Share

Anak Rahasia Dokter Arogan
Anak Rahasia Dokter Arogan
Penulis: Nvika302

Hidup tak selamanya rainbow & butterfly

"Bu, mbak Tika tidak ada didalam kamar" bisik perias dengan terbata dan sangat pelan.

"APA? Jangan bercanda kamu. Acara sudah mau dimulai" jawab Bu Rudi. Ibunya Swastika yang saat ini sedang berada diantara keluarga Jamal. Dia langsung berdiri dan menarik tangan perias itu menjauh dari kerumunan.

"Ta-tadi mbak Tika minta ditinggalkan sendiri setelah make up untuk menenangkan diri katanya" jelas perias itu dengan sangat ketakutan.

"BODOH. Cepat cari" bentak Bu Rudi yang saat ini sudah seperti orang kesetanan.

Mereka yang berada disana mencari keseluruh penjuru rumah dan sekitar rumah. Sementara itu, kondisi diluar sudah mulai riuh karena acara yang tak kunjung mulai.

"Bagaimana Pak? Apa sudah bisa dimulai acaranya? Saya sudah ada jadwal lain satu jam lagi" ucap penghulu sambil melihat jam tangan yang ada ditangan kirinya.

"Iya paman, mana calon istriku?" timpal Jamal.

"Tunggu sebentat saya cek kedalam dulu ya Pak mungkin masih bersiap agar bisa tampil cantik maksimal dihari pernikahannya ini" ucap Ayah Tika yang kemudian berdiri dan berjalan masuk kedalam rumah.

Dia keheranan melihat keriuhan yang terjadi didalam rumah, istrinya segera menceritakan apa yang terjadi. Dia sangat marah dan mengumpat beberapa kali sebelum memutuskan untuk keluar.

Dia berjalan gontai menuju panggung dan meraih microphone yang dipegang oleh pembawa acara. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan hingga gerak geriknya ini menarik perhatian seluruh tamu undangan termasuk keluarga Jamal.

"Ada apa? cepat bawa Swatika keluar" teriak Bapaknya Jamal yang merasa ada yang tidak beres.

Dengan suara yang bergetar menahan amarah juga rasa malu, akhirnya dia berkata, "Mohon maaf sebelumnya untuk Bapak Penghulu, tamu undangan. Terutama saya meminta maaf sedalam-dalamnya pada keluarga besar Bapak Darmo, dengan sangat berat hati kami membatalkan acara pernikahan ini karena Swastika putri kami...... kabur" tuturnya yang kemudian menundukkan kepala.

"BANGS**. Maksud kamu apa Rud? Kamu pikir acara ini lelucon?" bentak Pak Darmo, Juragan padi, Bapaknya Jamal.

"Sekali lagi, kami sekeluarga memohon maaf sedalam-dalamnya Pak Darmo" ucap Ayah Swastika dengan membungkukkan badannya.

"Maaf kamu bilang? Kamu sudah mencoreng nama baik saya. Dengan gampangnya kamu bicara seperti itu? Kami sudah berbaik hati menerima anak kamu yang hamil entah dengan siapa dan menikahkan Jamal dengannya. Tapi kamu justru melempar kotoran tepat didepan wajah kami. Memang keluarga kamu tidak punya sopan santun. Kamu harus ganti rugi semua biaya yang sudah kami keluarkan, kalau tidak, kamu dan keluarga kamu akan tau akibatnya" turur Pak Darmo yang merasa sangat kecewa dan marah besar.

Pak Darmo mengajak istri, Jamal dan seluruh keluarganya yang datang untuk meninggalkan rumah itu dan menyuruhnya untuk tidak lagi menginjakkan kaki disana.

Para tamu undangan dan penghulupun perlahan mulai pergi dengan bisik-bisik membicarakan apa yang baru saja terjadi.

Sementara itu dilain tempat, Swastika yang tengah tertidur diatas pick up penjual sayur yang memberinya tumpangan menjauh dari desa dibangunkan oleh pemilik mobil.

"Sudah sampai mbak"

"Oh. Iya. Terima kasih Bang. Ini ongkosnya" ucap Swastika dengan menyodorkan uang yang dimilikinya.

"Tidak perlu mbak, buat mbaknya saja" tutur tukang sayur yang kemudian melajukan pick upnya menjauh.

Swastika segera berjalan cepat menuju loket pembelian tiket dengan sesekali melihat sekitar, berharap keluarga atau warga sekitar rumahnya tidak ada yang melihat. Saat sudah didepan loketpun dia masih beberapa kali melihat ke belakang tapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh seseorang dan seketika dia langsung berteriak ketakutan.

"Tika ini aku Balin. Hei. Tenang" ucap orang tersebut dan langsung memegang kedua bahunya. Swastikapun membuka mata dan kemudian bersandar ketembok dengan lemah.

