"Kamu tidak apa-apa?" Diaz berjongkok, membantu Adelia yang tadi tergeletak setelah terserempet motor namun kini sudah terduduk. Lutut dan sikutnya lecet sedikit.
"Ayah, tepikan dulu mobilnya!" pinta Diaz pada ayahnya agar mengambil alih kemudi.
Diez lalu menoleh pada pengendara motor yang memakai jaket Gojek dan sekarang berhenti menepikan sepeda motornya juga.
"Lia, tidak apa-apa, Kak. Cuma lecet." Diaz melihat luka Lia lalu menuntun bocah itu ketepian. Saat jatuh tadi, tidak ada benturan yang keras cuma Adelia terhuyung dan lehernya berbunyi krak.
Setelahnya Diaz dengan si pengendara motor tadi meruntutkan kronologi kejadian, bagaimana kecelakaan itu terjadi saat Adelia masih berdiri di samping kanan mobil Diaz sementara lampu hijau sudah menyala. Si pengendara menyalip mobil di depannya, dia tidak tahu jika di depan ada Adelia yang berdiri.
Adelio duduk meniupi luka saudara kembarnya.
"Maaf, sekali lagi saya minta maaf. Soalnya buru-buru takut penumpang saya cancel pesanan," ucap lelaki paruh baya yang kini memohon dengan raut sungguh-sungguh.
"Saya juga minta maaf karena telat jalan, tapi lain kali Anda juga harus lebih berhati-hati, Pak. Anda hampir saja mencelakakan nyawa anak kecil."
Diaz masih bernegosiasi dengan si pelaku yang sebenarnya cukup bertanggung jawab. Dia ingin memberikan uang lima puluh ribu untuk membeli plester atau obat merah untuk Adelia.
"Hanya ini uang yang saya punya, Mas. Tolong jangan desak saya untuk memberi lebih saya tidak punya uang lagi." Si pengendara motor sedikit ketakutan karena orang-orang yang berdatangan mulai mendesaknya untuk memberikan kompensasi pada Adelia. Sementara dia sendiri berkekurangan.
"Kak, sudah. Tidak apa-apa, Lia cuma lecet kok!" Adelia mencegah Diaz agar tidak memperpanjang masalah.
Jujur saja melihat penampilan pengemudi Gojek itu Diaz juga merasa tak tega. Akhirnya Diaz melepaskan orang itu dan mengembilkan lagi uang lima puluh ribu yang tadi sempat diberikan. Mereka berdamai.
Masalah selesai, kini tinggal urusan dengan Adelia yang terluka. Bergegas Diaz jalan ke arah mobil.
"Diaz, cepat! Ngapain kamu ngurusin bocah itu!" Dari dalam mobil Zila memanggil anaknya. Dia tidak sabaran untuk cepat pergi.
"Sebentar, Mah. Saya tidak tega jika tidak membantu, sebentar saja." Diaz meminta Ghina mengambilkan kotak P3K yang ada di mobil.
"Ini, Bang!" Ghina menyodorkan kotak berwarna putih itu dari jendela. Diaz menerimanya lalu kembali ke trotoar jalan.
"Lihat anakmu itu, baiknya kebangetan! Makanya sering dimanfaatkan orang! Kenapa sih, cuma gembel ajah perlu dibantu! Mau hidup atau mati anak kayak mereka itu tidak penting!" omel Zila yang duduk di jok belakang bersama kedua anaknya.
Aldi sebagai ayah Diaz tampak tenang menanggapi omelan istrinya. Dia duduk bersedekap dengan arah mata menatap pada Diaz yang sedang mengobati dua bocah itu.
"Hem, membantu itukan manusiawi. Lagian kenapa mesti kamu yang repot, Mah? Diaz saja tidak keberatan!"
"Hem, bela saja terus bela!" protes Zila.
"Saya tidak akan membela jika yang dilakukan Diaz itu salah. Tapi sekarang salahnya di mana? Diaz hanya coba membantu!"
"Sudah! Sudah! Kenapa Ayah sama Mamah malah debat si? Panas gini. Udahlah, lagian tuh Bang Diaz juga sudah selese!" Ghea menunjuk pada Diaz yang kini kembali berjalan ke arah mobil.
Situasi kembali tenang, mereka melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
"Terima kasih, Kak Diaz! Hati-hati!" teriak Adelio dari trotoar jalan.
"Dah! Kalian juga jaga diri baik-baik!" balas Diaz saat mobil mulai melaju pelan.
Adelia terduduk dengan senyum tersungging, sementara Adelio berjalan kepinggiran agar kepalanya bisa melongok melihat mobil yang dinaiki Diaz berlalu.
"Lihat, Kak Diaz keren sekali! Besar nanti Lio pasti bisa sepertinya!" Senyum Adelio mengembang menampilkan gigi-giginya.
