Fara balas menatap Daryn tak kalah tajam. Rahang keduanya mengeras. Dari sorot matanya Fara pikir pria itu tak akan bisa dengan mudahnya melepaskan dirinya. Bila terlalu lama di sana, dia akan kehilangan nyawa anak itu. Otaknya berpikir cepat selagi tatapannya masih terpancang pada iris mata Daryn.
Dari kedua iris kelam pria di hadapannya yang masih mencekal pergelangan tangannya, tatapan Fara turun melewati pangkal hidung Daryn lalu berhenti di bawahnya, tepat pada kedua bibir itu.
Ini gila! Jangan lakukan. Hatinya menjerit memberi tahu. Tapi kalau dia tak bertindak, nyawa seseorang terancam, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia pikirkan saat ini meskipun memang gila.
“Aku sungguh harus pergi sekarang. Hanya satu cara supaya aku bisa pergi, jadi jangan salahkan aku melakukan ini, kau sendiri yang tak mau melepaskanku,” kata Fara.
Kedua alis hitam Daryn yang memayungi kedua matanya itu terangkat mendengar apa yang dikatakan gadis itu.
Hanya dalam satu kedipan mata saja kejadian itu begitu cepat, dan mengejutkan semua orang yang ada di sana, terutama Daryn atas apa yang Fara lakukan padanya, kecupan singkat di bibirnya otomatis membuat cekalan tangan Daryn di pergelangan tangan Fara melonggar saat itulah dia segera melepaskannya dan pergi begitu saja sebelum pria itu kembali meraih tangannya.
Fara berlari secepat mungkin keluar dari restoran itu dan menyebrang jalan di waktu yang begitu tepat seolah para dewa mengizinkannya untuk pergi dan melakukan tugasnya. Sementara itu, Daryn akhirnya menyadari tawanannya melarikan diri. Ira yang masih berada di sana dengan cepat berdiri di hadapan pria itu.
“Tolong biarkan dia pergi,” katanya. Perhatian mereka tertuju pada jendela kaca yang memperlihatkan siluet Fara yang menjauh.
“Minggir!” seru Daryn dingin.
“Aku tidak tau apa hubungan kalian, tapi tolong biarkan dia pergi untuk melaksanakan tugasnya. Setelah itu kau bisa mencarinya di sana,” telunjuk Ira mengarah pada gedung rumah sakit yang berada di seberang restoran itu. Tidak begitu jauh.
Daryn mengikuti arah telunjuknya.
“Kau bisa mencari Dokter Fara Izzumi, dan selesaikan masalahnya. Tolong maklumi dia. Suatu hari kau akan tahu tentangnya,” jelas Ira sebelum pergi dari hadapan Daryn dan dia membungkuk hormat sekilas kemudian bergegas pergi dari sana mengikuti jejak Fara yang telah lebih dulu menghilang.
Terdiam di tempatnya. Daryn mengabaikan perhatian orang-orang yang ada di sana, perhatiannya sendiri terarah pada gedung tinggi itu yang tampak megah.
“Dokter, ya?” gumamnya lantas tersenyum miring, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Namun, jejak hangat di bibirnya mendadak terasa mengalihkan perhatiannya. “Aku tak akan melepaskanmu semudah itu, nona. Setelah kau meninggalkan jejak di bibirku?” Senyumnya tercetak begitu jelas membentuk seringai seorang iblis.
Pria itu kemudian ikut meninggalkan restoran tersebut dengan perasaan yang bergejolak di dalam dadanya. Sensai aneh yang membara setelah apa yang dilakukan gadis itu tadi, sungguh berani sekali.
Sementara itu, Fara berkurat dengan alat medis untuk memeriksa seorang pasien anak perempuan.
“Tampaknya ini adalah Sindrom Moyamoya dari hasil CT Angio,” lapor dokter juniornya.
Fara memeriksa pasien anak itu dan melihat hasil CT yang dimaksudkan.