Balin membantunya berdiri dan setelah Swastika melakukan pembayaran, mereka duduk dibangku ruang tunggu.

"Pakaianmu kenapa seperti ini?" tanya Balin yang keheranan karena Swastika saat ini memakai kebaya khas pernikahan.

"Ya. Aku kabur dari pernikahan itu. Tolong jangan bilang siapapun" pinta Swastika sambil mengatupkan kedua tangan didepan dadanya dengan wajah sembab karena sejak semalam dia terus menangis, bahkan make up tidak bisa menyamarkannya.

"OK. Aku Janji tidak akan bilang siapapun. Terus sekarang kamu mau kemana?" tanya Balin sambil mengambilkan tisu untuk Swastika yang dipelupuk matanya sudah menggenang air mata.

Swastika tidak menjawab dan hanya memperlihatkan tikeg bis yang baru dibelinya.

"Tujuan kita sama. Kita berangkat sama-sama. Kamu pasti tidak ada tujuankan disana?" tanya Balin dengan penuh keyakinan dan Swastika hanya menggelengkan kepalanya.

Balin segera berlari keloket untuk menukarkan jadwal keberangkatannya. Dia sudah membeli tiket tapi jam keberangkatannya selisih dua jam dari Swastika. Walau dia harus terkena charge karena perubahan jadwal, dia tetap merubah jadwalnya.

Sambil menunggu jadwal keberangkatan, Balin mengajak Swastika ke salah satu warung disekitar terminal. Disana Balin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi hingga dia nekat melakukan hal ini.

Swastikapun menceritakan semua yang terjadi padanya, termasuk siaap ayah dari anak yang sedang dikandungnya dan apa yang dia dapatkan dari keluarganya setelah tau tentang kondisinya. Dia bercerita sambil berlinang air mata dan dadanya terasa sangat sesak. Balin yang mendengar ceritanya saja dadanya terasa sesak.

"Tapi bukankah kamu seharusnya memberitahukan padanya dan bukannya lari seperti ini" tutur Balin.

"Tidak bisa. Dia belum ingin punya anak karena masih residen, dia pasti akan menyuruhku menggugurkannya, aku tidak mau" ucapnya sambil memegang perutnya yang masih rata. "Kamipun berbeda. Dia berasal dari keluarga terpandang sementara aku hanya rakyat jelata. Kami benar-benar hidup didunia yang sangat bertolak belakang" sambungnya.

Balin hanya menggeleng dan kemudian mereka melanjutkan makan. Dan tidak lama, ada pemberitahuan bahwa bis mereka akan segera berangkat. Mereka segera bergegas masuk kedalam bis.

dua belas jam berlalu, akhirnya mereka sampai di terminal Surabaya. Untunglah disepanjang perjalanan tidak ada masalah dengan kandungannya. Seolah sang anak mengerti apa yang sedang dilalui sang ibu.

"Setelah ini apa rencana kamu?" tanya Balin sambil menunjukkan pada Swastika apa benar tas yang dia ambil adalah tas milik Swastika.

"Aku mau cari kontrakan dulu terus baru cari kerja. Aku tidak bawa uang banyak tapi paling tidak masih cukup untuk hidup satu bulan kedepan" jawabnya.

"Ehm. Begini saja, untuk menghemat uang kamu, lebih baik kamu tinggal dikontrakanku. Nanti aku bilang ke Induk semang. Tenang saja, dia baik kok"

"Tapi..."

"Tenang. Aku akan tinggal dimess sampai kamu dapat kontrakan yang baru. Disana masih banyak yang kamar kosong. Dan santai saja, kamu tidak merepotkanku, jangan merasa sungkan. Aku akan coba carikan pekerjaan yang sesuai dengan bidang kamu. Aku punya beberapa kenalan yang bekerja di apotik. Siapa tau ada lowongan kerja disana" ucap Balin panjang lebar sampai mereka sampai di area parkir sepeda motor.

"Terima kasih" hanya itu yang terus terucap dari Swastika, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau tidak bertemu dengan Balin kemarin.

"Sebelum kekontrakan kita mampir ke swalayan dulu ya. Aku tidak ada makanan ataupun bahan makanan dikontrakan, hanya ada soda dan air putih, bahkan magicom saja tidak pernah terpakai sejak aku membelinya" tutur Balin yang kemudian tertawa malu dan menggaruk kepalanya yang tertutup helm.

"Iya" jawab Swastika dengan menggelengkan kepala dan sudah tidak heran karena adiknyapun dirumah juga seperti itu, hanya mau terima jadi saja.

