Share

Sabia

“Serius ini gue?” tanyaku tak percaya setelah melihat pantulan dicermin.

Puput mengangguk.

“Nggak nyangka ternyata gue cantik juga,” ucapku bangga sambil meraba wajah yang kini mirip dengan Sabrina.

“Lu tuh cantik, Bia,” puji Puput. “Tapi lu songong nggak mau glow up. Bangga banget dengan muka dekil lu itu.”

“Entar gue pikir-pikir dulu. Lagian ini demi naskah gue yang mau dijadikan series.”

“Akhirnya setelah lima kali ganti makeup ada yang cocok juga sama muka lu, Bi,” ujar Puput lega.

Aku tertawa membayangkan betapa kesalnya muka Puput setengah jam yang lalu saat aku memprotes hasil riasannya. Ya iyalah, siapa yang nggak protes kalau request biar jadi Lisa blackpink malah jadinya kek emak-emak mau kondangan.

Menor.

“Lu nggak sadar diri, Bia,” kesal Puput saat aku memprotesnya. “Muka lu juga pas-pasan, lu malah ngelunjak minta dibikin biar kek si Lisa.”

“Ya kan katanya lu biasa makeup-in artis.”

“Gue MUA, bukan dokter plastik!” protes Puput sambil menoyor kepalaku.

Ish, bisa bodoh aku nanti kalau ditoyor-toyor. Memang ada dokter plastik? Ngandi-ngandi memang si Puput.

“Ya kan kali-kali saja tangan lu ajaib gitu.”

“Mulut lu ajaib!”

Setelah kami berdebat cukup lama, akhirnya Puput mengalah lalu kembali menghapus riasan di wajahku.

“Ingat ya, jangan kek tadi. Bikin senatural mungkin, biar gue jadi cantik. Minimal kek Sabrina.”

Puput berdecak tapi tetap mengerjakan permintaanku.

“Gue bikin muka lu kek hutan tropis, dijamin natural,” kesal Puput.

Dih! Nggak jelas.

“E tapi, ini alat make up lu nggak bikin gue jerawatan kan, Put?” tanyaku.

“Kenapa memang?”

“Wajah gue jarang banget kena makeup apalagi skincare, takutnya habis lu makeup-in jadi jerawatan muka gue.”

“Lu tenang saja, ini kosmetik merek ini, jadi aman buat lu. Lagian gue pakai yang sesuai sama jenis muka lu kok.”

“Bagus deh,” ucapku lega.

“Selama ini lu pakai apaan buat wajah lu, Bi?”

“Air wudu.”

Lagi-lagi Puput menempeleng kepalaku. Bisa gegar otak lama-lama.

“Gue salah apa?” Tanyaku kesal. “Kata Pak Ustadz air wudu bikin wajah kita glowing.”

“Serah lu Bia, serah.”

Akhirnya aku tersenyum puas melihat hasil riasan Puput untuk yang ke sekian kalinya.

“Tapi kalo diliat dengan jeli memang sebenarnya lu agak sedikit mirip sama Sabrina,” ujar Puput membuatku terdiam.

Iya sedikit.

“Menurut lu apa yang mirip dari gue dan Sabrina?”

“Kalian sama-sama punya mata, hidung dan bibir.”

Kini ganti aku yang menempeleng kepala Puput, disusul dengan umpatan gadis itu.

“Teman nggak ada akhlak.”

“Coba deh, lu rawat sedikit badan lu, Bi. Jangan zalim sama diri sendiri.”

“Iya nanti kalau gue sudah dapat hidayah,” ucapku asal.

Diam-diam aku mengembuskan napas berat. Sampai kapan aku bertahan dari zona nyaman ini?

“Percaya sama gue, Bi. Lu itu cantik kalau saja mau benahi penampilan lu,” ucap Puput. “Lu dikasih badan dan wajah yang lengkap sama Allah, tinggal gimana lu mau merawat ciptaan-Nya.”

“Gue bilang nanti kalau dapat hidayah.”

“Semoga hidayah itu cepat datang sebelum lu meninggal.”

“Astaghfirullah doain yang baik-baik, Put. Nggak ada lagi lu temui teman kek gue.”

“Yang bulat kek lu banyak, Bi. Tapi yang ngeselin tapi baik hati cuman lu.”

Puput memelukku dari belakang. Ah dimana lagi dia temui teman sebaik aku?

__________________

“Sabia?”

Aku menikah ke arah Pak Rully—bos di tempatku bekerja sekaligus produser dari series yang akan diadopsi dari novelku.

Aku datang ke kantor 10 menit lebih awal. Pak Rully datang dengan seseorang yang kukenal sebagai sutradara terkenal.

“Kamu—“

“Silakan duduk, Pak,” ucapku menyela. Aku tahu dia akan berkomentar tentang penampilanku hari ini.

“Bukankah harusnya saya yang menyuruhmu duduk, Sabia? Ini ruangan saya.”

Aku menggaruk kepalaku yang tertutup kerudung peach.

Iya juga sih.

Setelah saling menyapa, kami berdiskusi tentang kerja sama yang akan kami lakukan. Pak Yudis—sutradara yang datang bersama Pak Rully sudah setuju untuk melalukan kontrak naskahku.

“Kamu bisa datang saat casting calon pemeran dalam series nanti,” ucap Pak Yudis.

“Tentu.”

