Elvis sudah bersiap, dia memakai kemeja seperempat lengan berwarna coklat tua. Wajahnya terlihat lebih segar apalagi rambutnya yang sudah rapi makin membuat Elvis tampil gagah. Dia keluar dari kamarnya bertepatan dengan Amna yang mendorong kursi roda ibunya. Mereka bertemu tepat di depan pintu yang berhadapan. Elvis terpaku melihat penampilan Amna yang tampak anggun dan cantik memakai gamis berwarna coklat tua juga dengan kerudung berwarna lebih terang. Lain Elvis, Amna justru terbengong melihat baju yang Elvis pakai. Meski tampak cocok untuk lelaki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu, tapi sungguh membuat Amna jadi kikuk. Amna menoleh ke bawah melihat gamis yang dia pakai lalu kembali menatap pada Elvis. 'Lah, kok, malah jadi kayak orang couple-an? Hadeh!' batin Amna merasa sungkan. Elvis mendekat, niatnya ingin membantu mendorong kursi roda ibunya. "Sebentar, Den! Aku mau ganti gamis dulu!" ujar Amna melangkah mundur lalu ingin balik ke kamar. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Amna, kenapa harus ganti gamis lain padahal yang itu sudah sangat cocok untuknya. Dia makin terlihat cantik. "Amna tunggu!" cegah Elvis menahan langkah Amna, Elvis menghadang dengan tangannya. "Kenapa, Den El?" "Tidak usah ganti!" kata Elvis dengan nada datar. "Baju itu bagus!" puji Elvis dengan memalingkan wajahnya yang berubah merah. Dia sadar sudah salah bicara, niatnya ingin memuji Amna dia justru memuji bajunya. "Tapi warna baju kita sama, Den. Nanti ada yang ngira couple-an. Nanti Den El malu lagi, masa dipasangin sama pembantu!" Amna mengusap lengannya, dengan senyum cengengesan dan berniat kembali berganti baju. Dia tidak ingin ada yang berpikir macam-macam, soalnya sudah sering ada yang mengira kalau Amna istrinya Elvis. "Tidak apa-apa, Mas Aldi dan keluarganya sudah datang. Ibu harus menyambutnya sekarang. Jadi, tidak usah ganti!" Elvis mendorong kursi roda ibunya. Mau tidak mau Amna membuntut, tidak ada waktu lagi untuk berganti. *** Sampai di ruang tamu, Elvis menghentikan langkahnya. Dia menyuruh Amna untuk menemani ibunya, sementara Elvis ingin menyambut ke depan pintu. Yasmin tidak bisa menggerakan kakinya, tangannya pun biasanya gemetaran jika bergerak. Bibirnya agak miring jadi susah untuk berbicara ditambah suara yang tidak lagi jelas. Baru saja membuka pintu, dua remaja wanita langsung masuk menghambur ke pelukkan Elvis. Ghina dan Ghea memeluk Elvis dari samping kanan dan kiri. Mereka sangat rindu, kebiasaan dua kembar itu selalu heboh. Baru bertemu dan mereka disuguhi dengan penampilan yang berbeda dari Elvis. Tidak menyangka jika pamannya akan memangkas rambut yang biasanya dibiarkan gondrong, sependek-pendeknya sebawah telinga. Tapi kali ini sedikit cepak. "Wah, siapa lelaki tampan ini?" Ghea mendongak dengan memeluk makin erat. "Paman kita!" jawab Ghina dengan nada ceria. Dia pun sangat antusias dengan gaya Elvis yang sekarang. "Siapa lelaki gagah, menawan, dan rupawan ini?" "Paman kita!" Ghina makin riang. "Oh oh oh, siapa lelaki karismatik ini?" "Tentu saja paman kita!" "Astagaaaa, siapaaaa lelaki ...." Hap! Elvis mencapit bibir Ghina dan Ghea yang dari tadi sangat heboh memujinya, namun lebih mirip seperti meledek. Mereka berdua begitu gemas bahkan pelukannya sampai membuat Elvis merasa sesak napas. Ghea menepis tangan Elvis agar tidak menahannya bicara. "Ih, Paman El! Kenapa cubit bibir kita!" Elvis terkekeh-kekeh dengan ekspresi keponakannya yang manyun-manyun persis monyet. "Abis kalian berisik sekali, ngalah-ngalahin berisiknya anak bebek!" kata Elvis yang terdengar oleh Amna. Amna ikut ngikik dengan interaksi