Berkali-kali aku menghela napas sebelum benar-benar masuk ke rumah Mama. Lampu yang menyala terang, menandakan Mama ada di rumah. Alamat bakal disidang. Terima saja nasibmu, Sabia.Bismillah. Semoga saja Mama sudah tidur dan lupa mematikan lampu.Aku membuka pagar rumah. Bahkan, suara pagar yang bergeser terasa seperti difilm horor. “Sabia.”Aku melonjak kaget.“Astaghfirullah.”“Sabia.”Eh kayak kenal suaranya. Aku menoleh ke belakang. “Pak Rully?!”“Kamu ngapain mengendap-endap kayak maling begitu?”“Bapak ngapain kagetin saya?”Pak Rully menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Iya, lah. Aku bukan peramal. “Bisa temani saya sebentar?”Aku menyilangkan kedua tanganku di dada.“Saya masih suci, Pak. Saya wanita baik-baik.”Pak Rully menoyor kepalaku.“Pikiran kamu terlalu kotor, Sabia. Lagian saya mana nafsu sama kamu,” ucapnya kesal.Lagian malam-malam minta ditemani. Apalagi kami sama-sama jomblo. E tapi aku tetap jomblo kelas premium yang memang belum laku dari jaman
“Dari mana saja kamu?” tanya Mama saat aku masuk ke rumah.Minimal jawab salam dulu, kek.“Makan, Ma.” Mama menghela napas. “Mama sudah bilang kalau selama tinggal di sini, kamu harus makan apa yang Mama masak.”Makan makanan kambing, sapi dan unta?“Pak Rully yang mengajak Sabia makan.”Maafkan Sabia, Pak.Mama menaikkan sebelah alisnya.“Duduklah, ada yang ingin Mama bicarakan.”Aku mengangguk. Mungkin kalau sambil minum kopi dan ngemil lebih santai suasana. Tapi jangan harap itu ada kalau sama Mama.Aku duduk di hadapan Mama. Sudah seperti tamu dan ruang rumah.“Kamu sudah melihat berita tentang kalian?” tanya Mama.Aku mengangguk.“Mama sudah wanti-wanti ini sejak lama, Sabia. Sabrina yang akan dirugikan dengan keegoisan kamu yang nggak mau berubah.”Berubah jadi apa? Power ranger kuning?“Apa salahnya merubah penampilanmu? Bukan hanya demi Sabrina, juga kebaikanmu juga. Kalau kamu lebih cantik dan badanmu bagus, kamu akan lebih mudah mendapat jodoh.”Jadi demi Sabrina kan?“Kap
Mama benar, jika bukan karena Mama, aku tak akan dititik ini. Titik dimana aku merasa tak berdaya, terlalu dalam aturan Mama. Jika bisa, aku ingin seperti Sabia yang hidup bebas tanpa dikekang. Aku mengangguk.“Lu baik-baik aja?” Tanya Risa. Aku mengangguk.Aku akan merasa baik-baik saja. Bukankah memang harus begitu?“Gue dipaksa buat baik-baik aja kan, Ris?”Risa menatapku sendu.“Lu bisa nangis kalau lu mau.”“Buat apa? Toh, nggak bakal bikin Mama berubah pikiran.”Risa mengelus punggungku. Mama sudah pergi beberapa menit yang lalu. Katanya akan menunggu Sabia pulang. Entah bagaimana nasib kembaranku itu, aku tak begitu ingin peduli.“Berita itu kan nggak benar, sebenarnya tinggal lu up foto masa kecil lu sih, Bri. Kelar masalah,” kata Risa.“Nggak segampang itu kalau sama Mama, Ris. Lu dengar sendiri kan, tadi dia bilang apa,” sanggahku.“Iya, sih. Mama lu yang bikin ribet. Miris juga sih, komentarnya. Kebanyakan menghujat. Memangnya, teman-teman sekolah lu nggak ada yang follow
“Mau ke mana kamu, Sabia?” Tanya Mama saat melihatku membawa koper berisi pakaian dan perlengkapan lainnya.“Mau pergi, Ma.”“Kamu marah sama Mama?”Aku mengembuskan napas berat. Mama tanya dan bertanya-tanya? Oke. Akan aku jawab, ya.“Nggak.”“Lalu kenapa kamu pergi?”“Sabia mau bertapa, Ma. Siapa tahu dapat hidayah dan taufik buat mengikuti perintah Mama.”Mama menggeleng pasrah anaknya agak lain.“Sabia—““Telinga Sabia sakit setiap hari harus mendengar teriakan Mama.”“Sabia, kamu—““Mama bahkan nggak bangga sama sekali sama aku, padahal series yang kalian perebutkan pemerannya adalah dari novelku,” ucapku kecewa. Sudan cukup, kali ini memang aku harus mengatakan apa yang selama ini aku pendam. Siapa tahu, kali ini Mama akan sadar dari khilafnya.“Aku kira, setelah tahu mama mendatangiku untuk mengucapkan selamat, atau paling nggak beri aku apresiasi. Tapi—“Aku menggeleng. “Mama justru memintaku menjadikan Sabrina peran di series itu tanpa sebelumnya memberiku sedikit pujian. Ap
