Sebuah rumah sakit menjadi persinggahan Ilham malam ini. Masih dengan kedua anak kembar Arisha yang menangis, Ilham diam duduk menunggu para tenaga medis menangani Arisha di ruang gawat darurat. Ilham menatap kedua anak kembar yang wajahnya sudah memerah karena tangisannya.
Ilham mengembuskan napasnya, merasa sangat tidak tega melihat keduanya seperti itu. Ia bangkit dari duduknya lalu bersimpuh tepat di depan sepasang anak kembar itu. Senyumnya terukir dengan indah, Ilham mengangkat tangannya untuk menggapai puncak kepala Elrantya dan mengusapnya lembut.
Samar-samar, Tya menghentikan tangisnya dan menatap Ilham yang berada tepat di hadapannya. Ilham tersenyum lembut kearahnya. Namun, Ilham dibuat terkejut saat Tya menabrakan tubuhnya pada Ilham. Tangan kecil Tya memeluk leher Ilham dan tangisnya kembali terdengar.
“Momi ... Momi kenapa, Om ...?” tanya Tya sambil menangis. Ilham membalas pelukan gadis kecil itu, ia mencoba untuk menenangkannya dengan mengusap-usap punggung Tya dengan sayang.
“Mama kalian cuma kecapek-an, kamu ga usah khawatir ya,” jawab Ilham.
“Mama bakalan baik-baik aja ‘kan, Om?” Kini Tara yang bersuara membuat pandangan Ilham teralihkan padanya. Ilham bisa merasakan betapa miripnya anak laki-laki itu dengannya. Walaupun begitu, Ilham merasa dirinya harus bisa memastikannya dulu kelak.
“Mama kalian itu wanita kuat, jadi pasti dia akan baik-baik aja. Apa kalian masih lapar? Mau makan sesuatu?” tawar Ilham mencoba untuk menghibur kedua anak itu.
Namun, kedua anak itu hanya menggelengkan kepalanya. Tampak raut wajah cemas dan sedih dari Tara, Ilham mengerti betul bagaimana perasaan pria kecil itu sekarang. Sementara untuk anak gadis yang sedang ia gendong, ia masih terasa menangis di sana. Ilham beranjak bangkit masih dengan Tya yang ada digendongannya untuk pindah duduk di samping Tara.
“Nama kamu siapa?” tanya Ilham pada Tara.
“Elgantara, Om. Adik aku namanya Elrantya. Aku dipanggil Tara, adik aku dipanggil Tya,” jelas Tara membuat Ilham mengangguk paham. Ia cukup puas dengan nama kedua anak itu yang terdengar bermakna dan juga indah. Tanpa sadar, tangannya kini sudah mengusap lembut punggung Tya yang masih berada di gendongannya.
Ilham menyadari sesuatu, sepertinya gadis kecil yang ia gendong saat ini sedang tertidur. Dengan pelan, ia kembali mengusap punggung kecil Tya yang terasa napasnya kini sudah mulai beraturan disertai dengan tangisnya yang sudah tidak terdengar. Ilham mengalihkan pandangannya pada Tara yang menarik-narik ujung bajunya pelan.
“Tya udah tidur, Om,” bisik Tara membuat Ilham mengangguk mengerti.
“Keluarga Ibu Arisha?”
Ilham segera menoleh saat nama Arisha disebut oleh salah satu perawat wanita yang baru saja keluar dari ruang gawat darurat. Ilham seketika memberi isyarat kepada perawat itu untuk tidak berteriak karena anak gadis yang ada digendongannya sedang tertidur membuat sang perawat mengangguk mengerti. Ilham bangkit seraya meraih tangan Tara agar mengikutinya dengan Tya yang ia gendong dengan satu tangan.
“Keluarga dari Ibu Arisha?” ulang perawat itu lagi memastikan saat Ilham bersama si kembar kini sudah berada di hadapannya.
“Saya keluarganya,” jawab Ilham.
“Silakan lewat sini, Pak,” ucap sang perawat menunjukan jalan.
Kini, Arisha sudah dipindahkan ke ruang inap. Ilham membangunkan Tya dengan lembut lalu menyuruhnya untuk menghampiri Arisha, Tya yang masih merasa mengantuk pun memilih untuk ikut berbaring bersama sang ibu ditemani oleh Tara yang duduk di dekatnya. Sementara dirinya berbincang dengan sang dokter yang tak jauh beberapa langkah dari tempat Arisha berbaring. Tampak Arisha yang masih memejamkan matanya menandakan ia masih belum tersadar.
“Bagaimana, Dok?” tanya Ilham.
