Elgantara segera berbalik menatap Elrantya, sang adik, yang baru saja berteriak dengan kencang. Tentu saja ia tekejut sekaligus panik dibuatnya. Dan terlebih lagi wanita paruh baya yang ada dihadapannya juga sama terkejutnya seperti Tara.
“Kenapa? Kamu kenapa?” tanya Tara pada sang adik dengan suara khas seorang anak kecil.
“Itu, tadi ada serangga terbang,” jawab Tya sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.
Sontak Tara melihat sekitar, tapi ia tidak menemukan serangga yang dimaksud adiknya itu. Tara mengembuskan napasnya pelan, satu tangannya menggapai bahu sang adik. “Udah gak ada,” ujar Tara tenang.
Tya menurunkan kedua tangannya dengan perlahan. Matanya melirik dengan hati-hati ke arah sekitarnya, takut-takut serangga yang ia lihat sebelumnya masih berterbangan disekitarnya. Sementara Tara kembali berbalik menghadap wanita paruh baya yang masih berada di hadapannya.
“Ada perlu apa?” tanya Tara lagi tetapi kini terdengar sinis.
Wanita paruh baya itu terlihat tersenyum dengan ramah. “Kalian sedang apa di sini? Kenapa belum pulang? Lagi menunggu jemputan?” tanyanya tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.
“Kita lagi nunggu Mama jemput, Oma.”
Tara membelalakkan matanya menatap sang adik dengan tidak suka karena sembarangan menjawab orang asing. Sementara Tya, gadis kecil menatap heran pada kakaknya. “Apa?” tanya Tya tanpa merasa bedosa kembali mengayunkan ayunannya lagi.
“Jangan sembarangan ngomong sama orang asing, Tya,” tegur Tara.
Saat mendengar perkataan Tara, wanita paruh baya itupun tersenyum lembut. Diam-diam ia merasa kagum pada kesigapan anak yang ia tebak baru berusia sekitar 4 tahun tersebut terhadap adik perempuannya. “Jadi, nama kamu Tya, ya?” tanya wanita paruh baya itu pada Tya.
Gadis kecil itu menghentikan laju ayunan yang ia duduki, ia menggeleng dengan cepat sambil berkata, “Nama aku Elrantya, Oma. Kalau ini kakak aku namanya Elgantara.”
Elgantara mencengkram tangan Elrantya dengan tatapan marahnya. “Udah aku bilang, jangan bicara sembarangan sama orang asing. Inget ‘kan apa kata Mama?” Walaupun Elgantara terlihat marah tetapi ia berkata dengan suara khas anak kecil yang terdengar menggemaskan membuat hati wanita paruh baya itu meleleh dibuatnya.
“Ini Oma keliatannya baik kok, Tara. Kamu jangan galak-galak kayak gitu sama orang tua, gak baik tau, gak sopan,” balas Elrantya santai. Elrantya bangkit dari ayunan dan berdiri di hadapan wanita paruh baya tersebut.
“Maafin Elgantara ya, Oma. Kakak aku emang galak, gak tau keturunan siapa,” ujar Elrantya dengan polosnya membuat wanita itu seketika tertawa dibuatnya.
Wanita paruh baya tersebut menganggukkan kepalanya, ia mewajarkan sikap anak laki-laki yang terlihat mau melindungi sang adik. Ada hal yang membuat wanita itu sangat tertarik pada sepasang anak kembar tersebut. Wajah mereka sangat mirip dengan anak laki-lakinya yang kini sudah dewasa. Wanita paruh baya itu merasa melihat anak laki-lakinya lagi dalam wujud anak kecil dan itu cukup membuatnya senang. Terlebih lagi, ia sangat menginginkan cucu dari anak laki-lakinya yang hingga kini masih belum dikaruniai buah hati.
“Tara! Tya!”
Elgantara dan juga Elrantya menolehkan kepala mereka saat mendengar nama mereka dipanggil oleh seseorang dari arah gerbang taman kanak-kanak tersebut. Seorang wanita berdiri tersenyum ke arah mereka sambil melambaikan tangannya.
“Ayo! Kita udah dijemput!” Elgantara menarik tangan adik perempuannya untuk segera menghampiri wanita tersebut. Elrantya yang ditarik pun hanya bisa menoleh sekilas pada wanita paruh baya itu sambil melambaikan tangannya dan berkata, “Kita pulang dulu ya, Oma. Sampai ketemu lagi nanti!”
Wanita paruh baya tersebut hanya bisa mengangguk dan tersenyum membiarkan mereka pergi. Tatapannya kini beralih pada wanita yang menjemput kedua anak kembar tersebut, seorang wanita muda dengan rambut yang tergerai, ia berpikir sepertinya wanita itu adalah ibu dari kedua anak kembar yang menggemaskan itu.
