Share

Bab V. Ketakutan

Elgantara segera berbalik menatap Elrantya, sang adik, yang baru saja berteriak dengan kencang. Tentu saja ia tekejut sekaligus panik dibuatnya. Dan terlebih lagi wanita paruh baya yang ada dihadapannya juga sama terkejutnya seperti Tara.

“Kenapa? Kamu kenapa?” tanya Tara pada sang adik dengan suara khas seorang anak kecil.

“Itu, tadi ada serangga terbang,” jawab Tya sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.

Sontak Tara melihat sekitar, tapi ia tidak menemukan serangga yang dimaksud adiknya itu. Tara mengembuskan napasnya pelan, satu tangannya menggapai bahu sang adik. “Udah gak ada,” ujar Tara tenang.

Tya menurunkan kedua tangannya dengan perlahan. Matanya melirik dengan hati-hati ke arah sekitarnya, takut-takut serangga yang ia lihat sebelumnya masih berterbangan disekitarnya. Sementara Tara kembali berbalik menghadap wanita paruh baya yang masih berada di hadapannya.

“Ada perlu apa?” tanya Tara lagi tetapi kini terdengar sinis.

Wanita paruh baya itu terlihat tersenyum dengan ramah. “Kalian sedang apa di sini? Kenapa belum pulang? Lagi menunggu jemputan?” tanyanya tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.

“Kita lagi nunggu Mama jemput, Oma.”

Tara membelalakkan matanya menatap sang adik dengan tidak suka karena sembarangan menjawab orang asing. Sementara Tya, gadis kecil menatap heran pada kakaknya. “Apa?” tanya Tya tanpa merasa bedosa kembali mengayunkan ayunannya lagi.

“Jangan sembarangan ngomong sama orang asing, Tya,” tegur Tara.

Saat mendengar perkataan Tara, wanita paruh baya itupun tersenyum lembut. Diam-diam ia merasa kagum pada kesigapan anak yang ia tebak baru berusia sekitar 4 tahun tersebut terhadap adik perempuannya.  “Jadi, nama kamu Tya, ya?” tanya wanita paruh baya itu pada Tya.

Gadis kecil itu menghentikan laju ayunan yang ia duduki, ia menggeleng dengan cepat sambil berkata, “Nama aku Elrantya, Oma. Kalau ini kakak aku namanya Elgantara.”

Elgantara mencengkram tangan Elrantya dengan tatapan marahnya. “Udah aku bilang, jangan bicara sembarangan sama orang asing. Inget ‘kan apa kata Mama?” Walaupun Elgantara terlihat marah tetapi ia berkata dengan suara khas anak kecil yang terdengar menggemaskan membuat hati wanita paruh baya itu meleleh dibuatnya.

“Ini Oma keliatannya baik kok, Tara. Kamu jangan galak-galak kayak gitu sama orang tua, gak baik tau, gak sopan,” balas Elrantya santai. Elrantya bangkit dari ayunan dan berdiri di hadapan wanita paruh baya tersebut.

“Maafin Elgantara ya, Oma. Kakak aku emang galak, gak tau keturunan siapa,” ujar Elrantya dengan polosnya membuat wanita itu seketika tertawa dibuatnya.

Wanita paruh baya tersebut menganggukkan kepalanya, ia mewajarkan sikap anak laki-laki yang terlihat mau melindungi sang adik. Ada hal yang membuat wanita itu sangat tertarik pada sepasang anak kembar tersebut. Wajah mereka sangat mirip dengan anak laki-lakinya yang kini sudah dewasa. Wanita paruh baya itu merasa melihat anak laki-lakinya lagi dalam wujud anak kecil dan itu cukup membuatnya senang. Terlebih lagi, ia sangat menginginkan cucu dari anak laki-lakinya yang hingga kini masih belum dikaruniai buah hati.

“Tara! Tya!”

Elgantara dan juga Elrantya menolehkan kepala mereka saat mendengar nama mereka dipanggil oleh seseorang dari arah gerbang taman kanak-kanak tersebut. Seorang wanita berdiri tersenyum ke arah mereka sambil melambaikan tangannya.

“Ayo! Kita udah dijemput!” Elgantara menarik tangan adik perempuannya untuk segera menghampiri wanita tersebut. Elrantya yang ditarik pun hanya bisa menoleh sekilas pada wanita paruh baya itu sambil melambaikan tangannya dan berkata, “Kita pulang dulu ya, Oma. Sampai ketemu lagi nanti!”

Wanita paruh baya tersebut hanya bisa mengangguk dan tersenyum membiarkan mereka pergi. Tatapannya kini beralih pada wanita yang menjemput kedua anak kembar tersebut, seorang wanita muda dengan rambut yang tergerai, ia berpikir sepertinya wanita itu adalah ibu dari kedua anak kembar yang menggemaskan itu.