bersaudara itu. Ternyata Elvis yang kaku dan datar bisa juga tertawa seceria itu. "Mana Abang kalian?" Elvis tidak sabaran ingin melihat keponakan lelakinya yang usianya hanya beda tiga tahun darinya. "Tuh!" Tunjuk si kembar ke arah pintu. Diaz baru saja masuk, dia berjalan menghampiri adik-adiknya dan melotot saat melihat penampilan Elvis. "Widiw, siapa lelaki berambut baru ini?" sambut Diaz seperti adik-adiknya tadi. "Paman kitaaa!" jawab si kembar bersamaan. "Siapa ...." "Stop!" Kini giliran Diaz yang Elvis tahan. Dia mengacungkan telunjuknya ke bibir Diaz agar berhenti dan tidak meledeknya lagi. "Kamu ikut-ikutan seperti adikmu!" Elvis berkacak pinggang. "Hahaha, Paman ini! Dengan rambut seperti ini Paman terlihat tampan dan lebih muda dariku!" Diaz memeluk pamannya. Elvis menyambut dengan pelukan hangat, sudah sangat lama mereka tidak bertemu. "Tentu saja! Dari dulu juga begitu! Saya selalu lebih tampan dan awet muda!" Elvis memuji dirinya sendiri dengan kepedean tingkat dewa. 'Kak Ardiaz?' Bagai mimpi, Amna terpaku melihat lelaki yang baru saja datang. Meski sepuluh tahun berlalu, tidak membuat Amna melupakan wajah lelaki itu. Sekali pun kini tampak sedikit berbeda. Diaz terlihat lebih jangkung dengan lengan yang berisi, tubuhnya juga tegap atletis. Gaya rambutnya masih sama, sedikit panjang di bagian poni. Namun, tidak membuat Amna pangling. Tidak habis pikir, bagaimana bisa Elvis bersaudara dengan Diaz? Tangan Amna meremas kuat ujung kerudungnya. Matanyanya berkaca-kaca dengan kristal bening yang seakan ingin tumpah tanpa sebab. Melihat wajah Diaz membuat dada Amna bergemuruh, mengingatkan kembali masa kelam yang pernah menimpa Amna. Senyum lelaki itu, ibarat petaka yang sampai kini masih sering Amna rutuki kenapa pernah terbuai. Kenapa dengan bodohnya dia terjebak, dan kenapa, harus Amna yang mengalami semua itu? "Oiya, di mana Nenek?" Mendengar pertanyaan itu spontan Amna membalik badan dan berjalan cepat mengambil sesuatu. Dia belum siap jika Diaz bertemu dengannya di saat seperti ini. "Di sana!" Elvis menunjuk ke arah Yasmin, namun tidak dilihatnya Amna ada di sana. "Neneeek!" Ketiga cucu Yasmin menghambur ke kursi roda, sementara Elvis celingak-celinguk mencari keberadaan Amna. Tidak lama, dari arah pintu Aldi dan Zila menyusul. Mereka pun tak kalah heboh dari yang tadi. *** "Amna, kenapa kamu pakai masker?" Elvis mengernyit heran ketika melihat Amna yang kembali dengan wajah tertutup masker. "Maaf, Den El, aku sedikit flu. Jadi, pake masker untuk ... haciiim! Haciiim! Haciiim!" Amna pura-pura bersin agar Elvis tidak curiga dengan penampilannya yang tiba-tiba berubah. Tapi tetap saja, Elvis mengernyit, dia kira sejak tadi Amna baik-baik saja lalu sekarang kena flu mendadak? Rasanya aneh, sayangnya Elvis tidak punya banyak waktu untuk berdebat. "Ah, baiklah. Tapi sekarang Ibu akan makan malam bersama. Apa kamu sakit?" Elvis sedikit tidak tega, ada rasa khawatir pada wanita di depannya. "Tidak apa-apa, Den. Aku bisa menyuapi Ibu. Tenang saja, toh sudah pake masker!" ujar Amna tak ingin membuat Yasmin kesusahan nanti. Akhirnya dengan bertutupkan masker, Amna menyusul ke meja makan. Dia berjalan di belakang Elvis, sementara Yasmin sudah dituntun cucu-cucunya tadi. Baru sampai di meja makan, Amna menjadi sorotan. Apalagi kalau bukan dengan warna baju yang sama dan Amna berjalan tepat di belakang Elvis seperti seorang makmum saja. "Paman, kamu sama siapa? Wah, jangan-jangan Paman sudah menikah?" Ghina langsung berantusias ingin berkenalan. "Bu--bukan!" Amna buru-buru mengibaskan tangan. "A--ku hanya pembantu, Nona. Aku yang menjaga Nyonya Yasmin!" terang