“Kalau saja aku bisa segera punya cucu, kembar lagi kayak mereka, sempurna sudah hidupku,” gumamnya sambil masih terus memperhatikan si kembar yang berlalu pergi. Wanita paruh baya itu sudah berharap dan bersabar kurang lebih selama lima tahun. Namun, entah kenapa anak laki-lakinya masih belum menbawa kabar baik kalau istrinya tengah mengandung hingga saat ini.
“Maaf, Bu. Mobilnya sudah siap, mau pulang sekarang?” Wanita paruh baya itu seketika tersadar dari lamunannya.
***
Tya tampak melipat kedua tangannya di depan dada. Raut wajahnya terlihat cemberut, tentu saja menandakan ia sebal. Tara juga merasakan apa yang adiknya itu rasakan, hanya saja wajahnya terlihat datar tidak berekspresi.
“Anak Mama kenapa cemberut gitu sih?” tanya Arisha yang melihat sekilas kedua anaknya yang kini sudah ada di samping meja kerjanya lalu mengembalikan lagi tatapannya pada layar komputer yang ada dihadapannya.
“Mama bilang mau jemput Tya sama Tara di sekolah, tapi malah Tante Bunga yang datang,” keluh Tya yang tampak kesal.
“Tadi Tara sama Tya didatengin orang asing, gimana kalau Tara sama Tya diculik? Untung Tara bisa jagain Tya,” imbuh Tara masih dengan raut wajah datarnya.
Mendengar itu, Arisha segera menghentikan pekerjaannya dan segera berbalik menatap kedua anaknya. Tampak raut wajah khawatir Arisha terlihat jelas. Namun, Tya kini memandang kakak kembarnya dengan tatapan tidak suka.
“Tara, Oma itu baik kok. Kamu jangan kayak gitu sama orang tua,” tegur Tya.
“Oma siapa?” tanya Arisha dengan cepat.
Tara dan Tya menggelengkan kepalanya berbarengan. Tentu saja mereka berdua tidak tau siapa orang asing itu. Hanya saja, Tara yang memang diberi amanah untuk selalu waspada dan menjaga adiknya dari orang asing membuat Tara mengira wanita paruh baya yang ia temui sebelumnya adalah orang yang berbahaya dan harus diwaspadai.
Arisha mengembuskan napasnya perlahan. Ia jadi merasa bersalah, memang salahnya tidak bisa menjemput kedua anaknya hari ini. Ia juga tidak menepati janjinya.
“Maafin Mama, ya. Kerjaan Mama banyak karena salah satu pekerja gak masuk, jadi, Mama harus gantiin posisi pekerja itu sementara. Makanya Mama gak bisa jemput kalian hari ini. Mama tau kalau Mama salah karena gak nepatin janji sama kalian berdua. Karena itu, gimana kalau sebagai gantinya, makan malam nanti kita makan di luar?”
Tara dan Tya saling beradu pandang. Sudut bibir mereka mulai terangkat memperlihatkan senyum manis mereka. Kembali, tatapan mereka menatap Arisha lalu kepala mereka mengangguk setuju membuat Arisha tersenyum.
“Ya udah, kalian makan siang dulu ya. Tante Bunga ke mana? Karena Mama masih banyak kerjaan dan gak mau sampai lembur nanti malah gak jadi makan malem sama kalian, buat makan siang hari ini kalian makan siang sama Tante Bunga dulu, gak apa-apa, ‘kan?” tanya Arisha sambil mengusap kepala kedua anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Tante Bunga ada di luar katanya lagi beliin akita es krim,” jawab Tara membuat Tya menyenggol tangan Tara dan menatapnya dengan tidak suka. Tara yang baru sadar pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya dengan cepat.
“Siapa bilang kalian boleh makan es krim?” tanya Arisha memicingkan matanya.
“Tante Bunga tuh, Mah. Ya udah, kita susul Tante Bunga dulu ya, Mah,” jawab Tya segera menarik tangan Tara untuk mengikutinya.
“Mama jangan lupa shokat dzuhur ya!” seru Tara yang berlalu bersama sang adik yang menariknya.
Arisha mengembuskan napasnya dan menggelengkan kepalanya saat melihat kelakuan dua anak kembarnya yang masih kecil itu. Arisha merasa sangat bangga dan bahagia memiliki dua kekuatan yang tidak pernah bisa tergantikan oleh apapun. Dua anak kembarnya itu, bisa mengerti dirinya dengan baik. Sayangnya Arisha belum bisa memberikan sosok ayah untuk mereka.
Namun, siapa yang tau? Arisha sendiri mungkin tidak akan menyangka kalau takdir akan berjalan sebagaimana mestinya membuat dirinya akan dilema nantinya. Yang bisa Arisha lakukan saat ini hanyalah berharap kalau kedua anak kembarnya itu tidak diambil oleh siapa-siapa.