Sebenarnya aku lebih suka bekerja dibalik layar. Terima beres. Tapi aku juga perlu melihat calon pemain yang paling cocok memerankan tokoh dalam novelku. Aku tak mau gagal dengan film pertama yang diadopsi dari ceritaku.

“Untuk waktunya, nanti akan saya kabari.”

Aku mengangguk mengerti.

Pak Yudis pamit undur diri, sementara aku masih berdua di dalam ruangan Pak Rully.

“Sabia,” panggil lelaki yang katanya masih jomblo itu.

Kasihan, ganteng-ganteng belum laku.

“Siapa yang meriasmu seperti ini?”

“Bapak tanya?”

“Nggak! Saya marah,” kesal Pak Rully.

“Teman, Pak.”

“Udah saya duga. Kamu mana ada bakat pegang alat rias.”

Dih, nyolot!

“Bakat kamu hanya di depan laptop dan makan bakso.”

“Sori, Pak. Bakso adalah hobi. Bukan bakat.”

“Terserah kamu,” ucapnya. “Tapi—“

Aku menaikkan sebelah alis.

“Jangan dandan seperti ini di depan orang lain tanpa saya.”

“Maksud?”

“Kamu jelek.”

Aku merengut. Kukira akan dipuji sedikit saja, malah dihina.

“Saya kira Bapak mau bilang saya cantik.”

“Jangan ke ge-eran kamu.”

“Kayaknya tadi Bapak grogi liat saya,” godaku.

Pak Rully malah kelihatan kesal. Tuh kan salah tingkah.

“Pokoknya jangan dandan lagi seperti ini.”

“Kan Bapak yang kemarin suruh saya dandan cantik.”

Ya ampun! Punya atasan gini amat.

“Sudahlah, Pak, saya pamit. Mau ke rumah Mama saya.”

Aku beranjak dari ruangan Pak Rully. Bisa hipertensi lama-lama satu ruangan dengan bos yang tidak ada akhlak begitu.

“Sabia,” panggilnya lagi membuatku menghentikan langkah.

“Apa lagi, sih?” tanyaku kesal.

“Kamu cantik—“

Aku melongo, lalu tersenyum malu.

“Kalau dilihat dari Monas pakai sedotan.”

Salah satu sepatuku melayang ke wajah Pak Rully. Kurang ajar!

___________

Aku berpapasan dengan Sabrina saat turun dari ojek Online yang mengantarku ke rumah Mama. Sedikit tertegun, Sabrina kembali menetralkan ekspresinya. Tapi, aku yakin dia terkejut dengan penampilanku.

“Lu dandan?” tanyanya yang ku jawab dengan anggukan kepala.

Kami tak banyak mengobrol, karena memang tak seperti saudara lainnya, aku dan Sabrina berbeda. Ada perasaan asing, padahal kami saudara yang berbagi satu rahim.

“Tolong jaga Papa,” ucapku. “Akhir-akhir ini kesehatannya nggak terlalu baik,” kataku sebelum masuk ke rumah Mama.

Tak ada sambutan ceria dari Mama yang seperti kebanyakan orang tua lakukan saat bertemu dengan anaknya yang tak lama berjumpa.

“Sabia?”

Aku menoleh ke arah Mama yang baru saja turun dari tangga.

“Mama mau pergi ke salon. Kamu mau ikut?”

Aku menggeleng.

“Sekali-kali kamu urus diri kamu,” ucap Mama. “Gara-gara lemak yang menimbun, kamu kelihatan lebih tua dari usiamu.”

Sakit ya. Padahal aku datang kesini sengaja tak menghapus riasanku agar terlihat oleh Mama. Kukira Mama akan terkejut melihat penampilanku, tapi nihil.

“Jangan salah, Ma. Lemak ini yang melindungi Sabia dari udara dingin saat musim hujan.” Aku membela diri.

“Kayak beruang.”

Astaga. Mama beruang sedang mengatai anaknya sendiri. Bukannya disambut anaknya datang, malah disambit. Kok rasanya ingin balik lagi saja ke rumah Papa.

“Kamu bisa mencontoh Sabrina yang bisa merawat diri, Sabia.”

Lagi.

“Sabia merawat diri dengan makan, Ma.”

“Astaga.” Mama memutar bola matanya. Mungkin kesal. “Mama bicara seperti ini demi kebaikanmu. Jangan terus melawan.”

Aku mengembuskan napas lelah.

“Sabrina bahkan nggak pernah membantah Mama.”

“Karena yang Mama anggap anak hanya Sabrina,” ucapku kesal.

“Apa maksud kamu Sabia?”

Aku bergeming. Mama tampak terkejut dengan ucapanku tadi. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya. Sabrina yang selalu sempurna dimata Mama.

Bahkan, Mama tak pernah memujiku seperti Papa ketika aku memenangkan lomba sains antar sekolah.

Mama juga tak pernah memujiku saat aku menjadi juara kelas dan juara umum saat masih sekolah dulu.

Mama hanya memuji Sabrina yang menang lomba fashion show.

Aku tersenyum miris. Tidak adil.

“Jangan membuat ulah, Sabia. Kamu baru saja datang dan sudah membuat kita bertengkar.”

Aku mengalah. Tak kuhiraukan lagi ucapan Mama. Padahal bukan aku yang memulai. Biarlah, yang muda memang harus mengalah, mungkin faktor umur.

“Sabia,”

Panggil Mama saat aku hendak memasuki kamarku.

“Mama harap kamu akan sadar dengan apa yang Mama ucapkan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status