Share

Bab VII. Penawaran dari Pria Kecil

Sebuah rumah sakit menjadi persinggahan Ilham malam ini. Masih dengan kedua anak kembar Arisha yang menangis, Ilham diam duduk menunggu para tenaga medis menangani Arisha di ruang gawat darurat. Ilham menatap kedua anak kembar yang wajahnya sudah memerah karena tangisannya.

Ilham mengembuskan napasnya, merasa sangat tidak tega melihat keduanya seperti itu. Ia bangkit dari duduknya lalu bersimpuh tepat di depan sepasang anak kembar itu. Senyumnya terukir dengan indah, Ilham mengangkat tangannya untuk menggapai puncak kepala Elrantya dan mengusapnya lembut.

Samar-samar, Tya menghentikan tangisnya dan menatap Ilham yang berada tepat di hadapannya. Ilham tersenyum lembut kearahnya. Namun, Ilham dibuat terkejut saat Tya menabrakan tubuhnya pada Ilham. Tangan kecil Tya memeluk leher Ilham dan tangisnya kembali terdengar.

“Momi ... Momi kenapa, Om ...?” tanya Tya sambil menangis. Ilham membalas pelukan gadis kecil itu, ia mencoba untuk menenangkannya dengan mengusap-usap punggung Tya dengan sayang.

“Mama kalian cuma kecapek-an, kamu ga usah khawatir ya,” jawab Ilham.

“Mama bakalan baik-baik aja ‘kan, Om?” Kini Tara yang bersuara membuat pandangan Ilham teralihkan padanya. Ilham bisa merasakan betapa miripnya anak laki-laki itu dengannya. Walaupun begitu, Ilham merasa dirinya harus bisa memastikannya dulu kelak.

“Mama kalian itu wanita kuat, jadi pasti dia akan baik-baik aja. Apa kalian masih lapar? Mau makan sesuatu?” tawar Ilham mencoba untuk menghibur kedua anak itu.

Namun, kedua anak itu hanya menggelengkan kepalanya. Tampak raut wajah cemas dan sedih dari Tara, Ilham mengerti betul bagaimana perasaan pria kecil itu sekarang. Sementara untuk anak gadis yang sedang ia gendong, ia masih terasa menangis di sana. Ilham beranjak bangkit masih dengan Tya yang ada digendongannya untuk pindah duduk di samping Tara.

“Nama kamu siapa?” tanya Ilham pada Tara.

“Elgantara, Om. Adik aku namanya Elrantya. Aku dipanggil Tara, adik aku dipanggil Tya,” jelas Tara membuat Ilham mengangguk paham. Ia cukup puas dengan nama kedua anak itu yang terdengar bermakna dan juga indah. Tanpa sadar, tangannya kini sudah mengusap lembut punggung Tya yang masih berada di gendongannya.

Ilham menyadari sesuatu, sepertinya gadis kecil yang ia gendong saat ini sedang tertidur. Dengan pelan, ia kembali mengusap punggung kecil Tya yang terasa napasnya kini sudah mulai beraturan disertai dengan tangisnya yang sudah tidak terdengar. Ilham mengalihkan pandangannya pada Tara yang menarik-narik ujung bajunya pelan.

“Tya udah tidur, Om,” bisik Tara membuat Ilham mengangguk mengerti.

“Keluarga Ibu Arisha?”

Ilham segera menoleh saat nama Arisha disebut oleh salah satu perawat wanita yang baru saja keluar dari ruang gawat darurat. Ilham seketika memberi isyarat kepada perawat itu untuk tidak berteriak karena anak gadis yang ada digendongannya sedang tertidur membuat sang perawat mengangguk mengerti. Ilham bangkit seraya meraih tangan Tara agar mengikutinya dengan Tya yang ia gendong dengan satu tangan.

“Keluarga dari Ibu Arisha?” ulang perawat itu lagi memastikan saat Ilham bersama si kembar kini sudah berada di hadapannya.

“Saya keluarganya,” jawab Ilham.

“Silakan lewat sini, Pak,” ucap sang perawat menunjukan jalan.

Kini, Arisha sudah dipindahkan ke ruang inap. Ilham membangunkan Tya dengan lembut lalu menyuruhnya untuk menghampiri Arisha, Tya yang masih merasa mengantuk pun memilih untuk ikut berbaring bersama sang ibu ditemani oleh Tara yang duduk di dekatnya. Sementara dirinya berbincang dengan sang dokter yang tak jauh beberapa langkah dari tempat Arisha berbaring. Tampak Arisha yang masih memejamkan matanya menandakan ia masih belum tersadar.