“Hubungi bedah saraf untuk ditinjau lebih lanjut lagi. Ada kemungkinan harus dilakukan opras. Untuk saat ini kondisinya tampak stabil,” jelas Fara pada bawahannya yang segera menuruti apa yang dia perintahkan, menghubungi bedah saraf.
Pasien itu tampak tenang setelah diberi infus. Fara berbalik usai memeriksanya dan Ira menghadang langkahnya ke meja informasi yang terdapat di IGD.
“Kita perlu bicara,” kata Ira.
Fara tak peduli, dia tahu apa yang ingin rekannya itu katakan, pasti soal tindakan gilanya yang dia lakukan tadi. Oh, bila di ingat sekarang itu memang gila. Untuk beberapa saat, Fara menyesalinya tapi dia tak punya cara lain lagi untuk bisa lepas dari pria itu.
Ira tetap mengikuti langkah Fara, bahkan tatapannya menginterogasi dalam diam membuat Fara menjadi risih karenanya. Dia sadar tak akan bisa lepas dari Ira. Fara mengangkat wajahnya untuk balas menatap gadis itu yang mengukir senyum menyebalkan di bibirnya.
“Aku akan mengatakannya nanti. Tolong kerjasamanya, Dokter Ira,” tegas Fara yang diangguki Ira.
Seorang dokter spesialis bedah saraf datang setelah dihubungi. Fara menjelaskannya pada dokter itu supaya ditangani lebih jauh lagi.
IGD atau Instalasi Gawat Darurat memang banyak pasien kritis. Fara sendiri dokter anak yang khusus menangani pasien anak-anak. Jadwalnya padat, kebetulan saja hari ini senggang sehingga bisa makan siang enak di restoran depan rumah sakit tempatnya bekerja.
Fara adalah tipe gadis tenang dan berkepala dingin, namun entah mengapa pertemuannya dengan pria itu membuatnya kesal. Biasanya Fara bisa mengatasi dengan tenang, tapi Daryn mungkin pengecualian. Entahlah, Fara pun tak mengerti.
“Jadi, apa yang kau lakukan tadi, hm? Tidak biasanya kau begitu, apalagi terhadap seorang pria. Fara, itu mungkin bisa jadi ci –“
“Tidak!” sela Fara cepat menghentikan kalimat Ira yang kembali merecokinya di ruang dokter saat berganti pakaian.
Rekannya itu menatapnya heran, menyelidik dengan tatapan. Fara berbalik, gugup, pura-pura mengancingkan bajunya.
“Lantas tadi itu apa? Kalau kau tak ada hubungan. Tadi itu namanya apa?” tuntut gadis itu. Benar-benar tak membiaran Fara.
Terdiam. Fara menghela napasnya dalam. Setidaknya dia harus bisa menjawab Ira supaya dia bisa berhenti merecokinya, apa saja asalkan itu bisa membungkamnya.
“Tadi itu,” Fara berhenti, otaknya mencari kalimat yang pas untuk dikatakan. Namun, benaknya justru mengulang kembali adegan saat Fara memberikan kecupan singkat pada Daryn. “Kecupan pemutus rantai sial,” gumamnya entah dari mana kata itu dia dapatkan, menyambarnya begitu saja.
Entahlah, tapi memang hanya itu yang bisa dikatakan. Kecupan pemutus rantai sial? Bukankah bagi Fara juga Daryn, pertemuan mereka itu adalah kesialan? Namun, itu justru menjadi awal dari segalanya, bukan menjadi pemutus yang mengakhiri segalanya.
Fara membiarkan rekannya itu larut dalam pikiran. Entah apa yang Ira pikirkan mengenai itu, tapi ada yang aneh. Sejak kapan Fara dekat dengan seorang pria, apalagi pria asing yang baru ditemuinya kemarin? Tidakkah itu aneh?
“Aku akan melihat bagaimana alur hidupmu, Fara. Akankah ada seseorang yang memikat hatimu?” kata Ira tapi Fara tak mendengarnya, jelas saja gadis itu berdecak kesal karena Fara selalu begitu, pergi begitu saja.
