Share

Bab 5

Author: Ratu As
last update Last Updated: 2025-04-24 10:33:29

Buru-buru Amna berjongkok dan memunguti serpihan vas keramik yang pecah. Dia makin menunduk ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. 

'Apeees! Apes! Nanti dikira aku lagi nguping lagi? Padahal demi Allah, aku enggak denger apa pun!' Amna gusar sendiri.

"Amna, a--pa yang kamu lakukan?" tanya Elvis kaget. Dia tidak menyangka jika Amna belum tidur dan sekarang berada di dekat ruang tamu. Dia jadi berpikir, apa tadi Amna mendengar semuanya? 

"Maaf, Den. Aku tidak sengaja menyenggol vas bunga. Soalnya di sini gelap, niatnya tadi mau ke dapur ambil minum. Minumnya Ibuk habis." Amna masih berjongkok, dia beralasan. Sebenarnya dia ingin makan malam karena tadi belum sempat makan.

"Ck, lain kali hati-hati. Kenapa tidak nyalakan lampunya dulu?" Elvis berdecak. Di rumah ini memang biasa keadaan malam hari begitu temaram. Selain warna cat yang gelap, juga penerangan yang sengaja Elvis redupkan. 

"Ada apa, Paman?" Diaz menyusul, dilihatnya Amna yang sedang memunguti pecahan vas bunga. Tanpa dijawab pun Diaz tahu jika suara tadi berasal dari suara vas yang jatuh. 

Reflek Diaz ingin berjongkok membantu, dia memang selalu mengutamakan empati. Diaz tidak akan tega melihat orang lain kesusahan tanpa bisa membantu. 

"Diaz mau ngapain? Jangan, kamu tunggulah di ruang tamu!" ujar Elvis mencegah. Jujur saja, dia tidak ingin Amna di dekati oleh siapa pun. 

"Cepat!" Elvis menepuk pundak Diaz setengah menariknya agar tidak kembali membungkuk. 

"Tapi ...." Diaz melirik pada Amna yang masih menunduk dalam agar wajahnya tidak dilihat oleh Diaz. 

"Tidak apa-apa, sana!" usir Elvis. Diaz pun kembali berbalik, dia tidak ke ruang tamu melainkan ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. 

Elvis kembali menoleh pada Amna dan berniat membantunya untuk menarik simpatik. Sayangnya telat! Amna sudah selesai dan sekarang membuang pecahan itu ke tong sampah. Setelahnya beringsut ke kamar mandi. 

"Aku permisi dulu, Den." Amna melenggang, menajuh dari lelaki yang masih terbengong.

'Loh, kok? Ck! Sial!' batin Elvis jadi kesal karena kurang cekatan. Dia merutuki  kedatangan Diaz tadi, membuatnya jadi telat dan kecolongan untuk caper pada Amna.

Amna berjalan ke arah dapur dengan hati-hati, tidak ingin menarik perhatian seseorang yang harusnya dia hindari. Amna tidak tahu jika tadi Diaz belum pulang. 

Di dapur, dibukanya tudung saji, semuanya sudah tertata rapi kembali oleh Karti. Amna mengambil lauk yang masih tersisa juga nasinya. Dia merasa sangat lapar, suap demi suap masuk ke mulutnya dengan suasana hening. Tidak terasa air matanya  tiba-tiba menetes, wajah Diaz kembali terbayang di benaknya. Mengingatkan Amna pada kedua buah hatinya, mereka yang memiliki wajah mirip sekali dengan ayahnya. 

"Lio, Lia, maafin Mamah. Mamah masih belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuk kalian. Mamah janji akan bekerja lebih keras," gumam Amna, dia yang kini merasakan bagaimana sulitnya menelan karena makan diiringi dengan tangis, rasa sesaknya berkali-kali lipat. 

Diaz baru saja keluar dari kamar mandi dan berjalan melewati dapur, dia melihat Amna duduk di meja makan. Niatnya Diaz ingin menegur dan melihat wajah Amna dengan lebih jelas karena Diaz sempat merasakan kemiripan di antara Amna dan gadis di masa lalunya. Namun, langkah Diaz tertahan ketika melihat pundak Amna bergetar dan terdengar suara isakkan tertahan yang sangat lirih. 

'Apa dia sedang menangis?' batin Diaz curiga. Dia urung mendekat dan memilih berbelok ke ruang tamu. 

Sekali pun Diaz sangat ingin menemui wanita yang duduk di meja dapur, tapi dia sadar kalau mereka tidak saling kenal. Rasanya akan sangat canggung jika tiba-tiba Diaz datang lalu berkenalan, sementara kondisi wanita itu pun sedang menangis. 