“Kalau saja aku bisa segera punya cucu, kembar lagi kayak mereka, sempurna sudah hidupku,” gumamnya sambil masih terus memperhatikan si kembar yang berlalu pergi. Wanita paruh baya itu sudah berharap dan bersabar kurang lebih selama lima tahun. Namun, entah kenapa anak laki-lakinya masih belum menbawa kabar baik kalau istrinya tengah mengandung hingga saat ini.

“Maaf, Bu. Mobilnya sudah siap, mau pulang sekarang?” Wanita paruh baya itu seketika tersadar dari lamunannya.

***

Tya tampak melipat kedua tangannya di depan dada. Raut wajahnya terlihat cemberut, tentu saja menandakan ia sebal. Tara juga merasakan apa yang adiknya itu rasakan, hanya saja wajahnya terlihat datar tidak berekspresi.

“Anak Mama kenapa cemberut gitu sih?” tanya Arisha yang melihat sekilas kedua anaknya yang kini sudah ada di samping meja kerjanya lalu mengembalikan lagi tatapannya pada layar komputer yang ada dihadapannya.

“Mama bilang mau jemput Tya sama Tara di sekolah, tapi malah Tante Bunga yang datang,” keluh Tya yang tampak kesal.

“Tadi Tara sama Tya didatengin orang asing, gimana kalau Tara sama Tya diculik? Untung Tara bisa jagain Tya,” imbuh Tara masih dengan raut wajah datarnya.

Mendengar itu, Arisha segera menghentikan pekerjaannya dan segera berbalik menatap kedua anaknya. Tampak raut wajah khawatir Arisha terlihat jelas. Namun, Tya kini memandang kakak kembarnya dengan tatapan tidak suka.

“Tara, Oma itu baik kok. Kamu jangan kayak gitu sama orang tua,” tegur Tya.

“Oma siapa?” tanya Arisha dengan cepat.

Tara dan Tya menggelengkan kepalanya berbarengan. Tentu saja mereka berdua tidak tau siapa orang asing itu. Hanya saja, Tara yang memang diberi amanah untuk selalu waspada dan menjaga adiknya dari orang asing membuat Tara mengira wanita paruh baya yang ia temui sebelumnya adalah orang yang berbahaya dan harus diwaspadai.

Arisha mengembuskan napasnya perlahan. Ia jadi merasa bersalah, memang salahnya tidak bisa menjemput kedua anaknya hari ini. Ia juga tidak menepati janjinya.

“Maafin Mama, ya. Kerjaan Mama banyak karena salah satu pekerja gak masuk, jadi, Mama harus gantiin posisi pekerja itu sementara. Makanya Mama gak bisa jemput kalian hari ini. Mama tau kalau Mama salah karena gak nepatin janji sama kalian berdua. Karena itu, gimana kalau sebagai gantinya, makan malam nanti kita makan di luar?”

Tara dan Tya saling beradu pandang. Sudut bibir mereka mulai terangkat memperlihatkan senyum manis mereka. Kembali, tatapan mereka menatap Arisha lalu kepala mereka mengangguk setuju membuat Arisha tersenyum.

“Ya udah, kalian makan siang dulu ya. Tante Bunga ke mana? Karena Mama masih banyak kerjaan dan gak mau sampai lembur nanti malah gak jadi makan malem sama kalian, buat makan siang hari ini kalian makan siang sama Tante Bunga dulu, gak apa-apa, ‘kan?” tanya Arisha sambil mengusap kepala kedua anaknya dengan penuh kasih sayang.

“Tante Bunga ada di luar katanya lagi beliin akita es krim,” jawab Tara membuat Tya menyenggol tangan Tara dan menatapnya dengan tidak suka. Tara yang baru sadar pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya dengan cepat.

“Siapa bilang kalian boleh makan es krim?” tanya Arisha memicingkan matanya.

“Tante Bunga tuh, Mah. Ya udah, kita susul Tante Bunga dulu ya, Mah,” jawab Tya segera menarik tangan Tara untuk mengikutinya.

“Mama jangan lupa shokat dzuhur ya!” seru Tara yang berlalu bersama sang adik yang menariknya.

Arisha mengembuskan napasnya dan menggelengkan kepalanya saat melihat kelakuan dua anak kembarnya yang masih kecil itu. Arisha merasa sangat bangga dan bahagia memiliki dua kekuatan yang tidak pernah bisa tergantikan oleh apapun. Dua anak kembarnya itu, bisa mengerti dirinya dengan baik. Sayangnya Arisha belum bisa memberikan sosok ayah untuk mereka.

Namun, siapa yang tau? Arisha sendiri mungkin tidak akan menyangka kalau takdir akan berjalan sebagaimana mestinya membuat dirinya akan dilema nantinya. Yang bisa Arisha lakukan saat ini hanyalah berharap kalau kedua anak kembarnya itu tidak diambil oleh siapa-siapa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status