LOGIN'Pernah dengar di mana nama itu? Sepertinya saya tidak asing,' pikir Diaz mulai mengingat-ingat. Sampai akhirnya ingatannya pada kejadian siang tadi kembali muncul. 'Ah iya, mamahnya Lia, bocah kembar itu. Bukankah bilang kalau mamahnya bernama Amna? Tapi nama Amna di dunia ini pasti tidak cuma satu. Jadi, kemungkinan wanita itu mamahnya si kembar hanya satu banding sembilan,' batin Diaz lagi. "Bisa kerja enggak, sih? Punya mata itu dipake, jangan cuma jadi tempelan doang!" tegur Zila dengan nada ketus. "Maaf, saya tidak sengaja!" Buru-buru Amna mengambil lap dan mengelap meja yang sedikit basah karena air. "Orang kek gini kok kamu pekerjaan sih, El? Gimana dengan Ibu? Pantas Ibu enggak sembuh-sembuh, pengasuhnya saja seceroboh ini!" Ucapan Zila masih sama pedasnya seperti dulu. Dia tidak berubah, masih bermulut arogan dan judes. "Kak! Amna hanya sedang tidak fit. Dia hari ini sakit, makanya kurang fokus!" bela Elvis tidak ingin Amna terus disudutkan. "Amna, kamu boleh istirahat dulu. Ibu biar saya yang membantu menyelesaikan suapannya," titah Elvis pengertian. "Halah, alasan saja. Kalo memang tidak becus, buang-buang duit sajah!" Amna terdiam, dia tidak ingin membantah apa pun. Belum saatnya dia bicara, sekali pun rasanya sudah sangat geregetan. Andai saja boleh, Amna ingin menabok mulut wanita paruh baya itu. Atau kalau perlu menjejalinya dengan sambal. "Mah, jangan begitu. Ayah juga tahu, kok, pekerjaan Amna bagus selama ini." Aldi ikut membela. Dia pernah sesekali pulang untuk menjenguk Yasin dan melihat pekerjaan Amna yang cukup baik. Sayangnya, Amna tidak tahu jika selama ini Aldi adalah ayah Diaz. Ehem! Diaz berdeham, dia tidak nyaman dengan situasi begini. Mulut mamahnya memang kadang tidak tahu aturan. "Kenapa Ayah ngebelain wanita rendahan ini, sih? Tahu enggak, yang namanya pembantu kalau ngelakuin kesalahan enggak ditegur bakal ngelunjak! Kalau perlu kasih sanksi biar kapok dan kerjanya bener!" "Kaum mereka itu beda! Enggak kaya kita yang bisa kerja cerdas, makanya bisa sukses dan menjadi orang kaya!" omel Zila tanpa henti. Tangan Amna mengepal, kupingnya terasa makin panas. Heran dengan manusia satu ini terbuat dari apa sampai wataknya begitu keras. 'Wanita rendahan? Tidak, aku tidak terima dengan sebutan itu!' Gigi Amna gemertak menandakan dia sangat geregetan. "Maaf, Bu Zila. Saya memang hanya pembantu, tapi saya bukan wanita rendahan. Saya juga bisa bekerja profesional dengan menjaga mulut agar tetap sopan dan santun, ketimbang Ibuk orang kaya yang bisa bekerja cerdas tapi tidak bisa bersikap cerdas dengan menimbang mana kata-kata yang pantas diucapkan dan mana yang harusnya ditahan sebagai bentuk implementasi dan bukti nyata. Apa seseorang yang tidak bisa membedakan dan menempatkan diri, bisa disebut cerdas?" Sontak saja Zila mendelik mendengar kata-kata dari Amna. Sementara yang lainnya sedikit tercengang, bagaimana bisa seorang pembantu begitu berani dengan kata-kata yang cukup terarah dan paham dengan situasi. Amna bisa berkata dengan begitu elegan. Bukan hanya perkataan, tapi suara yang panjang itu mulai terdengar tidak asing di telinga Diaz. Kembali, Diaz menatap Amna yang wajahnya separuh