Diaz bertanya-tanya apa yang membuat seorang wanita menangis sendirian malam-malam, apalagi sambil makan. Ingatannya tertuju pada Zila. Diaz kembali mengingat ucapan Zila pada pengasuh neneknya. 

'Apa mungkin dia bersedih karena ucapan Mamah?' Diaz menerka-nerka sambil jalan. 

"Hey, dari mana?" tegur Elvis yang dari tadi menunggu Diaz. 

"Habis buang air." Diaz kembali duduk di sofa. "Oiya, wanita tadi ... dia sudah lama kerja di sini?" 

Sebelah alis Elvis terangkat, dia heran kenapa tiba-tiba Diaz menanyakannya. 

"Ya, sekitar dua tahun lalu kalau tidak salah." 

Diaz mengangguk-angguk. 

"Hey, sudahlah jangan bahas dia. Ayo, ceritakan apa saja yang sudah kau jalani selama tinggal di luar negri?" Elvis mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin membahas Amna dengan lelaki lain. Lebih tepatnya dia akan cemburu dan takut kalah saing. 

***

"Ibuk, aku bertemu dengannya. Dia kembali, Buk," lirih Amna dengan terduduk di tepi ranjang Yasmin dan tangannya menggenggam jemari Yasmin. Seperti biasa, Amna akan mengobrol apa saja untuk diceritakan pada Yasmin. Tidak tahu jika wanita strok itu menyimak ceritanya atau tidak, tapi dengan mengeluarkan unek-unek membuat Amna bisa lebih lega. 

"Sepuluh tahun berlalu, dan dia kembali dengan bahagia. Ini tidak adil ...." 

"Bagaimana dengan air mataku yang selama ini mengalir? Tidakkah semua butuh balasan? Kenapa hanya aku yang menderitaaa," rintih Amna dengan dada terasa sangat sesak. Dia bicara dengan terisak-isak. 

Sakit, perih sekali. Bukan karena tentang Diaz tapi Amna mengingat kedua anaknya. Anak yang  selalu bertanya bagaimana sosok ayahnya dan Amna hanya bisa berbohong, ayahnya anak-anak adalah lelaki yang baik semasa hidupnya, namun meninggal sebelum Lia dan Lio lahir.

Kedua anak kembar itu tahunya jika ayah kandung mereka sudah meninggal. Jangankan rupa, namanya saja tidak tahu. Amna selalu mengalihkan perhatian jika anak-anaknya bertanya tentang ayahnya, tak jarang Amna pura-pura bersedih agar mereka tidak kembali mendesak. 

Amna dan Diaz tidak pernah menikah. Usai kejadian perampasan kesucian itu, Diaz menghilang bak ditelan bumi. Dan Amna yang meminta pertanggungjawaban ke rumahnya pun tidak disambut baik. Yang ada Zila marah dan menghina Amna juga bapaknya. 

Di akta kelahiran pun Amna tercatat sebagai ibu tunggal. Jadi ya sudah, kedua anak itu makin buntu untuk mengetahui siapa nama ayah mereka. Mereka sempat bertanya-tanya kenapa tidak ada nama ayahnya di sana, Amna beralasan karena mereka hanya menikah siri dan ada banyak masalah yang harus diurus jika ingin mencantumkan nama ayah mereka, sementara ayah sudah meninggal.

"Dia ayahnya anak-anak. Haruskah aku  memberitahunya, Buk?" 

Hening, Yasmin sudah memejam. Namun, dia tidak benar-benar tidur. Yasmin selalu setia mendengar cerita-cerita dari Amna. 

Amna menghirup napasnya dalam-dalam, dia lalu menegapkan tubuh dan menatap wajah Yasmin yang memejam.

'Lelaki itu Diaz, Buk. Dia cucu pertamamu! Jika sekarang aku memberitahu kalau anak-anakku adalah cicit Ibuk, apakah Ibuk akan percaya?' Amna hanya bisa bertanya dalam hati. 

Dia belum ada niatan untuk memberi tahu siapa pun siapa ayah dari dua anak kembarnya. 

***

Beberapa hari berlalu semenjak pertemuan si kembar dengan Diaz, namun mereka belum kembali bertemu lagi. Adelia yang sudah sembuh lehernya karena terkilir kini kembali mengamen bersama Adelio.

Mereka selalu mengamati kendaraan yang berhenti di lampu merah berharap kalau Diaz ada di salah satu mobil yang berhenti. Sayangnya, itu hanya angan-angan. 