Amna tak ingin membuat salah paham. "Oh, tapi baju kalian couple! Sangat serasi!" ledek Ghina dengan senyum meringis. "Mm, ini ...." Amna jadi salah tingkah, berbeda dengan Elvis yang sudah biasa dengan tingkah rendom ponakannya. "Kebetulan semua gamisku warnanya seperti ini. Hehe!" Amna beralasan, alasan yang makin membuat Ghina terkekeh geli. Gadis itu bisa melihat gestur salah tingkahnya Amna. Diaz tidak terlalu memerhatikan, dia juga belum sadar dengan suara Amna. Dia sempat menoleh pada Amna sekilas lalu perhatiannya kembali terlihkan karena Ghea mengajaknya bicara. Sementara Elvis langsung duduk dengan santai. Bentuk meja makan persegi panjang, posisi duduk Elvis dan Aldi berada di ujung barat dan timur. Yasmin berada di samping kanan Elvis, dan Amna berdiri di dekat Yasmin. Zila duduk di sisi kanan Aldi, dan ketiga anaknya berada di sisi kiri Aldi. Makan malam dimulai, mereka makan dengan nikmat dengan tangannya sendiri-sendiri. Berbeda dengan Yasmin yang harus disuapi Amna. Dengan telaten, Amna menyuapi Yasmin dengan bubur yang sudah dimasak khusus. Sesekali Amna juga mengelap bibir yang belepotan. Semua itu tidak terlepas dari perhatian Elvis. Dan saking fokusnya tatapan Elvis membuat sekelilingnya bisa menebak kalau Elvis memiliki rasa pada pengasuh ibunya itu. "Elvis, usiamu sudah menginjak tiga puluh kan?" Zila yang hampir menghabiskan makanannya memulai perbincangan. "Iya, memang kenapa, Kak?" jawab Elvis dengan enggan. "Belum ingin menikah?" Masalah pernikahan sebenarnya sesuatu yang sedikit sensitif untuk Elvis. Dia kurang nyaman dengan pertanyaan itu. "Masih nyaman begini,"balas Elvis sekenanya. "Duh, kamu ini! Sudah mapan dan matang harusnya carilah pendamping. Tuh sepeti Diaz, dia sudah punya pekerjaan juga calon tunangan. Pokoknya dalam waktu dekat ini mereka akan meresmikan hubungan." Suasana jadi hening, Ghea dan Ghina saling lirik. Amna pun tak kalah kaget mendengar Diaz akan tunangan. Sebenarnya wajar saja, usia Diaz sudah dewasa dia pasti sudah punya kekasih. Namun, tetap saja mendengar itu ada yang terasa diremas di dada Amna. Amna dan Diaz memang tidak memiliki hubungan, tapi mereka memiliki anak. Amna teringat kedua anak kembarnya, dia bahkan belum memberi tahu siapa ayahnya. Tidak ingin terbawa suasana Amna menyibukan diri dengan melayani Yasmin. Dia menuangkan air ke dalam gelas karena sebelumnya sudah habis. Ehem! Aldi berdeham agar Zila tidak melanjutkan ucapannya dan membuat Elvis merasa tersinggung, tapi istrinya itu seakan sengaja ingin sesumbar dan sengaja pamer. "Calonnya Diaz wanita cantik dan berpendidikan. Anak dari keluarga terpandang juga! Mereka akan jadi pasangan yang sangat serasi!" lanjut Zila. Napas Amna tertahan, mendengar itu dadanya serasa panas. Sungguh bukan cemburu tapi Amna lebih ke merasa iri. Sepuluh tahu berlalu, Amna melewatinya dengan susah payah, perjuangan yang tiada henti, dan cobaan yang terus menerus datang membuatnya harus lebih kuat dan tangguh. Namun apa ini? Kenapa lelaki yang menghancurkannya justru hidup tenang dan damai sejak dulu, dia bisa melnjutkan pendidikan dan meraih masa depannya dengan gemilang, seakan tidak ada karma apa pun? Pikiran yang kacau membuat Amna tak lagi fokus dengan apa yang sedang dia lakukan. Air di gelas sudah penuh dan Amna masih saja menuangkannya dari teko. Hal itu membuat Elvis menegurnya. "Amna! Kamu melamun?" Sontak Amna menjadi pusat perhatian sekarang, terlebih karena meja yang basah dengan tumpahan air. 'Amna?' batin Diaz merasa tidak asing dengan nama itu. Kini dia memerhatikan Amna lebih lekat, terutama sorot mata yang bisa dia lihat jelas.