tertutup masker. Tapi bulu mata lentik dan manik coklat kehitaman itu sangat melekat di benak Diaz. Diaz mengerjap lagi, memastikan saat Amna menatap Zila dengan mata terbuka lebar, Diaz bisa memerhatikannya. "Kia ...," gumam Diaz yang tiba-tiba saja terbayang sorot mata tegas pada gadis ceria yang dia kenal di masa lalunya bernama Zakia. "Maaf, Den El, aku permisi dulu ...," pamit Amna setelah memutuskan untuk berbalik pergi. Bersama satu ruangan dengan Zila dan Diaz membuat Amna serasa sesak napas karena harus berebut oksigen dengan orang-orang munafik seperti mereka. "Baik," balas Elvis singkat. Dia lalu tersenyum miring dengan lirikan sinis pada Zila yang masih tercengang dan kicep, seakan tidak menyangka apa yang barusan pembantu itu katakan. "Ibu, Amna ke kamar dulu ya ...," bisik Amna pada Yasmin dan mengusap pundak wanita itu. Berbeda dengan yang lain, Ghea yang berada di dekat Diaz merasa aneh dengan tatapan abangnya. Apalagi dengan gumaman yang sempat gadis itu dengar. "Bang Diaz baik-baik saja?" Ghea menepuk pundak Diaz yang arah matanya masih mengekori Amna. "Eh? Mmm, iya Ghea?" Diaz menoleh pada adiknya dengan gugup. "Abang tidak apa-apa." "Palingan Bang Diaz ikut syok kayak Mamah yang kicep," celetuk Ghina yang ikut bersorak. Baru kali ini ada yang berani membantah dan mempermalukan mamahnya. Bukan Ghina senang mamahnya dipermalukan, tapi jika situasinya bersama satu keluarga ini sih Ghina tidak masalah, malah dia ingin tertawa geli dengan ekspresi Zila. Aldi juga mesem, saling mengedipkan mata dengan Ghina. Mereka semua sudah tahu bagaimana sifat Zila. "Apa-apaan kamu, Ghina? Kamu mau bela wanita itu juga? Dih, enggak level!" Bibir Zila mencebik-cebik. Dalam dadanya terasa sangat kesal, tapi dia tidak ingin terlihat makin menyedihkan dengan menahan wanita rendahan itu untuk bertengkar lagi. *** Selepas makan malam, Elvis mendorong kursi roda ibunya ke kamar. Di sana sudah ada Amna yang duduk menunggu sembari membaca buku. Buku-buku yang tertata rapi di lemari sudut kamar, kebanyakan milik Yasmin dan ada beberapa yang ditambahkan Amna. Amna tidur satu kamar dengan Yasmin karena harus menjaganya dua puluh empat jam, tapi untuk kamar pribadi Amna juga sudah disiapkan. Berada di sebelah kamar Yasmin agar lebih dekat. "Acara makan malam sudah selesai, Den?" sambut Amna dengan cekatan, dia langsung mengambil alih kursi roda. "Sudah, tolong bantu Ibu saya tidur. Saya akan kembali ke dapan karena mereka belum pulang." "Baik, Den." Amna membantu Yasmin untuk berbaring di kasur, badan yang tidak terlalu gemuk dan memang sudah terbiasa membopong Yasmin jadi Amna merasa begitu mudah memindahkannya ke ranjang. Elvis melangkah, tapi kembali berhenti dan berbalik. "Oiya, Amna ...." Ragu-ragu Elvis ingin berkata. "Iya, Den?" "Istirahat yang cukup. Semoga lekas sembuh," kata Elvis dengan langkah cepat meninggalkan kamar Yasmin. Belum sempat Amna membalas, dia bahkan masih terbengong kaget. "Semoga lekas sembuh? Apa maksud bujangan itu, tumben banget perhatian. Apa dia kesambet? Akhir-akhir ini sikapnya aneh!" *** Malam semakin larut, keluarga Aldi berpamitan untuk pulang. Hanya Diaz yang tetap tinggal, dia sudah membawa