Panas terik tidak membuat keduanya menyerah. Mereka tetap bersemangat untuk mengamen dan mengumpulkan receh. 

Tengah hari, suasana jalanan begitu panas. Adelia dan Adelio memutuskan untuk beristirahat sejenak  di bawah pohon trembesi yang  lumayan jauh dari perempatan lampu merah. Mereka duduk sambil menikmati semilir angin dan suara daun-daun yang bergesekkan ditambah bisingnya suara kendaraan. 

"Lia, sebentar aku ingin beli minum!" ujar Adelio berpamitan. Dia berdiri lalu beringsut pergi. 

Adelia mendongak dengan memicingkan mata. "Aku beliin jugaaa!" titip Adelia. 

Dengan berlari kecil Adelio mendekat ke pedagang kaki lima yang berhenti tidak jauh dari sana. Langkah kecilnya memakai sandal jepit yang sudah usang di bagian sela jarinya bahkan sudah putus dan disambung lagi dengan tali rafia.

Adelio meleng, dia tidak memerhatikan langkahnya karena menoleh ke arah jalan yang ramai, di tidak tahu jika di depan ada anak lelaki seusianya yang menghadangkan kakinya. Sengaja agar Adelio tersandung dan jatuh.

Buuugh!

Adelio terpelanting ke depan dia jatuh dan lututnya menghantam trotoar lebih dulu. 

"Awh," pekik Adelio dengan suara tertahan. Dia lalu duduk dan mendongak pada anak yang sekarang cekikikan melihat Adelio kesakitan karena lututnya lecet.

"Arkan? Kamu sengaja, ya?" tuduh Adelio yang mengenal jelas anak lelaki itu. Dia teman sekolahnya. 

"Enggak, kok. Kamu ajah jalannya enggak pake mata! Makanya pake kecamata biar jelas! Haha!" ejek Arkan. Anak bandel itu sangat senang menjaili Adelio.

Tidak terima, Adelio bangkit dan mendorong pundak Arkan sampai anak itu jatuh. Tidak, lebih tepatnya pura-pura jatuh lalu playing victim. 

"Ayaaah!" panggil Arkan yang ternyata tidak sendiri. Dia bersama ayahnya yang tadi sedang membeli buah. Mendengar panggilan anaknya buru-buru Ayah Arkan mendekat. 

Dia sempat melihat Adelio mendorong Arkan.

"Bocah nakal! Apa yang kamu lakukan pada anak saya?" Ayah Arkan menarik tangan anaknya agar berdiri lalu menyentak Adelio sampai tubuhnya terhuyung mundur.

"Arkan mulai dulu, Om!" protes Adelio tidak terima disalahkan. 

"Halah, kamu ini kecil-kecil tukang bohong. Sudah jelas saya liat kamu dorong-dorong Arkan sampe jatuh! Kalau berani nakalin Arkan, awas kamu, ya!" Ayah Arkan menjewer telinga Adelio.

"Aduh, sakit Om!" Adelio memberontak. 

Adelia kaget ketika tahu jika Adelio dijewer, dia berlarian mendekat, lalu memohon agar Ayah Arkan melepas tangannya.

 "Maafin Lio, Om. Kami janji tidak akan buat masalah sama Arkan lagi!" bela Adelia tidak ingin Adelio makin kesakitan.

"Tidak, Lia! Lio tidak salah! Arkan yang salah!"

"Masih berani menuduh kamu, ya?" Jeweran makin keras sampai membuat telinga Adelio memerah. "Ini pelajaran buat kamu biar enggak bandel lagi!" sentak Ayah Arkan lalu di beringsut pergi menggendeng Arkan. 

Arkan berjalan menjauh sambil menoleh ke belakang, menjulurkan lidah dan memelototkan matanya mengejek Adelio. Adelio ingin berlari untuk mengejar dan masih tidak terima dengan penindasan tadi.

"Lio, jangan! Sudah, jangan dibalas lagi!" Tahan Adelia memegang tangan Adelio agar tidak berlari.

"Tidak bisa, Lio tidak salah!" 

"Tidak peduli siapa yang mulai dulu, kita tetap tidak boleh melawan!" Mata dan hidung Adelia mulai memerah. 

"Kenapa?" Adelio masih tidak terima.

"Karena kita tidak punyah ayah!" sentak Adelia dengan air mata mulai menetes. 

"Nenek Fifin bilang kita tidak boleh terlibat masalah karena kita tidak punya ayah! Tidak ada yang membela kita saat kita terkena masalah, yang ada akan merepotkan Mamah!" ujar Adelia dengan menggebu. 