Arisha merasa kepalanya sedikit pusing. Namun, ia tidak mau lagi mengecewakan kedua anaknya yang sudah ia janjikan untuk makan malam di luar malam ini. Ia berdiri di depan wastafel ruang kerjanya, melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin dan bisa ia lihat betapa pucat wajahnya.Untuk menutupi hal itu, Arisha mengambil beberapa alat rias di sebuah tas kecil miliknya. Ia memilih menutup wajah pucatnya itu dengan riasan yang sedikit lebih tebal dari biasanya agar bisa menutupi betapa pucat wajahnya. Terakhir, Arisha memoleskan sebuah lipstik berwarna merah bata di bibirnya.“Momi!” Arisha terperanjat saat mendengar suara anak perempuannya yang memanggilnya cukup kencang dari ruang kerjanya. Untung saja, lipstiknya itu tidak mencoret bagian wajah yang lain selain bibirnya.“Iya, sebentar, Sayang,” balas Arisha sambil membereskan semua alat riasnya kembali.“Ih, Mama lama banget. Tya udah laper!” keluh Tya yang terlihat cemberut.“Mama dandan dulu? Mama ‘kan udah cantik walaupun gak dan
Sebuah rumah sakit menjadi persinggahan Ilham malam ini. Masih dengan kedua anak kembar Arisha yang menangis, Ilham diam duduk menunggu para tenaga medis menangani Arisha di ruang gawat darurat. Ilham menatap kedua anak kembar yang wajahnya sudah memerah karena tangisannya. Ilham mengembuskan napasnya, merasa sangat tidak tega melihat keduanya seperti itu. Ia bangkit dari duduknya lalu bersimpuh tepat di depan sepasang anak kembar itu. Senyumnya terukir dengan indah, Ilham mengangkat tangannya untuk menggapai puncak kepala Elrantya dan mengusapnya lembut. Samar-samar, Tya menghentikan tangisnya dan menatap Ilham yang berada tepat di hadapannya. Ilham tersenyum lembut kearahnya. Namun, Ilham dibuat terkejut saat Tya menabrakan tubuhnya pada Ilham. Tangan kecil Tya memeluk leher Ilham dan tangisnya kembali terdengar. “Momi ... Momi kenapa, Om ...?” tanya Tya sambil menangis. Ilham membalas pelukan gadis kecil itu, ia mencoba untuk menenangkannya dengan mengusap
“Tara!” Tara dan Ilham menoleh ke asal sumber suara di mana Arisha kini sudah terbangun dan menatap ke arah mereka dengan tatapan yang tidak bisa mereka artikan.“Mama!”Tara melepas pelukannya pada Ilham dengan segera lalu ia berlari menghampiri ranjang di mana Arisha diam menatap mereka. Sementara Tya, ia sudah terlelap di samping sang ibu tanpa tau kalau Arisha sudah tersadar dari pingsannya. Ilham bangkit berdiri menatap Arisha yang juga menatapnya.Ada perasaan gelenyar di hatinya saat menatap mata sayu indah milik Arisha. Namun, Ilham juga menyadari kalau ia bisa melihat ada terselip tatapan ketakutan dan kekecewaan di mata perempuan yang selama ini selalu ia cari-cari keberadaannya. Terbesit sebuah pemikiran kalau pertemuan tidak sengaja ini adalah sebuah jalan yang sudah ditakdirkan agar dirinya dan Arisha bisa bertemu kembali.“Kamu sudah siuman?” tanya Ilham yang terdengar cukup bodoh.“Kenapa And
Arisha bisa mendengar suara pintu kamar inapnya dibuka oleh seseorang. Namun, Arisha memilih pura-pura tidur daripada melihat siapa yang datang ke kamarnya selarut ini tetapi ia menduga kalau yang datang adalah Ilham dan Tara. Derap langkah kaki yang dibalut dengan sebuah sepatu pantofel yang beradu dengan lantai keramik terdengar cukup kencang karena sunyinya ruang inap Arisha.Arisha merasa sedikit keheranan, kenapa hanya ada satu pasang suara derap langkah yang masuk ke dalam ruangannya? Kalau memang Ilham dan Tara yang datang, seharusnya ada suara Tara juga. Apa memang bukan Ilham dan anak laki-lakinya yang datang? Pikir Arisha dalam pejaman matanya.Sebuah pergerakan di kasurnya cukup terasa oleh Arisha. Mata Arisha sedikit ia buka untuk mengintip. Samar-samar ia bisa melihat seorang pria jangkung yang sedang mencoba dengan sangat hati-hati untuk memindahkan Tara yang tertidur di gendongannya ke sebelah Arisha.“Anak pintar,” gumam pria jangkung