"Yah, bisa saja. Tapi tentu tidak akan setampan Kak Diaz, kita kan orang miskin! Kulitmu tidak mungkin bisa seputih dan sebersih Kak Diaz!" celetuk Adelia.
"Ish, Lio tidak bilang setampan Kak Diaz tapi sekeren Kak Diaz! Kamu tidak paham artinya tampan dan keren itu beda?" protes Adelio.
"Apa bedanya?"
"Ya bedalah, kalo tampan di wajah, kalo keren di semuanya. Wle!" Adelio menjulurkan lidah.
Jika berdebat dengan Adelio, Adelia tahu tidak akan bisa menang. Jadi, Adelia memilih diam dengan pipi mengembung dan bibir manyun.
Jalanan kembali ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Adelio masih dengan setia menunggu Adelia yang ingin istirahat. Mereka duduk di bawah pohon trembesi di pinggir jalan.
"Ayo, kita pulang saja. Apa masih ada yang sakit?"
"Yang lecet udah enggak papa, tapi aku ngerasa leher sama lenganku agak sakit." Adelia mengusap tengkuknya yang sekarang mulai ngilu.
Adelio merogoh saku celana dan mengelurkan uang yang tadi diberi Diaz. "Ini ada uang yang Kak Diaz beri. Tadi dia bilang suruh kita gunain buat periksa kamu kalo nanti ada yang dirasa sakit lagi," ujar Adelio.
Tiga lembar uang seratusan berada di tangan Adelio, kini mereka berdua saling tatap.
"Kita harus simpen dulu, Lio. Jangan sampai Nenek Fifin tahu. Nanti diambil. Kita kasih hasil ngamen yang tadi saja. Kan lumayan ...." Adelia melihat ke arah uang di bungkus permen. Dia mulai menghitungnya, ada satu dengan pecahan lima puluh ribuan dari Diaz dan ada enam lembar dua ribuan.
"Ini ada 62.000, kita kasih ke Nenek Fifin. Sekarang kita pulang, aku pengen tiduran!"
"Oke! Kita taruh uang dari Kak Diaz yang ini di kaleng ajaib, ya?"
Adelia mengangguk setuju dengan ucapan Adelio. Mereka biasa menyisihkan uang hasil ngamen untuk di tabung ke dalam kaleng bekas roti tanpa sepengetahuan Fifin. Agar terlepas dari introgasi, biasanya Adelio menyembunyikan uang itu ke dalam saku kecil di CD-nya. Memang terdengar menggelikan, tapi itu satu-satunya cara agar tidak ketahuan.
Mereka berjalan bersisian dengan Adelia yang terus memegangi lehernya yang terasa pegal dan mulai sulit menoleh.
"Apa uang kita sudah banyak, Lio?"
"Sudah, tapi kita masih butuh lebih banyak lagi biar Mamah bisa berhenti kerja. Terus Mamah bisa nikah lagi, nanti kita cariin Mamah suami yang baik!" ucap Adelio membayangkan sosok hero yang akan menjadi ayahnya. Dia sangat menginginkan ayah.
"Yang baik? Yang seperti apa?"
"Yang seperti Kak Diaz!" jawab Adelio yakin.
Adelia menoleh dengan kening mengernyit.
"Dengan Kak Diaz? Mana boleh!"
Adelio tersenyum tipis, dia tidak pernah kehilangan rasa percaya diri dan optimisnya.
"Kenapa tidak boleh?"
"Karena Kak Diaz orang kaya, sedangkan Mamah kita orang miskin!" Bibir Adelia mencebik sedih.
"Memangnya kenapa dengan si miskin dan kaya? Cinderella saja bisa menikahi Pangeran, kenapa Mamah kita tidak?" Adelio menghentikan langkahnya menatap Adelia dengan senyum meyakinkan.
"Bener juga!" Adelia ikut tersenyum penuh arti. Ada harapan yang tiba-tiba menelusup dalam dadanya. Dia berdoa agar bisa kembali bertemu dengan Diaz dan mengenalkan mamahnya.
***
"Hana, uang yang Ibu kirim sudah kamu ambil?" Fifin menelpon anaknya yang sekarang tinggal di Banyuwangi.
"Sudah, Bu. Makasih banget, Bu, uangnya bakal Hana gunain buat berobat Haikal yang harus cuci darah tiap minggu." Terdengar suara parau dari ujung telepon.
Fifin mendongakan kepala agar kaca-kaca yang mulai berdesakan di matanya tidak jatuh. Dia sangat sedih karena cucunya mengidap gagal ginjal padahal suami Hana sudah tidak lagi bekerja setelah mengalami kecelakan kerja yang membuat dua kakinya harus diamputasi.