Tanpa perlu basa-basi lagi, Diaz menyuruh Amna membonceng dan siap menuju ke pasar malam di kampung itu.Perjalanan tidak terlalu jauh, memakai sepeda motor hanya dua puluh menit juga sudah sampai.Mata Amna berbinar-binar ketika melihat lampu berwarna-warni yang menghiasi setiap wahana di pasar malam itu. Diaz menggandeng tangan Amna dan menuntunya masuk.Ini pertama kalinya Amna berkencan, dia begitu senang karena ternyata rasanya memang seindah seperti yang temannya ceritakan.Diaz mengajak Amna menaiki beberapa wahana yang ada di pasar malam itu termasuk naik bianglala."Kia, kamu suka?" tanya Diaz saat meraka duduk di puncak bianglala yang berputar perlahan.Tatapan Diaz begitu lekat pada Amna, tangannya begitu berani menggenggam jemari gadis yang kini terdiam dengan wajah merona.Amna mengangguk. "Aku suka, Kak.""Suka gue juga enggak?" canda Diaz dengan tatapan yang serius membuat Amna jadi gerogi. Apa ini yang namanya ditembak cowok?Amna mendongak, lidahnya kelu ingin mengata
"Apa? Lu gila!" Diaz membelalakan matanya. Dia tidak menyangka syarat yang diberi Gito begitu gila."Nah, tuh, lihat cewek yang naik sepeda dari arah warung!" Tunjuk Gito pada seorang gadis yang menaiki sepeda dengan rambut sebahu yang diikat ke atas. Memakai kaus selengan dengan bawah rok selutut, tampak sederhana.Mata Diaz memincing, memastikan lebih jelas wajah gadis yang menjadi target.'Kia?' batin Diaz yakin."Enggak-enggak, gue enggak mau! Ini terlalu gila!" tolak Diaz, dia tidak mungkin menodai Kia. Gadis yang akhir-akhir ini dia taksir diam-diam.Gito dan yang lainnya tertawa pelan. "Ya udah, Bro. Enggak papa, kalo lu enggak mau. Biar gue atau si Niko yang maju. Ya enggak?" Gito melirik ke temannya yang lain.Wajah Diaz panik."Ka--lian, bisa memilih gadis yang lain. Tapi jangan dia, please! Dia adik kelas gue!" Diaz beralasan.Niko justru tertawa lebar. "Terus kenapa kalo dia adek kelas lo? Di sini dia yang paling cantik dan manis. Pokoknya kalo lo enggak mau, enggak papa!
