Tanpa perlu basa-basi lagi, Diaz menyuruh Amna membonceng dan siap menuju ke pasar malam di kampung itu.Perjalanan tidak terlalu jauh, memakai sepeda motor hanya dua puluh menit juga sudah sampai.Mata Amna berbinar-binar ketika melihat lampu berwarna-warni yang menghiasi setiap wahana di pasar malam itu. Diaz menggandeng tangan Amna dan menuntunya masuk.Ini pertama kalinya Amna berkencan, dia begitu senang karena ternyata rasanya memang seindah seperti yang temannya ceritakan.Diaz mengajak Amna menaiki beberapa wahana yang ada di pasar malam itu termasuk naik bianglala."Kia, kamu suka?" tanya Diaz saat meraka duduk di puncak bianglala yang berputar perlahan.Tatapan Diaz begitu lekat pada Amna, tangannya begitu berani menggenggam jemari gadis yang kini terdiam dengan wajah merona.Amna mengangguk. "Aku suka, Kak.""Suka gue juga enggak?" canda Diaz dengan tatapan yang serius membuat Amna jadi gerogi. Apa ini yang namanya ditembak cowok?Amna mendongak, lidahnya kelu ingin mengata
"Apa? Lu gila!" Diaz membelalakan matanya. Dia tidak menyangka syarat yang diberi Gito begitu gila."Nah, tuh, lihat cewek yang naik sepeda dari arah warung!" Tunjuk Gito pada seorang gadis yang menaiki sepeda dengan rambut sebahu yang diikat ke atas. Memakai kaus selengan dengan bawah rok selutut, tampak sederhana.Mata Diaz memincing, memastikan lebih jelas wajah gadis yang menjadi target.'Kia?' batin Diaz yakin."Enggak-enggak, gue enggak mau! Ini terlalu gila!" tolak Diaz, dia tidak mungkin menodai Kia. Gadis yang akhir-akhir ini dia taksir diam-diam.Gito dan yang lainnya tertawa pelan. "Ya udah, Bro. Enggak papa, kalo lu enggak mau. Biar gue atau si Niko yang maju. Ya enggak?" Gito melirik ke temannya yang lain.Wajah Diaz panik."Ka--lian, bisa memilih gadis yang lain. Tapi jangan dia, please! Dia adik kelas gue!" Diaz beralasan.Niko justru tertawa lebar. "Terus kenapa kalo dia adek kelas lo? Di sini dia yang paling cantik dan manis. Pokoknya kalo lo enggak mau, enggak papa!
Sedari tadi dia bercanda hanya untuk mencairkan suasana dan mengalihkan perhatian pada hatinya yang merasa gelisah sekaligus pada jantung yang berdetak tidak normal karena di dekat Amna. Suasana jadi sedikit tegang kali ini, Elvis tidak tahu kenapa Diaz begitu suka menggoda dan meledeknya semenjak tahu Amna. Tapi itu menyebalkan. "Ibuk, sudah selesai?" Amna membungkuk untuk menatap pada Yasmin."I--ya." Yasmin mengangguk. "Ya udah, kita istirahat dulu ya, Buk." Amna mendorong kursi roda Yasmin menajuh dari meja makan. Dia tidak ingin terlibat lagi dengan kekonyolan pria dewasa itu. "Den El, aku bawa Ibuk istirahat dulu," pamit Amna. Selepas kepergian Amna dan Yasmin, Diaz kembali sibuk dengan makanannya tidak menghiraukan Elviz yang masih kesal. "Heh, lu ngapain sih? Makin hari makin kek jalangkung saja! Ngapain coba tiba-tiba datang?" Diaz tertawa."Kenapa, Paman? Kulihat dari kemarin kamu sensi mulu sama aku. Ada yang salah?" kata Diaz tidak peka. "Sensilah ...." Elvis mengal
"Ja--di ...." Elvis tak kalah heran. Dia masih tidak percaya dengan kisah seperti tadi. Amna mengangguk, sekali pun Elvis belum menyesaikan ucapannya. Tapi dari sorot mata itu Amna bisa menebak kalau lelaki itu sedikit kurang yakin. "Jadi? Memang sudah meninggal. Tidak perlulah dibahas lagi. Aku muak membahasnya," tambah Amna dengan bibir geregetan. "Hai, Paman! Hai, Nenek! Hei, Amna! Selamat pagi!" sapa Diaz yang tidak ingin berlama-lama lagi menjadi penguping. Dengan wajah tanpa dosa dia berjalan mendekat dengan piring yang dibawanya. Lalu duduk santai di dekat Yasmin. Seketika Elvis dan Amna terdiam cengo, mereka bahkan saling pandang, merasa kehadiaran Diaz sangat ujug-ujug dan senyum tak tahu diri itu merusak momen Elvis saja. Air wajah Amna sedikit tegang, dia kaget. Tidak menyangka Diaz akan datang. 'Apa tadi Kak Ardiaz mendengar obrolanku dengan Den El? Duh!' batin Amna gelisah. "Diaz, ngapain kamu ke sini?" tegur Elvis dengan wajah sedikit masam. Dia merasa ter
Pagi yang cerah, Amna memulai aktifitasnya seperti biasa. Setelah Yasmin bangun, Amna akan membantunya mandi dan memakai baju, merapikan penampilannya. Setelah itu membawa Yasmin jalan-jalan sebentar di sekitaran rumah. "Ibuk, ayo kita sarapan!" kata Amna dengan semangat, dia yang tadi membawa Yasmin jalan di sekitar rumah kembali masuk. "Pagi, Ibuk," sapa Elvis yang sudah siap di meja makan. "Pagi juga," sahut Amna mewakili Yasmin, dia bicara dengan cengengesan. Melihat pada Elvis yang sudah berpenampilan rapi dan tampak tampan dengan stelan kerjanya. "Wah, hari ini Den El sangat tampan. Iya kan, Buk?" puji Amna untuk mengisengi lelaki itu lagi. Elvis yang tadi menyendok nasi hampir saja tersedak karena pujian Amna. "Minum dulu, Den!" Amna mendekatkan gelas air pada Elvis. Dan lelaki itu menyambarnya dengan cepat dengan sikap dingin, dia tidak lagi ramah. Maklum, masih patah hati. Namun, Amna tidak pernah tersinggung, biasanya juga gitu. Elvis balik ke setelan awal! Dia kembali
"Apa yang dilakukan Diaz tidak salah, Kak. Diaz membela seseorang yang harusnya memang dibela kan? Lagian kemarahan Kak Zila pada Amna terkesan lucu. Amna hanya tidak sengaja jatuh dan kebetulan Diaz yang menolongnya. Kenapa jadi Kak Zila yang marah-marah? Lagian acara makan malamnya juga hampir selesai kan?" Elvis angkat bicara, dia tidak suka ada yang menyudutkan Amna."Asal Kak Zila tahu ... Amna ke sini bersama saya, saya yang mengajaknya karena dia pengasuh Ibuk. Jadi jika ada sesuatu yang terjadi ... tidak ada yang boleh memarahinya apalagi sampai menghina begini sebelum minta izin dulu pada saya! Hanya saya yang berhak mengatur dan memarahinya karena dia bekerja untuk saya!" tambah Elvis penuh penekanan. Raut wajah Elvis terlihat sangat marah, rahangnya mengeras dengan sorot mata tajam pada Zila. "Termasuk Kak Zila! Jangan sampai saya dengar lagi Kak Zila menghina Amna. Kak Zila sama sekali tak punya hak untuk memarahinya!" Elvis mengeratkan pegangan tangannya pada Amna memb