“Istri Bapak ini mengalami migrain karena terlalu kelelahan. Dan juga karena terlalu sering telat makan membuat Bu Arisha lemas dan menimbulkan gejala maag,” jelas sang dokter.
“Apa ada penyakit lebih serius lainnya?” tanya Ilham memastikan.
“Sejauh ini tidak ada, Pak. Tapi untuk migrain dan maag, bisa menjadi bahaya bila dibiarkan begitu saja. Jadi, sebaiknya diberi penanganan lebih baik agar tidak berkepanjangan,” saran dokter wanita itu membuat Ilham mengangguk paham.
“Apa perlu rawat inap?”
“Untuk memastikan keadaannya lebih baik, saya sarankan untuk dirawat satu sampai tiga hari paling lama. Tapi bila sudah merasa enakan dalam satu hari juga sudah bisa pulang. Namun, istirahat dan makannya harus lebih diperhatikan lagi.”
Ilham mengangguk tetapi perhatiannya segera ia alihkan saat kembali ia merasa ada yang menarik-narik ujung bajunya. Tatapannya menunduk melihat siapa yang menarik ujung bajunya untuk kedua kalinya. Dan ternyata tersangka yang sama dengan sebelumnya.
“Kenapa, Tara?” tanya Ilham sambil mensejajarkan tubuhnya dengan pria kecil itu.
“Om, Mama gimana?” tanya Tara tampak cemas.
Mendengar panggilan Tara pada Ilham yang sama sekali tidak terdengar seperti ayah dan anak pun membuat sang dokter sedikit kebingungan. Ia berpikir sepertinya Ilham adalah ayah tiri mereka atau bahkan masih calon ayah tiri mereka. Namun, bila ia melihat wajah dua anak kembar itu, ia berpikir mereka sangatlah mirip membuat dirinya tentu saja langsung menduga kalau Ilham adalah ayah dari kedua anak itu. Yang pasti, dokter wanita itu merasa tidak enak karena ia takut salah memanggil Ilham sebagai suami sang pasien.
“Gak apa-apa, mama kamu sama Tya cuma kecapek-an. Iya ‘kan, Dok?” balas Ilham mencoba menenangkan Tara dengan meminta dukungan dari sang dokter agar Tara percaya.
“Iya, mama kamu akan segera membaik dan sadar. Biar mama kamu lekas pulih juga, kamu bisa bantu jaga mama kamu dan ingatkan mama kamu untuk gak telat makan ya,” timpal sang dokter dengan ramah.
Tara tampak mengangguk paham, wajah polosnya sangat terlihat menggemaskan. Tanpa sadar, Ilham mengangkat satu tangannya untuk menggapai pipi gempal Tara yang terlihat merona. Ia mencubitnya dengan pelan saking gemasnya tetapi tidak mau menyakitinya.
“Tuh dengerin kata Bu Dokter, ingetin mama buat makan. Jangan sampai mama kamu makannya telat nanti sakit lagi kayak sekarang,” ucap Ilham.
Tara tampak mengangguk pelan. Tanpa Ilham duga, Tara tiba-tiba memeluknya membuat Ilham sedikit terkejut. Namun, karena pelukan Tara, hal itu mampu membuat hati Ilham menghangat. Apa seperti ini rasanya mempunyai anak? Pikir Ilham.
“Saya permisi pamit dulu ya, Pak Ilham. Kalau ada apa-apa bisa panggil perawat yang berjaga,” ujar sang dokter memilih pergi. Ilham menatap dokter wanita itu sekilas dan mengangguk mempersilakan.
“Makasih ya, Om. Om kayaknya cocok jadi papanya Tara sama Tya,” ungkap Tara tidak terduga.
“Memangnya Tara belum ... punya Papa?” tanya Ilham hati-hati karena takut pertanyaannya membuat pria kecil yang sedang memeluknya itu tersinggung.
Tara tampak menggelengkan kepalanya tidak bersemangat. Memang sejak dirinya lahir, Arisha tidak pernah mau membahas tentang sang ayah yang selalu ia dan Tya pertanyakan. Jujur saja, Tara selalu merasa bersedih saat melihat teman-temannya diantar jemput oleh ibu dan ayah. Sementara dirinya dan sang adik hanya diantar jemput oleh Arisha, itupun jika Arisha tidak sibuk.
“Jadi, Om mau jadi papanya Tara sama Tya gak?” tanya Tara.
“Tara!”