“Bagaimana, Dok?” tanya Ilham.

“Istri Bapak ini mengalami migrain karena terlalu kelelahan. Dan juga karena terlalu sering telat makan membuat Bu Arisha lemas dan menimbulkan gejala maag,” jelas sang dokter.

“Apa ada penyakit lebih serius lainnya?” tanya Ilham memastikan.

“Sejauh ini tidak ada, Pak. Tapi untuk migrain dan maag, bisa menjadi bahaya bila dibiarkan begitu saja. Jadi, sebaiknya diberi penanganan lebih baik agar tidak berkepanjangan,” saran dokter wanita itu membuat Ilham mengangguk paham.

“Apa perlu rawat inap?”

“Untuk memastikan keadaannya lebih baik, saya sarankan untuk dirawat satu sampai tiga hari paling lama. Tapi bila sudah merasa enakan dalam satu hari juga sudah bisa pulang. Namun, istirahat dan makannya harus lebih diperhatikan lagi.”

Ilham mengangguk tetapi perhatiannya segera ia alihkan saat kembali ia merasa ada yang menarik-narik ujung bajunya. Tatapannya menunduk melihat siapa yang menarik ujung bajunya untuk kedua kalinya. Dan ternyata tersangka yang sama dengan sebelumnya.

“Kenapa, Tara?” tanya Ilham sambil mensejajarkan tubuhnya dengan pria kecil itu.

“Om, Mama gimana?” tanya Tara tampak cemas.

Mendengar panggilan Tara pada Ilham yang sama sekali tidak terdengar seperti ayah dan anak pun membuat sang dokter sedikit kebingungan. Ia berpikir sepertinya Ilham adalah ayah tiri mereka atau bahkan masih calon ayah tiri mereka. Namun, bila ia melihat wajah dua anak kembar itu, ia berpikir mereka sangatlah mirip membuat dirinya tentu saja langsung menduga kalau Ilham adalah ayah dari kedua anak itu. Yang pasti, dokter wanita itu merasa tidak enak karena ia takut salah memanggil Ilham sebagai suami sang pasien.

“Gak apa-apa, mama kamu sama Tya cuma kecapek-an. Iya ‘kan, Dok?” balas Ilham mencoba menenangkan Tara dengan meminta dukungan dari sang dokter agar Tara percaya.

“Iya, mama kamu akan segera membaik dan sadar. Biar mama kamu lekas pulih juga, kamu bisa bantu jaga mama kamu dan ingatkan mama kamu untuk gak telat makan ya,” timpal sang dokter dengan ramah.

Tara tampak mengangguk paham, wajah polosnya sangat terlihat menggemaskan. Tanpa sadar, Ilham mengangkat satu tangannya untuk menggapai pipi gempal Tara yang terlihat merona. Ia mencubitnya dengan pelan saking gemasnya tetapi tidak mau menyakitinya.

“Tuh dengerin kata Bu Dokter, ingetin mama buat makan. Jangan sampai mama kamu makannya telat nanti sakit lagi kayak sekarang,” ucap Ilham.

Tara tampak mengangguk pelan. Tanpa Ilham duga, Tara tiba-tiba memeluknya membuat Ilham sedikit terkejut. Namun, karena pelukan Tara, hal itu mampu membuat hati Ilham menghangat. Apa seperti ini rasanya mempunyai anak? Pikir Ilham.

“Saya permisi pamit dulu ya, Pak Ilham. Kalau ada apa-apa bisa panggil perawat yang berjaga,” ujar sang dokter memilih pergi. Ilham menatap dokter wanita itu sekilas dan mengangguk mempersilakan.

“Makasih ya, Om. Om kayaknya cocok jadi papanya Tara sama Tya,” ungkap Tara tidak terduga.

“Memangnya Tara belum ... punya Papa?” tanya Ilham hati-hati karena takut pertanyaannya membuat pria kecil yang sedang memeluknya itu tersinggung.

Tara tampak menggelengkan kepalanya tidak bersemangat. Memang sejak dirinya lahir, Arisha tidak pernah mau membahas tentang sang ayah yang selalu ia dan Tya pertanyakan. Jujur saja, Tara selalu merasa bersedih saat melihat teman-temannya diantar jemput oleh ibu dan ayah. Sementara dirinya dan sang adik hanya diantar jemput oleh Arisha, itupun jika Arisha tidak sibuk.

“Jadi, Om mau jadi papanya Tara sama Tya gak?” tanya Tara.

“Tara!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status