Sesekali Adelia menyeka air matanya. Dia sedih, sangat sedih karena sebenar apa pun, di mata dunia mereka tetap salah.

Adelio mengepalkan tangannya, melihat ke arah Arkan yang sudah pergi jauh. 

"Tapi Mamah tidak pernah bilang kita harus diam saja saat ditindas! Mamah selalu mengajari kita untuk berani! Lio tidak salah,  Arkan mulai duluan! Lio harus membela diri!" kata Adelio sambil mengusap-usap telinganya yang memerah.

Sementara Adelia sesenggukan, dia takut Adelio terkena masalah apalagi jika sampai masalah itu diseret-seret ke sekolah pasti mamahnya akan kena imbasnya. 

"Lio, Lia kenapa menangis?" Suara seorang lelaki dewasa menarik perhatian kedua bocah itu. Mata mereka langsung berbinar ketika melihat siapa yang berdiri di dekat mereka sembari membawa dua contong es krim di tangannya. 

"Kak Diaz!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Kembar yang Ibumu Tolak!    Bab 17

    Tanpa perlu basa-basi lagi, Diaz menyuruh Amna membonceng dan siap menuju ke pasar malam di kampung itu.Perjalanan tidak terlalu jauh, memakai sepeda motor hanya dua puluh menit juga sudah sampai.Mata Amna berbinar-binar ketika melihat lampu berwarna-warni yang menghiasi setiap wahana di pasar malam itu. Diaz menggandeng tangan Amna dan menuntunya masuk.Ini pertama kalinya Amna berkencan, dia begitu senang karena ternyata rasanya memang seindah seperti yang temannya ceritakan.Diaz mengajak Amna menaiki beberapa wahana yang ada di pasar malam itu termasuk naik bianglala."Kia, kamu suka?" tanya Diaz saat meraka duduk di puncak bianglala yang berputar perlahan.Tatapan Diaz begitu lekat pada Amna, tangannya begitu berani menggenggam jemari gadis yang kini terdiam dengan wajah merona.Amna mengangguk. "Aku suka, Kak.""Suka gue juga enggak?" canda Diaz dengan tatapan yang serius membuat Amna jadi gerogi. Apa ini yang namanya ditembak cowok?Amna mendongak, lidahnya kelu ingin mengata

  • Anak Kembar yang Ibumu Tolak!    Bab 16

    "Apa? Lu gila!" Diaz membelalakan matanya. Dia tidak menyangka syarat yang diberi Gito begitu gila."Nah, tuh, lihat cewek yang naik sepeda dari arah warung!" Tunjuk Gito pada seorang gadis yang menaiki sepeda dengan rambut sebahu yang diikat ke atas. Memakai kaus selengan dengan bawah rok selutut, tampak sederhana.Mata Diaz memincing, memastikan lebih jelas wajah gadis yang menjadi target.'Kia?' batin Diaz yakin."Enggak-enggak, gue enggak mau! Ini terlalu gila!" tolak Diaz, dia tidak mungkin menodai Kia. Gadis yang akhir-akhir ini dia taksir diam-diam.Gito dan yang lainnya tertawa pelan. "Ya udah, Bro. Enggak papa, kalo lu enggak mau. Biar gue atau si Niko yang maju. Ya enggak?" Gito melirik ke temannya yang lain.Wajah Diaz panik."Ka--lian, bisa memilih gadis yang lain. Tapi jangan dia, please! Dia adik kelas gue!" Diaz beralasan.Niko justru tertawa lebar. "Terus kenapa kalo dia adek kelas lo? Di sini dia yang paling cantik dan manis. Pokoknya kalo lo enggak mau, enggak papa!

  • Anak Kembar yang Ibumu Tolak!    Bab 15

    Sedari tadi dia bercanda hanya untuk mencairkan suasana dan mengalihkan perhatian pada hatinya yang merasa gelisah sekaligus pada jantung yang berdetak tidak normal karena di dekat Amna. Suasana jadi sedikit tegang kali ini, Elvis tidak tahu kenapa Diaz begitu suka menggoda dan meledeknya semenjak tahu Amna. Tapi itu menyebalkan. "Ibuk, sudah selesai?" Amna membungkuk untuk menatap pada Yasmin."I--ya." Yasmin mengangguk. "Ya udah, kita istirahat dulu ya, Buk." Amna mendorong kursi roda Yasmin menajuh dari meja makan. Dia tidak ingin terlibat lagi dengan kekonyolan pria dewasa itu. "Den El, aku bawa Ibuk istirahat dulu," pamit Amna. Selepas kepergian Amna dan Yasmin, Diaz kembali sibuk dengan makanannya tidak menghiraukan Elviz yang masih kesal. "Heh, lu ngapain sih? Makin hari makin kek jalangkung saja! Ngapain coba tiba-tiba datang?" Diaz tertawa."Kenapa, Paman? Kulihat dari kemarin kamu sensi mulu sama aku. Ada yang salah?" kata Diaz tidak peka. "Sensilah ...." Elvis mengal

