MasukTerima Kasih untuk yang sudah membaca novel ini. 🙏🙏
*** Beberapa bulan kemudian .... "Sayang, kamu baik, kan?" Tangan kiri Diaz mengusap perut Amna yang membuncit, baru lima bulan tapi sudah sebesar itu karena ada dua janin di dalamnya. "Iya, Ayah ... udah berapa kali tanya, hm?" jawab Adelia mendahului mamahnya dari belakang lalu cekikikan dengan Adelio. "Ayahmu sangat khawatir sama Mamah!" Amna ikut tertawa. "Enggak papa, kok, Mas. Kamu nyetirnya pelan banget dari tadi. Aku enggak ngerasain ada goncangan. Si utun juga anteng-anteng ajah," jawab Amna lalu menyuruh suaminya untuk kembali fokus menyetir. Setelah beberapa bulan tinggal di kampung, mereka memutuskan pindah ke kota setelah Adelia dan Adelio menyelesaikan tes kenaikkan kelas. Jalanan kampung ada beberapa yang belum teraspal, Diaz sangat hati-hati dalam menyetir karena takut ibu hamil di sampingnya akan sakit. *** Sampai di rumah, Amna merebahkan diri di sofa. Meski ditinggalkan cukup lama tapi rumah ini bersih dan terawat karena Bi Karti pembantunya Elvis, sesek
Suasana kamar pengantin baru hawanya emang beda! Amna sudah menempatkan diri di ranjang, bahkan dia sudah berbaring dan menutup mata ketika Diaz baru saja masuk. Karena gerogi, Amna memilih pura-pura tidur dan memakai selimut sampai sebatas leher. Tidak jauh beda dengan Diaz, dia mau masuk ke kamar saja berkali-kali cek baju juga ketek takutnya kurang wangi. Diaz menyugar rambutnya lalu mengetuk pintu dengan lirih membukanya pelan. Saat masuk suasana kamar sudah temaram hanya lampu tidur yang menyala. "Amna Zakia, sudah tidur?" Diaz berdiri di samping ranjang lalu membungkukkan badan untuk melihat Amna. Saking seriusnya melihat, Diaz sampai mendekatkan wajahnya begitu dekat. Amna bisa merasakan embusan napas Diaz, sontak saja dia terkaget dan buru-buru membuka mata lalu memundurkan kepalanya."Kak Diaz, mau ngapain?" Wajah Amna terlihat gugup dan salah tingkah, dia bahkan merasa konyol karena menanyakan hal konyol. Diaz jadi tertawa geli. "Kok, mau ngapain? Mau nemenin kamu tidur!
"Bi An ...." Amna yang berdiri di samping Andini langsung merangkul pundak bibinya yang merosot hampir saja jatuh karena syok dan lemas. "Bibi duduk dulu!" Amna memepahnya ke tempat duduk. Sementara Laila masih diam terpaku, kabar ini mungkin membuatnya juga sangat syok dan kecewa. Bagaimana mungkin mempelai lelakinya pergi di saat akad akan dimulai?"Apa Mas Jaya memang berniat mempermainkanku?" gumam Laila terduduk lesu di tepi ranjang. Air matanya langsung berjatuhan menimpa pipi yang awalnya sudah dilapisi make up. "Mereka pasti akan datang, mungkin Jaya cuma pergi sebentar. Nanti pasti ke sini!" ucap Amna untuk menenangkan mereka. Dari awal keluarga Jaya lah yang meminta Laila untuk menjadi menantu mereka, tentu saja karena miskomunikasi. Wanita yang Jaya inginkan itu Amna, tapi orang tuanya justru melamar Laila sebagai gadis yang mengembalikan kambing Moly. Jaya tidak tahu jika saat itu Laila yang mengantar, bukannya Amna. Namun karena terlanjur melamar dan kedua orang tuany
"Maaf ya, tapi memaksaku memang terniat. Tolong jangan lepaskan, nanti kalo kita nikah baru deh pasang ulang. Aku pengen saat kamu melihat sesuatu yang tertempel di ragamu ... kamu akan ingat aku!" Tidak heran, Diaz dan Elvis begitu mirip! Mereka sebelas dua belas dalam hal lamar melamar, Amna jadi geleng-geleng."Ayo bangun!" Diaz mengulurkan tangannya, Amna masih menunduk dengan mengusap sisa air mata di pipi lalu menerima uluran tangan dengan menarik ujung lengan baju Diaz. Kini mereka berdua berdiri bersama lalu saling tatap kemudian berjalan menyusuri jalanan di sinari cahaya bulan yang belum utuh purnama. Mereka berdua terus berjalan menuju ke rumah, hanya berdua karena si kembar sudah lebih dulu pulang bersama Laila. "Kak, aku mau jujur ... mungkin setelah kamu dengar ini, kamu akan menganggapku wanita tidak baik. Tapi setidaknya aku akan lega karena tidak membohongimu," ucap Amna dengan berjalan pelan, bersisian dengan Diaz. Sudut bibir Diaz tertarik membentuk seulas seny
"Amna, aku tahu ... tidak bisa menghapus semua luka di masa lalu, tapi aku janji akan berusaha memperbaiki di masa depan." Diaz berganti berjongkok di depan Amna lalu merogoh saku jaket dan mengeluarkan kotak kecil. "Kak Diaz, apa yang kamu lakukan? Jangan begini, aku jadi malu!" Amna menoleh ke sekitar, ada beberapa orang yang mulai memerhatikan. Momen melamar seperti ini sering Amna lihat di TV tapi saat mengalaminya langsung ternyata sangat deg-degan, malu, sekaligus salah tingkah. "Kak Diaz, ayo duduk saja, Please!" Amna panik sendiri dengan pipi memerah. "Tidak, Amna. Aku tidak akan bangkit atau bergeser sedikit pun sebelum kamu menerimanya." Amna menggeleng, baginya lamaran Diaz terlalu terburu dan tidak masuk akal. Dia tidak ingin kedua anaknya melihat ini, Amna belum siap. "Enggak, Kak. Tidak sekarang, cepatlah bergeser. Aku tidak mau anak-anak liat!" Amna memohon sambil menarik-narik lengan Diaz. "Baiklah!" Situasi seakan tidak mendukung, ekspresi Amna sangat jauh dari
"Haduh, Moly iki, kok, makin ayu ya? Wangi, seneng kamu, Mol?" Marni menggendong anak kambing kesayangan keluarga masuk. Juragan Mulyo mengikuti langkah istrinya dengan senyum semringah. Dari pintu kamar, Jaya berdiri sambil mengamati kedua orang tuanya."Moly sudah pulang, Buk?" tanyanya basa-basi. "Sudah. Nih!" Marni menunjukkan kambing berwarna putih itu. "Sama siapa, Buk?" "Loh, kan sama calon mantu? Tadi Ibuk sudah lihat pacar kamu itu," balas Marni mesem-mesem"Wah, Ibuk sudah ketemu? Cantik, Buk?" "Iyo, ayu! Kamu pinter milihnya. Piye, kamu maunya kapan Ibuk sama Bapak lamarkan?" Jaya mesem sambil mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas dingin. Respon kedua orang tuanya yang terlihat pro membuat Jaya makin kepedean dan deg-degan."Secepatnya, Buk!" jawab Jaya lalu membalik badan dan kembali masuk ke kamar. Dia menutup pintu dan duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menutupi wajah yang kini sedang tersenyum tanpa henti. "Yeeeeeesss!" ucap Jaya kemudian sambil men