"Nanti kalo ada uang lebih akan Ibu kirim lagi. Ibu kerja ngasuh anak jadi Ibu punya gajian yang lumayan." Fifin terpaksa berbohong agar anaknya mau menerima uang pemberiannya dan tidak khawatir Fifin dapat dari mana.
Sambungan telepon terhenti. Fifin termangu di ruang tamu, dia usap wajahnya yang mulai mengeriput. Selama tinggal di sini dia sama sekali tidak bekerja, hanya mengandalkan uang pemberian dari Amna. Dia tahu, jika selama ini sangat tidak tahu diri memanfaatkan Amna dan anak-anaknya, tapi mau bagaimana lagi di kota cari kerja susah.
Fifin terperanjat ketika ada yang mengetuk pintu kemudian suara dua anak kecil terdengar. Tanpa melihat siapa Fifin pun sudah tahu siapa yang datang. Dia melirik ke arah jam dinding yang masih menunjuk angka tiga. Tumben sekali dua bocah itu sudah pulang.
"Loh, kalian kok sudah pulang?" Fifin membuka pintu dengan wajah masam.
Adelia dan Adelio berdiri dengan wajah gusar lalu menunduk.
"Lia abis keserempet motor, Nek. Dia tidak bisa berdiri lama-lama!" Tunjuk Adelio ke sampingnya.
"Keserempet motor?" Fifin melotot, mengecek Adelia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia hanya melihat luka lecet yang sudah diplester tapi sedari tadi Adelia meringis kesakitan memegangi lehernya.
"Leher Lia sakit, Nek!" keluh Adelia yang membuat Fifin berdecak.
"Makanya lain kali hati-hati! Mana uangnya?" Fifin menodong uang dari dua anak kembar itu.
Adelio memberikan uang tadi, Fifin tak banyak protes dia tahu hasilnya lebih sedikit karena pulang cepat. Tapi mau bagaimana lagi, kalo dipaksakan pun yang ada dua anak kecil itu malah makin parah.
"Sudah cepet masuk. Kalian mandi dulu, nanti kuantar ke tempat pijat!" kata Fifin melenggang masuk.
Adelio membuntut, dia melihat ke dapur yang terlihat ada beberapa perabotan baru juga lauk ayam yang ada di dalam tudung saji. "Nenek, masak ayam?" Mata Adelio berbinar.
"Ya, tapi jangan dimakan sekarang! Itu jatah buat makan malam!" kata Fifin dengan suara ketus seperti biasa. Ah bukan, bukan maksudnya ketus tapi memang sikap judesnya sudah jadi watak dan mendarah daging.
"Nih, buat kalian!" Fifin melempar bungkusan kresek hitam ke dekapan Adelio.
Penasaran, Adelio langsung membukanya. Ternyata isinya dua kaus lengen pendek cewek dan cowok. Ukurannya pas dengan Adelio dan Adelia.
"Wah, baju baruuu!" Adelio tersenyum semringah meski baju yang dibeli Fifin tidak seberapa. Kaus berharga tiga puluh ribuan.
Tinggal cukup lama dengan dua anak kembar itu membuat Fifin tahu apa saja tentang mereka, mulai dari ukuran sandal, sepatu, baju, dan lainnya.
"Terima kasih, Nek!" Adelio berlari ke kamar di mana ada Adelia yang duduk di tepi ranjang dan bersiap mandi.
Fifin terdiam, dia tidak membalas ucapan dari Adelio.
"Kita dibeliin baju!"
Adelia ikut berbinar, mereka berdua lalu membuka bungkus dan sama-sama mencobanya. Dari balik pintu, Fifin melihat interaksi dua bocah itu, ada yang terasa ngilu di dadanya. Hanya baju sederhana dan dua anak itu terlihat sangat senang. Fifin tidak bisa berkata-kata lagi, perasaanya tidak bisa diungkapkan. Nuraninya selalu menjerit ketika melihat dua anak kembar tanpa ayah itu, tapi di lain sisi rasa serakah dan kebutuhan memaksanya harus tega.
"Jangan kelamaan, cepat mandi dan kita ke tukang pijat. Mungkin leher Lia kecengklak (terkilir)!" tegur Fifin membuat Adelia dan Adelio berhenti menjajal bajunya lalu bergegas mandi dengan senyum yang masih bertengger di wajah mereka karena dibelikan baju baru.
***
Sudah lama, Elvis duduk resah sembari mengusap-usap layar ponselnya dengan tatapan mata tak lepas dari jam yang tertera di layar. Dia seakan menantikan sesuatu yang tidak kunjung datang. Mondar-mandir, bolak-balik di ruang tamu sampai sebuah suara langkah kaki di luar terdengar mendekat.
Elvis menghirup napas dalam-dalam lalu merapikan lagi rambutnya yang terasa begitu fresh.