“Tara!” Tara dan Ilham menoleh ke asal sumber suara di mana Arisha kini sudah terbangun dan menatap ke arah mereka dengan tatapan yang tidak bisa mereka artikan.“Mama!”Tara melepas pelukannya pada Ilham dengan segera lalu ia berlari menghampiri ranjang di mana Arisha diam menatap mereka. Sementara Tya, ia sudah terlelap di samping sang ibu tanpa tau kalau Arisha sudah tersadar dari pingsannya. Ilham bangkit berdiri menatap Arisha yang juga menatapnya.Ada perasaan gelenyar di hatinya saat menatap mata sayu indah milik Arisha. Namun, Ilham juga menyadari kalau ia bisa melihat ada terselip tatapan ketakutan dan kekecewaan di mata perempuan yang selama ini selalu ia cari-cari keberadaannya. Terbesit sebuah pemikiran kalau pertemuan tidak sengaja ini adalah sebuah jalan yang sudah ditakdirkan agar dirinya dan Arisha bisa bertemu kembali.“Kamu sudah siuman?” tanya Ilham yang terdengar cukup bodoh.“Kenapa And
Arisha bisa mendengar suara pintu kamar inapnya dibuka oleh seseorang. Namun, Arisha memilih pura-pura tidur daripada melihat siapa yang datang ke kamarnya selarut ini tetapi ia menduga kalau yang datang adalah Ilham dan Tara. Derap langkah kaki yang dibalut dengan sebuah sepatu pantofel yang beradu dengan lantai keramik terdengar cukup kencang karena sunyinya ruang inap Arisha.Arisha merasa sedikit keheranan, kenapa hanya ada satu pasang suara derap langkah yang masuk ke dalam ruangannya? Kalau memang Ilham dan Tara yang datang, seharusnya ada suara Tara juga. Apa memang bukan Ilham dan anak laki-lakinya yang datang? Pikir Arisha dalam pejaman matanya.Sebuah pergerakan di kasurnya cukup terasa oleh Arisha. Mata Arisha sedikit ia buka untuk mengintip. Samar-samar ia bisa melihat seorang pria jangkung yang sedang mencoba dengan sangat hati-hati untuk memindahkan Tara yang tertidur di gendongannya ke sebelah Arisha.“Anak pintar,” gumam pria jangkung
Dengan tergesa, Arisha menuntun kedua anaknya di sisi kiri dan kanannya. Langit sudah gelap dan Arisha memutuskan untuk pergi dari rumah sakit di mana ia harus dirawat. Ia memilih pergi sebelum Ilham kembali datang menemui mereka kembali.Hal ini sudah Arisha rencanakan sedari pagi tadi. Dan waktu inilah waktu di mana Ilham pergi karena sebuah urusan yang dia bilang pada kedua anaknya kalau urusannya tidak bisa ia tunda dan tinggalkan. Bisa Arisha lihat saat Ilham meninggalkan anaknya dengan berat hati, tetapi, itulah saat-saat yang Arisha tunggu.“Kita mau ke mana, Mah? Momi ‘kan harusnya masih harus dirawat sama suster,” ujar Tya yang ia tuntun di sisi kanannya.Arisha tampak celingak-celinguk di depan lobi rumah sakit seakan mencari sosok yang ia tunggu. Sekaligus ia takut kalau-kalau ada Ilham datang. Akan gagal sudah acara kabur dari laki-laki itu bila Ilham tiba-tiba muncul, pikir Arisha.“Nanti kalau Pap ... eh, kalau Om Ilh
“Ada apa, Kian? Saya sedang banyak pekerjaan. Bila ingin sesuatu, katakan dengan jelas,” tegas Ilham saat mendengar suara manja dari sang istri di seberang sambungan teleponnya.Ilham sudah tau betul bagaimana sikap istrinya itu bila menginginkan sesuatu. Selalu terdengar manja dan menyebalkan. Dan yang menjengkelkan, Kian hanya menghubunginya jika ia menginginkan sesuatu. Tidak pernah Kian benar-benar mencarinya jika tidak punya suatu keinginan, itula hal yang paling memuakkan dari istrinya menurut Ilham.“Hehe ... Mas, kok nanyanya gitu, sih? Aku cuma kangen loh, udah dua hari gak lihat Mas,” balas Kian.“Kalau tidak ada yang penting, saya tutup teleponnya,” ancam Ilham yang semakin dibuat jengkel.“Eh, tunggu, Mas. Anu ... aku mau pergi ke Bali sama temen-temenku. Bole—”“Terserah, Kian. Lakukan apa yang kamu mau,” jawab Ilham dengan cepat memotong ucapan Kian ya