mobil sendiri dan memang beniat untuk menginap di rumah pamannya. Sekarang Diaz dan Elvis duduk bersama di ruang tamu. Diaz terdiam dengan tangan bersedekap dan mata menatap ke sembarang arah. "Nih, buat lo!" Elvis memberikan minuman dingin untuk keponakannya. "Thank you!" Diaz langsung menenggaknnya. "Lo serius mau tunangan?" tanya Elvis dengan gaya bicara lebih santai. Diaz mengangguk, tidak ada sorot bahagia yang terpancar di wajah lelaki itu ketika membahas soal hubungannya bersama calon tunangannya. "Yah, sepertinya begitu. Entahlah, dia wanita pilihan Mamah." Dari awal Elvis sudah bisa menebak, kini dia menatap Diaz dengan tatapan iba. Sejak dulu, Diaz terlalu penurut seakan tidak pernah punya kebebasan dalam menentukan apa pun. "Dan lo terima begitu ajah? Terus bagaimana kabar gadis desa itu, apa lo udah ketemu?" "Mamah terus memaksa." Diaz menghela napas berat. "Belum, kabarnya dia sudah sangat lama pindah dari desa dan tidak pernah kembali. Yah, bapak ibunya sudah meninggal, mungkin dia memang tidak akan kembali lagi ke sana. Dan akan makin sulit bagiku untuk melacak keberadaanya." Sorot mata Diaz mulai menyendu. "Tidak ada satu pun petunjuk?" Diaz menggeleng. "Belum, sampai sekarang tidak ada petunjuk yang berhasil kudapat. Padahal aku sudah berusaha cukup keras." "Tetap semangat. Apa perlu gue bantu?" Elvis menepuk-nepuk pundak Diaz. "Sepertinya akan susah, aku tidak punya satu pun yang bisa digunakan untuk mencarinya selain hanya ingatanku saja tentang wajah, suara, dan kenangan tentangnya yang bisa kujadikan pengingat ketika mencari." Hah! Elvis ikut menghela napas, dia sama resahnya. Tidak banyak yang bisa dia bantu, selain memberi semangat. "Sudah sangat lama, sepuluh tahun berlalu semenjak kejadian itu. Mungkin dia juga sudah menikah dan punya anak. Tapi tidak apa, aku hanya ingin meminta maaf dan menebus kesalahanku. Itu saja." Sesaat hening, mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. "Sudahlah jangan bahas itu lagi. Kalo kamu gimana Paman El? Sudah ada calon? Hey, sudah kepala tiga, segeralah menikah!" Diaz menyikut lengan Elvis dengan kekehan. Elvis mesem, dia teringat dengan wanita yang akhir-akhir ini memenuhi isi kepalanya. "Sebenarnya ada, tapi ... sepertinya dia belum tahu kalo gue menyukainya." Diaz mengernyit, lalu terkekeh geli. "Ahhhh yayayaya, aku bisa menebaknya. Pasti kamu menyukainya diam-diam kan, Paman? Cepat lamar dia, sebelum menyesal. Cinta diam-diam yang berakhir dengan dipendam itu menyakitkan. Nanti jadi sadboy, loh!" Diaz tertawa. Elvis berdecih. "Ish, gue hanya belum memikirkan waktu yang tepat. Gue bingung bagaimana caranya ...." "Kamu gerogi? Ish, cemen!" "Bukan begitu, dia berbeda dari kebanyakan wanita. Ya ... gue jadi harus berpikir keras." Elvis mengusap-usap tengkuknya. "Baiklah, katakan kapan Paman El siap, aku akan mambantu!" kata Diaz antusias. Praaak! Suara benda jatuh menghentikan perbincangan pria lajang itu. Mereka pun menoleh bersamaan ke sumber suara. 'Duh, mati aku!' batin Amna menepuk keningnya. Dia merasa sangat ceroboh karena menyenggol vas bunga dan menjatuhkannya ke lantai, membuat suara berisik yang menarik kedua pria itu melihat ke arahnya.