Sedari tadi dia bercanda hanya untuk mencairkan suasana dan mengalihkan perhatian pada hatinya yang merasa gelisah sekaligus pada jantung yang berdetak tidak normal karena di dekat Amna. Suasana jadi sedikit tegang kali ini, Elvis tidak tahu kenapa Diaz begitu suka menggoda dan meledeknya semenjak tahu Amna. Tapi itu menyebalkan. "Ibuk, sudah selesai?" Amna membungkuk untuk menatap pada Yasmin."I--ya." Yasmin mengangguk. "Ya udah, kita istirahat dulu ya, Buk." Amna mendorong kursi roda Yasmin menajuh dari meja makan. Dia tidak ingin terlibat lagi dengan kekonyolan pria dewasa itu. "Den El, aku bawa Ibuk istirahat dulu," pamit Amna. Selepas kepergian Amna dan Yasmin, Diaz kembali sibuk dengan makanannya tidak menghiraukan Elviz yang masih kesal. "Heh, lu ngapain sih? Makin hari makin kek jalangkung saja! Ngapain coba tiba-tiba datang?" Diaz tertawa."Kenapa, Paman? Kulihat dari kemarin kamu sensi mulu sama aku. Ada yang salah?" kata Diaz tidak peka. "Sensilah ...." Elvis mengal
"Ja--di ...." Elvis tak kalah heran. Dia masih tidak percaya dengan kisah seperti tadi. Amna mengangguk, sekali pun Elvis belum menyesaikan ucapannya. Tapi dari sorot mata itu Amna bisa menebak kalau lelaki itu sedikit kurang yakin. "Jadi? Memang sudah meninggal. Tidak perlulah dibahas lagi. Aku muak membahasnya," tambah Amna dengan bibir geregetan. "Hai, Paman! Hai, Nenek! Hei, Amna! Selamat pagi!" sapa Diaz yang tidak ingin berlama-lama lagi menjadi penguping. Dengan wajah tanpa dosa dia berjalan mendekat dengan piring yang dibawanya. Lalu duduk santai di dekat Yasmin. Seketika Elvis dan Amna terdiam cengo, mereka bahkan saling pandang, merasa kehadiaran Diaz sangat ujug-ujug dan senyum tak tahu diri itu merusak momen Elvis saja. Air wajah Amna sedikit tegang, dia kaget. Tidak menyangka Diaz akan datang. 'Apa tadi Kak Ardiaz mendengar obrolanku dengan Den El? Duh!' batin Amna gelisah. "Diaz, ngapain kamu ke sini?" tegur Elvis dengan wajah sedikit masam. Dia merasa ter
Pagi yang cerah, Amna memulai aktifitasnya seperti biasa. Setelah Yasmin bangun, Amna akan membantunya mandi dan memakai baju, merapikan penampilannya. Setelah itu membawa Yasmin jalan-jalan sebentar di sekitaran rumah. "Ibuk, ayo kita sarapan!" kata Amna dengan semangat, dia yang tadi membawa Yasmin jalan di sekitar rumah kembali masuk. "Pagi, Ibuk," sapa Elvis yang sudah siap di meja makan. "Pagi juga," sahut Amna mewakili Yasmin, dia bicara dengan cengengesan. Melihat pada Elvis yang sudah berpenampilan rapi dan tampak tampan dengan stelan kerjanya. "Wah, hari ini Den El sangat tampan. Iya kan, Buk?" puji Amna untuk mengisengi lelaki itu lagi. Elvis yang tadi menyendok nasi hampir saja tersedak karena pujian Amna. "Minum dulu, Den!" Amna mendekatkan gelas air pada Elvis. Dan lelaki itu menyambarnya dengan cepat dengan sikap dingin, dia tidak lagi ramah. Maklum, masih patah hati. Namun, Amna tidak pernah tersinggung, biasanya juga gitu. Elvis balik ke setelan awal! Dia kembali
"Apa yang dilakukan Diaz tidak salah, Kak. Diaz membela seseorang yang harusnya memang dibela kan? Lagian kemarahan Kak Zila pada Amna terkesan lucu. Amna hanya tidak sengaja jatuh dan kebetulan Diaz yang menolongnya. Kenapa jadi Kak Zila yang marah-marah? Lagian acara makan malamnya juga hampir selesai kan?" Elvis angkat bicara, dia tidak suka ada yang menyudutkan Amna."Asal Kak Zila tahu ... Amna ke sini bersama saya, saya yang mengajaknya karena dia pengasuh Ibuk. Jadi jika ada sesuatu yang terjadi ... tidak ada yang boleh memarahinya apalagi sampai menghina begini sebelum minta izin dulu pada saya! Hanya saya yang berhak mengatur dan memarahinya karena dia bekerja untuk saya!" tambah Elvis penuh penekanan. Raut wajah Elvis terlihat sangat marah, rahangnya mengeras dengan sorot mata tajam pada Zila. "Termasuk Kak Zila! Jangan sampai saya dengar lagi Kak Zila menghina Amna. Kak Zila sama sekali tak punya hak untuk memarahinya!" Elvis mengeratkan pegangan tangannya pada Amna memb