tak asing.

Akan tetapi, ia tidak mungkin menjawab yang sejujurnya. Harkat dan martabatnya bisa jatuh.

"Apa kau lupa? Ben menghubungiku lagi. Dia seperti belum puas aku menolak permohonan kerja samanya empat tahun lalu. Atau bisa jadi, dia diam-diam menyiapkan sebuah rencana jangka panjang terkait insiden itu. Kalau itu benar, kita sudah kecolongan. Aku tidak seharusnya menyuruhmu menghentikan investigasi hanya karena gadis itu lenyap dari peradaban."  

Frank bersandar pada kursi empuknya. Wajahnya tampak kesal. Padahal, hatinya gelisah. Ia takut jika keangkuhannya berbalik menjadi bumerang yang mematikan.

“Kenapa aku tidak mengantisipasi hal itu sejak awal? Aku tidak seharusnya membebaskan gadis itu begitu saja. Dia bisa saja kembali bersama seorang anak. Kehadirannya bisa menjadi bom atom yang menghancurkan reputasiku dan perusahaan.”

"Ada baiknya, Anda berhenti mencurigai Ben Wilson, Tuan. Bukti yang saya kumpulkan dulu belum cukup untuk membuat kesimpulan." 

Frank menaikkan alis. Sebelum Jeremy menceramahinya panjang lebar, ia mengangkat tangan. Ia tidak peduli jika orang kepercayaannya itu dua tahun lebih tua darinya. Kedudukan Jeremy tidak lebih tinggi darinya.

"Kuharap kau tidak lupa. Aku mendadak kacau setelah bertemu dengannya di bar itu. Kalau bukan dia yang memasukkan obat ke dalam minumanku, siapa lagi? Dengan sembilan orang pengawal ditambah dirimu, satu-satunya orang yang berkesempatan melakukan itu hanya Ben. Kecuali, kau bisa memastikan bahwa seorang bartender yang melakukannya."

Memahami perintah tersirat dalam omongan itu, Jeremy pun mengangguk. Sudah lima tahun lebih ia menjadi orang terdekat Frank. Ia sudah sangat hafal dengan gerak-gerik dan siasat bosnya itu.

"Baiklah, saya akan melanjutkan investigasi. Lalu, bagaimana dengan Kara Martin? Haruskah saya menelusuri informasi tentangnya?"

Tawa kecil tiba-tiba tersembur dari mulut Frank. Telinganya gatal mendengar nama itu. "Kita tidak perlu menghabiskan waktu dan energi untuk gadis rendahan itu."

"Tapi Anda menahannya untuk tetap di sini. Bukankah itu malah dapat mengganggu performa Anda dan perusahaan? Atau jangan-jangan, Anda tertarik padanya? Anda tidak biasanya mempertahankan karyawan yang suka berbuat onar, Tuan." 

Lengkung bibir Frank sontak berbalik arah. Tebakan Jeremy telah membekukan hatinya. 

"Jaga mulutmu! Kau lupa kalau aku sudah memiliki tunangan yang nyaris sempurna? Aku tidak mungkin tertarik pada gadis culun seperti itu." 

Frank melirik ke arah Kara dengan ekspresi jijik. Gadis di balik kaca itu sedang sibuk membaca buku panduan. 

"Tapi Anda tidak pernah menyimpan rasa terhadap Isabela, Tuan. Hubungan kalian bahkan masih jalan di tempat. Saya rasa, bukan sesuatu yang mustahil jika Anda tertarik pada Kara Martin. Dia cantik, cerdas, dan berani. Sangat cocok untuk menaklukkan hati Anda."

"Kau sudah tidak sayang dengan lidahmu lagi, hmm?" ucap Frank sinis. "Jika masih, hentikan omong kosongmu. Sekarang, cepat panggil Gadis Tak Tahu Diri itu kemari.”

“Permainan harus segera dimulai.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ririn Khalimi
penasaran deh jd nya
goodnovel comment avatar
Tantina Wyvaldia
let's start the game sir
goodnovel comment avatar
El Leleseng
ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status