*** Beberapa bulan kemudian .... "Sayang, kamu baik, kan?" Tangan kiri Diaz mengusap perut Amna yang membuncit, baru lima bulan tapi sudah sebesar itu karena ada dua janin di dalamnya. "Iya, Ayah ... udah berapa kali tanya, hm?" jawab Adelia mendahului mamahnya dari belakang lalu cekikikan dengan Adelio. "Ayahmu sangat khawatir sama Mamah!" Amna ikut tertawa. "Enggak papa, kok, Mas. Kamu nyetirnya pelan banget dari tadi. Aku enggak ngerasain ada goncangan. Si utun juga anteng-anteng ajah," jawab Amna lalu menyuruh suaminya untuk kembali fokus menyetir. Setelah beberapa bulan tinggal di kampung, mereka memutuskan pindah ke kota setelah Adelia dan Adelio menyelesaikan tes kenaikkan kelas. Jalanan kampung ada beberapa yang belum teraspal, Diaz sangat hati-hati dalam menyetir karena takut ibu hamil di sampingnya akan sakit. *** Sampai di rumah, Amna merebahkan diri di sofa. Meski ditinggalkan cukup lama tapi rumah ini bersih dan terawat karena Bi Karti pembantunya Elvis, sesek
Suasana kamar pengantin baru hawanya emang beda! Amna sudah menempatkan diri di ranjang, bahkan dia sudah berbaring dan menutup mata ketika Diaz baru saja masuk. Karena gerogi, Amna memilih pura-pura tidur dan memakai selimut sampai sebatas leher. Tidak jauh beda dengan Diaz, dia mau masuk ke kamar saja berkali-kali cek baju juga ketek takutnya kurang wangi. Diaz menyugar rambutnya lalu mengetuk pintu dengan lirih membukanya pelan. Saat masuk suasana kamar sudah temaram hanya lampu tidur yang menyala. "Amna Zakia, sudah tidur?" Diaz berdiri di samping ranjang lalu membungkukkan badan untuk melihat Amna. Saking seriusnya melihat, Diaz sampai mendekatkan wajahnya begitu dekat. Amna bisa merasakan embusan napas Diaz, sontak saja dia terkaget dan buru-buru membuka mata lalu memundurkan kepalanya."Kak Diaz, mau ngapain?" Wajah Amna terlihat gugup dan salah tingkah, dia bahkan merasa konyol karena menanyakan hal konyol. Diaz jadi tertawa geli. "Kok, mau ngapain? Mau nemenin kamu tidur!