Dengan tergesa, Arisha menuntun kedua anaknya di sisi kiri dan kanannya. Langit sudah gelap dan Arisha memutuskan untuk pergi dari rumah sakit di mana ia harus dirawat. Ia memilih pergi sebelum Ilham kembali datang menemui mereka kembali.Hal ini sudah Arisha rencanakan sedari pagi tadi. Dan waktu inilah waktu di mana Ilham pergi karena sebuah urusan yang dia bilang pada kedua anaknya kalau urusannya tidak bisa ia tunda dan tinggalkan. Bisa Arisha lihat saat Ilham meninggalkan anaknya dengan berat hati, tetapi, itulah saat-saat yang Arisha tunggu.“Kita mau ke mana, Mah? Momi ‘kan harusnya masih harus dirawat sama suster,” ujar Tya yang ia tuntun di sisi kanannya.Arisha tampak celingak-celinguk di depan lobi rumah sakit seakan mencari sosok yang ia tunggu. Sekaligus ia takut kalau-kalau ada Ilham datang. Akan gagal sudah acara kabur dari laki-laki itu bila Ilham tiba-tiba muncul, pikir Arisha.“Nanti kalau Pap ... eh, kalau Om Ilh
“Ada apa, Kian? Saya sedang banyak pekerjaan. Bila ingin sesuatu, katakan dengan jelas,” tegas Ilham saat mendengar suara manja dari sang istri di seberang sambungan teleponnya.Ilham sudah tau betul bagaimana sikap istrinya itu bila menginginkan sesuatu. Selalu terdengar manja dan menyebalkan. Dan yang menjengkelkan, Kian hanya menghubunginya jika ia menginginkan sesuatu. Tidak pernah Kian benar-benar mencarinya jika tidak punya suatu keinginan, itula hal yang paling memuakkan dari istrinya menurut Ilham.“Hehe ... Mas, kok nanyanya gitu, sih? Aku cuma kangen loh, udah dua hari gak lihat Mas,” balas Kian.“Kalau tidak ada yang penting, saya tutup teleponnya,” ancam Ilham yang semakin dibuat jengkel.“Eh, tunggu, Mas. Anu ... aku mau pergi ke Bali sama temen-temenku. Bole—”“Terserah, Kian. Lakukan apa yang kamu mau,” jawab Ilham dengan cepat memotong ucapan Kian ya
“Kalau ternyata Om Ilham itu papa kandungnya Tya gimana?”“Jangan ngomong sembarangan, Tya. Jangan bahas soal papa, Mama gak suka. Mama selalu sedih kalau Tya maksa cari tau tentang hal itu,” jawab Arisha yang terdengar egois.Tya menundukkan kepalanya, ia tampak murung kali ini. Arisha yang tidak bisa melihat anaknya itu murung memilih pergi meninggalkannya duduk di sana. Bukan Arisha tidak sayang, hanya saja hal itu sangat menyakiti hatinya mengingat banyak hal yang Arisha korbankan untuk kedua anaknya tetapi kini anaknya malah bertanya-tanya tentang ayahnya yang meninggalkan kenangan pahit untuk Arisha. Ia juga tidak mau membiarkan Tya larut dalam pertanyaan tentang keberadaan ayahnya.Karena Ilham memang benar ayah kandung Tara dan Tya yang selama ini mereka pertanyakan. Hanya saja, Arisha ingat betul bagaimana ancaman sang kakak tiri padanya bila ia merusak kebahagiaannya dengan membawa anak-anaknya pada Ilham di lima tahun yang lalu
Arisha baru saja sampai di toko katering miliknya sendiri. Sudah ada beberapa karyawannya yang tiba di sana. Kedatangan Arisha tentu saja disambut baik oleh para pegawainya yang mempertanyakan ke mana perginya Arisha yang tidak hadir tanpa memberi kabar apa-apa selama dua hari kebelakang.Itu karena walaupun Arisha adalah pemilik katering dan pimpinan teratas di sana, tetap saja ia selalu hadir setiap hari kerja untuk mengkoordinasikan para pegawainya. Ia tidak pernah seenaknya datang atau tidak hadir. Arisha selalu memberi kabar pada salah satu orang kepercayaannya di sana dan akan terasa sangat aneh bila Arisha tiba-tiba tidak hadir tanpa kabar sama sekali.“Pagi, Bu. Bagaimana keadaan Ibu?” tanya salah satu pegawainya dengan sopan.Arisha melemparkan senyumnya pada pegawai wanitanya itu. “Alhamdulillah, baik. Katering gimana? Kemarin ada orderan masuk lagi pas saya gak masuk?” balas Arisha bertanya.Pegawainya itu mengangguk pel