Takdir mulai berjalan di antara hidup Fara, mempertemukan kembali dengan seseorang di masa lalunya, yang menjadi alasan dan motivasi kenapa dia berada di sana dan posisi yang didapatkannya sekarang ini adalah hasil dari keputusan yang dia buat lima tahun lalu. Bagaimana alur hidup Fara kedepannya usai pertemuannya dengan Daryn Affandra, sang CEO muda yang memiliki seorang anak rahasia.
Terlalu lama Fara diam, akhirnya Daryn gemas juga.“Apa? Ada apa, sih, Far? Kau membuat aku jadi penasaran,” kata Daryn akhirnya.Mata Fara mengerjap, terkejut juga karena malah melamun.“Oh, tidak. Tidak jadi,” kata gadis itu.“Ish. Kau membuat aku jadi semakin penasaran saja, Fara. Ada apa? Katakan padaku,” timpal Daryn bahkan memaksa gadis itu untuk mengatakan apa yang ingin Fara katakan sebelumnya.“Tidak jadi. Bukan apa-apa,” kilah Fara. Sepertinya masih ragu untuk membicarakan hal itu dengan Daryn.“Ayolah.” Daryn mendesah kesal sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ada apa? Ayo katakan padaku, atau aku akan terus memintamu untuk mengatakannya,” kata Daryn tak ingin menyerah.Fara menatap Daryn tajam, dan membuang napas kasar.“Aku bilang tidak jadi. Kenapa kau ngotot sekali?” balas Fara. Tapi entah bagaimana tubuhnya tak juga beranjak dari sana.Atau mungkin Fara juga penasaran sama seperti Daryn.Kira-kira siapakah foto dalam bingkai di kamar Delvin itu?Melihat Fara dia
Setelah makan malam itu Fara menemani Delvin hingga tidur sedangkan Daryn kembali sibuk dengan tabletnya di lantai dua, duduk di sofa dengan nyaman. Pria itu sudah mengganti bajunya dengan piaya tidur.“Delvin sudah tidur?” tanya Daryn tanpa mengalihkan perhatian dari tabletnya.“Ya, sudah,” sahut Fara berjalan pelan ke kamarnya. Gadis itu tampak mengantuk.Tidak ada yang bicara sampai Fara berdiri di depan pintu kamarnya dan hendak membuka pintu itu tapi pikirannya tertuju pada Daryn.“Kenapa?”Rupanya Daryn menyadari Fara yang berhenti di depan itu.“Tidak ada. Aku hanya teringat sesuatu. Selamat malam,” ucap gadis itu lantas masuk ke kamarnya.Tapi Fara bersandar di balik pintu kamarnya, pikirannya tertuju ke suatu tempat di kamar Delvin ketika meninabobokan anak itu.Ada beberapa pigura di kamar anak itu. Yang besar tergantung di dinding, hanya Delvin, Daryn dan sang nenek yaitu Dennda. Sedangkan di pigura kecil di atas meja, terdapat sebuah foto yang terdiri dengan beberapa orang
“Delvin, apa maksudnya dengan Mama?” tanya Daryn.Anak itu menoleh pada sang ayah lantas tersenyum dan melirik Fara.“Aku ingin punya Mama, dan aku suka Dokter Fara,” kata anak itu dengan nada bicaranya yang khas.Baik Daryn maupun Fara, sama-sama terkejut mendengar apa yang anak itu katakan. Fara bahkan menelan ludahnya ketika pikirannya mencerna sedikit lambat.“Jadi aku menggambar ini,” lanjut Delvin sambil memandangi gambar yang dia buat sendiri itu. Senyum lebar mengiasi wajahnya yang bahagia.Apa yang mesti Fara lakukan? Tidak mungkin bukan Fara menghancurkan harapan anak itu yang tampaknya merindukan kehadiran sosok ibu di hidupnya, di usia yang masih belia itu. Fara melirik Daryn sekali lagi memastikan bagaimana respon pria itu.Sama. Daryn pun terdiam, tak berkata, bungkam seribu bahasa. Sebagai ayah, tentu saja hati Daryn sakit mendengarnya. Bukan karena tak mau menghadirkan sosok ibu yang sangat Delvin inginkan, tapi Daryn tidak bisa asal memilih istri untuk menjadi ibu bag