"Bi An ...." Amna yang berdiri di samping Andini langsung merangkul pundak bibinya yang merosot hampir saja jatuh karena syok dan lemas. "Bibi duduk dulu!" Amna memepahnya ke tempat duduk. Sementara Laila masih diam terpaku, kabar ini mungkin membuatnya juga sangat syok dan kecewa. Bagaimana mungkin mempelai lelakinya pergi di saat akad akan dimulai?"Apa Mas Jaya memang berniat mempermainkanku?" gumam Laila terduduk lesu di tepi ranjang. Air matanya langsung berjatuhan menimpa pipi yang awalnya sudah dilapisi make up. "Mereka pasti akan datang, mungkin Jaya cuma pergi sebentar. Nanti pasti ke sini!" ucap Amna untuk menenangkan mereka. Dari awal keluarga Jaya lah yang meminta Laila untuk menjadi menantu mereka, tentu saja karena miskomunikasi. Wanita yang Jaya inginkan itu Amna, tapi orang tuanya justru melamar Laila sebagai gadis yang mengembalikan kambing Moly. Jaya tidak tahu jika saat itu Laila yang mengantar, bukannya Amna. Namun karena terlanjur melamar dan kedua orang tuany
"Maaf ya, tapi memaksaku memang terniat. Tolong jangan lepaskan, nanti kalo kita nikah baru deh pasang ulang. Aku pengen saat kamu melihat sesuatu yang tertempel di ragamu ... kamu akan ingat aku!" Tidak heran, Diaz dan Elvis begitu mirip! Mereka sebelas dua belas dalam hal lamar melamar, Amna jadi geleng-geleng."Ayo bangun!" Diaz mengulurkan tangannya, Amna masih menunduk dengan mengusap sisa air mata di pipi lalu menerima uluran tangan dengan menarik ujung lengan baju Diaz. Kini mereka berdua berdiri bersama lalu saling tatap kemudian berjalan menyusuri jalanan di sinari cahaya bulan yang belum utuh purnama. Mereka berdua terus berjalan menuju ke rumah, hanya berdua karena si kembar sudah lebih dulu pulang bersama Laila. "Kak, aku mau jujur ... mungkin setelah kamu dengar ini, kamu akan menganggapku wanita tidak baik. Tapi setidaknya aku akan lega karena tidak membohongimu," ucap Amna dengan berjalan pelan, bersisian dengan Diaz. Sudut bibir Diaz tertarik membentuk seulas seny
"Amna, aku tahu ... tidak bisa menghapus semua luka di masa lalu, tapi aku janji akan berusaha memperbaiki di masa depan." Diaz berganti berjongkok di depan Amna lalu merogoh saku jaket dan mengeluarkan kotak kecil. "Kak Diaz, apa yang kamu lakukan? Jangan begini, aku jadi malu!" Amna menoleh ke sekitar, ada beberapa orang yang mulai memerhatikan. Momen melamar seperti ini sering Amna lihat di TV tapi saat mengalaminya langsung ternyata sangat deg-degan, malu, sekaligus salah tingkah. "Kak Diaz, ayo duduk saja, Please!" Amna panik sendiri dengan pipi memerah. "Tidak, Amna. Aku tidak akan bangkit atau bergeser sedikit pun sebelum kamu menerimanya." Amna menggeleng, baginya lamaran Diaz terlalu terburu dan tidak masuk akal. Dia tidak ingin kedua anaknya melihat ini, Amna belum siap. "Enggak, Kak. Tidak sekarang, cepatlah bergeser. Aku tidak mau anak-anak liat!" Amna memohon sambil menarik-narik lengan Diaz. "Baiklah!" Situasi seakan tidak mendukung, ekspresi Amna sangat jauh dari
"Haduh, Moly iki, kok, makin ayu ya? Wangi, seneng kamu, Mol?" Marni menggendong anak kambing kesayangan keluarga masuk. Juragan Mulyo mengikuti langkah istrinya dengan senyum semringah. Dari pintu kamar, Jaya berdiri sambil mengamati kedua orang tuanya."Moly sudah pulang, Buk?" tanyanya basa-basi. "Sudah. Nih!" Marni menunjukkan kambing berwarna putih itu. "Sama siapa, Buk?" "Loh, kan sama calon mantu? Tadi Ibuk sudah lihat pacar kamu itu," balas Marni mesem-mesem"Wah, Ibuk sudah ketemu? Cantik, Buk?" "Iyo, ayu! Kamu pinter milihnya. Piye, kamu maunya kapan Ibuk sama Bapak lamarkan?" Jaya mesem sambil mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas dingin. Respon kedua orang tuanya yang terlihat pro membuat Jaya makin kepedean dan deg-degan."Secepatnya, Buk!" jawab Jaya lalu membalik badan dan kembali masuk ke kamar. Dia menutup pintu dan duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menutupi wajah yang kini sedang tersenyum tanpa henti. "Yeeeeeesss!" ucap Jaya kemudian sambil men