“Jadi ... rencana Mama berhasil?” tanyaku sinis. Tega sekali.Mama mengangguk. Setelah membuat Sabia dan aku ramai diperbincangkan di sosial media, kini tujuan Mama untuk mengangkatku menjadi artis tercapai. Berkat Sabia, aku berhasil lolos seleksi talent untuk seriesnya.Aku menjadi pemeran utamanya. Tentu saja ini karena Sabia. Siapa lagi?“Ini.” Mama menyerahkan selembar foto usang. Aku dan Sabia saat masih duduk dibangku SMP.“Unggah foto itu di sosial mediamu. Media akan bungkam setelah melihat foto itu. Mereka yang menuduhmu operasi plastik Mama jamin akan diam.”Lalu?Mereka akan berbalik membully Sabia?“Dengan begitu namamu akan naik. Setelah ini, banyak endors yang akan masuk dan mungkin kamu akan diundang diacara tv.”Astaga. Jadi ini tujuan Mama?Mengorbankan anak-anaknya dibully hampir seluruh pengguna media sosial demi mendapatkan ketenaran yang tak seberapa.“Setelah mereka tahu aku nggak operasi plastik, mereka akan berbalik membully Sabia. Bukan begitu, Ma?”“Itu su
“Pak, bisa saya minta tolong,” ucapku pada Pak Rully saat aku mengajaknya bertemu di sebuah kafe.“Apa?” Pak Rully asyik memainkan sendok diatas kopinya.“Tolong jadikan Sabrina pemeran utama di series itu.”Pak Rully memandangku terkejut. Tangannya berhenti memainkan sendok. “Kenapa?”“Jangan kepo, Pak.”Pak Rully menyentil jidatku. Eh bukan mahram.“Saya produsernya. Kamu jangan semena-mena,” kesalnya.“Idih, memangnya Bapak saya apain?”“Saya serius, Sabia.”“Kalau begitu, datangi Papa saya,” ucapku asal.“Sabia—“ Pak Rully mulai kehabisan kesabaran. Padahal orang sabar anunya lebar. Eh maksudnya rezekinya. Tolong jangan berpikir yang iya-iya.“Agar Mama mau memberi klarifikasi berita yang sedang viral itu, Pak.”Pak Rully tertegun. Aku menunduk.“Jadi...”“Tolong,” pintaku dengan nada memohon. “bukannya aku juga ada hak untuk memilih siapa pemerannya?”Pak Rully mengangguk. “Akan saya pertimbangkan.”“Terima kasih, Pak.”“Sabia—“Aku bergumam menanggapi panggilan Pak Rully.“Apa
“Hapuslah foto itu jika kamu masih menganggap Sabia saudaramu.”Ucapan Papa masih terngiang dikepalaku. Haruskah aku menghapusnya?Lalu bagaimana dengan Mama?Aku menarik napas dalam. Ponsel yang ada ditanganku hanya kuputar saja tanpa berniat membuka layarnya. Papa, Kukuh.Kedua orang itu sama-sama kecewa terhadapku karena postingan itu. Ku buka akun sosial mediaku. Melihat postingan yang sudah mendapat like puluhan ribu dan komentar dengan jumlah yang tak kalah banyak.Bahkan, foto itu sudah direpost oleh akun gosip. Ada macam-macam pro dan kontra. Banyak pula komentar positif yang membela Sabia, ada juga yang menghujatnya habis-habisan.Aku memilih menghapus saja. Urusan Mama, biarkan nanti aku yang mengatasinya. Ku unggah fotoku jaman sekolah.Cantik dari dulu, kok. Bukan hasil operasi plastik.Caption itu kutulis di bawah empat foto yang kuunggah. Tak ku lihat lagi komentar yang muncul dinotifikasi aplikasi itu. Aku mengembuskan napas lega, lebih baik memang seperti ini.“Sabrin
“Jadi kamu yakin akan melakukan ini?”Aku menatap Tante Mirna sendu. Memegang perutku yang kebanyakan lapisannya adalah lemak yang sangat menggemaskan. Duh, kok tak tega, ya?Aku mengangguk ragu.“Kita mulai dengan mengatur pola makanmu,” kata Tante Mirna. “dimulai dari mengatur defisit kalori yang masuk ke tubuh kamu.”“Apa ini akan berhasil?”“Insya Allah jika dilakukan dengan sungguh-sungguh.” Tante Mirna beranjak dari duduknya.Beliau masuk ke dalam kamarnya, tak lama kemudian datang kembali dengan sebuah album foto ditangannya.“Lihat.” Tante Mirna menunjukkan sebuah foto.E buset apaan, tuh? Sudah kayak anak Dugong saja.“Itu foto Tante setelah melahirkan.”Astaghfirullah. Berdosa sekali Sabia. Maafkan Sabia yang telah mengatai Tante Mirna anak Dugong, ya Allah. Untung Cuma dalam hati, coba kalau mulutku keceplosan, bisa langsung jadi gelandangan aku.“Tante melakukan defisit kalori dan olahraga.”Mataku berbinar. Harapan itu selalu ada asal kita mau berusaha.Ya ampun. Sabia pu