"Kenapa lari-lari? Dikejar hantu atau malaikat maut?" tegur Elvis pada Amna yang baru saja sampai di rumah dengan napas ngos-ngosan. Sementara Elvis duduk santai di sofa yang membelakangi Amna.
Amna membungkukkan badannya dengan menumpukan tangan ke lutut, dia sangat capek.
"Bukan. Bukan dikejar tapi ngejar. Ngejar waktu biar enggak telat!"
Elvis mengernyit, dia lalu berdiri dan membawa botol minuman yang kebetulan dia bawa. Ah tidak-tidak, lebih tepatnya sudah dia siapkan sejak tadi.
"Telat? Memang kenapa?" Elvis menyodorkan botol minuman tepat di hadapan Amna yang masih membungkuk.
"Bukannya Den El yang nyuruh untuk cepat pulang? Den El ngancem pake potong gaji? Sungguh terlalu, sangat tidak manusiawi!" cecar Amna dengan menyambar botol minuman.
"Maksih, Den!" Amna langsung meminumnya tanpa mendongak atau menoleh pada seseorang yang memberinya.
"Kapan saya bilang begitu? Saya tidak ingat!"
'Tidak ingat? Oh ya ampun, tahu begitu aku tidak perlu lari-lari dengan tenaga kuda. Bahkan sampe sesak napas kerena terbirit-birit. Ck, bujang lapuk satu ini memang sangat menyebalkan!' batin Amna menggerutu.
Elvis yang tadi ada di samping Amna, kini pindah tepat di hadapan Amna dengan raut tanpa dosa.
Amna yang sedang minum reflek melotot dengan napas tertahan. Dia bahkan tak kuasa menahan tawa dan keterkejutan, selain ucapan Elvis yang menyebalkan, penampilannya tak kalah membuat Amna kaget.
Puuuuuffft!
Reflek, pipi Amna mengembung lalu menyemburkan air.
"Amna! Apa yang kamu lakukan!" sentak Elvis mengusap kasar wajahnya. "Kamu kira wajah saya closet?"
"Maaf maaf, Den El. Amna tak sengaja, Amna kaget!" Panik Amna celingak-celinguk mencari tisu dan buru-buru mengambilnya untuk mengelap wajah Elvis.
Amna tidak menyangka penampilan Elvis yang berubah drastis, rambut gondrong yang biasa dia kuncir sekarang dipotong dengan model kekinan yang cocok di wajah Elvis. Terlihat lelaki dewasa itu makin tampan dan rapi. Pikir Amna, mungkin karena keluarganya akan datang berkunjung nanti malam. Namun, ini sangat mendadak membuat Amna tak habis pikir. Loh, kok, tambah ganteng?
Dua tahun tinggal di rumah ini, baru kali ini Amna melihat Elvis dengan rambut pendek. Amna mengelap wajah Elvis dengan tisu, niatnya sebagai rasa tanggung jawab sekaligus menebus bersalah karena sudah menyembur wajah Elvis. Namun, dia justru tak sadar melihat lekat tatanan rambut Elvis.
Berbeda dengan lelaki itu yang merasakan jantungnya berdebar kencang melihat wajah Amna dengan jarak sedekat ini. Rupanya cantik alami. Tak ingin lupa diri, Elvis berdeham-deham.
"Apa kamu begitu betah mengelap wajah saya? Kalau ingin mengelusnya sekalian, bilang saja!" sindir Elvis yang kemudian membuat Amna menarik tangannya canggung.
Elvis menyeringai, merasa sukses sudah membuat Amna salah tingkah dan dia sendiri terhindar dari tremor yang hampir membuat tangannya gemetaran karena jantungnya serasa ingin loncat.
"Tidak, Den. Cuma ... mmm, potongan rambutmu bagus," puji Amna.
Elvis memalingkan wajahnya, dia tidak ingin ada yang melihat ketika sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis karena pujian dari Amna.
"Den El jadi terlihat dua puluh tahun lebih muda!" tambah Amna dengan kaki mulai mundur alon-alon dan menahan tawa.
Elvis yang semula merasa dilambungkan tinggi-tinggi seketika merasa dibanting.
"Apaaa?" Suara Elvis meninggi, matanya memincing. Tidak setuju dengan pujiam yang lebih mirip dengan ledekkan.
Warning, Amna harus berlari kabur sebelum Elvis sadar dan marah seperti anak kecil.
"Dua puluh tahun lebih muda? Amna! Apa kamu pikir potongan rambut saya seperti anak kecil?" Elvis geregetan, apalagi melihat Amna kabur dengan terkekeh-kekeh.
Amna menghilang di balik pintu kamar Yasmin, meninggalkan Elvis yang dongkol sendirian. Wajahnya ditekuk-tekuk seperti kertas lusuh. Kesal, kesal sekali. Padahal Elvis menghabiskan setengah harinya hanya untuk ke salon memotong dan menata rambutnya agar tampak lebih tampan.