“Kalau ternyata Om Ilham itu papa kandungnya Tya gimana?”“Jangan ngomong sembarangan, Tya. Jangan bahas soal papa, Mama gak suka. Mama selalu sedih kalau Tya maksa cari tau tentang hal itu,” jawab Arisha yang terdengar egois.Tya menundukkan kepalanya, ia tampak murung kali ini. Arisha yang tidak bisa melihat anaknya itu murung memilih pergi meninggalkannya duduk di sana. Bukan Arisha tidak sayang, hanya saja hal itu sangat menyakiti hatinya mengingat banyak hal yang Arisha korbankan untuk kedua anaknya tetapi kini anaknya malah bertanya-tanya tentang ayahnya yang meninggalkan kenangan pahit untuk Arisha. Ia juga tidak mau membiarkan Tya larut dalam pertanyaan tentang keberadaan ayahnya.Karena Ilham memang benar ayah kandung Tara dan Tya yang selama ini mereka pertanyakan. Hanya saja, Arisha ingat betul bagaimana ancaman sang kakak tiri padanya bila ia merusak kebahagiaannya dengan membawa anak-anaknya pada Ilham di lima tahun yang lalu
Arisha baru saja sampai di toko katering miliknya sendiri. Sudah ada beberapa karyawannya yang tiba di sana. Kedatangan Arisha tentu saja disambut baik oleh para pegawainya yang mempertanyakan ke mana perginya Arisha yang tidak hadir tanpa memberi kabar apa-apa selama dua hari kebelakang.Itu karena walaupun Arisha adalah pemilik katering dan pimpinan teratas di sana, tetap saja ia selalu hadir setiap hari kerja untuk mengkoordinasikan para pegawainya. Ia tidak pernah seenaknya datang atau tidak hadir. Arisha selalu memberi kabar pada salah satu orang kepercayaannya di sana dan akan terasa sangat aneh bila Arisha tiba-tiba tidak hadir tanpa kabar sama sekali.“Pagi, Bu. Bagaimana keadaan Ibu?” tanya salah satu pegawainya dengan sopan.Arisha melemparkan senyumnya pada pegawai wanitanya itu. “Alhamdulillah, baik. Katering gimana? Kemarin ada orderan masuk lagi pas saya gak masuk?” balas Arisha bertanya.Pegawainya itu mengangguk pel
Arisha bisa melihat pegawainya menunduk segan pada seseorang yang berdiri di belakangnya. Sudah Arisha duga, pasti Ilham kini sudah memergokinya. Dengan penuh keraguan, Arisha berbalik memastikan siapa yang ada di belakangnya.“Loh, Arisha?”Arisha menengadahkan kepalanya, matanya membelalak saat dugaannya ternyata benar. Ilham tengah berdiri menatapnya terkejut. Mata mereka saling beradu pandang di tengah keterkejutan masing-masing. Arisha tampak salah tingkah saat sudah berusaha untuk terus menghindar tetapi pada akhirnya tetap saja mereka bertemu.“Ah, iya. Anda yang memesan katering, ‘kan?” tanya Arisha yang terlihat bingung.“Maaf, Bu. Saya permisi dulu,” pamit sang pegawai yang merasa canggung berada di sana.Tangan Arisha segera menggapai tangan si pegawai agar tidak pergi meninggalkannya. Hal itu cukup membuat si pegawai sedikit terkejut karena ia sampai tertarik selangkah kebelakang imbas dari tari
Perhatian Ilham segera teralihkan pada sepasang anak yang meneriakinya dengan sebutan papa. Ilham sedikit terkejut dengan kehadiran Tara dan Tya yang tiba-tiba saja menghambur ke arahnya. Sendok yang ia pegang untuk menyuap hidangan yang Arisha suguhkan untuk ia cicipi pun segera ia simpan. “Tara! Tya! Ngapain kalian ke sini!?” seru Arisha bertanya. Dengan wajah tanpa merasa bersalahnya, Tya melirik sekilas ke arah sang ibunda lalu memeletkan lidahnya sekilas. Hal tersebut tentu saja membuat mata Arisha membelalak tidak percaya. Ia bisa melihat betapa bahagianya kedua anak kembarnya itu saat bertemu Ilham, tetapi tidak dengan dirinya. “Papaaaah!” panggil Tya dengan manja. “Papa ke mana aja? Kenapa baru sekarang datang ke sini?” tanya Tara dengan senyum manis di wajahnya. Arisha tertegun, ia tidak begitu percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar di depannya. Terlebih lagi melihat bagaimana baiknya sambutan Tara pada Ilham. Tara adala