“Ibu ke mana?” tanya Fara ketika menjelajahi rumah besar itu tapi tak menemukan sang nyonya rumah.Daryn yang tengah duduk di sofa sambil menunggu makan malam siap menoleh pada gadis itu.“Ada urusan, nanti juga kembali,” jawab Daryn lalu fokus pada tablet di tangannya.“Oh, begitu. Apakah biasanya lama?” tanya Fara lagi sambil mengambil posisi duduk di sofa tak jauh dari pria itu.Sesaat Daryn terdiam seperti tengah berpikir apakah ibunya pergi lama atau tidak.“Paling lama tiga hari, paling sebentar sampai malam nanti,” kata Daryn menjawab Fara dengan santai.Fara menganggukkan kepalanya berusaha untuk tidak ikut campur urusan Dennda atau Daryn. Setiap orang punya urusannya sendiri yang tak harus selalu dibagikan.Delvin tengah di kamarnya entah sedang apa. Jam menunjukan pukul enam petang. Daryn mengatakan Delvin biasa mengurung diri di kamar pada jam seperti itu, nanti anak itu akan keluar dengan sendirinya entah akan membawa apa.Meski Daryn menyuruhnya untuk tak khawatir karena
Masih menatap Daryn dengan penuh kemarahan, Sandra berteriak agar melepaskan penjagaan supaya bisa menghampiri pria itu dengan leluasa. Namun sepertinya percuma, Daryn tak akan mengizinkannya.“Kenapa kau bersikap begitu? Apa yang kau pikirkan sehingga hidup orang lain kau hancurkan,” kata Brian tak mempedulikan protes Sandra.Mendengar apa yang pria itu katakan, Sandra mulai berhenti tapi tetap menatap Daryn dengan tajam.“Kau ingin tahu alasannya, hah?” Sandra membalas.Daryn menatap Sandra dengan sorot yang serius.“Bukankah sudah aku bilang, itu karena kau. Seandainya kau tidak datang padanya, aku tak akan melakukan hal itu,” kata Sandra.“Jadi kau memang sengaja melakukan itu?”“Memangnya kenapa? Kau tak senang, bukan? kalau begitu, kenapa kau tak bicara denganku?”“Apa gunanya? Kau tak akan berhenti menganggunya, bukan? Sampai kau puas. Jadi aku tak akan membiarkannya.”“Itu sebabnya kau begitu melindunginya? Jangan bilang kau mencintai gadis itu, hah?” Sandra tersenyum miring,
Daryn masih asyik bermain game di ponselnya sementara Fara serta anaknya masih tidur siang. Hujan masih turun tapi tak begitu lebat, hanya saja udara kian dingin menjelang sore.Setelah bosan bermain game, tidur pun tidak bisa meski sudah berusaha untuk tidur lagi karena Daryn sempat tertidur tadi sebelum makan siang. Pria itu akhirnya memilih membuka ponselnya lagi dan membaca artikel yang muncul.Sesekali Daryn menghela napas saat membaca artikel yang membuat kabar tentang Fara dan dirinya yang dituduh berselingkuh sementar Daryn memiliki kekasih yaitu Sandra.“Siapakah sebenarnya gadis yang dikatakan perebut itu? Kabarnya dia seorang dokter anak kompeten, tetapi tidak diketahui apa niatnya.” Daryn membaca beberapa kalimat di artikel tersebut dan berdecih pelan.“Itu tidak benar. Ini sampah!” umpatnya marah tapi tidak bisa membanting ponselnya karena masih butuh.Daryn mencari sesuatu yang setidaknya memberikan komentar positif atau sebagainya. Hampir semua artikel memojokkan Fara.