  • Anak Kembar yang Ibumu Tolak!    Bab 14

    "Ja--di ...." Elvis tak kalah heran. Dia masih tidak percaya dengan kisah seperti tadi. Amna mengangguk, sekali pun Elvis belum menyesaikan ucapannya. Tapi dari sorot mata itu Amna bisa menebak kalau lelaki itu sedikit kurang yakin. "Jadi? Memang sudah meninggal. Tidak perlulah dibahas lagi. Aku muak membahasnya," tambah Amna dengan bibir geregetan. "Hai, Paman! Hai, Nenek! Hei, Amna! Selamat pagi!" sapa Diaz yang tidak ingin berlama-lama lagi menjadi penguping. Dengan wajah tanpa dosa dia berjalan mendekat dengan piring yang dibawanya. Lalu duduk santai di dekat Yasmin. Seketika Elvis dan Amna terdiam cengo, mereka bahkan saling pandang, merasa kehadiaran Diaz sangat ujug-ujug dan senyum tak tahu diri itu merusak momen Elvis saja. Air wajah Amna sedikit tegang, dia kaget. Tidak menyangka Diaz akan datang. 'Apa tadi Kak Ardiaz mendengar obrolanku dengan Den El? Duh!' batin Amna gelisah. "Diaz, ngapain kamu ke sini?" tegur Elvis dengan wajah sedikit masam. Dia merasa ter

  • Anak Kembar yang Ibumu Tolak!    Bab 13

    Pagi yang cerah, Amna memulai aktifitasnya seperti biasa. Setelah Yasmin bangun, Amna akan membantunya mandi dan memakai baju, merapikan penampilannya. Setelah itu membawa Yasmin jalan-jalan sebentar di sekitaran rumah. "Ibuk, ayo kita sarapan!" kata Amna dengan semangat, dia yang tadi membawa Yasmin jalan di sekitar rumah kembali masuk. "Pagi, Ibuk," sapa Elvis yang sudah siap di meja makan. "Pagi juga," sahut Amna mewakili Yasmin, dia bicara dengan cengengesan. Melihat pada Elvis yang sudah berpenampilan rapi dan tampak tampan dengan stelan kerjanya. "Wah, hari ini Den El sangat tampan. Iya kan, Buk?" puji Amna untuk mengisengi lelaki itu lagi. Elvis yang tadi menyendok nasi hampir saja tersedak karena pujian Amna. "Minum dulu, Den!" Amna mendekatkan gelas air pada Elvis. Dan lelaki itu menyambarnya dengan cepat dengan sikap dingin, dia tidak lagi ramah. Maklum, masih patah hati. Namun, Amna tidak pernah tersinggung, biasanya juga gitu. Elvis balik ke setelan awal! Dia kembali

  • Anak Kembar yang Ibumu Tolak!    Bab 12

    "Apa yang dilakukan Diaz tidak salah, Kak. Diaz membela seseorang yang harusnya memang dibela kan? Lagian kemarahan Kak Zila pada Amna terkesan lucu. Amna hanya tidak sengaja jatuh dan kebetulan Diaz yang menolongnya. Kenapa jadi Kak Zila yang marah-marah? Lagian acara makan malamnya juga hampir selesai kan?" Elvis angkat bicara, dia tidak suka ada yang menyudutkan Amna."Asal Kak Zila tahu ... Amna ke sini bersama saya, saya yang mengajaknya karena dia pengasuh Ibuk. Jadi jika ada sesuatu yang terjadi ... tidak ada yang boleh memarahinya apalagi sampai menghina begini sebelum minta izin dulu pada saya! Hanya saya yang berhak mengatur dan memarahinya karena dia bekerja untuk saya!" tambah Elvis penuh penekanan. Raut wajah Elvis terlihat sangat marah, rahangnya mengeras dengan sorot mata tajam pada Zila. "Termasuk Kak Zila! Jangan sampai saya dengar lagi Kak Zila menghina Amna. Kak Zila sama sekali tak punya hak untuk memarahinya!" Elvis mengeratkan pegangan tangannya pada Amna memb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status