Karena Swastika tidak memakai helm, Balin mengambil jalan memutar dan masuk keperkampungan. Sehingga mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sampai dikontrakan. Disepanjang perjalanan, Swastika sudah merasakan perutnya sakit tapi masih bisa dia tahan. Tapi saat sudah sampai di depan kontrakan, perutnya terasa semakin sakit hingga dia bercucuran keringat dingin. Dia membungkuk sambil memegang perutnya.

"Kamu kenapa?" tanya Balin yang panik melihat Swastika kesakitan.

"Sepertinya kram" jawab Swastika terbata.

Seketika otak Balin blank dan dia bingung harus melakukan apa dan hanya memegang lengan Swastika agar tidak jatuh. Ingin menggendong dan membaringkannya didalam rumah tapi dia ragu, Swastika pasti tidak akan mengijinkannya.

"Balin. Dia kenapa? Cepat bawa ke klinik" ucap Bang John, tetangga kontrakan Balin yang barusaja menjemur burungnya saat melihat Balin dengan wajah paniknya bersama seorang wanita.

"I-Iya Bang" jawab Balin yang dengan cepat langsung menggendong Swastika dan meletakkannya diatas sepeda motor kemudian melajukan sepeda motornya dengan sesekali menengok ke belakang melihat kondisi Swastika.

"Dokter, tolong perutnya sakit" ucap Balin setelah sampai di depan UGD memapah Swastika.

"Baringkan dibrangkar" ucap sang dokter yang kemudian memerikasa Swastika. Sementara Balin ke bagian administrasi diarahkan oleh salah satu perawat disana.

"Maaf Sus, minta tolong sampaikan ke dokterny kalau pasien sedabg hamil" pinta Balin.

"Baik akan saya sampaikan ke dokter" jawab perawat itu yang kemudian masuk kedalam tirai yang menutupi brangkar Swastika.

Setelah diperiksa dan dipasang infus, kram perut Swastika sudah mulai membaik. Dia disarankan oleh dokter untuk banyak istrirahat dan minum vitamin. Dokter juga menjelaskan bahwa Swastika hanya kelelahan dan terlalu banyak pikiran saja, tidak ada yang serius, janinnya juga dalam keadaan baik-baik saja.

"Aku minta maaf ya merepotkan kamu lagi. Aku akan mengembalikan uang kamu kalau sudah dapat pekerjaan" ucap Swastika dengan lemah.

"Sudah jangan dipikirkan. Yang penting kamu dan anak kamu baik-baik saja" tutur Balin. "Oh. Iya. Bang John datang sama istrinya mau jenguk kamu. Apa boleh kesini?" sambungnya.

Swastika hanya mengangguk, dia juga ingin mengucapkan terima kasih pada Bang John yang secara tidak langsung sudah membantunya.

Setelah mereka mengobrol dan istri Bang John juga memberi wejangan-wejangan pada Swastika hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama hamil, mereka memutuskan untuk berpamitan karena hari sudah larut dan anaknya ditinggal dirumah.

Keesokan paginya, Swastika sudah bangun sementara Balin masih tidur dikursi samping brangkarnya. Swastika memandang Balin dan menitihkan air mata. Perasaanya campur aduk menjadi satu. Balin yang mendengat suara sesenggukanpun terbangun.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Perut kamu sakit lagi?" tanya Balin yang panik melihat Swastika menangis. "Loh. Loh. Loh. kok tambah kenceng nangisnya? Aku panggilkan dokter dulu ya" ucap Balin. Sebelum dia sempat beranjak tangannya sudah ditahan oleh Swastika yang sedari menggeleng tapi tidak disadari oleh Balin.

"A-aku tidak sakit. Hanya terharu saja" ucap Swastika sambil menghapus air matanya.

"Benar?"

"Iya"

"Ya sudah. Ini infus kamu sudah hampir habis. Nanti saat dokter visite akan aku tanyakan, Semoga kamu sudah diperbolehkan pulang" ujar Balin sambil membantu Swastika memakan sarapannya.

Sekitar pukul 08.00 dokter datang untuk memeriksa keadaan Swastika dan menanyakan beberapa hal. Setelah memastikan keadaan Swastika membaik, dokter memperbolehkan pulang.

Balin membantu Swastika menyelesaikan biaya administrasinya, dia juga membantu Swastika beranjak dari brangkar, bahkan sampai meminjam kursi roda yang ada diruang UGD. Setelah mendorong Swastika hingga depan UGD, Balin segera berlari mengambil sepeda motornya.

'Terima kasih ya Nak, sudah mau bertahan sama Mama' monolognya sambil mengusap perutnya dan menunggu Balin.

Tanpa Swastika sadari, ada seseorang yang sejak tadi mengamatinya, bahkan sekarang sudah berada tidak jauh darinya.

"Swastika"

"K-kamu......"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status